Label

Rabu, 21 Maret 2012

BABAD TABANAN

-->
KERAJAAN PUCANGAN
(BUWAHAN)



Arya Kenceng Pendiri Kerajaan Pucangan/Buwahan
            Diceritakan setelah kemenangan Patih Gajah Mada atas kerajaan Bali Kuna pada tahun 1343M, ditunjuklah Sri Kresna Kepakisan sebagai Gubernur Majapahit di Bali. Beliau bergelar Dhalem Samparangan, membangun istananya di desa Samprangan (desa Samplangan sekarang), sebelah Timur Tukad Cangkir. Gianyar sekarang. Beliau didampingi oleh 11 Arya, masing – masing diberi kedudukan sbb:
1.      Arya Kutawaringin di Gelgel
2.      Arya kenceng di Buwahan / Pucangan
3.      Arya Belog di Kaba-kaba
4.      Arya Dalancang di Kapal
5.      Arya Sentong di Carangsari
6.      Arya Kanuruhan di Tangkas
7.      Arya Punta di Mambal
8.      Arya Jerudeh di Temukti
9.      Arya Tumenggung di Petemon
10. Arya Pemacekan di Bondalem
11. Arya Beleteng di Pacung
Selain itu juga didampingi oleh 3 orang wesya bersaudara: Tan Kober, Tan Kawur, dan Tan Mundur.
            Arya Kenceng salah seorang Mentri Dalem, diberi kekuasaan di daerah Tabanan, di desa Pucangan atau Buwahan, beristana di sebelah Selatan Bale Agung. Adapun batas batas wilayah kekuasaan beliau: sebelah Timur Sungai Panahan, sebelah Barat Sungai Sapuan, sebelah Utara gunung Beratan (Batukaru), dan sebelah Selatan daerah-daerah Sandan, Kurambitan, Blungbang, Tanguntiti, dan Bajra.
            Sebagai seorang Menteri Arya Kenceng sangat taat dan rajin menghadap Dalem. Dalem bersabda kepada Arya Kenceng, bahwa dari 3 tata upacara atiwa-tiwa, yaitu Bandhusa, Nagabandha, dan Bade Tumpang Solas, yang hanya boleh  dipakai adalah Bade Tumpang Solas.
            Arya Kenceng menikah dengan seorang puteri keturunan Brahmana dari Ketepeng Reges, Wilatikta. Sang puteri bersaudara puteri 3 orang. Kakaknya dinikahi oleh Sri Kresna Kepakisan, dan adiknya dinikahi oleh Arya Sentong. Dari isteri Brahmin ini Arya Kenceng menurunkan putera:  yang sulung bergelar Sri Magadhaprabu atau Arya Pucangan I, adiknya bergelar Sri Magadhanata atau Arya Pucangan II. Dari isteri lainnya, Arya Kenceng menurunkan putera: bernama Kyai Tegeh Kori, dan adiknya wanita tidak disebutkan.
            Diceritakan saat wafatnya Arya Kenceng, dilaksanakan upacara Pelebon, sesuai anugrah Dalem menggunakan Bade Tumpang Solas, hal mana diwariskan sampai sekarang.

Arya Pucangan II Raja II Pucangan

            Arya Pucangan I, Putera sulung Arya Keceng tidak tertarik memegang pemerintahan. Maka kerajaan Pucangan (Buwahan) diperintah oleh adiknya Arya Pucangan II bergelar Arya Ngurah Tabanan.
Adapun Kyai Tegeh Kori pindah ke Badung, di sebelah selatan Setra Badung. Beliau memerintah wilayah Badung, membuat bendungan di Pegat. Selanjutnya menurunkan warga besar yang disebut Para Gusti Tegeh. Sedangkan yang paling bungsu seorang perempuan tetap tinggal di istana Pucangan.
Arya Pucangan II berputera 7 orang, lahir dari 2 orang ibu warga para Sanghyang. Yang sulung bernama Arya Ngurah Langwang, yang kedua bernama Ki Gusti Made Kaler, Ki Gusti Nyoman Dawuh, dan Ki Gusti Ketut Dangin Pangkung. Dari ibu yang kedua, lahir Ki Gusti Nengah Samping Boni, Ki Gusti Nyoman Batan Ancak, dan Ki Gusti Ketut Lebah.
Arya Pucangan II meneruskan kewajiban ayahnya, sering datang menghadap Dalem Ketut yang bergelar Sri Smara Kepakisan di Suwecapura, Gelgel. Di istana Suwecapura, Arya Pucangan II sempat melakukan kesalahan, menutupi rambut salah seorang putera Dalem, yang menyebabkan Dalem marah dan memberikan ganjaran.
Dalem mengutus Arya Pucangan II ke Majapahit untuk menyelidiki situasi di sana. Tidak diceritakan perjalannya, sampai di Majapahit, dilihat sunyi, sepi negara itu, kelam kabut pikiran pejabat dan rakyat, karena mengalami masa-masa peralihan Islamisasi. Arya Pucangan II kembali pulang ke Bali, tidak diceritakan perjalannnya.
Sampai di Bali Arya Pucangan II menuju Suwecapura melaporkan situasi di Majapahit. Setelah selesai menghadap dan pamit, beliau mendengar adiknya perempuan bungsu yang diambil oleh Dalem, diberikan oleh Dalem kepada Kyai Asak di Kapal, adik dari Kyai Petandakan, treh Nararya Kepakisan. Arya Pucangan II setelah mengetahui adiknya diperlakukan demikian, merasakan sakit hati, betapa beratnya hukuman yang diberikan oleh Dalem.
Arya Pucangan II akhirnya memutuskan meletakkan jabatan sebagai penguasa, menyerahkan kekuasaan kepada putera sulungnya Arya Ngurah Langwang. Beliau kemudian menuju ke hutan ke arah Barat Daya dari istana Pucangan, dan beristirahat di desa Kubon Tingguh.
Desa Kubon Tingguh tempat beliau berduka cita. Di sini beliau didampingi, menikah lagi dengan seorang puteri Bendesa Pucangan, melahirkan seorang putera bernama Kyai Ketut Bendesa atau disebut juga Kyai Ketut Pucangan. Setelah Kyai Ketut Bendesa dewasa, diajak ke istana Pucangan mendampingi kakaknya Arya Ngurah Langwang. Arya Pucangan II wafat di Kubon Tingguh, kemudian dilaksanakan upacara dengan semestinya.

