Label

Sabtu, 13 Oktober 2012

EKA DASA RUDRA



UPACARA EKA DASA RUDRA DI PURA BESAKIH
 (Sebuah Tinjauan Historis)

Ida Bagus Wirahaji


ABSTRAK


Bali mendapat pengaruh yang kuat kebudayaan India, sebagai akibat dari letak geografis Pulau Bali yang menjadi bagian dari jalur perdagangan. Pengaruh kebudayaan India antara lain datangnya mazhab Siwa yang mengalami perkembangan mengesankan di Bali. Mazhab Siwa menekankan ritual pengurbanan suci untuk mencapai jagadhita dan moksa. Salah satu ritualnya adalah upacara Eka Dasa Rudra.
Dewa Rudra disebutkan dalam beberapa kitab Weda memiliki sifat rwa bhineda, kejam sekaligus lembut, menyakiti dan menyembuhkan, marah tetapi juga tenang. Konsep Eka Dasa Rudra berasal dari sebelas Rudra yang merupakan simbol dari sebelas kekuatan prana. Eka Dasa Rudra juga menunjuk pada sebelas penjuru mata angin, dan upacara Eka Dasa Rudra bertujuan untuk menyucikan sebelas penjuru mata angin.
Setelah NKRI terbentuk upacara besar ini baru dapat dilaksanakan di Pura Besakih pada tahun 1963 dan diulang lagi pada tahun 1979. Pada tahun 1963 merupakan upacara yang luar biasa, yang pertama kali dilaksanakan dalam kurun waktu lama. Pada waktu itu Gunung Agung meletus, menelan korban jiwa sedikitnya 1.150 orang meninggal dan korban material yang tidak sedikit. Kemudian disusul oleh peristiwa berdarah G 30 S PKI tahun 1965, jatuhnya pesawat jet tahun 1974, dan gempa bumi tektonik 1976 yang berpusat di Seririt, Buleleng. Sederetan bencana dan musibah melanda Bali tersebut, menimbulkan keraguan akan ketepatan waktu dan pelaksanaaan Eka Dasa Rudra 1963.
Upacara Eka Dasa Rudra kembali digelar 1979 tepat pada tahun Saka berakhir 00 (tenggek windu rah windu). Berbeda dengan Eka Dasa Rudra 1963 yang lebih banyak berperan adalah Puri Klungkung, maka pada tahun 1979 penyelenggaraan menjadi tanggung jawab Parisadha. Presiden Soeharto didampingi Mentri dan sejumlah pejabat pusat hadir pada puncak acara. Kehadiran seorang prisiden menandakan bahwa skala Eka Dasa Rudra mencapai tingkat nasional dan mengangkat status Pura Besakih sebagai pura terbesar umat Hindu Indonesia.

Kata Kunci: Eka Dasa Rudra, Bencana dan Musibah.







LATAR BELAKANG
Kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa, Bali, dan sebagian Sumatra, sejak abad-abad pertama masehi telah mengalami pengaruh yang kuat dari kebudayaan India. Tidak dapat dipungkiri, awal kontak India dengan Bali oleh para ahli diduga sebagai akibat adanya perdagangan cengkeh dan kayu cendana.
Kayu cendana telah disebutkan dalam Kitab Ramayana yang diduga ditulis sekitar abad ke-4 SM. Cengkeh dan kayu cendana juga disebutkan dalam Kitab Periplus yang berasal dari abad pertama Masehi. Kayu cendana berasal dari Sumba dan Timor, sedangkan cengkeh merupakan tumbuh-tumbuhan asli di daerah Maluku. Berdasarkan sumber tersebut, menurut Ardika (1997) Bali tampaknya terletak dalam jalur perdagangan yang menghubungkan Indonesia bagian barat dan timur.
Akibat dari letak geografis yang menjadi jalur perdagangan, Bali mendapat pengaruh kebudayaan asing, diantaranya kebudayaan India. Bali mewarisi agama Hindu yang didominasi oleh ajaran sekte Siwa. Salah satu mazhab pada zaman Purana yang berkembang pesat di India pada tahun 300 M sampai dengan 700 M. Sekte-sekte lain yang masuk dan berkembang di Bali, menurut Goris adalah sekte Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha/Sogata, Brahmana, Rsi, Sora (pemuja Surya), dan Ganapatya (penyembah Ganesa). Perkembangan selanjutnya sekte-sekte tidak memperlihatkan diri secara tegas, berkembang ke arah satu agama Tirtha.
Agama Hindu Siwa di Bali mengalami puncak keemasan ketika Dalem Waturenggong mengangkat Danghyang Nirartha sebagai Pendeta Istana pada tahun 1489 M. Danghyang Nirartha hidup pada zaman Majapahit akhir pada masa pemerintahan Girindra Wardhana (1474 – 1519), meninggalkan Pulau Jawa melakukan perjalanan spiritual (tirthayatra) ke Pulau Bali, Lombok, dan Sumbawa.
Di Bali Danghyang Nirartha menata dan menyempurnakan konsep Panca Yadnya. Ajaran tentang Yadnya dituangkan dalam kitan-kitab seperti Widhi Sastra, Catur Widhya, Yama Purana Tattwa, Ekaprata, Karya Panca Wali Krama, Eka Dasa Rudra, Ligya, dan sebagainya.
Sebagai penganut Siwa, Danghyang Nirartha mengimplementasikan  ajaran-ajaran Siwa dalam ritual-ritual keagamaan di Bali. Dalam ajaran mazhab Siwa, jagadhita dan moksa dapat dicapai melalui samskara dan sadhana Pancamakara. Filsafatnya disebut Shiwa Siddhanta. Mazhab Siwa umumnya masih mempertahankan ajaran-ajaran upacara kurban sebagaimana diajarkan dalam kitab suci Weda dan kitab-kitab Brahmana.
Impelementasi dari ajaran Shiwa pada masa keberadaan Danghyang Nirartha di Bali diantara berupa penyelenggaraan upacara Eka Dasa Rudra di Besakih. Eka Dasa Rudra juga dilaksanakan oleh  Sri Jaya Pangus, putra dari Sri Jaya Kesunu yang sudah wafat, seperti yang disebutkan dalam Babad Usana Bali Pulina. Namun, kapan tepatnya upacara tersebut dilaksanakan tidak diketahui. Upacara Eka Dasa Rudra pada kedua masa itu hanya disebutkan dalam teks, dalam tradisi tulis.
Pelaksanaan upacara Eka Dasa Rudra di Besakih baru dapat dilaksanakan tahun 1963 dan tahun 1979 dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut Stuart-Fox seorang penulis Australia,  upacara ini dilaksanakan untuk ‘membayar’ upacara-upacara yang tidak dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam catatan di Pura Agung Besakih, Tawur Agung Eka Dasa Rudra pernah dilaksanakan pada Sukra Pon Julungwangi, tanggal 9 Maret 1963. Kemudian dilaksanakan lagi pada Buda Pahing Wariga, tanggal 28 Maret 1979.
Upacara Eka Dasa Rudra termasuk bagian dari upacara bhuta yajna dalam tingkat besar dibawah upacara maligya gumi, dan dilaksanakan dalam kurun waktu atau periode yang lama (100 tahun sekali). Urutan upacara bhuta yajna dari tingkat terkecil sampai terbesar adalah: caru panca sata, panca sanak, panca kelud, balik sumpah, mesapuh-sapuh, panca wali krama, eka dasa rudra dan maligya gumi.
Eka Dasa Rudra disebutkan dalam lontar Dewa Tattwa sebagai upacara Tawur Agung yang merupakan rangkaian dari upacara Bhuta Yadnya. Upacara yang dilaksanakan di Pura Agung Besakih ini bertujuan untuk menjaga keharmonisan Bhuana Agung dan Bhuana Alit sebagai aplikasi dari filosofi Tri Hita Karana.


RUMUSAN MASALAH
Upacara Eka Dasa Rudra merupakan upacara yang terbesar yang pernah dilaksanakan di Bali tahun 1963 dan 1979. Justru, di India upacara yang berdasarkan konsep Rudra atau Eka Dasa Rudra ini belum pernah dilaksanakan. Upacara ini melibatkan banyak orang dengan menghabiskan biaya besar, waktu yang panjang, dan tenaga yang banyak. Dibalik penyelenggaraan upacara Eka Dasa Rudra yang besar ini, ada beberapa pertanyaan yang penting yang harus mendapat penjelasan, yaitu:
1.      Apakah upacara Eka Dasa Rudra di Besakih bersumber pada kitab suci Weda?
2.      Mengapa setelah Upacara Eka Dasa Rudra 1963 dilakukan lagi upacara yang sama pada tahun 1979?
3.      Apa perbedaan Upacara Eka Dasa Rudra yang dilaksanakan pada tahun 1963 dengan tahun 1979?

