Refrensi
Buku:
Judul
Buku : Perjalanan Arya Damar dan Arya
Kenceng di Bali
Penulis
Utama : AAN Putra Darmanuraga
Tebal : xxiv + 340 halaman
Penerbit : Pustaka Larasan
Cetakan : September 2011
COKORDE KALIH
GUGUR DALAM PUPUTAN BADUNG
Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya sendiri. Menggali
perjalanan leluhur yang bersejarah bukanlah pekerjaan mudah. Diperlukan waktu
yang cukup, kemampuan yang memadai, serta sumber-sumber informasi yang akurat.
Selain itu penulis harus obyektif, bebas dari hambatan psikologis serta
kepentingan pribadi maupun kelompok.
Sosok
Adityawarman adalah tokoh yang malang melintang dalam memperluas wilayah
kekuasaan Majapahit, bersama Mahamentri Gajah Mada. Adityawarman diangkat
sebagai putra oleh Rajapatni, sedangkan Putri kandung Rajapatni sendiri adalah
Tribhunanatunggadewi. Dengan demikian Aditywarman adalah adik angkat dari
Tribhuanatunggadewi. Aditywarman mewarisi kemampuan ayahnya sebagai ahli
politik. Beliau diangkat sebagai Wreddhamantri
dalam pemerintahan Tribhuanatunggadewi (1328 – 1350 M), dengan gelar Arya
Dewarajja Pu Aditya.
Nama
“Adityawarman” tidak ditemukan dalam babad maupun prasasti yang ada di Bali.
Namun, nama yang muncul adalah “Arya Damar”, sebagai nama yang legendaris dan
dimuliakan. Ahli sejarah seperti Pitono Hardjowardojo, Slametmulyana
menyimpulkan bahwa Arya Damar adalah Adityawarman itu sendiri.
Darmanuraga
menegaskan bahwa Arya Damar dan Arya Kenceng adalah nama untuk dua orang tokoh
berbeda, bukan untuk satu orang tokoh yang sama. Demikian juga Arya Tegeh Kori
adalah putra kandung Arya Kenceng sendiri, bukan putra pemberian Dalem yang
dipersaudarakan dengan putra-putra Arya Kenceng. Disebutkan Arya Damar
berputera 3 (tiga) putra, yaitu Arya Delancang, Arya Kenceng, dan Arya Belog. Jadi
Arya Kenceng adalah salah satu putra dari Arya Damar. Arya Damar wafat di
Palembang, sedangkan Arya Kenceng mewariskan kerajaan di Tabanan.
Arya
Damar – dengan ketiga putranya – bersama para arya lainnya yang dipimpin oleh
Mahapatih Gajah Mada menyerang Bali. Kerajaan Bali Kuna dapat ditundukkan pada
tahun 1343 M, melalui pertempuran yang sengit, dengan terlebih dahulu
memperdaya Patih Kebo Iwa dengan tipu muslihat.
Tokoh-tokoh
Kerajaan Bali Kuna yang gugur di tangan Arya Damar adalah Ki Girikmana, Tokawa,
dan Pasung Gerigis. Karena pemimpin-pemimpin Kerajaan Bali Kuna telah gugur,
maka laskar Bali Kuna – yang tidak mau menyerahkan diri – melarikan diri.
Kebanyakan dari mereka mengungsi ke pegunungan Bali Utara. Mereka ini kemudian
disebut golongan Bali Aga.
Setelah
pemberontakan Bali Aga berakhir, Gajah Mada mendaulat Sri Aji Kresna Kepakisan
sebagai Adipati Majapahit di Bali pada tahun 1352 M. Sri Aji Kresna Kepakisan
mengubah swadarmanya yang semula sebagai Brahmana menjadi Ksatrya. Dalam
menjalankan pemerintahan di Bali, Adipati Majapahit ini didukung oleh ketiga
putra Arya Damar dan para arya lainnya. Sementara Arya Damar kembali ke
Majapahit untuk menjalankan tugas-tugas berikut, memperluas wilayah kekuasaan
kerajaan.
