Label

Sabtu, 11 Mei 2013

BABAD MENGWI: I GUSTI AGUNG KERUG



GUSTI AGUNG KERUG

(Patih Terakhir Kerajaan Mengwi Yang Kontroversial)


Awal Juni 1891 Dewa Agung Klungkung menyebarkan surat lontar ke beberapa kerajaan untuk melakukan penyerangan terakhir terhadap Kerajaan Mengwi. Dewa Agung sangat marah terhadap tindakan patih kerajaan Mengwi Gusti Agung Kerug yang memberi perlindungan kepada anggota dinasti kerajaan Gianyar yang diburu oleh Dewa Agung. Klungkung berperang dengan kerajaan Gianyar memperebutkan beberapa wilayah yang strategis. kerajaan Gianyar akhirnya dapat ditaklukkan pada tahun 1885.
Kerajaan Tabanan dan Badung langsung merespon surat edaran Dewa Agung Klungkung tersebut. Kerajaan Tabanan dan Badung adalah berasal dari satu dinasti – sama-sama dinasti Arya Kenceng. Kerajaan Badung mempunyai alasan untuk mengikuti perintah Dewa Agung, pertama kerajaan Badung merupakan kerajaan satelit yang sangat loyal kepada Dewa Agung Klungkung – dimana dinasti Klungkung lahir dari ibu yang berasal dari Badung. Kedua, sawah-sawah di kerajaan Badung mengalami gagal panen selama kurang lebih 6 tahun, akibat tindakan dari Gusti Agung Kerug yang memblokir aliran air irigasi ke kerajaan Badung. Tindakan  Gusti Agung Kerug bukannya tanpa alasan.
Gusti Agung Kerug adalah salah seorang putera (putera tertua) dari panglima perang besar kerajaan Mengwi yang bernama Gusti Agung Made Raka yang berasal dari Puri Mayun, Blahkiuh. Meskipun bukan pemimpin Puri Mayun, Gusti Agung Made Raka berjasa besar dalam mempertahankan dan memperluas kekuasaan kerajaan. Tahun 1842 Gusti Agung Made Raka merebut wilayah bagian timur yang dikuasai oleh Bangli. Tahun 1862 Gusti Agung Made Raka menaklukkan Puri Marga.
Namun sayang hubungan anak dan ayah tidak harmonis. Ketika terjadi peselisihan di internal Puri Mayun, Gusti Agung Made Raka tinggal di bagian selatan Puri. Gusti Agung Kerug berbalik mengkhianati, melawan ayahnya. Gusti Agung Kerug di dukung oleh Puri Gede. Sebagai akibat pertengkaran ini Gusti Agung Made Raka menjadi semakin terasing. Puri Gede, Puri Mayun, dan anak tertuanya Gusti Agung Kerug semua memusuhi. Gusti Agung Made Raka mengambil langkah untuk keluar dari lingkaran kerajaan Mengwi. Ia pindah ke Badung tahun 1883, menghabiskan masa tuanya di kediaman menantunya dengan membawa 2 buah keris pusaka.
Gusti Agung mengambil keuntungan dengan menempati Puri Anyar yang ditinggal oleh ayahnya. Ketika didengar ayahnya sudah meninggal pada tahun 1885, Gusti Agung Kerug meminta kepada Raja Badung untuk membawa jenazah ayahnya pulang dan sekaligus mengambil  2 keris pusaka yang hebat. Kedua permintaan ini ditolak oleh Raja Badung.
Gusti Agung Kerug lantas naik pitam, terlepas dari perselisihan antara orang tua dengan anak, menurutnya dia berhak melakukan upacara pengabenan terhadap ayahnya. Pelebon mantan panglima besar Mengwi ini akhirnya dilaksanakan di Badung. Ini berarti kehormatan Gusti Agung Kerug benar-benar dipertaruhkan.
Pembalasan segera datang. Gusti Agung Kerug menutup persediaan air irigasi ke Badung, di perbatasan yakni di Desa Sempidi. Air dibiarkan mengalir sebentar-sebentar, tetapi sudah dicemari oleh sampah daun yang menyebabkan gatal-gatal dan pingsan, sehingga para penduduk Badung tidak bisa meminum atau memakainya untuk  mandi. Pemblokiran air irigasi ternyata menjadi senjata yang efektif. Sawah-sawah di badung sebagian besar mengalami gagal panen.
Tanggal 20 Juni 1891, serangan besar-besaran terhadap Mengwi dilakukan oleh kerajaan koalisi, Badung, Tabanan, Ubud dan Bangli. Pasukan Badung mendominasi penyerangan. Gusti Agung Kerug menyatakan diri akan bertempur sampai titik darah penghabisan, sementara raja ragu tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Di lain pihak, Badung dengan penembak jitu dari Bugis telah mencapai desa tepat di selatan Mengwi. Kulkul bulus Puri Gede dibunyikan dan prajurit yang tersisa berkumpul di Puri Gede dipimpin oleh Ida Pedanda Made Bang. Gusti Agung Kerug melarikan diri dalam pertempuran, dan kini raja sendirian.
Raja Mengwi yang lagi pincang memerintahkan bawahannya untuk ditandu dan segera keluar dari puri, karena akan sangat memalukan apabila raja mati terbunuh di dalam puri. Tepat di selatan Mengwi, bertemu dengan laskar Badung. Para penandunya ditembak, kemudian seorang jaba dari Badung melumpuhkan Raja Mengwi dengan tusukan tombak yang mematikan. Seiring dengan kematiannya, Kerajaan Mengwi – yang pernah jaya itu – pun sirna.
Beberapa hari setelah jatuhnya Mengwi, Gusti Agung Kerug bersama Gusti Agung Pekel dari Puri Mayun sampai di Karangasem. Dengan pakaian perang, kain potih terikat di kepala, mereka beradua menyatakan kekecewaannya kepada raja Karangasem yang  tidak membantu Mengwi. Raja Karangasem bereaksi dengan melakukan penyerangan ke Klungkung. Terjadinya perang di Bali Timur.
20 September 1906 kerajaan Badung dihancurkan oleh Belanda melalui perang yang tidak seimbang, sehingga terjadi pembantaian besar-besaran yang menelan korban lebih dari 2.000 jiwa. Peristiwa ini lebih dikenal dengan Puputan Badung. Segera setelah kerajaan Badung jatuh, anggota-anggota dinasti Mengwi kembali ke pusat kerajaan terutama menata kembali wilayahnya terutama Pura Taman Ayun. Pura Taman Ayun bukan hanya sebagai simbol tetapi inti dari kerajaan Mengwi.
Gusti Agung Kerug sebagai orang yang menyebabkan hancurnya kerajaan Mengwi perannya telah habis. Ia diabaikan oleh kerabatnya, ia tinggal di pengasingan di Desa Sedang. Oleh Belanda ia sempat dipercaya menduduki jabatan punggawa Sedang pada tahun 1907. Namun, tidak beberapa lama menjabat ia dipecat. Ada laporan yang diterima Belanda bahwa ia memeras rakyat desa Sedang untuk membangun purinya.


