Label

Rabu, 21 Maret 2012

TRANSPORTASI

-->
DENPASAR MAKIN MACET




Denpasar adalah kota yang berkembang secara alami, bukan kota yang terencana. Hampir semua pusat-pusat kegiatan berlokasi di Denpasar.  Pusat pemukiman, pemerintahan, pendidikan, bisnis, rekreasi dan sebagainya berada di pusat kota. Pusat pemukiman menjadi sumber bangkitan perjalanan (trip generation). Pemukiman, seperti rumah-rumah penduduk asli, perumahan BTN, kompleks rumah dinas, rumah-rumah kost dan sebagainya, kesemuanya itu memproduksi perjalanan (trip production). Penduduk keluar rumah melakukan perjalanan menuju pusat-pusat kegiatan untuk memenuhi kebutuhan dan keberlangsungan hidupnya.
Sementara pusat-pusat kegiatan seperti pemerintahan, pendidikan, bisnis, rekreasi dan lain-lainnya itu, menarik perjalanan (trip attraction). PNS atau karyawan swasta melakukan perjalanan menuju kantornya, guru/dosen dan siswa ke sekolah atau ke kampus, dan seterusnya. Demkian juga pasar, mall, taman kota, museum, tempat-tempat ibadah menarik perjalanan penduduk. Perjalanan menuju pusat-pusat kegiatan, tentu diikuti perjalanan sebaliknya menuju rumah masing-masing setelah selesai melaksanakan kegiatannya. Tata guna lahan seperti ini tentu saja membuat kuantitas perjalanan penduduk di dalam kota semakin banyak. Belum lagi jumlah perjalanan penduduk dari luar kota menuju ke pusat-pusat kegiatan yang berlokasi di Denpasar.
Pertumbuhan penduduk kota Denpasar menurut data BPS 4% per tahun juga memberi kontribusi bertambahnya jumlah perjalanan. Sejalan dengan dengan meningkatnya income perkapita penduduk, kemampuan membeli kendaraan bermotor (mobil dan sepeda motor) semakin meningkat. Akibatnya kepemilikan terhadap kendaraan pribadi pada tiap-tiap rumah tangga semakin meningkat jumlahnya.
Katakanlah, satu rumah tangga terdiri satu pasang suami-istri dan 2 anak. Suami perlu kendaraan untuk berangkat kerja. Ibu perlu kendaraan untuk bekerja juga atau pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan sehar-hari rumah tangga. Sementara ke dua anaknya perlu kendaraan untuk berangkat ke sekolah. Dapat dibayangkan, berapa jumlah kendaraan pribadi jika seluruh rumah tangga yang ada di kota Denpasar seperti ini. Di satu pihak kebutuhan akan perjalanan bersifat primer. Konsekuensinya, mobilitas penduduk akan semakin tinggi dan ini tidak terhindarkan.
Meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi, terutama mobil sebagai sarana melakukan perjalanan membuat volume arus lalu lintas di jalan semakin tinggi, akibatnya kapasitas jalan semakin rendah. Kapasitas jalan yang semakin rendah mengakibatkan kecepatan rata-rata semakin turun. Terjaadi ketidakseimbangan antara kebutuhan (demand) dan ketersediaan (supply).
Pada ruas jalan yang memiliki titik-titik konflik, seperti pada persimpangan-persimpangan (baik bersinyal maupun tak bersinyal), pada bundaran, serta pada tempat-tempat penyeberangan, membuat pengemudi mengurangi kecepatannya, dan berhenti sejenak. Satu saja kendaraan berhenti di depan – yang semula memang lambat – akan membuat antrean yang panjang di belakangnya.
Kemacetan juga disebabkan oleh adanya hambatan samping pada ruas-ruas jalan. Hambatan samping itu dapat disebabkan antara lain oleh:
1.         Pelanggaran dari pengemudi sewaktu berhenti, padahal di tempat itu dipasang rambu dilarang stop.
2.         Pelanggaran dari pengemudi memarkir kendaraan di tempat dilarang parkir.
3.         Adanya pusat-pusat kegiatan yang kapasitas parkirnya kurang, atau bahkan tidak menyediakan lahan parkir di dalam, sehingga pengunjung memarkir kendaraan di badan jalan (on street parkir).
4.         Adanya pasar tradisional, dimana pedagang berjualan di atas trotoar, mengambil lintasan pejalan kaki. Pejalan kaki kemudian berjalan di atas badan jalan yang menjadi lintasan kendaraan, dan lain sebagainya.