Arya Ngurah Langwang Raja III Pucangan

            Arya Ngurah Langwang sebagai putera sulung menggantikan ayahnya, setelah dinobatkan bergelar Arya Ngurah Tabanan, sama seperti gelar ayahnya. Beliau didampingi oleh adiknya Kyai Ketut Bendesa.
Kyai Ketut Bendesa rupanya memiliki aura tubuh yang lebih dari pada manusia biasa. Dari kejauhan tubuhnya sering memancarkan sinar, setelah didekati ternyata tidak lain adalah Kyai Ketut Bendesa.
            Suatu saat Kyai Ketut Bendesa diuji oleh kakaknya Kyai Ngurah Tabanan untuk memangkas pohon Beringin yang tumbuh di depan istana (sabha). Pohon Beringin ini tumbuh besar dan melebar, cabang-cabangnya dikuatirkan mengganggu kenyamanan. Pohon ini dipandang angker, tidak ada yang berani memangkas. Kyai Ketut Bendesa tidak membantah perintah kakaknya. Segera beliau naik, memotong cabang-cabang Beringin dengan kapak di tangan. Semenjak itu Kyai Ketut Bendesa atau Kyai Ketut Pucangan diberi gelar Arya Notor Wandira (Waringin).
Selanjunya Arya Notor Wandira pergi merantau ke negara Badung berjumpa dengan pamannya Kyai Anglurah Tegeh Kori. Arya Notor Wandira kemudian diangkat sebagai anak (kedharma putera) oleh Kyai Anglurah Tegeh Kori, diberi nama Kyai Nyoman Tegeh. Pengangkatan anak ini dilakukan oleh karena Kyai Tegeh Kori kecewa terhadap anak kandungnya Kyai Gede Tegeh dan Kyai Made Tegeh, yang mempunyai prilaku tidak sesuai dengan putera raja, hanya memenuhi indriya saja.
            Diceritakan adik-adik Arya Ngurah Langwang dipisahkan tempat tinggalnya oleh Dalem. Ki Gusti Made Kaler, Ki Gusti Nyoman Dawuh dan Ki Gusti Ketut Dangin Pangkung diperintahkan pindah rumah ke Tabanan. Sedangkan 3 orang lagi Ki Gusti Nengah Samping Boni, Ki Gusti Nyoman Batan Ancak, Ki Gusti Ketut Lebah, semua disuruh pindah ke Nambangan. Semenjak itulah pusat pemerintahan dipindahkan ke Tabanan.
Istana Tabanan dibangun mula-mula di sebelah Utara Pura Puseh Tabanan, kemudian di sebelah Selatan Pura Puseh, dengan gapura menghadap ke Timur, berpintu kembar diapit Candi Bentar berbentuk Supit Urang. Istana dengan 4 halaman depan (wijil ping 4). Halaman pertama bernama Tandakan, halaman ke dua Bale Kembar, ketiga Tandeg, dan ke empat Ancaksaji. Istana raja bernama Puri Agung Tabanan. Tempat untuk peraduan atau pesanggrahan Raja Sukasada (Gelgel) diberi nama Puri Dalem.
Ibukota Tabanan dinamai Singhasana, dan baginda Raja bergelar Prabu Singasana. Pada waktu itu juga, Raja Tabanan juga memohon kepada Dalem seorang Bhagawanta, hingga ada keluarga Brahmana Keniten dari Kamasan Gelgel, diberikan tempat di Pesamuan, hingga saat ini berada di Pasekan.
            Arya Ngurah Langwang setelah tua wafat, meninggalkan 4 orang putera: yang sulung bernama Arya Ngurah Pemayun, dinobatkan bergelar Arya Ngurah Tabanan atau Sang Nateng Singasana. Adik-adiknya Ki Gusti Lod Carik, Ki Gusti Dangin Pasar, dan Ki Gusti Dangin Margi.   

Arya Ngurah Pemayun Raja IV Tabanan

            Permaisuri beliau bernama Ki Gusti Ayu Pemedekan, puteri Kyai Ketut Bendesa atau Kyai Nyoman Tegeh. Ini adalah isteri satu-satunya. Beliau tidak beristeri lagi, karena beliau sangat mencintai. Menurunkan 2 orang putera: Ki Gusti Wayahan Pamedekan dan adiknya Ki Gusti Made Pamedekan.
            Beliu sempat dikirim oleh Dalem untuk menyerang Kebo Mundar dan laskarnya di Sasak. Beliau berangkat bersama Kyai Telabah (yang berkedudukan di Kuta), Kyai Pring Cagahan, dan Kyai Sukahet.
Dalam pertempuran itu Kyai Telabah melarikan diri. Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan laskar Bali. Dalem kemudian memecat Kyai Telabah, dan wilayah kekuasaannya, daerah Kuta diberikan kepada Kyai Anglurah Tegeh Kori.
            Diceritakan sang permaisuri Ni Gusti Ayu Pemedekan jatuh sakit dan wafat, sehingga Raja diberi gelar Sang Prabhu Winalwuan. Beliau amat sedih atas kejadian ini, hingga menderita penyakit berat, sejenis kusta. Kerajaan diserahkan kepada kedua puteranya. Beliau pergi bertapa di lereng gunung Batukaru bagian Selatan, sebelah Utara Wongaya, yang disebut Tegal Jero.
            Dalam pertapaan, beliau mandapat petunjuk agar menuju ke kediaman Ida Pedanda Ketut Jambe di desa Wanasari. Di sana beliau berdua bersahabat. Persahabatan ini menimbulkan kecaman dari kakaknya yang bernama Ida Gede Nyuling dari Gerya Burwan, karena bersahabat dengan orang leteh. Mendengar kecaman itu, Sang Prabhu Winalwan bersumpah, bahwa beliau turun tumurun tidak akan mohon tirta dan lepas berguru kepada Ida Gede Nyuling.
            Ternyata Sang Prabhu dapat sembuh. Beliau berganti kulit (makules), sehingga diberi gelar Bhatara Makules. Semenjak itulah awalnya Ida Pedanda Ketut Jambe menjadi Bhagawanta di Puri Agung Tabanan. Setelah sembuh beliau menikah, tidak terbilang jumlah isterinya, menurunkan 11 putera dan puteri.

I Gusti Wayahan Pamedekan Raja V Tabanan

            Kembali diceritakan, dahulu ketika Sang Prabhu Winalwan Raja IV menyerahkan kerajaan kepada puteranya, maka dilantiklah I Gusti Wayahan Pamedekan bergelar Arya Ngurah Tabanan Natha Singhasana. Adiknya I Gusti Made Pamedekan, yang terkenal sakti dan kebal sebagai pengawal pribadi kakaknya.
            I Gusti Wayahan Pamedekan berputera 2 orang, yang sulung bernama I Gusti Nengah Mal Kangin, dan adiknya seorang puteri.
            Raja I Gusti Wayahan Pamedekan, atas perintah Dalem Di Made dari Suweca-pura (Gelgel), berangkat ke Blambangan bersama Kyai Ngurah Pacung memimpin laskar Bali menyerang laskar Sultan Agung Mataram. Dalam pertempuran itu pasukan Bali kalah. I Gusti Wayahan Pamedekan dikurung oleh musuh, karena kebal beliau tidak terluka, tetapi lemas karena kepayahan kehabisan tenaga. Oleh karena itu beliau bersumpah agar seketurunannya tidak akan ada yang kebal. Beliau kemudian dijadikan menantu oleh Sutan Agung Raja Mataram, menurunkan putera bernama Raden Tumenggung.

I Gusti Made Pamedekan Raja VI Tabanan

            I Gusti Made Pamedekan menggantikan kakaknya, dinobatkan bergelar Arya Ngurah Tabanan, Raja Singhasana. Tapi beliau tidal lama memegang tampuk pemerintahan, karena wafat. Untuk sementara tahta dipegang oleh ayahnya Raja IV, karena cucunya belum dewasa.
            Setelah cucunya mulai dewasa, Raja IV menempatkan I Gusti Nengah Mal Kangin di Mal Kangin mendirikan Jro Mal Kangin, didampingi oleh I Gusti Bola, I Gusti Made dan I Gusti Kajanan. Sedangkan putera sulung (pemayun) dan putera bungsu (pemade), keduanya tidak disebutkan namanya, tetap tinggal di Puri Agung. Demikianlah pembagian yang dilakukan oleh Raja IV, kemudian beliau wafat.

Arya Ngurah Tabanan Raja VII Tabanan

            Putera sulung I Gusti Made Pamedekan, tidak disebutkan namanya, dilantik menjadi raja Tabanan bergelar Arya Ngurah Tabanan Prabhu Singhasana.
            Diceritakan I Gusti Nengah Mal Kangin yang tidak puas dengan kedudukannya melakukan tipu daya untuk menyingkirkan raja. Ketika didengar Raja beserta pengiring pergi menghadap Dalem di Suweca-pura, maka kelompoknya I Gusti Nengah Mal Kangin mendahului menghadap Dalem, seraya memfitnah. Sehingga Dalem merestui akan kematian Raja Tabanan. Sampai di desa Penida rombongan Raja disergap oleh pasukan Mal Kangin. Raja VII Tabanan wafat ditempat penyergapan, bergelar Bhatara Nisweng Panida.
            Beliau meninggalkan 2 puteri dan seorang putera, yang bernama I Gusti Alit Dauh, beribu dari Dauh Pala, sedang hamil ketika ditinggal wafat.
            Adapun yang menggantikan kedudukan Bahatara Nisweng Panida di Tabanan adalah I Gusti Made Dalang, putera dari I Gusti Made Pamedekan Raja VI, sehingga wilayah Tabanan terbagai menjadi dua. Namun I Gusti Made Dalang tidak lama wafat tanpa keturunan, hingga seluruh wilayah Tabanan segera dapat dikuasai oleh I Gusti Nengah Mal Kangin.
Sementara putera Raja Nisweng Panida, I Gusti Alit Dawuh pergi meninggalkan istana, mnyelinap masuk ke desa-desa menyelamatkan diri, dari usaha pembunuhan yang dilakukan I Gusti Nengah Mal Kangin bersama I Gusti Kaler. Akhirnya I Gusti Alit Dawuh menuju ke salah seorang bibinya Ni Gusti Luh Tabanan yang dinikahi oleh I Gusti Agung Badeng di Kapal.
Segera I Gusti Agung Badeng berangkat bersama laskarnya menyerang I Gusti Mal Kangin dan I Gusti Kaler Penida, melalui desa Braban. Dalam pertempuran itu I Gusti Mal Kangin dan I Gusti Kaler Penida tewas terbunuh bersama pengikutnya.
I Gusti Agung Badeng untuk sementara waktu tinggal di Jro Mal Kangin sambil menjaga Putera Mahkota yang belum bisa memegang pemerintahan. Tidak berselang lama I Gusti Agung Badeng jatuh sakit, sehingga balik pulang ke Kapal, wafat di sana. Isterinya Ni Gusti Luh Tabanan mesatya, puteri satu-satunya Ni Gusti Ayu Alit Tabanan diserahkan kepada Ida Pedanda Wanasara.
Kekosongan di Jro Mal Kangin diisi oleh I Gusti Bola. Namun keamanan kerajaan belum juga terjamin. I Gusti Bola juga menaruh kebencian terhadap Raja Putera I Gusti Dawuh, dan diperlakukan sebagai abdi saja.

I Gusti Alit Dawuh Raja VIII Tabanan

Dengan dukungan I Gusti Subamia, I Gusti Jambe Dawuh, I Gusti Lod Rurung, dan I Gusti Kukuh, laskar I Gusti Alit Dawuh bergerak menyerang Mal Kangin. Dalam pertempuran ini laskar Mal Kangin kalah.
I Gusti Alit Dawuh kemudian mejadi raja Tabanan bergelar Sri Maghada Sakti Raja Singhasana. Adapun yang menjabat Bahudanda I Gusti Nyoman Kukuh. Semasa pemerintahannya negara aman dan tertib, rakyat sejahtera.
Pada suatu hari yang sudah ditentukan, Raja I Gusti Alit Dawuh mengadakan pertemuan dihadap oleh para punggawa, manteri, bahudanda, pendeta, pejabat-pejabat, serta tokoh-tokoh terkemuka di masyarakat. Dalam pertemuan itu Raja I Gusti Alit Dawuh bersabda, bahwa tidak akan mengabdi lagi kepada Ksatrya Dalem, karena merestui pembunuhan terhadap Maharaja Dewata Bhatara Nisweng Panida. Dalem sudah ingkar terhadap hubungan baik antara leluhur dulu. Semenjak itu putus hubungan kerajaan Tabanan dengan Dalem di Suweca-pura.
Diceritakan I Gusti Agung Putu yang kemudian mendirikan kerajaan Mengwi sempat ditawan di Tabanan. I Gusti Agung Putu kalah berperang dengan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Kekeran Nyuh Gading. Namun diperlakukan sebagai saudara oleh Sri Maghada Sakti. Kemudian atas permohonan I Gusti Putu Bebalang dari desa Wratmara (Marga), I Gusti Agung Putu diperkenankan diajak ke desanya, dan bersahabat dengan adiknya yang bernama I Gusti Ketut Celuk.
Terjadi suatu peristiwa, dimana raja Buleleng I Gusti Ngurah Panji Sakti dengan laskarnya menyerang daerah Wongaya dan merusak Pura Luhur Batukaru. Mengetahui peritiwa itu Sri Maghada Nata memerintahkan laskarnya untuk menyerang laskar musuh. Ada ribuan lebah berbisa bagaikan sriti besarnya mendahului menyerang laskar Buleleng, hingga banyak yang kesakitan karena sengatannya. Laskar Buleleng mengundurkan diri, sementara laskar Tabanan yang datang kemudian tidak bertemu dengan musuh. Semenjak itu I Gusti Ngurah Panji Sakti berkaul tidak akan berani menyerang negara Singhasana Tabanan.
Sri Maghada Sakti menurunkan beberapa putera, antara lain: I Gusti Ngurah Tabanan, I Gusti Ngurah Dawuh (bermukim di Dauh Pala, bergelar Cokorda Dawuh Pala), dan I Gusti Ngurah Nyoman Telabah, pindah bermukin di Twak Ilang. Sedangkan yang lahir dari penawing: I Gusti Jegu dan I Gusti Krasan. Sedang I Gusti Oka lahir dari Gusti Luh Ketut Dauh Jalan.
            Setelah Sri Maghada Sakti memasuki usia lanjut, sudah tidak mampu berjalan kerajaan dikuasakan kepada putera sulungnya. Timbul suatu keaiban, I Gusti Ngurah Nyoman Telabah mengutus seseorang untuk membunuh ibu tirinya Gusti Luh Ketut Daug Jalan. Sesampainya di istana utusan tersebut bingung tidak tahu siapa yang harus ditikam. Penjahat itu kemudian menuju peraduan raja dan menghunus keris. Putera Mahkota segera membalikkan badan, keris tersebut ditampar hingga tangannya luka. Penjahat itu kemudian dibunuh, beserta keluarganya kena hukuman watu gumulung, dan ternyata keris yang dipakai adalah milik I Gusti Ngurah Nyoman Telabah. I Gusti Ngurah Nyoman Telabah hendak dibunuh, tapi banyak pejabat yang melarang, karena waktunya belum tepat.