Gusti Agung Kerug adalah patih yang kontroversial. Pertama, ia memberi suaka kepada anggota dinasti Gianyar yang sedang diburu oleh Dewa Agung Klungkung. Ia mengorbankan hubungan Mengwi dengan Klungkung. Kedua, ia durhaka melawan orang tuanya Gusti Agung Made Raka, mantan panglima besar Mengwi. Ketiga, ia menutup aliran air irigasi sehingga sawah-sawah di Badung gagal panen. Keempat, ia lari dalam peperangan ketika kerajaannya diserang oleh kerajaan koalisi. Padahal dia lah yang paling bertanggung jawab atas terjadinya perang dan kejatuhan kerajaan Mengwi. Kelima, ketika dipercaya oleh Belanda menduduki jabatan Punggawa di Desa Sedang, ia memeras rakyat di desa itu untuk membangun purinya. Belanda menerima laporan tersebut segera mengambil tindakan dengan memecatnya (IBW).

KEMATIAN



BERSAHABATLAH DENGAN KEMATIAN

Kematian itu pasti, hanya saja waktunya tidak pasti. Tidak seorang dapat menghindarinya. Itulah sebabnya kematian harus dipahami, agar kita dapat menghadapinya tanpa rasa takut

Kematian bukanlah ‘lawan’ atau ‘musuh’ kita. Kematian harus diterima sebagai sahabat. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi bila tidak ada kematian. Betapa sesaknya dunia ini. Kematian membebaskan yang sakit dari penyakitnya. Kematian membebas tugaskan kita untuk mengurus badan yang tidak normal ini, yang membebani kita. Jiwa yang tinggal dalam badan yang sudah tidak berfungsi dengan baik tentu merasa terperangkap dalam penjara dan ingin segera bebas.

Ketika masih memiliki badan, umumnya manusia menyianyiakannya untuk mengejar hal-hal yang serba semu. Tidak pernah mempersiapkan untuk sesuatu yang pasti terjadi, yaitu kematian. Bila manusia hidup dalam ketidaksadaran, maka ia akan mati dalam ketidaksadaran pula.

Sampai sekarang reinkarnasi masih dalam tahap kepercayaan. Masalahnya hampir semua orang tidak mampu mengingat kematiannya yang terakhir dan karena tidak adanya kemampuan untuk mengingat hal ini, sehingga orang menjadi tidak percaya bahwa mereka pernah mengalami kematian sebelumnya.