PEMBAHASAN
Siapakah Dewa Rudra?
Rudra adalah dewa yang termasuk gugusan dewa-dewa dalam Kitab Weda Dalam Kitab Rig Weda, nama Rudra sedikit disebut, tetapi dalam berbagai kitab sesudah Rig Weda, Rudra semakin banyak dipuja dan bahkan didentikkan dengan Siwa (Siwa-Rudra). Dalam Kitab Yajurweda dan Atharaweda, Rudra digambarkan sebagai laki-laki bertubuh besar, perut warna biru, punggung berwarna merah, kepala biru (Nilagriwa), rambut keriting panjang terurai, seluruh tubuh memancar sinar keemasan. Tangannya memegang busur dan panah yag bercahaya. Karakternya sangat angker, sangat menakutkan dan mengerikan.
Dalam Rig Weda disebut Rudra sebagai pemburu Ilahi, menyusuri jalan sepi, mencari orang yang bisa dimangsanya. Dia Asura Agung dari sorga. Dalam Kitab Atharwa Weda disebutkan Rudra sebagai raja semesta, melepaskan anak panahnya kepada siapa pun yang dikehendaki, dan anak panahnya menyebabkan kematian atau memberi penyakit. Bahkan para dewa pun takut, bahwa Rudra akan menghancurkan mereka, karena tidak ada yang lebih kuat daripadanya.
Uniknya, Rudra memiliki sifat Rwa Binnedha, yaitu menakutkan/ghora dan tenang/santa. Rudra sebagai pembunuh kejam tetapi sekaligus memberi kelembutan yang luar biasa. Rudra membunuh dan menghidupkan, menyakiti dan menyembuhkan. Tak seorangpun dapat lepas dari tangannya. Bukan hanya sebagai perusak besar, tapi  juga penyembuh Ilahi dengan persediaan ribuan macam jampi. Tangannya suka mengelus menyembuhkan dan menyejukkan, serta dapat mengusir penyakit-penyakit yang disebabkan oleh dewa-dewa lainnya.
Dalam Atharwa Weda lebih lanjut disebutkan, Rudra diberi gelar Pasupati sebagai raja kawanan ternak. Dalam wujud inilah para pemuja suka memujinya, sebab mereka menganggap diri mereka sebagai bagian dari kawanan ternak, dan Rudra adalah raja kawanan ternak. Bahkan lebih itu, Rudra adalah rajanya dari kehidupan liar di hutan. Rudra tinggal di gunung dan hutan sebagai pemuja Lingga.
Dalam diri Rudra sendiri pertentangan-pertentangan dipertemukan tapi belum didamaikan. Berbeda dengan Siwa, dalam diri Siwa juga terdapat pertentangan-pertentangan yang dipertemukan untuk diatasi dan diperdamaikan.
Nama Rudra juga terdapat dalam Kitab Buana Kosa. Kitab Buana Kosa menyebutkan Rudra sebagai bagian dari Tri Murti. Pada VII.25, disebutkan, “Utpatti Bhagawan Brahma, sthiti Wisnuh tathe waca, pralina Bhagawan Rudrah, trayastre lokya saranah”. Artinya: Bhatara Brahma sebagai pencipta, Bhatara Wisnu memelihara, Bhatara Rudra melebur. Ketiga dewa itu menjadi pelindung dunia.
Dalam pengider-ider di Bali, Rudra ditempatkan pada arah mata angin di barat daya (neiriti). Dalam hal ini Rudra sebagai manifestasi Siwa, bagian dari Dewata Nawa Sanga, dengan Siwa berada di tengah-tengah (madya). Dalam pengider-ider, Rudra digambarkan bersenjata Moksala, wahananya kerbau, urip 3, warna orange, aksara suci Mang, dengan wuku warigadean, pahang, dan prangbakat.

Konsep Eka Dasa Rudra
Rudra dikenal sebagai dewa penyebab kematian, penyebab dan penyembuh penyakit. Rudra juga dikenal sebagai penguasa angin topan, pelebur alam semesta.  Untuk mencegah terjadinya kehancuran akibat kemarahannya, maka Rudra dipuja secara istimewa dengan doa-doa khusus untuk ‘menenangkan’ dan meredakan kemarahannya.
Sifat Rudra yang pemarah itu sangat terkait dengan riwayat kelahirannya. Kisah kelahiran Rudra terdapat dalam beberapa Purana dengan beragam cerita. Disebutkan Rudra lahir dari kening Brahma yang sedang marah. Rudra yang lahir ini berbadan setengah laki-laki dan setengah perempuan. Dari tubuh Rudra ini lahirlah sebelas putra Rudra. Badan Rudra yang berjumlah sebelas ini menurut kitab Wisnu Purana merupakan asal mula Eka Dasa Rudra.
Konsep tentang sebelas Rudra telah dikembangkan di dalam Rig Weda. Kedelapan Wasu dan ketiga Prana bersama-sama membentuk angka sebelas sebagai sebelas Rudra. Penjelasan tentang Rudra dijabarkan di dalam upanishad-upanishad, dimana ke sebelas Rudra adalah simbol-simbol dari sebelas kekuatan-kekuatan prana.
Sedangkan menurut Anna Mathews, yang tinggal di Bali selama hampir 12 bulan pada saat terjadinya letusan Gunung Agung 1963, tawur Eka Dasa Rudra adalah sebuah ritual yang ditujukan untuk menyucikan sebelas penjuru angin. Sebelas Rudra ini didentikkan dengan sebelas penjuru mata angin, yaitu: 8 penjuru, 1 tengah, 1 zenith dan 1 nadir.
Tentang kesebelas Rudra, selanjutnya ditemukan di dalam Purana-Purana, seperti Kitab Wisnu Purana yang telah disebutkan di atas. Dalam kitab Lingga Purana disebutkan dengan jelas bahwa kesebelas Rudra adalah tidak lain dari kesebelas getaran Prana Brahma sebagai yang menjelma di dalam seluruh ciptaan yang hidup. Kesebelas prana itu, menurut Agastia harus tetap dijaga kesuciannya untuk tercapainya bhutahita atau sarpranihita.
Sehubungan dengan penyucian itu, waktu yang tepat adalah saat pergantian tahun. Dimana tahun baru Saka (tanggal 1 bulan 1 tahun 1 Saka) ditetapkan oleh Raja Kaniskha pada tanggal 22 Maret 79. Sehari sebelumnya, tanggal 21 Maret 79 terjadi peristiwa alam yang sangat penting, yaitu gerhana matahari total. Pada saat terjadinya gerhana, baik gerhana matahari (surya graha) maupun gerhana bulan (candra graha), matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus.