Ida Cokorda Tabanan Raja IX Tabanan

            Sri Maghada Sakti kemudian wafat digantikan oleh Putera Mahkota (pemayun), memimpin negara bergelar Ida Cokorda Tabanan, Raja Singhasana. Isteri beliau adalah puteri dari I Gusti Ngurah Bija dari Bun, adalah sepupu dari ibunya I Gusti Ayu Bun. Beliau tidak melakukan hubungan kelamin dengan isterinya karena merasa dekat bersaudara.
            Setelah lama beliau memerintah, belum juga beliau berputera, sehingga bersabda, bahwa siapapun putera pertama lahir, sekalipun dari penawing, akan menggantikannya sebagai raja. Lahirlah putera pertama dari Ni Mekel Sekar, diberi nama I Gusti Ngurah Sekar. Disusul oleh permasurinya melahirkan I Gusti Ngurah Gede.
            Beliau sempat mengusir I Gusti Lanang Dawuh Pala, karena diketahui bekerja sama dengan I Gusti Ngurah Nyoman Telabah untuk menyingkirkan beliau. I Gusti Lanang Dawuh Pala kemudian lari ke Barat ke desa Taman menurunkan para Gusti Dawuh.

 

BERDIRINYA PURI KURAMBITAN

KEKUASAAN DI BAGI DUA

 

 

I Gusti Ngurah Sekar Raja X Tabanan

            Baginda Raja Singhasana setelah tua, wafat di Saren Tengah, sehingga diberi gelar Bhatara Lepas Pemade. Sesuai sabda beliau, maka yang menggantikan kedudukan beliau adalah I Gusti Ngurah Sekar, bergelar Ida Cokorda Sekar, Raja Singhasana.
            Beliau sempat memecat dan menjadikan sebagai rakyat biasa Ki Ngakan Ngurah dari Kekeran yang durhaka, menyamai busana raja. Pusakanya disita dibawa ke istana.
            I Gusti Ngurah Gede, putera dari permaisuri merasa kecewa karena tidak medapatkan kekuasaan. Oleh karena itu pergi ke arah Utara gunung tinggal di rumah keluarga Brahmana Kemenuh, di desa Banjar. Cokorda Sekar merasa risau atas kepergian adiknya. Beliau kemudian mengutus, I Gusti Subamia untuk menjemput agar I Gusti Ngurah Gede bersedia kembali pulang ke Tabanan.
I Gusti Ngurah Gede bersedia pulang diikuti oleh seorang brahmana, dari Gerya Banjar, setelah segala keinginannya dijanjikan oleh I Gusti Subamia. I Gusti Ngurah Gede kemudian memperoleh setengah wilayah dan rakyat, serta mendirikan istana, Puri Kurambitan, meniru arsitektur istana Singhasana Tabanan. Sumber penghasilannya Puri Kurambitan adalah sarang burung. Setelah dinobatkan beliau bergelar Ida Cokorda Gede Banjar. Beliau banyak punya isteri serta menurunkan para Arya di Kurambiltan.
Ida Cokorda Sekar kemudian membangun istana baru di Pekandelan, di sebelah Selatan Puri Agung Tabanan, sebagai istana para Arya Kurambitan.
            Ida Cokorda Sekar wafat meninggalkan beberapa putera, yang sulung bernama I Gusti Ngurah Gede, adiknya I Gusti Ngurah Made Rai, I Gusti Ngurah Rai, dan I Gusti Anom.

I Gusti Ngurah Gede Raja XI Tabanan

            Putera sulung I Gusti Ngurah Gede menggantikan kedudukan ayahnya. Setelah dilantik bergelar Ida Cokorda Gede Raja Singhasana. Beliau berkuasa penuh di Tabanan. Permasuri Sagung Ayu Marga adalah puteri dari Ida Cokorda Gede Banjar, tetapi tidak berputera.
Sedangkan Arya yang dituakan (maka penenggek) adalah I Gusti Ngurah Made Rai yang membangun istana di sebelah Utara Pasar, bernama Puri Kaleran. Beliau diangkat sebagai Raja ke dua (Pemade). Beliau mengambil isteri Ni Sagung Alit Tegal juga puteri dari Ida Cokorda Gede Banjar dari Puri Kurambitan.
Adapun Arya yang ke dua adalah I Gusti Ngurah Rai pindah dan bermukim di Penebel, bergelar Ida Cokorda Penebel. Permaisurinya adalah puteri yang berasal dari Jro Subamia.
Sementara itu I Gusti Ngurah Anom mendirikan istana di sebelah Barat Pasar, bernama Puri Mas. Beliau menikah dengan Ni Sagung Made, juga puteri dari Cokorda Kurambitan.
Ida Cokorda Gede wafat meninggalkan beberapa putera. Isteri dari desa Timpag menurunkan putera I Gusti Nengah Timpag. Isteri dari Sambiahan menurunkan I Gusti Sambiahan. Dari isteri Ni Luh Made Celuk menurunkan I Gusti Celuk.

I Gusti Ngurah Made Rai Raja XII Tabanan

            Setelah Ida Cokorda Gede wafat, digantikan oleh adik beliau yang bernama I Gusti Ngurah Made Rai, oleh karena putera mahkota juga ikut meninggal. Sedangkan puteranya yang lain telah tinggal di luar istana.
            I Gusti Ngurah Made Rai setelah dilantik bergelar Ida Cokorda Made Rai Raja Singhasana. Beliau berkedudukan di Puri Agung, dan membagi kerajaan dipimpin oleh 2 Puri, yaitu Puri Agung dan Puri Kaleran. Adapun adiknya I Gusti Ngurah Anom yang berkedudukan di Puri Mas selanjutnya dilantik menjadi Raja ke dua (Pemade). Kyai Made Kukuh diangkat sebagai Patih Singhasana.
            Beliau ditimpa kemalangan, Putera Mahkota I Gusti Ngurah Gede wafat bersama adiknya I Gusti Nengah Perean. Tinggal putera bungsu bernama I Gusti Ngurah Nyoman Panji, yang beribu dari Puri Kurambitan, tinggal di Puri Kaleran. I Gusti Ngurah Nyoman Panji juga wafat meninggalkan  putera-putera yang masih belia, yaitu: I Gusti Agung, I Gusti Ngurah Demung, dan I Gusti Ngurah Celuk.
            Di Puri Mas, I Gusti Ngurah Anom setelah wafat digantikan oleh puteranya I Gusti Mas. I Gusti Mas tidak menunjukkan prilaku seorang pemimpin. Dia membenarkan hal-hal yang terlarang. Untuk mengelabui sifast-sifat buruknya, dia melakukan upacara diksa bergelar I Gusti Wirya Wala.
            Baginda Raja mengkuatirkan masa kehancuran kerajaan akan tiba. Sebelum ajal tiba, beliau memberi pesan agar I Gusti Celuk diangkat menjadi raja. Setelah beliau wafat, ternyata pesan beliau tidak dilaksanakan. Kyai Burwan dengan didampingi Kyai Banjar dan Kyai Beng menguasai Singhasana Tabanan. Dengan fitnah dari Kyai Wirya Wala, Kyai Burwan sebagai penguasa Tabanan menyerang Penebel. Ida Cokorda Rai Penebel minta bantuan kepada Dalem sehingga Penebel berhasil mengalahkan Tabanan.
            Dengan kekalahan ini Kyai Wirya Wala, Kyai Burwan, dan Kyai Beng, kedudukannya semakin goyah. Pesan raja kemudian dilaksanakan. I Gusti Celuk diangkat sebagai raja, dikembalikan ke Puri Agung Tabanan. Tetapi belum sampai pada penobatan sebagai raja, I Gusti Celuk wafat.
            Ida Cokorda Rai Penebel akhirnya pulang kembali ke Tabanan, diikuti oleh para putera beserta rakyat yang terpilih. Beliau mengusir dan membunuh orang-orang yang membuat kekacauan kerajaan Tabanan. Setelah penumpasan terhadap pengacau selesai Ida Cokorda Rai Penebel berkediaman di Puri Dalem. Salah seorang puteranya I Gusti Made Tabanan berkediaman di Puri Kediri.
Untuk sementara Ida Cokorda Rai Penebel memimpin negara Tabanan dengan didampingi oleh puteranya I Gusti Ngurah Ubung, sambil menunggu cucu Raja XI yang masih belia, yaitu I Gusti Ngurah Agung sebagai putera mahkota yang berkedudukan di Puri Kaleran.
Setelah I Gusti Ngurah Agung (Putera Mahkota) menginjak dewasa, timbul niat busuk dari I Gusti Ngurah Ubung untuk meracuni putera mahkota. Pada suatu upacara di Puri Kediri, santapan yang berisi racun, yang rencananya untuk putera mahkota ternyata nyasar dipersembahkan kepada ayahnya Ida Cokorda Rai Penebel. Putera Mahkota I Gusti Ngurah Agung selamat, sementara Ida Cokorda Rai segera menderita sakit akibat makan racun. Raja segera diusung ke Puri Penebel. Tidak beberapa lama wafat di Puri Penebel.
I Gusti Ngurah Ubung mengambil alih kekuasaan memerintah di negara Tabanan bertahta sebagai raja Singhasana, bersama adik-adiknya, yang tinggal di Puri Penebel dan di Puri Kediri.
            Putera Mahkota yang berkediaman di Pesaren Kangin mendengar suara gaib (pawisik) dari Ida Bhatara Cokorda Ngurah Made Rai (Raja XII) yang memberi tahu agar I Gusti Ngurah Agung segera merebut kekuasaan karena masa kemenangannya akan tiba.
            I Gusti Ngurah Agung mulai mengumpulkan kekuatan bermula dari rumah seorang bendesa Timpag. Pasukan I Gusti Ngurah Agung bergerak menuju Tabanan. I Gusti Ngurah Ubung mengetahui pergerakan pasukan tersebut segera memukul kentongan. Pasukan kerajaan bertemu dengan pasukan I Gusti Ngurah Agung. Terjadi pertempuran yang sengit di sebuah tanah lapang yang kemudian disebut Pasiatan, kini disebut Pasiapan.
            Pasukan I Gusti Ngurah Agung berhasil menguasai Puri Agung Tabanan, dan desa-desa bagian Selatan. Desa-desa bagian Utara masih dikuasai oleh I Gusti Ngurah Ubung. Dengan demikian kekuasan negara terbagi 2, kerajaan Tabanan dan kerajaan Penebel. Pertempuran Tabanan dan Penebel terus berlangsung terus menerus dalam kurun waktu yang cukup lama.
           