Di lain pihak, kecil kemungkinan pemerintah melakukan pembangunan jalan baru, karena tidak ada lahan lagi. Kapasitas jalan menjadi tetap, tidak dapat ditingkatkan lagi. Meskipun, pemerintah dapat membangun jalan baru, itu pun solusi yang bersifat sementara. Lima sampai sepuluh lagi kembali lagi macet. Seringnya terjadi kemacetan yang mengakibatkan terjadinya tundaan perjalanan, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan warga memilih kendaraan sepeda motor. Penggunaan sepeda motor di denpasar semakin meningkat tajam. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingginya penjualan sepeda motor baru. Peminat moda sepeda motor semakin banyak. Padahal moda sepeda motor penyumbang terbesar kecelakaan yang bersifat fatal. Kekuatiran yang realistis adalah: Denpasar akan menjadi lautan sepeda motor.
Umumnya masyarakat akan senang (atau minimal tidak protes) bila pemerintah membangun jalan baru. Jalan baru yang membuka akses baru ke pusat-pusat kegiatan. Pelebaran pada jalan yang sudah ada hanya dapat menyenangkan warga sesaat saja. Bawah sadar masyarakat akan berkembang dalam mencari ruas-ruas jalan yang tidak menimbulkan kemacetan untuk sampai di tempat tujuan. Disadari atau tidak, konstruksi bawah sadar seperti itu adalah sebagai pengakuan ketidakberdayaan dalam menghadapi masalah transportasi.
Pada akhir tahun 2011 Pemerintah Provinsi Bali meluncurkan Bus Sarbagita, sebagai upaya untuk mengurangi kemacetan di wilayah Bali Selatan. Bus Sarbagita baru melayani 2 trayek. Rencananya bus-bus Trans Sarbagita melayani 22 trayek meliputi Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, dan Tabanan. Wilayah Sarbagita lebih sering mengalami kemacetan daripada wilayah lainnya di Bali.
Sekalipun bus-bus yang dioperasikan adalah kendaraan second, namum diharapkan dapat memberi kenyamanan kepada para penumpang. Sayangnya, trayek yang dilalui bus-bus Sarbagita belum didukung oleh feeder-feeder yang dapat mengantar penumpang sampai ke halte. Trayek bus Sarbagita harus didukung oleh feeder-feeder, sebab kebanyakan konsumen bus Sarbagita adalah warga yang tidak tinggal di pinggir jalan. Mereka tinggal di jalan kecil atau di gang-gang yang masuk ke dalam lagi, lumayan jauh dari jalan utama.
Di Bali sulit dibangun busway, karena lahan sudah tidak ada, yang dapat dilakukan adalah bus priority. Bus sebagai angkutan massal harus diberi perlakuan khusus agar masyarakat mau beralih moda angkutan, dari penggunaan kendaraan pribadi ke moda angkutan umum massal. Misalnya, bus diprioritas dalam menggunakan lintasan jalan, disubsidi BBM-nya, suasana di dalam bus yang nyaman (berpendingin), serta tarif yang murah.
Katakanlah, satu bus dengan kapasitas 40 orang. Bila setiap orang memakai kendaraan pribadi, itu berarti satu bus dapat mengurangi 40 kendaraan yang melintas di jalan raya. Bila saja gagasan ini dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat luas sudah tentu konsumsi energi bahan bakar minyak jauh lebih efisien. Indonesia termasuk negara yang boros dalam mengkonsumsi energi dalam sektor transportasi. Selain itu, efek gangguan atau pencemaran terhadap lingkungan di sekitarnya juga dapat kendalikan.
Gangguan akibat kegiatan transportasi terhadap lingkungan dapat berupa pencemaran udara yang berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor (Karbon monoksida/CO, Karbon dioksida/CO2, Sulfur oksida/NOx, timah hitam/timbal/Pb, partukulat, dan polutan lainnya), berupa kebisingan (akibat suara mesin kendaraan, gesekan ban dengan permukaan jalan, suara klakson, sirene dan sebagainya), dan berupa getaran/vibrasi. Getaran (yang berasal dari kendaraan berat) terutama dapat dirasakan pada rumah-rumah yang berada di pinggir jalan.
Sebagaimana diuraikan di atas, kendaraan pribadi adalah penyebab utama kemacetan pada ruas-ruas jalan di Denpasar. Untuk menanggulangi kemacetan, tidaklah mungkin dengan membangun prasarana jalan baru. Selama penggunaan kendaraan pribadi masih banyak, atau masih menjadi pilihan utama masyarakat, maka ruas-ruas jalan di Denpasar akan semakin mengalami kemacetan dan akan lebih yang lebih parah lagi.
Kita lihat Singapura, negara tetangga yang tergolong suskses dalam mengatasi masalah transportasi. Singapura yang luasnya hanya 697 km2, penduduknya padat, pada akhir tahun 2010 berpenduduk 5,08 juta, dengan kerapatan penduduk 6.368 /km2. Sementara Sarbagita menurut BPS 2010 luas wilayah 1.751 km2, jumlah penduduk 2,2 juta, kerapatan penduduk 1.623 /km2. Dapat kita lihat betapa tingginya kerapatan penduduk Singapura dari pada Sarbagita.
Tapi, Pemerintah Singapura sungguh-sungguh memberikan solusi yang efektif bagi masyarakatnya. Pemerintah menerapkan kebijakan dengan meninggikan pajak kendaraan pribadi, membatasi usia kendaraan, menerapkan ERP (Electronik Road Pricing) pada ruas jalan tertentu, dengan konsekuensi memberikan angkutan transportasi umum massal yang aman, nyaman, terjangkau, dan terintegrasi dengan aksesibilitas yang tinggi. Singapura adalah negara di Asia yang paling sukses mengembangkan moda transportasi umum massal modern. Kebijakan Pemerintah Singapura yang serius menggarap angkutan umum massal, membuahkan hasil mampu menekan penggunaan kendaraan pribadi.
Dua jenis angkutan yang paling banyak digunakan adalah bus umum dan kereta api cepat. Bus umum ada 3 jenis: bus bertingkat, bus gandeng, dan bus biasa. Tahun 1988 Singapura mengoperasikan kerata api MRT (Mass Rapid Transit). Kereta api ini beroperasi di bawah tanah, sehingga tidak mengambil lahan dipermukaan, kecuali pada stasiun-stasiun tertentu. Kereta api MRT ini memiliki berbagai keunggulan, seperti kapasitas tinggi, kecepatan tinggi, kenyamanan setara dengan mobil pribadi yang mewah, tarif murah, rutenya banyak, dan keunggulan lainnya.(20/03/2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar