Label

Rabu, 21 Maret 2012

ARYA DAMAR & ARYA KENCENG


Refrensi Buku:
Judul Buku      : Perjalanan Arya Damar dan Arya Kenceng di Bali
Penulis Utama : AAN Putra Darmanuraga
Tebal               : xxiv + 340 halaman
Penerbit           : Pustaka Larasan
Cetakan           : September 2011


COKORDE KALIH GUGUR DALAM PUPUTAN BADUNG

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya sendiri. Menggali perjalanan leluhur yang bersejarah bukanlah pekerjaan mudah. Diperlukan waktu yang cukup, kemampuan yang memadai, serta sumber-sumber informasi yang akurat. Selain itu penulis harus obyektif, bebas dari hambatan psikologis serta kepentingan pribadi maupun kelompok.


Sosok Adityawarman adalah tokoh yang malang melintang dalam memperluas wilayah kekuasaan Majapahit, bersama Mahamentri Gajah Mada. Adityawarman diangkat sebagai putra oleh Rajapatni, sedangkan Putri kandung Rajapatni sendiri adalah Tribhunanatunggadewi. Dengan demikian Aditywarman adalah adik angkat dari Tribhuanatunggadewi. Aditywarman mewarisi kemampuan ayahnya sebagai ahli politik. Beliau diangkat sebagai Wreddhamantri dalam pemerintahan Tribhuanatunggadewi (1328 – 1350 M), dengan gelar Arya Dewarajja Pu Aditya.
Nama “Adityawarman” tidak ditemukan dalam babad maupun prasasti yang ada di Bali. Namun, nama yang muncul adalah “Arya Damar”, sebagai nama yang legendaris dan dimuliakan. Ahli sejarah seperti Pitono Hardjowardojo, Slametmulyana menyimpulkan bahwa Arya Damar adalah Adityawarman itu sendiri.
Darmanuraga menegaskan bahwa Arya Damar dan Arya Kenceng adalah nama untuk dua orang tokoh berbeda, bukan untuk satu orang tokoh yang sama. Demikian juga Arya Tegeh Kori adalah putra kandung Arya Kenceng sendiri, bukan putra pemberian Dalem yang dipersaudarakan dengan putra-putra Arya Kenceng. Disebutkan Arya Damar berputera 3 (tiga) putra, yaitu Arya Delancang, Arya Kenceng, dan Arya Belog. Jadi Arya Kenceng adalah salah satu putra dari Arya Damar. Arya Damar wafat di Palembang, sedangkan Arya Kenceng mewariskan kerajaan di Tabanan.
Arya Damar – dengan ketiga putranya – bersama para arya lainnya yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada menyerang Bali. Kerajaan Bali Kuna dapat ditundukkan pada tahun 1343 M, melalui pertempuran yang sengit, dengan terlebih dahulu memperdaya Patih Kebo Iwa dengan tipu muslihat.
Tokoh-tokoh Kerajaan Bali Kuna yang gugur di tangan Arya Damar adalah Ki Girikmana, Tokawa, dan Pasung Gerigis. Karena pemimpin-pemimpin Kerajaan Bali Kuna telah gugur, maka laskar Bali Kuna – yang tidak mau menyerahkan diri – melarikan diri. Kebanyakan dari mereka mengungsi ke pegunungan Bali Utara. Mereka ini kemudian disebut golongan Bali Aga.
Setelah pemberontakan Bali Aga berakhir, Gajah Mada mendaulat Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai Adipati Majapahit di Bali pada tahun 1352 M. Sri Aji Kresna Kepakisan mengubah swadarmanya yang semula sebagai Brahmana menjadi Ksatrya. Dalam menjalankan pemerintahan di Bali, Adipati Majapahit ini didukung oleh ketiga putra Arya Damar dan para arya lainnya. Sementara Arya Damar kembali ke Majapahit untuk menjalankan tugas-tugas berikut, memperluas wilayah kekuasaan kerajaan.
Selanjutnya Darmanuraga lebih banyak mengulas perjalanan Arya Kenceng – salah satu putra Arya Damar – beserta paratisentana-nya di Tabanan dan di Badung. Arya Kenceng diberi kekuasaan oleh  Dalem (Adipati Majapahit) di daerah Pucangan (Tabanan). Beliau menurunkan tiga orang putra dan seorang putri. Salah seorang putranya bernama Kyai Tegeh ditugaskan menggantikan Kyai Anglurah Agung Pinatih di Puri Kertalangu. Penggantian ini mendapat restu dari Ida Dalem di Puri Samprangan. Kyai Tegeh kemudian diberi gelar Kyai Anglurah Tegeh Kori beristana di Puri Tegeh Kori Tegal.