Manusia lupa, bahwa memori aktif hanyalah sebagian kecil dari fungsi memori secara keseluruhan, dan bahwa memori bawah sadar (subconcious memory) mendaftar dan menyimpan setiap kesan dan pengalaman lampau, dimana memori aktif tidak mampu mengingatnya. Itulah sebab manusia tidak mengetahui kapan kematian terakhirnya.

Respon tiap individu terhadap kematian berbeda-beda. Sedikitnya ada 6 macam respon, yaitu:
-          Melarikan diri dengan cara misalnya, menyibukkan diri dalam kerja.
-          Menerima kematian sebagai fakta yang tidak bisa dihindarkan dan mengambil posisi humanis.
-          Memberontak terhadap kematian, yang diwujudkan dalam karya-karya seni dalam ambisi manusia untuk mendapatkan status, kekuasaan, atau kekayaan.
-          Menghentikan eksistensinya sendiri untuk hidup dalam dunia ideal, seperti yang dilakukan oleh orang yang bunuh diri atau gila.
-          Dengan iklas, patuh menerima keterbatasannya, misalnya orang-orang beragama.
-          Percaya pada kekuatan mistis untuk bersatu dengan Tuhan dalam keabadian atau reinkarnasi.


Kematian dan gejala-gejala yang menyertai
Menurut Padmasambhawa, ada 3 gejala-gejala fisik (symptoms) yang akan mengantarkan seseorang menuju alam kematian:
1.      Bumi tenggelam dalam air (earth sinking in to water)
Sensasi adanya tekanan (pressure) yang dirasakan tubuh, seolah-olah tubuh sedang ditenggelamkan ke dalam air dingin secdara perlahan-lahan.

2.      Air tenggelam dalam api (water sinking into fire)
Sensasi berubah secara perlahan-lahan menjadi sensasi panas, seperti yang dialami tubuh bila terserang demam.

3.      Api melebur ke udara (fire sinking into the air)
Perasaan seolah-olah tubuh diledakkan berkeping-keping menjadi atom-atom.

Setiap gejala disertai dengan perubahan fisik yang tampak pada tubuh, seperti:
·         Hilangnya hilangnya kendali atas otot-otot muka
·         Hilangnya pendengaran
·         Hilangnya penglihatan, dan
·         Napas yang terengah-engah sebelum hilangnya kesadaran

Akhirnya gejala-gejala tersebut mencapai puncaknya dengan terlepasnya tubuh “bardo” dari tubuh fisik bersamaan dengan berhembusnya napas terakhir.

Alam-alam Kematian
Bersamaan dengan berhembusnya napas terakhir, dimulailah perjalanan Kesadaran di alam kematian, pada akhirnya kita akan mengetahui jawaban dari pertanyaan yang menghatui umat manusia sepanjang umur peradabannya.
Berikut ini beberapa ‘bardo’ (keadaan) setelah kematian:
·    Bardo pada saat kematian (chikhai bardo)
Pada momen ini ada Cahaya Terang yang melintas. Bagi yang karmanya buruk selama hidupnya, maka momen ini hanya berlangsung kilat tanpa sempat banginya untuk mengidentifikasi Cahaya Terang tersebut. Tetapi bagi yang karmanya baik, kesadaran, dan spitualnya tinggi, maka momen ini dapat berlangsung 20 sampai 30 menit, sehingga cukup baginya untuk mengidentifikasi Cahaya Terang tersebut.
Pada saat kesadaran telah berhasil menyatukan diri dengan Cahaya Terang tersebut, maka tak ada kelahiran kembali bagi kesadaran tersebut dan tidak mengalami alam-alam kematian yang selanjutnya.

·      Bardo mengalami realita (choyid bardo)
Keadaan ini dialami oleh Kesadaran memiliki karma-karma buruk semasa hidupnya di dunia. Cahaya terang yang melintas tadi telah lenyap. Bersamaan lenyap Cahaya Terang ini, lenyap pula Kesadaran. Kesadaran akan bertemu dengan berbagai wajah-wajah Buddha, dari hari pertama sampai hari ke tujuh.
Penampakan para Buddha dengan cahayanya agung akan membuat Kesadaran takut, akibat kekuatan dari karma buruknya. Kesadaran akan semakin menjauh menghindari cahaya tadi. Semakin kesadaran menjauh semakin sulit baginya untuk mengenali dan memperoleh kebebasan pada tahap ini.
Kesadaran yang gagal memperoleh kebebasan, akan mendengar suara-suara yang menandai terurainya 4 unsur utama penyusun tubuh fisik, yaitu:
1.      Suara gunung runtuh, menandai terurainya unsur tanah
2.      Suara deburan ombak, menandai terurainya unsur air
3.      Suara kobaran api, menandai terurainya unsur api
4.      Suara gelegar, menandai terurainya unsur udara

·      Bardo menunggu kelahiran kembali (sidpa bardo)
Walaupun diberi kesempatan melihat dan menyatu dengan Cahaya Terang, tetapi karena kuatnya dorongan karma buruk, akhirnya Kesadaran tidak mampu memanfaatkan momen-moen tersebut, dan sekarang memasuki keadaan mencari dan menunggu kelahiran kembali. Pada keadaan inilah Kesadaran paling banyak mengalami penderitaan.
Lagi-lagi sesuai dengan karmanya, Kesadaran akan mengalami reinkarnasi dengan tubuh jasmani yag berbeda-beda. Kesadaran dengan karma yang lebih baik akan dilahirkan sebagai anak manusia dilingkungan keluarga yang baik. Kesadaran dengan karma yang buruk akan dilahirkan dilingkungan keluarga yang bodoh dan miskin.

Demikianlah, berulangkali manusia memperoleh kesempatan untuk menyatu dengan Cahaya Terang, tetapi setiap muncul kesempatan itu terlewatkan. Hal itu terjadi karena karma yang menciptakan pikiran yang masih sangat kuat – yang menciptakan dualitas baik-buruk, panas-dingin, suka-duka, dan lain sebagainya.

Karena tidak memiliki pengalaman meditasi semasa hidup, Kesadaran tidak berhasil membedakan diri dan pikiran, dan sekarang harus lahir kembali. Kendati demikian, bila mempunyai kemampuan, Kesadaran tidak langsung memilih rahim yang terlihat. Ia akan memilih rahim yang cocok baginya untuk menunjang evolusinya

Kebutuhan Spiritual Seseorang Menjelang Kematian
Pikiran yang muncul pada saat kematian biasanya adalah apa yang sering dipikirkan oleh seseorang. Orang cenderung meninggal sesuai dengan sifat mereka, walau pun tidak selalu demikian. Jadi, sangat ditekankan bahwa saat untuk mempersiapkan kematian adalah sekarang! Hal ini sangatlah penting, agar tidak takut dalam menghadapi kematian. Keadaan pikiran pada saat kematian adalah sangatlah penting dan memiliki peranan dalam menentukan apa yang terjadi  kepada orang tersebut setelah kematian. Dengan yang menyadari bahwa kelahiran dan kematian adalah ilusi tidak akan pernah takut menghadapi

Sesungguhnya matahari tidak pernah terbenam, seperti itu pula, sesungguhnya kematian tidak pernah terjadi. Kematian adalah sebuah ilusi. Ibarat sebuah pintu. Lewat pintu ini kita meninggalkan satu kamar dan memasuki kamar lain. Kematian mengantar kita ke dunia-dunia lain itu.

Pendapat para filsuf tentang ketakutan akan kematian
Apa yang menakutkan? Ada asumsi dan kepercayaan bahwa kematian itu menyakitkan dan jiwa akan mengalami sengsara dalam fase sesudah mati.

Epicurus menawarkan solusinya: dengan menunjukkan ketidak benaran asumsi dan kepercayaan itu. Baginya, kematian merupakan lenyapnya kesadaran secara sempurna dan ini tidak menyakitkan.

Seneca memberi solusi: orang mesti memikirkan secara proporsional dengan menyadari hakikat manusia yang hanya merupakan bagian dari alam dan harus berdamai dengan kenyataan ini.

Plato menegaskan: berfilsafat itu belajar untuk mati, artinya belajar untuk menjadi akrab dengan keabadian melalui tindak kontemplasi filsafati. Menurut Plato, jiwa yang telah dipisahkan dari tubuh pada waktu kematian dapat berpikir dan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan lebih jelas dari sebelumnya, dan akan lebih mudah dapat mengenali semua sebagaimana aslinya

Spinoza menyarankan: manusia bisa keluar dari ketakutan akan mati dengan cara tidak terlalu  memikirkannya, namun lebih memikirkan kehidupan. Seperti halnya dengan keseharian, dimana mengerti matahari itu bersinar terus tanpa terlalu memikirkannya.

Leonardo da Vinci: seperti hari-hari yang dilalui dengan baik memberikan tidur yang membahagiakan, begitu pula hidup yang dihayati baik memberikan kematian yang bahagia. Kekuatiran akan kematian punya akar dalam kemalangan manusia, maka pemeliharaan hidup adalah cara memperteguh kesejahteraan manusia dalam menyongsong kematian.

Heidegger dan para eksistensialis lain seperti Sartre, Camus mengajak: menanam-tumbuhkan kesadaran akan kematian sebagai sarana untuk menggiatkan kesadaran hidup. Kesadaran akan kematian menyebabkan manusia menyadari maknanya sebagai individu, bahwa setiap manusia akan mati sendirian. Maka, menolak kematian dan menutup mata terhadap kesadaran akan kematian itu sama saja artinya dengan menolak keindividuan dirinya dan berarti hidup tidak sejati (IBW).