I Gusti Ngurah Agung Raja XIII Tabanan

I Gusti Ngurah Agung akhirnya dinobatkan sebagai raja Tabanan bergelar Ida Cokorda Tabanan Raja Singhasana. Setelah penobatan, beliau menjatuhkan hukuman kepada Kyai Lod Rurung, disurutkan kewibawaannya karena tidak mendukung perjuangan beliau.
Ketegangan antara Penebel dan Tabanan masih berlangsung. Rakyat Penebel merusak bendungan memutuskan aliran air yang menuju ke Tabanan. Akibatnya rakyat negara Tabanan menderita krisis air untuk irigasi. Untuk mengatasi krisis tersebut Raja Ida Cokorda Tabanan meminta bantuan pasukan kepada Raja Mengwi I Gusti Agung Putu Agung.
Pasukan Mengwi menyerang Penebel dari arah Selatan. Pasukan I Gusti Ngurah Kurambitan menyerang Penebel ke Barat, dan pasukan Kyai Pucangan di bagian Timur. Dengan jumlah pasukan yang lebih banyak, Tabanan dapat menaklukkan Penebel. I Gusti Ngurah Ubung gugur di desa Sandan. Peperangan diperkirakan berlangsung selama 3 tahun.
Harta benda Puri Penebel diserahkan kepada andalan-andalan pasukan Mengwi, sebagai imbalan balas jasa atas bantuan Mengwi. Diantara berupa pengawin / mamas serta 2 orang gadis, bernama Ni Gusti Ayu Gede dari Puri Ageng Kurambitan sebagai permasuri di istana Kaba-Kaba, dan I Gusti Luh Made Layar dari Jro Aseman sebagai isteri raja Mengwi.
Setelah perang dengan Penebel berakhir, negara Tabanan sentosa di bawah pemerintahan I Gusti Ngurah Agung (Ida Cokorda Tabanan), didampingi I Gusti Ngurah Demung berkedudukan di Puri Kaleran sebagai Raja ke dua (pemade). Adiknya yang bungsu I Gusti Ngurah Celuk pindah berkediaman di Puri Kediri.
            Dalam perkembangan selanjutnya hubungan Tabanan dengan Mengwi memburuk dengan dikuasainya daerah-daerah Tabanan oleh Mengwi, yang menurut Mengwi sebagai imbalan atas jasa-jasanya membantu Tabanan memenangkan perang melawan Penebel. Adapun daerah-daerah Tabanan yang dikuasai Mengwi adalah bagian Barat Sungai Dati, bagian Timur Sungai Panahan, di Utara desa Adeng, dan bagian Selatan desa Tegal Jadi. Dalam situasi seperti ini Raja Tabanan menempatkan I Gusti Kukuh di desa Den Bantas untuk menjaga perbatasan wilayah.
            I Gusti Ngurah Agung setelah lama memerintah, tiba saatnya pulang ke alam baka. Adapun putera-putera beliau yaitu I Gusti  Ngurah beribu Ni Gusti Ayu Ketut dari Taman diangkat putera oleh I Gusti Kaleran Demung; I Gusti Ngurah Tabanan beribu Ni Sagung Wayan dari Jro Aseman; I Gusti Ngurah Made Penarukan dan I Gusti Ngurah Gede Banjar beribu penawing; I Gusti Ngurah Nyoman dan I Gusti Ngurah Rai lahir dari Ni Mekel Sekar dari Tatandan.
            Putera Mahkota I Gusti Ngurah Tabanan sejak berada dalam kandungan tidak tinggal di Puri Agung, melainkan di tempat kelahiran ibunya di Jro Aseman Kurambitan. Setelah putera ini lahir dan berusia 3 bulan diupacarai dengan sarana yang sederhana (pacacolong) saja. Putera Mahkota ini kemudian tidak mau menyusu, diberikan kepada seorang isteri Brahmana dan Ksatriya juga tidak mau menyusu. Akhirnya seorang isteri kebanyakan (Men Rawuh), barulah putera ini mau menyusu, bergantian dengan anaknya Men Rawuh.
            Setelah Putera Mahkota sudah tidak menyusu lagi, barulah dipindahkan ke Puri Agung. Sejak saat itu ada semacam ketetapan bahwa semua keluarga dari penawing tidak diupacarai dengan kebesaran pada umur 3 bulan tetapi dengan upacara yang sederhana yang disebut pacacolong. Hal ini diwarisi sampai sekarang di Puri Anom dan di Puri Anyar Tabanan.
            Diceritakan setelah beberapa lama baginda raja wafat, terjadi musibah di negara Tabanan. Puri Agung Tabanan terbakas ludes. Semua harta benda terbakar hancur tidak dapat diselamatkan. Jenasah baginda raja yang wafat dan belum di aben dilarikan ke Puri Kaleran. Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada tahun 1768 M.
            Di Puri Kaleran terjadi pergantian pucuk pimpinan. I Gusti Ngurah Kaleran Demung wafat digantikan oleh puteranya  I Gusti Ngurah Made Kaleran.
            Putera Mahkota membangun kembali istana tersebut dan menyelenggarakan upacara Pelebon ayahandanya yang kemudian diberi gelar Sri Maharaja Dewata. Demikian juga raja pemade I Gusti Ngurah Made Kaleran di Puri Kaleran wafat karena terserang penyakit cacar. Setelah diupacarai dengan semestinya diberi gelar  Bhatara Mur Mabasah.
Raja pemade ini tidak mempunyai putera laki-laki, hanya mempunyai seorang puteri yang bernama Ni Sagung Putu. Oleh sebab itu I Gusti Ngurah Made Kaleran mengangkat anak seorang raja putera bernama I Gusti Ngurah Rai, untuk menjadi pemucuk di Puri Kaleran bergelar I Gusti Ngurah Made Kaleran.