Eka Dasa Rudra 1963
Pada tanggal 28 April 1908 Belanda berhasil menguasai Pulau Bali secara keseluruhan setelah menaklukkan Kerajaan Klungkung, melalui perang Puputan Klungkung. Bali kemudian dijadikan sebagai bagian dari Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda. Akibat penguasaan Belanda terhadap Bali, pada tahun-tahun awal abad ke-20 situasi politik masih kacau sehingga berdampak terhadap Pura Besakih dan pura-pura kahyangan jagat lainnya yang semakin terabaikan. Hingga, pada tanggal 21 Januari 1917 Bali diguncang gempa dahsyat pada pukul 6.50 pagi selama 45 detik, disusul oleh gempa 4 Februari dan gempa-gempa berikutnya selama dua minggu. Bali selatan bagian tengah mengalami kerusakan yang paling parah. Tercatat 1.372 orang tewas atau hilang. Gempa bumi dahsyat ini dikenal dengan Gejer Bali. Bencana alam dahsyat ini dipercaya oleh tokoh-tokoh dan masyarakat Bali sebagai pertanda buruk, kemurkaan dewa-dewa atas ditelantarkannya pura-pura di Bali.
Peristiwa Gejer Bali ini membuat Pemerintah Kolonial membentuk Paroeman Kerta Negara, yang terdiri dari penguasa-penguasa daerah. Lembaga ini membuat dua keputusan penting, yaitu menyelenggarakan Panca Walikrama pada tahun 1933 dan upacara Bhatara Turun Kabeh tahun 1936. Setelah NKRI terbentuk, perhatian pemerintah semakin besar, dan ini terlihat dramatis dalam pelaksanaan upacara Panca Walikrama tahun 1960 dan Eka Dasa Rudra tahun 1963.
Pelaksanaan Eka Dasa Rudra tahun 1963 menjadi peristiwa yang sangat monumental. Eka Dasa Rudra 1963 disebut peneregteg karena upacara ini belum pernah dilaksanakan setelah melewati masa beberapa ratus tahun sebelumnya. Upacara ini  mempengaruhi semua umat Hindu sampai pada tingkat yang lebih besar daripada upacara yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pada saat persiapan upacara dilakukan, secara kebetulan Gunung Agung meletus untuk pertama kalinya dalam kurun waktu lebih dari seabad. Letusan Gunung Agung dimulai tanggal 18 Pebruari 1963 dan berakhir 27 Januari 1964. Upacara tetap dilakukan walaupun terjadi letusan. Puncak karya pada tanggal 9 Maret 1963. Upacara berlangsung dalam kondisi yang luar biasa.
Penduduk mendengar ledakan yang sangat keras pada tanggal 18 Pebruari 1963, menyaksikan awan panas muncul dari kawah Gunung Agung. Suhu di sekitar gunung pun makin meningkat, mata air menjadi kering, tumbuhan disekitar gunung menjadi dan binatang pada mengungsi. Tanggal 23 Pebruari 1963 pukul 08.30 di sekitar Besakih, Rendang, dan Selat dihujani batu kecil serta tajam, pasir serta abu. Lava di Utara tetap meleleh, lahar hujan mengalir hingga di desa Sogra, Sangkan Kuasa. Asap semakin pekat, penduduk Sogra, Sangkan Kuasa, Badeg Dukuh dan Badeg Tengah mengungsi ke Selatan. Dan seterusnya. Akibat awan panas korban meninggal 820 orang, akibat lahar korban meninggal 165 orang, terkena bebatuan meninggal 163 orang.
Stuart-Fox dalam disertasinya yang berjudul “Pura Besakih – Pura, Agama, dan Masyarakat Bali”, berulang-ulang kali menyebut upacara Eka Dasa Rudra tahun 1963 sebagai perayaan yang LUAR BIASA. Masyarakat Bali ‘berjibaku’ demi terselenggaranya perayaan ini. Upacara ini seolah-olah menjadi taruhan, walau apa pun terjadi upacara tetap jalan. Panitia mengumumkan melalui surat kabar Suara Indonesia, menegaskan bahwa ‘Karya Eka Dasa Rudra Djalan Terus’. Gambar 01 menunjukkan letusan Gunung Agung 1963.
Anna Mathews bersama suaminya Denis yang tinggal di Desa Iseh Karangasem pada masa pemulihan pascarevolusi dan Perang Dunia II, sempat membuat catatan tentang letusan Gunung Agung, yang dirangkum Vickers, sebagai berikut:
“....Tanggal 3 Maret 1963 dilakukan sebuah prosesi usungan dan turun ke laut dekat Klungkung untuk ritual mandi dan penyucian. Lalu para dewa kembali ke pura. Di sepanjang perjalanan menerima persembahan dan doa-doa yang juga melewati desa kami, Iseh. Begitu para dewa kembali ke pura, tidak ada yang menyangka akan datangnya bencana. Tanah berguncang beberapa detik, sesaat kemudian terdengar ledakan yang luar biasa, disertai jeritan histeris panik yang pecah dari sekelompok anak di persimpangan. Asap hitam beracun membumbung dalam sebuah gumpalan yang sangat tebal, menjalar ribuan kaki dalam hitungan detik. Bebatuan besar beterbangan dari mulut kawah di atas semburan air. Lintasannya jelas batu-batu tersebut jatuh menimpa lereng gunung. Kami menuju Rendang, kami lihat orang-orang berdiri tanpa tujuan di jalan. Orang-orang berkumpul membentuk kelompok kecil di ujung jalan desa. Dimana-mana terlihat wanita dan juga laki-laki menggendong anak-anak dan bayi, Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ratusan orang berjalan telanjang kaki dalam diam. Mereka pergi dari desanya dengan membawa ternaknya dalam diam, tanpa kata-kata. Mereka tidak mengharapkan belas kasihan orang dan mereka tidak mendapatkannya.....”
Sampai pada puncak upacara gunung tetap aktif, namun tidak keras. Letusan lebih banyak menelan korban di lereng bagian utara. Sepanjang masa letusan tidak  mengakibatkan kerusakan yang berat pada komplek bangunan suci. Ironisnya, sebuah gempa bumi tektonik yang kuat terjadi pada tanggal 18 Mei 1963, yang disusul oleh gempa-gempa lainnya merusak bangunan-bangunan Pura Besakih, sebulan setelah Eka Dasa Rudra selesai.
Gunung Agung meletus sebelum hingga setelah Eka Dasa Rudra tahun 1963 selesai.

Adanya bencana gempa bumi pada saat upacara berlangsung dipandang sebagai pertanda buruk. Masyarakat Bali percaya gempa tersebut bukan gejala alam biasa. Terdapat hubungan hakiki antara alam semesta (Bhuana Agung) dengan diri manusia (Bhuana Alit). Dan, gempa bumi adalah dipandang sebagai respon buruk dari Bhuana Agung. Upacara Eka Dasa Rudra belum dapat ‘menenangkan’ Dewa Rudra. Upacara yang diharapkan dapat memberikan keseimbangan, keharmonisan kehidupan manusia tidak kunjung tiba. Dua tahun kemudian, terjadi peristiwa politik yang mengerikan, ketika puluhan ribu orang tewas dalam pembantaian tragedi berdarah pemberontakan G 30 S PKI. Kemudian bencana lain melanda Bali, tahun 1974 sebuah pesawat jet penumpang internasional jatuh menewaskan seluruh awak dan penumpangnya.
Tanggal 14 Juli 1976 kembali Bali diguncang gempa yang berpusat di Seririt Buleleng. Gempa dengan kekuatan 6.5 skala richter tercatat menewaskan 600 orang, 850 orang luka berat. Bangunan-bangunan di Buleleng Barat rusak berat, di Tabanan dan Jembrana dilaporkan 75% bangunan rusak.
Sejumlah bencana dan musibah tersebut di atas membangkitkan pertanyaan dan keraguan terhadap kepatutan penentuan waktu pelaksanaan Eka Dasa Rudra 1963. Sehingga sebuah paruman khusus diadakan di Besakih pada 24 Juli 1977 yang dihadiri 200 pendeta dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Paruman menghasilkan keputusan akan diadakan upacara Panca Walikarama di tahun 1978 dan Eka Dasa Rudra 1979.
Keputusan penentuan waktu pelaksanaan Eka Dasa Rudra di atas sesuai menurut teks Indik Ngeka Dasa Rudra. Dalam lontar milik Griya Intaran Sanur (Gedong Kertya Singaraja Nomor 1C, 2478) disebutkan Eka Dasa Rudra diselenggarakan 100 tahun sekali, ketika tahun Saka berakhir dengan 00 atau Rah Windu Tenggek Windu.

Eka Dasa Rudra 1979.
Sebagai realisasi dari keputusan paruman, Eka Dasa Rudra 1979 dilaksanakan pada Bhuda Pahing Wariga 28 Maret 1979 bertepatan dengan Tilem Caitra Saka 1900, ketika Bumi, Bulan, dan Matahari berada dalam posisi garis lurus di atas Katulistiwa. Sementara Eka Dasa Rudra 1963 tidak memenuhi perhitungan seperti itu.
Eka Dasa Rudra 1963 dilaksanakan pada zaman Orde Lama, dimana Presiden Soekarno tidak hadir upacara ini. Ia diwakili oleh Komandan Angkatan Perang Indonesia Jenderal Ahmad Yani. Eka Dasa Rudra 1979 dilaksanakan pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto hadir pada puncak perayaan didampingi oleh Menteri dan Pejabat Pusat lainnya. Kehadiran presiden setidaknya mengangkat status upacara Eka Dasa Rudra menjadi berskala nasional, dan status nasional Pura Besakih sebagai tempat suci Hindu terbesar di Indonesia.
Pada penyelenggaraan Eka Dasa Rudra 1979, sebagai pelindung Gubernur Bali dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Sekretaris Daerah sebagai Ketua Umum. Sekretaris Jenderal Parisada, Wayan Surpha dan Kepala Kantor Departemen Agama Provinsi Bali I Gusti Agung Gede Putra memainkan peran utama. Sedangkan pada penyelenggaraan Eka Dasa Rudra 1963 sebagai pelindung adalah Panglima Kodam XVI Udayana, sekaligus mengontrol pendanaan pemerintah pusat. Gubernur sebagai kepala pengawas, ketua Ida I Dewa Agung Klungkung, sebagai penghormatan atas status tradisonalnya. Dewa Agung Klungkung secara de facto masih mempunyai pengaruh yang kuat untuk mengerahkan orang-orang yang terampil dalam pelaksanaan upacara.
Upakara pada Eka Dasa Rudra 1963 didasarkan pada naskah upacara milik Geriya Cucukan Klungkung. Persiapan upacara diserahkan kepada Puri Klungkung. Sedangkan pada Eka Dasa Rudra 1979 peran Parisadha semakin dominan, yang berperan besar adalah I Gusti Agung Mas Putra (Istri dari kepala kantor Departemen Agama Provinsi Bali) mengatur bagian upakaranya. Ia membandingkan berbagai naskah yang relevan serta berkonsultasi dengan pendeta yang mengetahui mengenai upakara terkait.






SIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas diperoleh beberapa kesimpulan antara lain:
1.      Upacara Eka Dasa Rudra bersumber pada kitab suci Weda. Rudra termasuk salah satu dewa dalam Kitab Weda. Dalam Wisnu Purana disebutkan badan Rudra yang berjumlah sebelas merupakan asal mula Eka Dasa Rudra. Eka Dasa Rudra merupakan penyucian sebelas penjuru angin.
2.      Upacara dilaksanakan setiap 100 tahun sekali, ketika tahun Saka berakhir 00 (tenggek windu rah windu), dan dilaksanakan  sehari sebelum pergantian tahun Saka, yaitu pada Tilen Caitra.
3.      Pada waktu Eka Dasa Rudra 1963 diselenggarakan, secara kebetulan Gunung Agung meletus. Disusul oleh sejumlah bencana dan musibah lainnya yang melanda Bali, yang membuat para tokoh mengakaji ulang akan kebenaran pemilihan waktu dan kekeliruan dalam pelaksanaan Eka Dasa Rudra 1963. Sehingga diputuskan penyelenggaraan ulang Eka Dasa Rudra tahun 1979, dimana tahun Saka berakhir 00.
4.      Presiden Soeharto hadir dalam puncak acara Eka Dasa Rudra 1979. Hal ini menandakan, bahwa upacara Eka Dasar Rudra berskala nasional dan mengangkat status nasional Pura Besakih sebagai pura terbesar umat Hindu di Indonesia.
5.      Pada Eka Dasa Rudra 1963, Puri Klungkung memainkan peran yang utama dalam aspek upakara. Sedangkan pada Eka Dasa Rudra 1979 yang peran Parisadha. Aspek upakara dipimpin oleh I Gusti Mas Putra dengan mengkaji beberapa naskah atau teks-teks dan dikonsultasikan dengan sejumlah pendeta.

Rabu, 21 Maret 2012

BABAD BADUNG

-->
  






BADUNG PADA JAMAN
SUB DINASTI JAMBE
(1750 – 1788 M)


Lahirnya Putera Utama Kyai Ketut Bendesa
            Untuk mengetahui asal-usul Kyai Jambe Merik, diceritakan kembali tokoh  Arya Kenceng yang diberikan kekuasaan oleh Dhalem di daerah Tabanan (waktu itu istilah Tabanan belum ada), mendirikan istana di desa Buwahan atau di Pucangan,  mempunyai putera kandung, yang sulung bernama Sri Maghada Prabu dan adiknya Sri Maghada Natha. Selain itu Arya Kenceng juga memiliki putera bernama Kyai Arya Tegeh Kori, seperti yang diceritakan di depan. Putera sulung tidak berambisi menjadi raja, Sri Maghada Natha menggantikan ayahnya menjadi raja dengan gelar Arya Ngurah Tabanan atau Arya Pucangan.
            Arya Ngurah Tabanan pernah diperintah oleh Dhalem untuk mengamati situasi di kerajaan Wilatikta (Majapahit). Di sana beliau melihat suasana yang kacau balau  akibat islamisasi. Setelah cukup mengatahui keadaan di Majapahit, Arya Ngurah Tabanan pulang kembali ke Bali menghadap Dhalem di Gelgel untuk memberikan laporan. Setelah memberikan laporan, Arya Ngurah Tabanan mendengar berita bahwa adiknya (wanita) yang diperistri oleh Dhalem, diberikan lagi oleh Dhalem kepada Kyai Asak di kapal keturunan Arya Kepakisan. Hal ini membuat Arya Ngurah Tabanan merasa sedih, sakit hati, hingga meletakkan jabatan sebagai raja di Buwahan. Tindakan Dhalem ini dinilai tidak menghargai persembahan Arya Ngurah Tabanan. Putera sulungnya Kyai Ngurah Langwang menggantikan ayahnya menjadi raja yang juga bergelar Arya Ngurah Tabanan dengan nama lain Arya Pucangan.
            Setelah meletakkan jabatan Arya Ngurah Tabanan meninggalkan keraton dan mendirikan sebuah pondok di tengah hutan yang disebut Kubon Tingguh. Kubon Tinggoh adalah tempat berduka cita. Dalam kedukaan tersebut beliau ditemani oleh putri  Ki Bendesa Pucangan hingga hamil. Lahirlah seorang putera utama yang diberi nama Kyai Ketut Bendesa. Keutamaan Kyia Ketut Bendesa menimbulkan kecemburuan kakaknya Arya Ngurah Tabanan yang bertahta di Buwahan. Segala macam daya upaya dilakukan oleh Arya Ngurah Tabanan untuk mencelakakan adik tirinya Kyai Ketut Bendesa, namun semua itu tidak pernah berhasil. Pernah Kyai Ketut Bendesa disuruh untuk memangkas pohon Beringin yang tumbuh di Alun-alun Puri. Pohon Beringin ini amat keramat dan ditakuti oleh semua orang karena amat angker. Tetapi tugas ini berhasil dilaksanakan Kyai Ketut Bendesa dengan gemilang tanpa ada bahaya apapun, sebagai bukti memang Kyai Ketut Bendesa adalah putera yang utama. Sejak saat itu Kyai Ketut Bendesa diberi gelar Kyai Notor Wandira/Waringin.
           
Kyai Notor Wandira Mendapat Anugrah Bhatari Danu
Setelah menginjak dewasa Kyai Notor Wandira melakukan suatu perjalanan untuk mendapatkan keagungan dan kebesaran. Dalam perjalanan beliau sampai di desa Tambiak, bertemu dengan seorang laki-laki hitam, berambut merah, bergigi putih yang tidak tahu tentang dirinya sendiri.     Oleh sebab itu dipungut sebagai sahaya oleh Kyai Arya Notor Wandira yang kemudian diberi nama Ki Andagala atau Ki Tambiak. Perjalanan diteruskan sampai ke puncak gunung Watukaru. Di sana beliau bersemadi hingga mendapat wangsit agar perjalanan diteruskan ke Selagiri (gunung Batur). Sampai di gunung Batur Arya Notor Wandira melakukan yoga semadi, hingga akhirnya ada suatu penampakan yang menamakan diri Bhatari Danu. Bhatari Danu memberi petunjuk ke arah Selatan yang terlihat Badeng (gelap), Arya Notor Wandira agar menghadap Kyai Anglurah Tegeh Kori yang sedang berkuasa, di sanalah tempat mendapat keagungan dan kebesaran. Arya Notor Wandira dianugrahi pusaka berupa Tulup dan Pecut. Setelah mendapat anugerah Bhatari Danu Batur Arya Notor Wandira dengan diiringi oleh Ki Tambiak yang setia melanjutkan perjalanan ke arah Selatan seperti yang ditunjuk oleh Bhatari Danu. Kata Badeng inilah yang kemudian jadi kata Badung.

Arya Notor Wandira Menghamba Kepada Tegeh Kori
Diceritakan perjalanan Arya Notor Wandira sampai di desa Lumintang, wilayah kekuasaan Kyai Anglurah Tegeh Kori, bertemu dengan Ki Buyut Lumintang, salah seorang pemuka kerajaan. Setelah beberapa lama tinggal di desa Lumintang Arya Notor Wandira diiringi Ki Buyut Lumintang bertemu dengan Ki Mekel Tegal, untuk kemudian akhirnya menghadap Kyai Anglurah Tegeh Kori di Puri Tegal. Pertemuan ini sangat mengharukan kedua pihak, karena antara Kyai Tegeh Kori dan Arya Notor Wandira ada hubungan Paman – Ponakan. Arya Notor Wandira menyatakan hasratnya untuk menghamba (mekandelin) pamannya di bumi Badung. Kyai Tegeh Kori menyambut baik niat tersebut (versi lain lain: Arya Notor Wandira kedharma putra oleh Tegeh Kori). Arya Notor Wandira diberikan fasilitas tinggal di Badung dengan dibuatkan kediaman di dusun Kerandan. Demikianlah Arya Notor Wandira tinggal di Badung dan menurunkan parati sentana terus berkembang turun tumurun, yang kemudian keturunannya membangun sebuah Pemerajan di Nambangan, yang dinamakan Pura Tambang Badung sekarang.