Selanjutnya
Darmanuraga lebih banyak mengulas perjalanan Arya Kenceng – salah satu putra
Arya Damar – beserta paratisentana-nya
di Tabanan dan di Badung. Arya Kenceng diberi kekuasaan oleh Dalem (Adipati Majapahit) di daerah Pucangan
(Tabanan). Beliau menurunkan tiga orang putra dan seorang putri. Salah seorang
putranya bernama Kyai Tegeh ditugaskan menggantikan Kyai Anglurah Agung Pinatih
di Puri Kertalangu. Penggantian ini mendapat restu dari Ida Dalem di Puri
Samprangan. Kyai Tegeh kemudian diberi gelar Kyai Anglurah Tegeh Kori beristana
di Puri Tegeh Kori Tegal.
Pada
Generasi ke-tiga dari Kyai Anglurah Tegeh Kori, yaitu Kyai Anglurah Tegeh Kori
III didengar ada seorang tokoh terkemuka Agama Siwa bernama Danghyang Nirartha
atau Danghyang Dwijendra sedang berada di Tuban dalam rangkaian thirtayatra beliau di Bali. Kyai
Anglurah Tegeh Kori menjemput Sang Pandita di Tuban untuk diajak ke Puri Tegal.
Namun dalam perjalanan menuju daerah Tegal, Kyai Anglurah dan Sang Pandita
terpaksa berhenti di desa Buagan karena musibah banjir. Rombongan beristirahat
di sebuah parahyangan, yang sekarang disebut Pura Batan Nyuh.
Danghyang
Nirartha – di Bali dikenal dengan nama Ida Pedanda Sakti Bahu Rawuh –
menancapkan tongkat untuk menghalau banjir, sehingga perjalanan dapat
dilanjutkan. Kyai Anglurah menjamu Ida Pedanda di Purinya dan memberi tempat
khusus agar Ida Pedanda dapat menjalankan swadarma
melakukan yoga semadi. Tempat khusus itu sekarang disebut Pura Sari, terawat
dengan baik. Pura Sari sekarang digunakan sebagai tempat pemujaan sehari-hari (nyurwa sewana) oleh Ida Pedanda Agung
Putra Kemenuh di Geriya Agung, Tegal, Pemecutan Kelod, Denpasar.
Darmanuraga
merinci peninggalan-peninggalan purbakala paratisentana
Arya Kenceng, seperti Pura, Puri, Pemrajan Kawitan, serta benda-benda pusaka.
Benda pusaka yang paling berarti di Kerajaan Badung adalah sebuah pecut (cambuk) dan tulup (sumpitan). Benda pusaka tersebut anugrah dari Bhatari Danu
di Batur kepada Kyai Ketut Bendesa atau Kyai Notor Wandira, setelah melakukan
yoga samadhi yang khusuk di tepi Danau Batur. Berkat kepiawian putra-putra Kyai
Jambe Pule, yakni Kyai Ketut Pemedilan menggunakan pecut dan Kyai Jambe Merik menggunakan tulup, kedua putra itu diberi hadiah penghargaan oleh Dalem di
Gelgel.
Buku
ini tidak saja bermanfaat bagi warih
Arya Kenceng, Darmanuraga menguraikan patriotisme Cokorde Kalih memimpin segenap rakyat Badung dalam menghadapi aksi
militer Pemerintah Hindia – Belanda. Sebuah perang habis-habisan dengan jumlah
korban yang besar di pihak Badung, karena tidak didukung oleh teknologi
persenjataan.
Karamnya
perahu Wangkang bernama “Sri Kumala” milik saudagar Cina di Sanur pada tanggal
27 Mei 1904 – oleh Gubernur Jenderal JB Van Heutz – dipakai sebagai dalih untuk
memblokade dan akhirnya menyerang Kerajaan Badung. Van Heutz bercita-cita Pax Neerlandica segera terwujud. Pax Neerlandica maksudnya disemua daerah
kekuasaan Pemerintah Hindia – Belanda harus diakui secara mutlak kekuasaan
tertinggi Pemerintah Belanda dengan segala peraturan dan perundang-undangan.
Sementara kontrak perjanjian yang ditandatangani sebelumnya antara Pemerintah
Hindia – Belanda dengan raja-raja di Bali dinilai tidak sejalan dengan Program Pax Neerlandica.
Pemerintah
Hindia – Belanda menuntut Raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung di Puri
Denpasar dengan ganti rugi sebesar f 7.500 atau 300 Ringgit. Raja Badung
menolak tuntutan itu dan meminta Pemerintah Hindia – Belanda menghentikan aksi
blokade di perairan, karena pihaknya tidak dapat dipersalahkan. Raja Badung
menganjurkan pemilik perahu mengajukan masalahnya ke Majelis Kerta, serta berjanji akan patuh terhadap keputusan
majelis.
Masalah
karamnya perahu wangkang ini benar – benar soal harga diri bagi Kerajaan
Badung. Ganti rugi sebesar f 7.500 atau 300 Ringgit bukanlah jumlah yang sulit
dikumpulkan. Beberapa pemuka masyarakat di Badung menghadap Raja menyatakan
siap membayar ganti rugi tersebut. Kelompok pedagang Bugis dan Cina juga
menghadap Raja mengajukan permohonan yang sama, tuntutan ganti rugi tersebut
agar dipenuhi demi terciptanya perdamaian. Raja Badung tetap menolak memenuhi
tuntutan ganti rugi tersebut. Ketegasan Raja Badung ini didukung oleh
pernyataan sumpah oleh 2.800 warga masyarakat Sanur, bahwa mereka tidak
melakukan perampasan.
Tidak
ada opsi lain selain puputan. Raja I
Gusti Ngurah Made Agung mulai menggalang kekuatan untuk menghadapi kekuatan
militer Pemerintah Hindia – Belanda, dengan melakukan kunjungan ke Tabanan. Di
Pemerajan Puri Agung Tabanan dilakukan sumpah kedua raja untuk senantiasa
saling membantu. Kedua raja kemudian melakukan sembahyang bersama di Pura
Sakenan diikuti oleh ribuan rakyat untuk membuktikan solidaritas antar sesama.
Penggalangan
kekuatan berikutnya adalah upacara sumpah di Pura Taman Ayun, di mana Raja
Pemecutan Kyai Anglurah Pemecutan IX – yang sudah tua dan sakit-sakitan – untuk
acara yang penting ini menyempatkan diri hadir bersama Raja Denpasar dan Raja
Tabanan. Mereka bersumpah, bersatu padau menghadapi aksi militer Belanda. Di
sinilah letak kesetiaan sesama paratisentana
Arya Kenceng.
Kalau
dilihat ke belakang, Kerajaan Tabanan dan Kerajaan Badung adalah sama-sama
dipimpin oleh warih atau paratisentana dari Bhatara Arya Kenceng.
Pada akhir abad ke-19 Kerajaan Tabanan dan Badung juga saling bahu-membahu
menyerang Kerajaan Mengwi. Kerajaan Mengwi dapat dikalahkan pada tanggal 20
Juni 1891, kekuasaannya sudah lenyap
sebelum Pemerintah Hindia – Belanda menguasai Bali. Belanda menguasai Bali
sepenuhnya setelah berakhirnya Puputan
Klungkung tanggal 28 April 1908.
Akhir
tahun 1905 sebagian tanah tebing di Uluwatu rubuh dan jatuh ke Laut. Pura
Uluwatu adalah pura yang keramat menjadi tempat pemujaan raja-raja. Rakyat
Badung percaya peristiwa ini adalah pertanda buruk bagi Kerajaan Badung. Pada
waktu itu juga, rakyat dapat menyaksikan gejala alam di langit, berupa bintang
berekor besar dan bercahaya. Gejala alam ini pun dihubungkan sebagai pertanda
buruk datangnya sebuah malapetaka yang besar.
Tanggal
20 September 1906 menjadi hari yang amat bersejarah di Bali. Puputan Badung
dimulai pagi-pagi, pk 07.00 pasukan dipihak Belanda bergerak dari Kesiman
menuju Denpasar. Sementara kapal-kapal perang Belanda di Pabean Sanur terus
menembakkan meriam-meriam dengan sasaran Puri – Puri di Denpasar. Puputan
Badung berakhir pada sore hari dengan gugurnya Cokorde Kalih, dari Puri Agung Denpasar dan Puri Agung Pemecutan.
Seminggu
kemudian, tanggal 27 September 1906 pasukan ekspedisi Belanda bergerak ke
Tabanan. Sampai di desa Buringkit pemimpin pasukan Panglima Van Tonningen
memutuskan pasukannya untuk beristirahat satu malam, sebelum melanjutkan
penyerangan ke Tabanan. Raja Tabanan beserta putra mahkota ditangkap dan
ditahan di Puri Agung Denpasar. Keduanya bunuh diri, sebelum dibuang ke Lombok.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan warih
Bhatara Arya Kenceng yang dirintis sejak tahun 1352 M.
Jelas
buku ini tidak saja bermanfaat bagi warih
Bhatara Arya Kenceng saja. Fakta sejarah Puputan Badung pada tanggal 20
September 1906, akan tetap abadi sepanjang masa tidak saja dalam catatan
sejarah perjalanan negeri ini, namun juga dalam hati sanubari rakyat di seluruh
negeri. Perang yang diperkirakan menelan 2.000 korban jiwa itu patut dijadikan
suri teladan tidak hanya bagi rakyat Badung, namun bagi seluruh insan tanah air
di masa kini, untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai puputan dalam berjuang
mencapai cita-cita kemerdekaan Bangsa Indonesia sampai titik darah penghabisan.
bisa dijelaskan apa sebab ada pedarman sapta sanak arya kenceng di besakih? apakah itu benar adanya? Tolong bantu penjelasannya
BalasHapussetahu saya, Sapta Sanak Arya itu berdasarkan Purana Jawa.
HapusDimana tempat kawitan Arya damar bersembahyang di Bali?
BalasHapusPucangan Buahan Tabanan
HapusApakah ada kaitannya kawitan Arya damar , dengan Arya penyunaran,???
BalasHapusMohon pencerahannya suhu🙏🙏🙏
Dimanakah prasasti ARYA KENCENG SAPTA SANAK??
BalasHapusAkan lebih bagus jika dilampirkan photo otentitas lontar babad dan pebancangahnya.
BalasHapusArya Sapta Sanak, adalah Arya Airlangga dari Kahuripan/Jenggala yang mengabdi di Singasari dan Majapahit leluhurnya ; Sri Airlangga, Sri Samarawijaya, Sri Kameswara-1, Sri Kameswara-2, Sri Jayasaba menurunkan Sri Cakeswara dan Sri Sastrajaya.
BalasHapusDari Sri Cakeswara/Adwahya Brahman/Adwaja Brahma dengan Putri Melayu-Dharmasraya Dara Jingga/Bundo Kanduang, putri sulung Maharaja Srimat Mauli Utungga Warmadewa, menurunkan Sapta Arya (R.Cakradara, Arya Damar, Arya Kenceng (menjadi Mantri Utama Samprangan Dalem Samprangan Sri Aji Kresna Ketut Kepakisan), Arya Kutawandira/Kutawaringin Jayasaba, Arya Sentong, Arya Belog/Pudak, Arya Delancang).
Dari Sastrajaya menurunkan Arya Kepakisan (Sri Nararya Kresna Kepakisan) menjadi Patih Agung Raja Adipati Majapahit di Bali Dalem Samprangan Sri Aji Kresna Ketut Kepakisan beristana di Puri Linggarsapura Samprangan. (Sesuai Prasasti Pariagem Dalem Samprangan dan Babad Silsilah Arya Kenceng Anglurah Manca Singasana Tabanan).
Sapta Arya Tinuhengpura adalah 7 aArya bersaudara sebagai bangsawan keturunan Raja Sri Airlangga Sri Jayasaba yang dihormati di Singasari dan Majapahit berkedudukan sebagai "Dewa" /Bhre Bethara di Tumapel.
BalasHapus(Dewa Adwahya Brahman/Adwaja Brahma/Sri Cakeswara/Sri Kertawardana Adipati Singasari di Tumapel.
Admin perlu koreksi atas kesalahan, bahwa Ki Pasung Gerigis tidak tewas dalam Perang Majapahit Bali tahun 1343 M., tetapi dapat dikalahkan dengan tipu daya dan menyerah, akhirnya Ki Pasung Gerigis ditawan dibawa ke Majapahit ditugaskan menyerang Sumbawa Kerajaan Dompu Raja Sri Aji Dedelanata dan Ki Pasung Gerigis tewas dalam Perang Tanding secara kesatria pada Tahun 1360 M.(bersamaan terjadinya Perang Bubat di Pesanggrahan Bubat Majapahit antara Mahapatih Gajah Mada Majapahit dgn Raja Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda Jawa Barat)
BalasHapus