I Gusti Ngurah Tabanan Raja XIV Tabanan

            Setelah upacara pelebon selesai dilaksanakan, putera mahkota dilantik bergelar Arya Ngurah Agung Tabanan Raja Singhasana. Sedangkan yang menjadi raja pemade adalah I Gusti Ngurah Made Kaleran di Puri Kaleran. Sementara adik-adik baginda: I Gusti Ngurah Made Penarukan berkediaman di Puri Anyar, I Gusti Gede Banjar berkediaman di Puri Anom Saren Kangin, dan I Gusti Ngurah Nyoman berkedudukan di Puri Anom Saren Kawuh. Sedangkan yang bungsu menjadi raja pemade dan pemucuk di Puri Kaleran.
            Arya Ngurah Agung masih muda, rajin mempelajari filsafat-filsafat, bahasa Melayu, Arab, dan latin. Beliau membuat krya patra (karya sastra) berupa Kidung Nderet dan Bagus Ewer. Mempunyai seorang sahabat Mads Johhann Lange, orang Denmark yang memperoleh kewarganegaraan Belanda. Tuan Lange membuat pesanggrahan di sebelah Utara Jro Beng.
            Pada masa pemerintahannya Tabanan terlibat perang dengan Mengwi, memperebutkan desa Marga dan desa Perean. Mengwi dapat memenangkan perang tersebut. Laskar Tabanan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Made dari Puri Kerambitan terdesak Tokoh-tokoh desa Marga dan Perean mengungsi ke Tabanan.
Sekitar setahun kemudian Tabanan membalas berhasil merebut desa-desa tersebut. Penguasa desa Marga dan Perean kembali ke rumahnya masing-masing.
            Raja Singhasana banyak isterinya, sekitar 50 orang. Permaisurinya adalah Ni Sagung Made Sekar puteri dari Puri Kurambitan. Putera sulung adalah I Gusti Ngurah Gede Marga beribu dari Marga Lod Rurung, berkediaman di Puri Denpasar, sebelah Utara Jro Beng; adiknya I Gusti Ngurah Putu beribu Ni Mekel Karang dari Antasari, berkediaman di Puri Mecutan, Banjar Sakenan Klod; I Gusti Ngurah Rai Perang beribu Ni Gusti Ayu dari Lod Rurung; I Gusti Ngurah Nyoman Pangkung, I Gusti Ngurah Made Batan beribu penawing sama-sama tinggal di Puri Mecutan.
            Putera terkemuka adalah I Gusti Ngurah Agung lahir dari permasuri pendamping raja; I Gusti Ngurah Gede Mas beribu Ni Mekel Kaler dari Pagending, dan yang bungsu I Gusti Ngurah Alit beribu Gusti Luh Senapahan, semua berkediaman di istana Puri Agung.
            Di Puri Kaleran, I Gusti Ngurah Made Kaleran wafat digantikan oleh puteranya yang kemudian juga bergelar Sirarya Ngurah Made Kaleran. Masyarakat menyebutnya Ida I Ratu.
            Pada tahun 1877 M Arya Ngurah Tabanan menyelenggarakan Pesamuhan Agung Negara Tabanan. Pesamuhan dipimpin oleh I Gusti Ngurah Made Kaleran, dihadiri oleh para Manca dan Punggawa Tabanan, yaitu dari:
1.      Puri Anyar                       : I Gusti Ngurah Made Penarukan
2.      Puri Anom                       : I Gusti Ngurah Banjar dan I Gusti Ngurah Wayan
3.      Puri Gede Kurambitan   : I Gusti Ngurah Gede Anom
4.      Puri Anyar Kurambitan : I Gusti Ngurah Putu
5.      Puri Kediri                       : I Gusti Ngurah Made Pangkung
6.      Puri Marga                       : I Gusti Gede Putera
7.      Puri Perean                      : I Gusti Gede Nyoman
8.      Jro Oka                            : I Gusti Ngurah Alit Putu Dudang
9.      Jro Beng                           : I Gusti Ngurah Nyoman Karang
10. Jro Kompyang                : I Gusti Ngurah Gede
11. Jro Subamia                    : I Gusti Gede Taman
12. Jro Tengah                       : I Gusti Wayan.