Keturunan Arya Notor Wandira di Kerajaan Tegeh Kori
            Diceritakan sekarang seorang parati sentana terkemuka dari dinasti Arya Notor Wandira bernama Kyai Bebed atau Kyai Jambe Pule nama lain beliau adalah putera dari Kyai Papak. Meskipun kekuasaan berada di tangan Kyai Anglurah Tegeh Kori XI, tetapi urusan sehari-hari pemerintahan lebih banyak dijalankan oleh Kyai Jambe Pule, karena putera-putera dari Kyai Tegeh Kori tidak mempunyai rasa tanggung jawab terhadap pemerintahan. Kyai Jambe Pule lebih mendapat simpati di kalangan rakyat banyak. Oleh karena itu ketika terjadi pertikaian yang disebabkan oleh kesalahan Kyai Tegeh Kori XI membatalkan perkawinan puterinya dengan Kyai Jambe Merik putera Kyai Jambe Pule, rakyat lebih banyak mendukung Kyai Jambe Pule. Kyai Jambe Pule dengan dukungan rakyat memberontak dan menumbangkan kekuasaan Arya Tegeh Kori XI.
Kyai Jambe Pule mempunyai isteri terkemuka 3 orang. Isteri pertama berasal dari keluarga Pucangan juga menurunkan putera utama Kyai Ngurah Jambe Merik. Isteri yang ke dua berasal dari desa Tumbak Bayuh menurunkan putera utama Kyai Ngurah Glogor. Isteri ke tiga berasal dari Bebandhem menurunkan putera utama Kyai Nyoman Pemedilan, atau juga disebut Kyai Ngurah Pemecutan I, juga Kyai Macan Gadhing nama lainnya. Ketiga Putera utama dari Dinasti Arya Notor Wandira: Kyai Ngurah Jambe Merik, Kyai Ngurah Pemecutan I, dan Kyai Ngurah Glogor inilah yang menerima warisan anugrah dari Bhatari Danu.
            Kyai Ngurah Jambe Merik diberikan tempat kedudukan di Alang Badung, istananya bernama Puri Peken Badung (daerah Suci sekarang). Pemerajannya bernama Pura Suci.  Kyai Ngurah Glogor diberi tempat kedudukan di Puri Glogor (di dekat Banjar Glogor sekarang). Kyai Ngurah Pemecutan I diberi tempat kedudukan di Puri Pemecutan. Lokasi Puri Pemecutan, di sebelah Selatan kuburan Badung, di sebelah Barat Pemerajan Nambangan, di sebelah Utara Gerya Telabah, di sebelah Timur Jl. Thamrin sekarang. Kyai Ngurah Pemecutan I sewaktu masih bayi ditinggal oleh ibunya, beliau diasuh oleh Si Tunjung Gunung, termasuk juga Ki Andagala atau Ki Tambiak.
Kyai Jambe Merik dan Kyai Pemecutan I pernah diutus ke Dhalem Gelgel. Di Istana Gelgel terdapat  beberapa burung Gagak yang mengganggu kenyamanan Dhalem. Kyai Jambe Merik melaksanakan tugas dengan baik membunuh burung-burung tersebut dengan senjata Tulup, sehingga setelah meninggal diberi gelar Bhatara Hyang Anulup. Sementara Kyai Pemecutan I disuruh bertarung adu cambuk/cemeti/pecut dengan beberapa pemuda di Gelgel. Berkat kepandaiannya main pecut beliau berhasil mengalahkan pemuda-pemuda tersebut. Oleh sebab itu beliau diberi julukan Kyai Ngurah Pemecutan. Selanjutnya yang mengemuka dalam sejarah Badung adalah: Kyai Jambe Merik menurunkan Sub Dinasti Jambe, dan Kyai Ngurah Pemecutan I  menurunkan Sub Dinasti Pemecutan.


Kyai Anglurah Jambe Merik Raja Badung I
            Setelah berhasil menggulingkan kekuasaan Arya Tegeh Kori Kyai Anglurah Jambe Merik menjadi raja di Badung beristana di Alang Badung (daerah Suci sekarang), dengan Pemerajannya bernama Pura Suci, istananya bernama Puri Peken Badung. Kyai Jambe Merik dapat dikatakan sebagai pendiri kerajaan Badung. Pada jamannya beliau mengirim adiknya Kyai Ngurah Pemecutan I untuk membebaskan kota Gelgel dari pendudukan I Gusti Agung Maruti sejak tahun 1686. Kyai Ngurah Pemecutan I gugur dalam pertempuran di desa Batu Klotok. Sebagaimana diketahui salah seorang isteri Dhalem Di Made adalah saudara dari Kyai Jambe Merik, yang menurunkan Dewa Agung Jambe Raja Klungkung I.
           
Kyai Anglurah Jambe Ketewel Raja Badung II
Setelah Kyai Jambe Merik meninggal, digantikan oleh puteranya Kyai Anglurah Jambe Ketewel. Beliau masih menempati kediaman ayahnya di Puri Peken Badung. Pada jamannya dibangun bendungan (DAM) raksasa di tukad Sagsag, di mana sepasang suami-istri dari abdi menyerahkan nyawanya (jadi caru) menjadi dasar bendungan tersebut. Suami-istri tersebut menceburkan diri di tempat sekitar 75 meter ke Utara dari lokasi bendungan sekarang, disaksikan oleh raja Badung, pejabat-pejabat kerajaan, dan rakyat. Oleh karena itu bendungan tersebut diberi nama Oongan.
Sekitar akhir abad 18 kerajaan Badung diserang oleh laskar Taruna Gowak Panji Sakti dari kerajaan Buleleng, yang dipimpin langsung oleh rajanya Kyai Anglurah Panji Sakti. Pada saat kritis tersebut raja Badung menunjuk Kyai Anglurah Pemecutan II yang beristana di Puri Pemecutan menjadi pemimpin laskar Alang Badung untuk membendung serangan tersebut. Laskar Alang Badung berhasil mendesak mundur laskar musuh dan banyak yang jatuh korban di pihak Buleleng. Sisa anggota laskar melarikan diri ke desa Tanguntiti. Karena reputasinya ini setelah wafat Kyai Anglurah Pemecutan II disebut Bhatara Sakti. Tempat terjadinya pertempuran tersebut kemudian diberi nama Taensiat.
Pada jamannya, Dewa Agung Jambe dari Klungkung melakukan kunjungan ke Badung untuk mengucapkan rasa terimakasihnya atas dukungan Badung dalam mengakhiri pendudukan Patih Agung I Gusti Agung Maruti di istana Gelgel. Dewa Agung Jambe menghadiahkan desa Batu Bulan sebagai wilayah kekuasaan Badung.

Kyai Anglurah Jambe Tangkeban Raja Badung III
            Dalam masa pemerintahannya tidak terjadi hal-hal penting yang menyangkut masalah eksternal kerajaan. Menurut Babad Timbul, pada jamannya datanglah seorang bangsawan keturunan Dhalem Sukawati yang bernama Dewa Agung Made bersama adik-adiknya seperti: Dewa Agung Karang, Cokorda Anom, dan Cokorda Ketut Segara, beserta putera – puteri  beliau. Kedatangan Dewa Agung Made ini adalah karena perselisihannya dengan kakaknya Dewa Agung Gede yang memerintah kerajaan Dhalem Sukawati.
Mengetahui Dewa Agung Made dalam keadaan sedih, Kyai Anglurah  Jambe Tangkeban menjamu tamunya dengan baik. Sampai salah seorang putri keluarga Puri hamil akibat hubungannya dengan Dewa Agung Made. Setelah diperistri oleh Dewa Agung Made, gadis yang sedang hamil itu diberikan kepada Kyai Jambe Tangkeban dengan syarat jangan dicampuri sebelum anak itu lahir. Lahirlah seorang bayi laki-laki yang kemudian menurunkan parati sentana di Puri Jero Kuta. Bayi yang kemudian menjadi cikal bakal Puri Jero Kuta ini, putera kandung dari Dhalem Sukawati dan putera tiri dari Kyai Jambe Tangkeban dari Sub Dinasti Jambe (bukan Sub Dinasti Pemecutan).

Kyai Anglurah Jambe Aji Raja Badung IV
Kyai Jambe Aji menggantikan kedudukan ayahnya yang sudah tua. Beliau mendirikan istana baru bernama Puri Ksatria sekaligus memindahkan pusat pemerintahannya. Komplek Puri di Utara berbatasan dengan dusun Taensiat, sebelah Timur dusun Kaliungu, Selatan dusun Belaluan, dan Barat dusun Tampak Gangsul. Dalam komplek Puri terdapat Gerya yang dinamakan Gerya Ksatrya, dan pasar yang dinamakan Pasar Ksatrya. Karena megahnya keadaan Puri Ksatrya itu beliau disebut juga Kyai Jambe Aeng.
Salah seorang isteri dari Kyai Anglurah Jambe Aji adalah puteri dari Kyai Pemecutan II melahirkan putera mahkota yang bernama Kyai Jambe Ksatrya. Kyai Jambe Ksatrya kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja Badung.