Pada Generasi ke-tiga dari Kyai Anglurah Tegeh Kori, yaitu Kyai Anglurah Tegeh Kori III didengar ada seorang tokoh terkemuka Agama Siwa bernama Danghyang Nirartha atau Danghyang Dwijendra sedang berada di Tuban dalam rangkaian thirtayatra beliau di Bali. Kyai Anglurah Tegeh Kori menjemput Sang Pandita di Tuban untuk diajak ke Puri Tegal. Namun dalam perjalanan menuju daerah Tegal, Kyai Anglurah dan Sang Pandita terpaksa berhenti di desa Buagan karena musibah banjir. Rombongan beristirahat di sebuah parahyangan, yang sekarang disebut Pura Batan Nyuh.
Danghyang Nirartha – di Bali dikenal dengan nama Ida Pedanda Sakti Bahu Rawuh – menancapkan tongkat untuk menghalau banjir, sehingga perjalanan dapat dilanjutkan. Kyai Anglurah menjamu Ida Pedanda di Purinya dan memberi tempat khusus agar Ida Pedanda dapat menjalankan swadarma melakukan yoga semadi. Tempat khusus itu sekarang disebut Pura Sari, terawat dengan baik. Pura Sari sekarang digunakan sebagai tempat pemujaan sehari-hari (nyurwa sewana) oleh Ida Pedanda Agung Putra Kemenuh di Geriya Agung, Tegal, Pemecutan Kelod, Denpasar.
Darmanuraga merinci peninggalan-peninggalan purbakala paratisentana Arya Kenceng, seperti Pura, Puri, Pemrajan Kawitan, serta benda-benda pusaka. Benda pusaka yang paling berarti di Kerajaan Badung adalah sebuah pecut (cambuk) dan tulup (sumpitan). Benda pusaka tersebut anugrah dari Bhatari Danu di Batur kepada Kyai Ketut Bendesa atau Kyai Notor Wandira, setelah melakukan yoga samadhi yang khusuk di tepi Danau Batur. Berkat kepiawian putra-putra Kyai Jambe Pule, yakni Kyai Ketut Pemedilan menggunakan pecut dan Kyai Jambe Merik menggunakan tulup, kedua putra itu diberi hadiah penghargaan oleh Dalem di Gelgel.
Buku ini tidak saja bermanfaat bagi warih Arya Kenceng, Darmanuraga menguraikan patriotisme Cokorde Kalih memimpin segenap rakyat Badung dalam menghadapi aksi militer Pemerintah Hindia – Belanda. Sebuah perang habis-habisan dengan jumlah korban yang besar di pihak Badung, karena tidak didukung oleh teknologi persenjataan.
Karamnya perahu Wangkang bernama “Sri Kumala” milik saudagar Cina di Sanur pada tanggal 27 Mei 1904 – oleh Gubernur Jenderal JB Van Heutz – dipakai sebagai dalih untuk memblokade dan akhirnya menyerang Kerajaan Badung. Van Heutz bercita-cita Pax Neerlandica segera terwujud. Pax Neerlandica maksudnya disemua daerah kekuasaan Pemerintah Hindia – Belanda harus diakui secara mutlak kekuasaan tertinggi Pemerintah Belanda dengan segala peraturan dan perundang-undangan. Sementara kontrak perjanjian yang ditandatangani sebelumnya antara Pemerintah Hindia – Belanda dengan raja-raja di Bali dinilai tidak sejalan dengan Program Pax Neerlandica.
Pemerintah Hindia – Belanda menuntut Raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung di Puri Denpasar dengan ganti rugi sebesar f 7.500 atau 300 Ringgit. Raja Badung menolak tuntutan itu dan meminta Pemerintah Hindia – Belanda menghentikan aksi blokade di perairan, karena pihaknya tidak dapat dipersalahkan. Raja Badung menganjurkan pemilik perahu mengajukan masalahnya ke Majelis Kerta, serta berjanji akan patuh terhadap keputusan majelis.
Masalah karamnya perahu wangkang ini benar – benar soal harga diri bagi Kerajaan Badung. Ganti rugi sebesar f 7.500 atau 300 Ringgit bukanlah jumlah yang sulit dikumpulkan. Beberapa pemuka masyarakat di Badung menghadap Raja menyatakan siap membayar ganti rugi tersebut. Kelompok pedagang Bugis dan Cina juga menghadap Raja mengajukan permohonan yang sama, tuntutan ganti rugi tersebut agar dipenuhi demi terciptanya perdamaian. Raja Badung tetap menolak memenuhi tuntutan ganti rugi tersebut. Ketegasan Raja Badung ini didukung oleh pernyataan sumpah oleh 2.800 warga masyarakat Sanur, bahwa mereka tidak melakukan perampasan.
Tidak ada opsi lain selain puputan. Raja I Gusti Ngurah Made Agung mulai menggalang kekuatan untuk menghadapi kekuatan militer Pemerintah Hindia – Belanda, dengan melakukan kunjungan ke Tabanan. Di Pemerajan Puri Agung Tabanan dilakukan sumpah kedua raja untuk senantiasa saling membantu. Kedua raja kemudian melakukan sembahyang bersama di Pura Sakenan diikuti oleh ribuan rakyat untuk membuktikan solidaritas antar sesama.
Penggalangan kekuatan berikutnya adalah upacara sumpah di Pura Taman Ayun, di mana Raja Pemecutan Kyai Anglurah Pemecutan IX – yang sudah tua dan sakit-sakitan – untuk acara yang penting ini menyempatkan diri hadir bersama Raja Denpasar dan Raja Tabanan. Mereka bersumpah, bersatu padau menghadapi aksi militer Belanda. Di sinilah letak kesetiaan sesama paratisentana Arya Kenceng.
Kalau dilihat ke belakang, Kerajaan Tabanan dan Kerajaan Badung adalah sama-sama dipimpin oleh warih atau paratisentana dari Bhatara Arya Kenceng. Pada akhir abad ke-19 Kerajaan Tabanan dan Badung juga saling bahu-membahu menyerang Kerajaan Mengwi. Kerajaan Mengwi dapat dikalahkan pada tanggal 20 Juni 1891,  kekuasaannya sudah lenyap sebelum Pemerintah Hindia – Belanda menguasai Bali. Belanda menguasai Bali sepenuhnya setelah berakhirnya Puputan Klungkung tanggal 28 April 1908.
Akhir tahun 1905 sebagian tanah tebing di Uluwatu rubuh dan jatuh ke Laut. Pura Uluwatu adalah pura yang keramat menjadi tempat pemujaan raja-raja. Rakyat Badung percaya peristiwa ini adalah pertanda buruk bagi Kerajaan Badung. Pada waktu itu juga, rakyat dapat menyaksikan gejala alam di langit, berupa bintang berekor besar dan bercahaya. Gejala alam ini pun dihubungkan sebagai pertanda buruk datangnya sebuah malapetaka yang besar.
Tanggal 20 September 1906 menjadi hari yang amat bersejarah di Bali. Puputan Badung dimulai pagi-pagi, pk 07.00 pasukan dipihak Belanda bergerak dari Kesiman menuju Denpasar. Sementara kapal-kapal perang Belanda di Pabean Sanur terus menembakkan meriam-meriam dengan sasaran Puri – Puri di Denpasar. Puputan Badung berakhir pada sore hari dengan gugurnya Cokorde Kalih, dari Puri Agung Denpasar dan Puri Agung Pemecutan.
Seminggu kemudian, tanggal 27 September 1906 pasukan ekspedisi Belanda bergerak ke Tabanan. Sampai di desa Buringkit pemimpin pasukan Panglima Van Tonningen memutuskan pasukannya untuk beristirahat satu malam, sebelum melanjutkan penyerangan ke Tabanan. Raja Tabanan beserta putra mahkota ditangkap dan ditahan di Puri Agung Denpasar. Keduanya bunuh diri, sebelum dibuang ke Lombok. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan warih Bhatara Arya Kenceng yang dirintis sejak tahun 1352 M.
Jelas buku ini tidak saja bermanfaat bagi warih Bhatara Arya Kenceng saja. Fakta sejarah Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906, akan tetap abadi sepanjang masa tidak saja dalam catatan sejarah perjalanan negeri ini, namun juga dalam hati sanubari rakyat di seluruh negeri. Perang yang diperkirakan menelan 2.000 korban jiwa itu patut dijadikan suri teladan tidak hanya bagi rakyat Badung, namun bagi seluruh insan tanah air di masa kini, untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai puputan dalam berjuang mencapai cita-cita kemerdekaan Bangsa Indonesia sampai titik darah penghabisan.



---------------------------------

10 komentar:

  1. bisa dijelaskan apa sebab ada pedarman sapta sanak arya kenceng di besakih? apakah itu benar adanya? Tolong bantu penjelasannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. setahu saya, Sapta Sanak Arya itu berdasarkan Purana Jawa.

      Hapus
  2. Dimana tempat kawitan Arya damar bersembahyang di Bali?

    BalasHapus
  3. Apakah ada kaitannya kawitan Arya damar , dengan Arya penyunaran,???
    Mohon pencerahannya suhu🙏🙏🙏

    BalasHapus
  4. Dimanakah prasasti ARYA KENCENG SAPTA SANAK??

    BalasHapus
  5. Akan lebih bagus jika dilampirkan photo otentitas lontar babad dan pebancangahnya.

    BalasHapus
  6. Arya Sapta Sanak, adalah Arya Airlangga dari Kahuripan/Jenggala yang mengabdi di Singasari dan Majapahit leluhurnya ; Sri Airlangga, Sri Samarawijaya, Sri Kameswara-1, Sri Kameswara-2, Sri Jayasaba menurunkan Sri Cakeswara dan Sri Sastrajaya.
    Dari Sri Cakeswara/Adwahya Brahman/Adwaja Brahma dengan Putri Melayu-Dharmasraya Dara Jingga/Bundo Kanduang, putri sulung Maharaja Srimat Mauli Utungga Warmadewa, menurunkan Sapta Arya (R.Cakradara, Arya Damar, Arya Kenceng (menjadi Mantri Utama Samprangan Dalem Samprangan Sri Aji Kresna Ketut Kepakisan), Arya Kutawandira/Kutawaringin Jayasaba, Arya Sentong, Arya Belog/Pudak, Arya Delancang).
    Dari Sastrajaya menurunkan Arya Kepakisan (Sri Nararya Kresna Kepakisan) menjadi Patih Agung Raja Adipati Majapahit di Bali Dalem Samprangan Sri Aji Kresna Ketut Kepakisan beristana di Puri Linggarsapura Samprangan. (Sesuai Prasasti Pariagem Dalem Samprangan dan Babad Silsilah Arya Kenceng Anglurah Manca Singasana Tabanan).

    BalasHapus
  7. Sapta Arya Tinuhengpura adalah 7 aArya bersaudara sebagai bangsawan keturunan Raja Sri Airlangga Sri Jayasaba yang dihormati di Singasari dan Majapahit berkedudukan sebagai "Dewa" /Bhre Bethara di Tumapel.
    (Dewa Adwahya Brahman/Adwaja Brahma/Sri Cakeswara/Sri Kertawardana Adipati Singasari di Tumapel.

    BalasHapus
  8. Admin perlu koreksi atas kesalahan, bahwa Ki Pasung Gerigis tidak tewas dalam Perang Majapahit Bali tahun 1343 M., tetapi dapat dikalahkan dengan tipu daya dan menyerah, akhirnya Ki Pasung Gerigis ditawan dibawa ke Majapahit ditugaskan menyerang Sumbawa Kerajaan Dompu Raja Sri Aji Dedelanata dan Ki Pasung Gerigis tewas dalam Perang Tanding secara kesatria pada Tahun 1360 M.(bersamaan terjadinya Perang Bubat di Pesanggrahan Bubat Majapahit antara Mahapatih Gajah Mada Majapahit dgn Raja Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda Jawa Barat)

    BalasHapus