Pesamuhan bertujuan membuat peraturan kerajaan, sehingga ada paswara yang diwarisi sampai sekarang.
Pada tahun 1885 Putera Mahkota I Gusti Ngurah Agung wafat, terserang penyakit cacar. Dilaksanakan upacara khusus untuk beliau yang menderita penyakit cacar yang disebut ngerapuh. Beliau kemudian bergelar Bhatara Madewa.
Raja Tabanan kemudian mengangkat I Gusti Ngurah Gede Mas sebagai Putera Mahkota, karena raja sangat mencintai ibunya Ni Mekel Kaler dari Pagending. Namun I Gusti Ngurah Gede Mas kurang cakap, hanya menekuni gambelan, tabuh, tari Joged dan Legong.
Pada tanggal 20 Juni 1891 Kerajaan Mengwi dapat dikalahkan oleh pasukan Badung yang dibantu oleh Tabanan, dan Gianyar. Itulah sebabnya I Gusti Ngurah Putu Teges, raja Kaba-Kaba menyerah dan menghormat kepada Puri Kaleran Tabanan, hingga rakyat dan daerah kekuasaannya. Demikian juga desa Blayu, Kukuh masuk wilayah negara Tabanan.
Setelah kerajaan Mengwi lenyap, diadakan pertemuan 3 pihak, Badung, Tabanan, dan Gianyar. Pertemuan diselenggarakan di Pura Nambangan Badung. Ke tiga pihak mengangkat sumpah (pedewa saksi) untuk meningkatkan persahabatan. Pihak Tabanan diwakili oleh I Gusti Ngurah Made Kaleran, Gianyar diwakili oleh Ida I Dewa Pahang. Setelah selesai upacara I Gusti Ngurah Made Kaleran menginap di Puri Pemecutan. Besoknya beliau berkunjung ke Puri Denpasar. Ketika beliau menikmati santapan di Puri Denpasar, tiba-tiba beliau ditikam oleh I Gusti Ngurah Rai dari Jro Beng Kawan dengan kerisnya I Ratu di Puri Kaleran anugerah dari Dalem dahulu. I Gusti Ngurah Rai akhirnya dibunuh bersama rekan-rekannya terutama Si Agung Celebug, mayat ditarik melalui lubang pembuangan air. Rekan-rekan I Gusti Ngurah Rai di Jro Beng semuanya dibunuh kena watu gumulung.  Jenasah beliau diusung ke Tabanan dikebumikan di Taman, kemudian bergelar I Ratu Keruwek Ring Badung.
Dengan wafat ratu pemade Singhasana, digantikan oleh puteranya yang bernama I Gusti Ngurah Alit Pacung, lahir dari ibu penawing Ni Mekel Sekar dari desa Gubug. Setelah dinobatkan bergelar Arya Ngurah Alit Made Kaleran. Oleh masyarakat disebut I Ratu.
Raja Singhasana kemudian ditimpa kesedihan mendalam. Putera Mahkota I Gusti Ngurah Gede Mas wafat. Pengiring yang setia mesatya sewaktu pelebonnya, termasuk seekor kuda rajeg wesi yang bernama I Brengbeng ikut dimasukkan ke dalam api.
Pengganti Putera Mahkota ditunjuk I Gusti Ngurah Alit Senapahan. Tapi sayang beliau terserang demam panas dan wafat pada saat upacara ligia Ida Bhatara Karuwek Ring Badung. Jenasahnya hanya dikebumikan karena belum berselang setahun dari pelebon I Gusti Ngurah Gede Mas.
Pada tahun 1901 M menyebar wabah cacar. Terkena wabah cacar, I Gusti Ngurah Alit Made Kaleran wafat. Penggantinya I Gusti Ngurah Gede Kediri dinobatkan menjadi Raja Pemade di Puri Kaleran bergelar Anak Agung Ngurah Gede Made Kaleran.
Arya Ngurah Tabanan Raja XIV Tabanan wafat dalam usia diperkirakan 150 tahun. Pelebonnya dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober 1903 M, bergelar Bhatara Angluhur. Beliau juga bergelar I Ratu Mur Madewa, karena wafatnya akibat menderita penyakit cacar. Dua orang isterinya dari penawing, Ni Luh Nengah Gadung dari Kamasan, dan Ni Mekel Sanding dari desa Tegallinggah mesatya.
Pada waktu upacara pelebon dilselenggarakan hampir menimbulkan insiden dengan pihak Belanda. Belanda tidak setujui dengan upacara masatya yang akan dilakukan oleh 2 istri Raja, karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan sudah tidak jamannya lagi. Belanda berusaha menghalang halangi, dua kapal perangnya merapat di Pantai Yeh Gangga memamerkan kekuatan, untuk memaksakan kehendaknya. Karena tidak tercantum dalam kontrak perjanjian, upacara tersebut akhirnya terlaksana.
Belanda kemudian memasukkan Upacara Masatya dalam perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Bali. Raja Badung Cokorda Ngurah Made Agung (I Gusti Ngurah Denpasar) menghadiri upacara ini sebagai tanda dukungan Badung kepada Tabanan.
Baginda Raja Angluhur ini meninggalkan beberapa putera dan puteri. Yang lahir di Puri Dangin, Ni Sagung Ayu Gede, I Gusti Ngurah Rai Perang, I Gusti Ngurah Anom, I Gusti Ngurah Putu Konol, dan Ni Sagung Made dari penawing. Yang tinggal di Puri Agung: I Gusti Ngurah Gede Pegeg, Ni Sagung Oka, dan Ni Sagung Putu lahir dari ibu Ni Sagung Wayahan Selasih dari Grokgak Tabanan. Ni Sagung Ayu Gede dikawinkan ke Gerya Pasekan, kepada Ida Pedanda Rai bergelar Ida Isteri Agung, namun tidak mempunyai keturunan.

I Gusti Ngurah Rai Perang Raja XV (Terakhir) Tabanan

            Setelah wafat Bhatara Angluhur, digantikan oleh putera beliau yang bernama I Gusti Ngurah Rai Perang, bergelar Ida Cokorda Rai Tabanan Raja Singhasana. Oleh masyarakat disebut I Ratu Puri Dangin.
            Terjadi peristiwa yang membawa aib bagi Puri Kediri yang berakhirnya dengan lenyapnya Jro Tegeh yang terletak di sebelah Utara Puri Kaleran. I Gusti Wayahan Tegeh sudah dijodohkan dengan salah seorang puteri dari Puri Kediri Saren Klod, anak dari I Gusti Ngurah Alit. Sebelum diupacarai rupanya I Gusti Wayahan Tegeh melakukan hubungan gelap dengan puteri tersebut. Perbuatan ini mengundang kemarahan beliau yang berada di Puri Kediri. I Gusti Wayahan Tegeh langsung diburu oleh pasukan Puri Kediri dan dibunuh di desa Riang. Adiknya I Gusti Made Tegeh dibunuh di muara Sungai Sungi, bersama pengiringnya Gurun Oka. Tetapi Gurun Oka selamat karena lukanya tidak terlalu parah. Puteri Kediri itu juga dibunuh di Kediri. Adapun keluarga Gusti Tegeh semuanya dipindahkan ke Jro Lebah Kediri. Jro Tegeh kemudian dihancurkan.
            I Gusti Ngurah Rai Perang dan Anak Agung Ngurah Gede Made Kaleran adalah Raja Singhasana di Puri Agung dan Raja Pemade di Puri Kaleran yang terakhir. Setelah itu kerajaan Tabanan takluk pada tanggal 28 September 1906, dikalahkan oleh Belanda menyusul kalahnya Kerajaan Badung dalam Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906.