Kyai Anglurah Jambe Ksatrya Raja Badung V
            Kyai Anglurah Jambe Ksatrya adalah raja Badung terakhir dari Sub Dinasti Jambe. Diceritakan Kyai Jambe Ksatrya mempunyai kesenangan berjudi sabung ayam. Beliau mempercayakan ayam – ayamnya dipelihara oleh I Gusti Ngurah Rai dari Sub Dinasti Pemecutan yang tinggal di Puri Kaleran (asal-usul Puri Kaleran akan diceritakan pada bab berikutnya). Akibat seringnya I Gusti Ngurah Rai ke kediaman Kyai Jambe Ksatrya untuk mengurus ayam sang Raja, terjadi hubungan gelap antara I Gusti Ngurah Rai dengan salah satu istri raja yang masih muda. Hubungan ini akhirnya diketahui juga oleh raja. Raja sangat marah dan berencana memberi hukuman.
Merasa bersalah I Gusti Ngurah Rai mohon maaf, tapi raja tidak bersedia mengampuni. I Gusti Ngurah Rai segera mencari upaya untuk keluar meloloskan diri dari wilayah kekuasaan Badung. Mula pertama beliau pamitan kepada ibundanya  di Jro Krobokan, kemudian meneruskan perjalanan sampai ke desa Serangan sampai akhirnya menyeberang ke Lombok. Sementara laskar Jambe sibuk mencari putera dari Puri Kaleran tersebut.
I Gusti Ngurah Rai diterima baik oleh raja Sasak, dan diperlakukan seperti keluarga sendiri. Di sana beliau dapat pelajaran dan pengalaman lain yang menambah kematangannya dalam urusan politik dan ketata-negaraan. Sementara itu pihak keluarga Kaleran mengatur siasat untuk menghadapi kekuasaan.

Berakhirnya Kekuasaan Sub Dinasti Jambe
            Kemelut yang berkepanjangan antara Puri Kaleran dari Sub Dinasti Pemecutan dengan Puri Alang Badung yang berkuasa, sangat mengganggu aktifitas sehari-hari kerajaan dan rakyat Badung. Sementara itu Puri Pemecutan mengambil sikap netral tidak memihak manapun, karena yang berseteru ini adalah keluarga sendiri. Ada seorang puteri dari Puri Agung Pemecutan kawin dinikahi oleh Kyai Anglurah Jambe Ksatrya. Oleh karena itu Puri Pemecutan tidak banyak berperan dalam penggulingan kekuasaan Sub Dinasti Jambe.
            I Gusti Ngurah Rai setelah pulang dari Lombok, mencari dukungan ke kerajaan Gianyar, yang waktu itu diperintah oleh Dewa Manggis Api. Beliau juga mencari dukungan ke Gerya Jro Gede Sanur, karena salah seorang puteri dari Sub Dinasti Pemecutan ada yang kawin ke Gerya Jero. Demikian juga I Gusti Ngurah Rai mengadakan kunjungan ke Puri Jro Kuta untuk mencari dukungan. Diplomasi di Jro Kuta memang berat dan riskan, karena Puri Jro Kuta adalah bagian dari keluarga Sub Dinasti Jambe.
            Pagi-pagi buta pada hari yang telah ditetapkan, pasukan Jro Krobokan asal dari Ibunda I Gusti Ngurah Rai bergerak merapat ke Puri Jro Kuta. Gerakan laskar Krobokan ini menyebabkan kepanikan di Puri Alang Badung. Kentonganpun dipukul bertalu-talu. Laskar Jambe bersiap-siap menunggu perintah. Raja Kyai Anglurah Jambe Ksatrya mengetahui banyaknya pihak yang mendukung I Gusti Ngurah Rai, akhirnya bersedia menyelesaikan permasalahan ini dengan pembicaraan keluarga di Puri Jro Kuta. Raja Kyai Anglurah Jambe Ksatrya bersedia menyerahkan kekuasaan, memberikan sebilah keris Singapraga kepada I Gusti Ngurah Rai dan menyuruh menikam raja. I Gusti Ngurah Rai dengan hormat menerima keris itu dan membunuh raja di hadapan para hadirin. Beberapa saat sebelum ditikam Raja Jambe sempat mengeluarkan kutukan agar selama tujuh turunan keturunan dari I Gusti Ngurah Rai menderita sakit ingatan (buduh). Setelah penusukan dilakukan I Gusti Ngurah Made Pemecutan (adik I Gusti Ngurah Rai yang kemudian menjadi raja Badung berikutnya) menunggu di dekat pembaringan raja sampai menghembuskan napas terakhir. Setelah Kyai Anglurah Jambe Ksatrya dipastikan meninggal, dilakukan pengumuman di Jaba Puri Jro Kuta, bahwa Raja Badung sudah wafat. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1788. Laskar-laskar kedua belah pihak yang siap saling berhadapan ditenangkan dan dibubarkan. Kyai Anglurah Jambe Ksatrya kemudian dijuluki Bhatara Maharaja Dewata. Dengan demikian berakhir sudah masa kekuasaan Sub Dinasti Jambe, dan Badung memasuki Jaman kekuasaan Sub Dinasti Pemecutan.
BADUNG PADA JAMAN
SUB DINASTI PEMECUTAN
(1788 – 1906)


Kyai Anglurah Pemecutan I
            Meskipun belum memegang kekuasaan di Badung, namun keluarga Sub Dinasti Pemecutan memiliki kebesaran dan keagungan yang tidak kalah dengan Sub Dinasti yang memegang kekuasaan (Sub Dinasti Jambe). Kyai Anglurah Pemecutan I berhasil mengalahkan beberapa pemuda yang mengeroyoknya dalam adu cambuk yang digelar di istana Dhalem di Gelgel.
Beliau juga dipercaya sebagai panglima laskar Badung, yang dikirim ke Gelgel untuk mengakhiri pendudukan tahta Dhalem oleh Patih Agung I Gusti Agung Maruti. Selain laskar Badung, juga terdapat laskar Buleleng yang dipimpin panglima Ki Tamblang Sampun, dan laskar Sidhemen yang dipimpin langsung oleh I Gusti Ngurah Singharsa. Pasukan Badung menyerang dari Selatan, laskar Denbukit dari yang bermarkas di desa Panasan menyerang dari Barat, dan laskar Sidhemen menyerang dari Utara. Laskar Badung terlebih dahulu kontak dengan laskar I Gusti Agung Maruti dengan jumlah yang lebih besar. Kyai Anglurah Pemecutan I gugur di desa Batu Klotok. Beliau kemudian bergelar Kyai Anglurah Macan Gading dan Bhatara Mur Ring Batu Klotok.
Beliau menurunkan 4 putera dan puteri beribu dari Penataran, yaitu: Kyai Anglurah Pemecutan II, Kyai Madhe Tegal, Kyai Ketut Telabah, dan seorang Puteri menikah dengan Brahmana bernama Ida Ngenjung dari Gerya Jro Gede Sanur.

Kyai Anglurah Pemecutan II
Kyai Anglurah Pemecutan II berkedudukan di Puri Agung Pemecutan. Beliau berjasa dalam mengalahkan laskar Taruna Gowak Panji Sakti dari Buleleng dalam suatu pertempuran yang terjadi di desa yang kemudian dinamakan Taensiat. Semenjak itu beliau dijuluki Kyai Anglurah Pemecutan Sakti (Bhatara Sakti). Beliau mejalankan politik kawin agar banyak mendapat dukungan. Beliau menurunkan beberapa putera terkemuka. Dari Permasuri pertama asal Badung menurunkan Kyai Anglurah Pemecutan III, yang berkedudukan di Puri Agung Pemecutan. Permasuri ke dua Ratu Istri Bongan dari kerajaan Mengwi, menurunkan Kyai Agung Gde Oka Pemecutan, dibuatkan istana baru di Utara bernama Puri Kaleran. Satu lagi putera beliau yang terkemuka adalah Kyai Anglurah Mayun beristana di Puri Kesiman Pengerobongan.
            Kyai Anglurah Gde Oka Pemecutan atau I Gusti Ngurah Gde Oka Pemecutan yang berkedudukan di Puri Kaleran berputera: I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, Beliau membuat tetamanan di Denpasar.
            I Gusti Gde Ngurah Pemecutan berputera: I Gusti Ngurah Rai berkedudukan di Puri Kaleran (yang membunuh raja Jambe), I Gusti Ngurah Made Pemecutan yang mendirikan Puri Denpasar dan kemudian mejadi Raja Badung VI, I Gusti Ngurah Alit Pemecutan membangun istana baru bernama Puri Kaleran Kangin, (sehingga nama Puri Kaleran  yang di Barat berubah menjadi Puri Kaleran Kawan) dan I Gusti Ngurah Ketut Tegal berkedudukan di Puri Tegal.
            Kyai Anglurah Pemecutan III, yang berkedudukan di Puri Agung Pemecutan menurunkan Kyai Anglurah Pemecutan IV. Kyai Anglurah Pemecutan IV wafat di Ukiran. Saudara perempuannya ada yang kawin ke Puri Alang Badung, ada ke kerajaan Taman Bali, dan ke Gerya Wanasari Sanur.
            Kyai Anglurah Pemecutan IV yang wafat di Ukiran mempunyai beberapa orang putera dan puteri, yang terkemuka adalah Kyai Anglurah Pemecutan V, putera yang beribu dari saudaranya Kyai Anglurah Bija dari desa Bun.
            Kyai Anglurah Pemecutan V beristerikan seorang yang berstatus rendahan (Sudra), menurunkan 2 putera dan 2 puteri. Puteri pertama kawin ke Puri Denpasar, dan puteri ke dua kawin ke Puri Jro Kuta. Putera sulung bernama Kyai Agung Gde Raka mewariskan tathta Puri Pemecutan bergelar Kyai Anglurah Pemecutan VI, adiknya yang bungsu Kyai Agung Gde Rai bergelar dan menjabat sebagai Kyai Lanang Pemecutan.
            Kyai Anglurah Pemecutan VI menikahi puteri dari Puri Denpasar, menurunkan Kyai Anglurah Pemecutan VII. Kyai Anglurah Pemecutan VII dijuluki Maharaja Dewateng Kurbhasana, menurunkan puteri yang kemudian dinikahi oleh Kyai Agung Gde Oka putra tertua dari Kyai Lanang Pemecutan, dari Jro Kanginan. Kyai Agung Oka kemudian pindah melangkah memasuki Puri Pemecutan bergelar Kyai Anglurah Pemecutan VIII.
            Kyai Anglurah Pemecutan VIII, memerintah begitu lama di Puri Agung Pemecutan, dijuluki Bhatara Dewateng Madharddha. Beliau tidak berputera (putung). Adapun adik beliau yang bernama Kyai Lanang Pemecutan yang tinggal di Jro Kanginan beristeri puteri dari Puri Jambe, menurunkan putera yang kemudian diangkat sebagai Kyai Anglurah Pemecutan IX atau Cokorda Pemecutan IX. Beliau pindah melangkah, memasuki Puri Pemecutan dan menikahi puteri dari Puri Denpasar. Cokorda Pemecutan IX inilah yang gugur dalam perang Puputan Badung bersama Raja Badung Cokorda Ngurah Made Agung. Dengan hancurnya Puri Pemecutan akibat serangan pasukan Belanda sewaktu Puputan Badung, maka Jro Kanginan mengambil-alih status sebagai Puri Agung Pemecutan yang baru, oleh karena Cokorda Pemecutan IX berasal dari Jro Kanginan.
           
I Gusti Ngurah Made Pemecutan Raja Badung VI (1788 – 1810)
            Kembali lagi. Setelah krisis di kerajaan Badung yang disebabkan oleh perseteruan antara Puri Kaleran Pemecutan dan Puri Ksatrya berakhir dengan wafatnya Kyai Anglurah Jambe Ksatrya, maka kekuasaan beralih kepada keluarga Sub Dinasti Pemecutan. I Gusti Ngurah Made Pemecutan menjadi raja Badung VI  beristana di Puri Denpasar. Beliau  adalah adik dari I Gusti Ngurah Rai yang menikam raja Jambe Kyai Anglurah Jambe Ksatrya.
            Pada masa pemerintahannya, tahun 1805 beliau memperluas kekuasaannya dengan menyerang kerajaan Jembrana yang diperintah oleh I Gusti Ngurah Gde Jembrana. Beliau dapat menaklukkan Jembrana dan mempercayakan Kapten Patini orang Bugis sebagai penguasa daerah tersebut. Namun tahun 1808 Buleleng merebut kembali daerah itu. Kapten Patini beserta orang-orang Bugis banyak mati terbunuh.
            Pada tahun 1808 Raja Badung I Gusti Ngurah Made Pemecutan menanda-tangani kontrak dengan utusan Pemerintahan Hindia – Belanda bernama Van den Wahl. Isi kontrak adalah persahabatan antara kedua belah pihak. Belanda akan melindungi wilayah Badung, untuk itu pasukan Belanda diijinkan membangun rumah-rumah, benteng – benteng  dan gudang – gudang  persenjataan. Perjanjian ini dinilai oleh pengamat politik merugikan pihak Badung.
            I Gusti Ngurah Made Pemecutan mempunyai 7 putera. Putera yang terkemuka adalah I Gusti Gede Ngurah Pemecutan yang kemudian pada tahun 1810 menggantikan ayahnya yang sudah sakit – sakitan.

I Gusti Gde Ngurah Pemecutan Raja Badung VII (1810 – 1818)
            I Gusti Gde Ngurah Pemecutan menjadi raja Badung tetap beristana di Puri Denpasar. Beliau memerintah Kerajaan Badung dalam waktu yang singkat. Pada masa pemerintahannya, tahun 1817 Kerajaan Mengwi pernah menyerang Badung, akan tetapi serangan dapat digagalkan. Sebelum mengakhiri jabatannya pernah disodori kontrak baru oleh pihak Pemerintah Hindia – Belanda yang diwakili oleh Van den Broek. Kontrak ini tidak mau ditanda – tangani karena pihak Belanda tidak mau membantu Badung dalam menyerang kerajaan Lombok. Pada tahun 1818 beliau meninggal, dan sebagai pengantinya diangkat puteranya yang tertua bernama: I Gusti Ngurah Denpasar.

I Gusti Ngurah Denpasar Raja Badung VIII (1818 – 1829)
            I Gusti Ngurah Denpasar menggantikan ayahnya sebagai Raja Badung tetap beristana di Puri Agung Denpasar. Beliau sering menderita sakit sehingga urusan pemerintah lebih banyak ditangani oleh I Gusti Ngurah Pemecutan yang beristana di Puri Agung Pemecutan. Kontrak pada tahun 1826 ditanda tangani oleh I Gusti Ngurah Pemecutan, sedangkan di pihak Belanda diwakili oleh J.S. Wetters. Kontrak ini sangat merugikan Kerajaan Badung, yang antara lain menyatakan bahwa Kerajaan Badung adalah daerah taklukan Pemerintah Hindia – Belanda.
            Pada tahun 1829 Raja I Gusti Ngurah Denpasar meninggal. Oleh karena beliau tidak mempunyai putera maka diselenggarakan Pesamuhan Agung Kerajaan. Hasil Pesamuhan tersebut memutuskan I Gusti Made Pemecutan yang berkedudukan di Puri Agung Kesiman menjadi Raja Badung berikutnya. Beliau kemudian bergelar I Gusti Gde Ngurah Kesiman.

I Gusti Gde Ngurah Kesiman Raja Badung IX (1830 – 1861)
            Pada masa pemerintahannya Kerajaan Badung mengalami kemajuan yang pesat terutama di bidang perdagangan. Ini berkat kecerdasan beliau memerintah Badung dibanding dengan pendahulunya. Tidak jarang beliau berhubungan minta nasihat kepada Dewa Manggis Raja di Puri Gianyar.
            Dalam bidang perdagangan, beliau melakukan perbaikan-perbaikan jalan ruas Kesiman – Kuta, melalui desa – desa seperti: Pagan – Tatasan – Tonja – Denpasar – Titih – Suci – Alangkajeng – Celagigendong – Tegal – Buagan – Abian Timbul – dan Meregaya. Barang – barang yang menjadi komoditi adalah: kapas, pakaian, beras, barang-barang hasil kerajinan tangan, kacang tanah, buah mentimun, buah kelapa, jagung dan ketela, diperdagangkan dari kerajaan tetangganya seperti: Tabanan, Mengwi, Gianyar, Klungkung. Sebaliknya barang – barang yang diperdagangkan Badung adalah: alat – alat rumah tangga, senjata, candu, peluru dan lain-lain. Beliau juga memaksimal dua pelabuhan, yakni: Kuta dan Tuban, disamping pelabuhan lainnya seperti: Benoa, Serangan, Sanur, dan Seseh.
            Ramainya perdagangan di pelabuhan Kuta yang menguntungkan Badung, berkat usaha beliau mengadakan hubungan persahabatan yang akrab dengan saudagar berkebangsaan Denmark tetapi berkewarganegaraan Belanda bernama Mads Johann Lange. Demikian antara lain usaha – usaha yang dilakukan Raja I Gusti Ngurah Gde Kesiman untuk meningkatkan kesejateraan rakyat Badung. Di bidang politik, atas usaha keras diplomatik beliau bersama sahabat karibnya Mads Lange, Belanda mengurungkan niat menyerang Dewa Agung Klungkung pada waktu itu.  Sehingga dapat dipandang pada masa pemerintahan I Gusti Gde Ngurah Kesiman kerajaan Badung mengalami masa kejayaan.

I Gusti Alit Ngurah Pemecutan Raja Badung X (1861 – 1902)
            Pada Tahun 1861 kerajaan Badung kehilangan tokoh karismatik I Gusti Gde Ngurah Kesiman yang meninggal dalam usia 70 tahun. Beliau diganti oleh I Gusti Alit Ngurah Pemecutan atau nama lainnya I Gusti Gde Ngurah Denpasar, yang beristana di Puri Agung Denpasar.
            Satu peristiwa penting dalam masa pemerintahannya adalah keberhasilan Badung menamatkan Kerajaan Mengwi, yang secara resmi dinyatakan takluk pada tanggal 20 Juni 1891. Laskar koalisi Badung, Tabanan, Bangli, Gianyar, dan Klungkung berhasil menghancurkan perlawanan laskar Mengwi. Rajanya yang terakhir Cokorda Ngurah Made Agung diberi gelar Bhatara Mantuk Ring Rana. Menurut babad Mengwi Raja Mengwi Cokorda Ngurah Made Agung gugur di tengah persawahan di sebelah Barat desa Mengwi Tani, bersama sahabat karibnya Ida Pedanda Made Bang dari Gerya Liligundi Buleleng. Sementara keluarga dan sahabatnya yang masih hidup ditawan di Badung, diantaranya Ida Pedanda Gde Kekeran ditawan dan ditempatkan di Puri Tegal.
            Sebab – sebab terjadinya peristiwa Badung menyerang Mengwi, diantara babad berbeda versi, diantaranya adalah: pada masa – masa itu Dewa Agung Klungkung berseteru dengan Karangasem, merebutkan wilayah Lombok. Sedangkan Kerajaan Mengwi dan Karangasem adalah satu keturunan (satu treh: Nararya Kepakisan). Pertimbangan Dewa Agung, kalau Karangasem diserang, maka Mengwi sudah pasti akan membantu Karangasem. Oleh karena itu Mengwi perlu dihabisi dulu. Sementara Badung sangat setia kepada Dewa Agung, karena Raja I Klungkung Dewa Agung Jambe beribu dari Badung. Apapun perintah yang diberikan Dewa Agung, Badung pasti siap melaksanakan, dan terbukti perintah  dilaksanakan dengan baik. Jadi penyerbuan Badung ke Mengwi hanya semata – mata demi kepentingan Dewa Agung Klungkung, dan Kerajaan Mengwi adalah korban dari permusuhan Dewa Agung Klungkung dengan Karangasem.
            Versi lainnya: untuk mengairi sawah – sawah yang ada di Badung, sumber air sebagian besar dari Tukad Ayung yang berhulu di Kerajaan Mengwi. Faktor pengairan atau irigasi sering membuat ke dua kerajaan berperang hingga puncaknya pada bulan Juni 1891.
            Versi lainnya lagi: akibat pencaplokan Mengwi terhadap daerah – daerah milik kerajaan Gianyar seperti: Kuramas, Blahbatuh, Ubud, dan Payangan.

I Gusti Ngurah Made Agung Raja Badung X Terakhir (1902 – 1906)
            Pada tahun 1902 Raja I Gusti Alit Ngurah Pemecutan meninggal. Oleh karena putera mahkota yang bernama I Gusti Alit Ngurah (Cokorda Alit Ngurah) masih belia sekitar 6 tahun, maka kedudukan beliau dijabat oleh adiknya I Gusti Ngurah Made Agung, yang beristana di Puri Agung Denpasar, yang kemudian bergelar Bhatara Mantuk Ring Rana. Beliau tekun belajar sastra dan berguru kepada Ida Bagus Made Sidemen dari Gerya Taman Sanur, yang kemudian mediksa bernama Ida Pedanda Made Sidemen.
Sementara di Puri Agung Pemecutan bertahta Kyai Anglurah Pemecutan IX yang sudah lanjut usia dan sakit – sakitan. Kedua tokoh (Cokorda kalih) inilah yang memimpin perlawanan rakyat Badung dalam Puputan Badung, dengan pusat perlawanan di Puri Agung Denpasar. Kedua Puri baik Puri Agung Denpasar dan Puri Agung Pemecutan dihancurkan oleh Belanda.
            Ada 3 peristiwa atau kejadian alam penting yang dipercaya sebagai tanda atau ciri akan datangnya pralaya di bumi Badung. Ke tiga peristiwa itu adalah:
1.      Meletusnya Gunung Batur pada bulan Maret 1905. Sebagaimana diketahui dalam sejarah, Gunung Batur yang diyakini tempat bersemayamnya Bhatari Dewi Danu adalah tempat yang memberikan anugrah kekuasaan kepada Dinasti Pucangan di daerah Badung.
2.      Pada tahun yang sama rakyat melihat bintang berekor dalam ukuran yang besar dan bercahaya terang di langit.
3.      Pada akhir tahun 1905, terjadinya peristiwa yang menakutkan rakyat Badung, adalah runtuhnya tanah tebing ke laut di Pura Uluwatu. Pura Uluwatu dipandang keramat sebagai tempat pemujaan raja – raja Badung
           
Perang Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906 terjadi karena ambisi Pemerintah Hindia – Belanda untuk menguasai daerah Nusantara, sementara peristiwa karamnya kapal Wangkang Sri Komala pada tanggal 25 Mei 1904 hanyalah peristiwa kecil yang dibesar – besarkan yang dipakai sebagai dalih untuk menyerang Badung. Belanda menuntut agar Raja Badung membayar ganti rugi sebesar f 7.500 atas perampasan kapal tersebut, yang dinilai melanggar kontrak perjanjian sebelumnya. Namun Raja Badung I Gusti Ngurah Agung menolak tuntutan tersebut karena tidak ada bukti – bukti perampasan oleh rakyat Sanur terhadap kapal yang karam itu. Hal ini dibuktikan dengan sumpah 2800 orang penduduk desa Sanur.
            Pasukan Belanda mendarat di Pabean Sanur, naik ke darat bergerak dari Utara, melalui Puri Kesiman – desa Sumerta – Puri Denpasar – Puri Suci – dan terkahir Puri Pemecutan. Raja Badung Cokorda Ngurah Made Agung, dan raja Pemecutan Cokorda Pemecutan IX gugur bersama rakyatnya. Jumlah korban tewas di pihak Badung sedikitnya 2.000 orang.
Dengan demikian berakhir sudah kerajaan Badung, dan Belanda pada tahun 1908 berhasil menguasai Pulau Bali dengan menghancurkan Kerajaan Klungkung melalui Puputan Klungkung.

Diselesaikan pada Anggara – Kliwon – Medangsya
Penanggal ping 5 Purnama Ke Dasa Isaka 1927
Tanggal: 29 Maret 2005

Ida Bagus Wirahaji, S.Ag



DAFTAR  PUSTAKA

1.      Agung, DR. MR. Ide Anak Agung Gde, 1989. Bali Pada Abad XIX Perjuangan Rakyat Dan Raja – Raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808 – 1908. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
2.      Agung, Cokorda Gde, 1985. Hancurnya Istana Kerajaan Gelgel Kemudian Timbul Dua Buah Kerajaan Kembar Klungkung Dan Sukawati. Denpasar: Puri Agung Tegallalang.
3.      Agung, Anak Agung Ketut, 1991. Kupu – Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok. Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661 – 1950). Denpasar: Upada Sastra
4.      Agung, Ida Cokorda Ngurah, 1994. Cikal Bakal Raja – Raja Badung: Denpasar: Puri Agung Denpasar.
5.      Ardana, I Ketut, 1994. Bali Dalam Kilasan Sejarah. Dalam Buku: Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Bali Post
6.      Bernard Keytimu, 2004. I Gusti Ngurah Made Agung Dalam Peristiwa Puputan Badung. Denpasar: Dinas Kesejateraaan Sosial Provinsi Bali.
7.      Darta, A A Gde, dkk, 1996. Babad Arya Tabanan Dan Ratu Tabanan. Denpasar: Upada Sastra.
8.      Mirsha, I Gst  Ngurah Rai, dkk, 1986. Sejarah Bali. Denpasar: Proyek Penyusunan Sejarah Bali. Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
9.      Mirsha, I Gst Ngurah Rai dkk, 1991. Raja Badung. I Gusti Ngurah Made Agung. Hasil Karya dan Perjuangannya. Denpasar: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.
10. Oka, Anak Agung Ngurah, 1989. Mesuci Ngadegang Pengelingsir Pesemetonan Warga Warga Puri Agung Pemecutan. Denpasar: Panitia Karya Abiseka Pengelingsir Puri Agung Pemecutan.
11. Sujana, Drs. I Nyoman, dkk, 2002. Babad Mengwi. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
12. Saputera, SH, I Gusti Bagus, 2000. Empat Abad Dynasti Arya Kenceng Tegehkuri. Denpasar: -
13. Segatri Putra, Dra. Gst, 1990. Babad Arya Kenceng Tegeh Kori. Denpasar: -
14. Tim Penerjemah, 2001. Babad Pemancangah Ki Gusti Tegeh Kori. Babad Badung. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.