HARI-HARI TERAKHIR KEKUASAAN

KERAJAAN TABANAN




            Pada tanggal 25 Mei 1904  Bumi Badung mengalami krisis dengan Pemerintah Hindia-Belanda yang dipicu oleh karamnya perahu wangkang Sri Komala di pantai Sanur. Belanda menuduh rakyat Sanur melakukan perampasan terhadap isi kapal tersebut dan menuntut ganti rugi. Cokorda Made Agung, Raja Badung yang beristana di Puri Denpasar pada waktu itu masih berusia muda, baru 26 tahun. Beliau sangat emosional dan bersikukuh tidak memenuhi tuntutan tersebut, karena tidak ada penduduk Sanur yang melakukan perampasan sebagaimana yang dituduhkan pihak Belanda.
Tabanan sempat mengirim pasukan di perbatasan dengan Mengwi untuk berjaga-jaga dari kemungkinan Mengwi menyerang Badung. Raja Tabanan dan juga Raja Pemade di Puri Kaleran mengadakan pertemuan bermaksud menyerah kepada pemerintah Hindia-Belanda.
Pada tanggal 21 April 1905 Komisaris Liefrinck berkunjung ke negara Tabanan bertemu dengan raja untuk mendengar langsung sikap Raja Tabanan terhadap krisis Sri Komala ini.
Pada tanggal 14 sampai 19 Mei 1905 Raja Badung mengadakan kunjungan ke kerajaan Tabanan. Ke dua raja melaksanakan upacara sumpah di Pemerajan Agung Puri Tabanan untuk senantiasa saling membantu satu sama lain.
Pada tanggal 23 sd 30 Juni 1905, kunjungan balasan Raja Tabanan ke Puri Denpasar untuk membahas krisis perahu Sri Komala, yang menghasilkan kesepakatan tidak membayar ganti rugi.
Pada tanggal 27 Juni 1905 sembahyang bersama antara Raja Badung dengan Raja Tabanan di Pura Sakenan, diikuti ribuan rakyat untuk membuktikan solidaritas antara mereka.
Tanggal 28 Juni 1905 upacara sumpah di Pura Taman Ayun, dimana Raja Tabanan, Denpasar, dan Raja Pemecutan yang sudah tua dan sakit2an untuk acara penting ini menyempatkan hadir. Mereka bersumpah bersatu padu menghadapi aksi militer Belanda.
Tanggal 5 Juli 1905 Raja Tabanan Surat mengirim surat kepada Residen Eschbach, isinya Tabanan menolak memblokade Kerajaan Badung.
Tanggal 27 September 1906 Pk. 07.00 pasukan ekspedisi Belanda bergerak ke Tabanan sampai di desa Buringkit, Panglima Tonningen memutuskan pasukannya beristirahat satu malam, sebelum menerus operasi ke Tabanan. Panglima mendengar berita Raja Tabanan, disertai Putra Mahkota, I Gusti Ngurah Anom, dan pembesar2 kerajaan seperti Adipati, Punggawa Tabanan dan Kurambitan, dan Pedanda2 ingin berjumpa Panglima.
Raja sempat mampir di Puri Kediri bermaksud meminta dukungan, tetapi I Gusti Ngurah Made Kediri menyatakan tidak ikut karena menderita demam panas. Beliau hanya dapat membant dengan memberikan beberapa rakyat untuk mengiringi rombongan Raja. Perjalanan Raja Tabanan dilanjutkan sampai di Kekeran Nyuh Gading, menginap di rumah seorang petani.
Tanggal 28 September 1906 Pk 08.00 Raja Tabanan tiba di Buringkit dari desa Abiantuwung, mengadakan pertemuan dengan Panglima Van Tonningen yang didampingi Kepala Staf pasukan ekspedisi dan Asisten Residen Schwartz di halaman Pura Kahyangan Buringkit. Raja Tabanan menyatakan maksudnya agar diperlakukan seperti Kerajaan Gianyar dan Karangasem, sebagai Stedehouder Pemerintah Hindia-Belanda. Van Tonningen tidak menanggapi karena masalah politik di luar kapasitasnya sebagai Panglima, dan menyarankan agar Raja menyerah tanpa syarat dulu, kemudian akan dibawa ke Puri Denpasar untuk menghadap Komisaris Liefrinck. Raja minta waktu 2 hari untuk mengatur urusan keluarga, tapi ditolak oleh Van Tonningen.
Pk 09.30 Raja beserta Putra Mahkota dan beberapa Punggawa berangkat ke Puri Denpasar disertai Asisten Residen Schwartz dikawal oleh satu peleton pasukan Belanda. Adipati Agung diberitahu agar memberi perintah kepada rakyat untuk menyerahkan senjata api.
I Gusti Ngurah Oka dari Jro Oka tidak ikut serta dalam rombongan Raja, dengan alasan akan menjaga ketertiban di Puri Tabanan. Raja hanya mengangguk permintaan I Gusti Ngurah Oka. Sampai di Tabanan I Gusti Ngurah Oka ingkar janji, langsung menuju desa Jegu bertemu dengan sanak keluarganya. Perbuatan yang hina demikian disebut mresaweda.
Rombongan Raja tiba di Puri Denpasar pada malam hari. Raja dan pengiringnya semua lapar dan payah sebab satu hari tidak makan dan minum. Rombongan Raja sampai di sumanggen langsung naik ke lantai atas. Komisaris Liefrinck menerima kedatangan Raja, menolak memberi status Tabanan seperti Kerajaan Gianyar dan Karangasem.
Komisaris memerintahkan besok Raja dan Putra Mahkota diasingkan ke Majora Lombok tempat Raja Seleparang dulu. Berita ini disampaikan oleh Ida Bagus Gelgel, punggawa distrik Bubunan Singaraja, yang bertindak sebagai utusan Pemerintah Hindia-belanda. Sementara Raja dan Putra Mahkota ditempatkan dulu di salah satu bagian di Puri Denpasar.
Tanggal 29 September 1906 saat pasukan Belanda akan menjemput Raja Tabanan dan Putra Mahkota di Puri Denpasar untuk di antar ke Sanur, didapatkan keduanya sudah tidak bernyawa lagi. Raja memotong urat nadinya dengan pisau kecil pengutik dan Putra Mahkota I Gusti Ngurah Gede Pegeg minum sari (racun). Aksi bunuh diri ini dilakukan dalam suasana yang kelam, hujan lebat, angin ribut, kilat dan petir sambung-menyambung.
Beberapa saat sebelum bunuh diri Raja sempat memotong rambut dan kuku beliau sebagai simbol kematiannya. Kyai Gede Dude diperintahkan membawa potongan rambut dan kuku tersebut ke Puri Agung Tabanan.
Jenazah Raja Tabanan dan Putera Mahkota diusung oleh orang-orang Badung yang pimpin oleh Sawunggaling Gogotan. Rakyat Badung, Tabanan dan Kurambitan menyaksikan pelebon ke dua jenasah tersebut di setra Badung, abunya dihanyutkan di Segara Kuta.
Di Tabanan Asisten Residen Schwartz mengadakan pertemuan dengan para punggawa Tabanan. Schwartz memberitakan Raja dan Putra Mahkota sudah wafat. Keluarga terpenting Raja Badung dan Tabanan yang masih hidup diasingkan ke Lombok dengan kapal laut bernama “Zeeland”.
Pejabat-pejabat Belanda masuk ke Tabanan menyita aset-aset Puri dan merusak Puri Agung Tabanan. Para isteri dan puteri di kalangan istana pergi ke Puri Kaleran, dan juga ada yang pergi ke rumah masing-masing. Mulai saat itu tidak lagi diwajibkan para pemuda (truna) bekerja pada kerajaan dan kemancaan.
Sekitar 3 bulan masa Pemerintahan Hindia-Belanda yang berkantor di halaman depan Puri Kaleran, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh seorang Raja Puteri dari Puri Ageng bernama Sagung Ayu Wah. Gerakan ini bermaksud menyerang serdadu-serdadu Belanda yang sewenang-wenang. Rakyat berduyun-duyun membawa senjata, keris, tombak, serta pentongan kayu. Tetapi ketika baru tiba di dusun Twak Ilang, mereka disambut oleh serdadu Belanda dengan tembakan bedil sehingga banyak jatuh korban. Sagung Ayu Wah dibuang ke Sasak. Pemuka-pemuka desa, pemangku, dan kepala-kepala laskar di buang ke Jawa dan ke Sumatera.
Dua orang puteri Cokorda Tabanan yang wafat di Badung, Sagung Ayu Oka dan Sagung Ayu Putu pindah ke Puri Anom pada tahun 1910 M. Sagung Ayu Putu menikah dengan I Gusti Ngurah Anom di Puri Anom. Sedangkan Sagung Ayu Oka menikah dengan orang Manado bernama Tuan Kramer, yang menjabat sebagai Klerk Kontrolir Tabanan.
            Dengan demikian lenyaplah sudah kekuasaan Puri Agung Tabanan dan Kerajaaan Tabanan yang semula dirintis oleh Sira Bhatara Arya Kenceng sekitar tahun 1350 M.


Diselesaikan Soma – Umanis – Sungsang

Panglong Ping 6, Sasih ke tiga, Isaka 1927
Tanggal 26 September 2005

Ida Bagus Wirahaji, S.Ag

6 komentar: