BULELENG PADA MASA KEKUASAAN
DINASTI PANJI SAKTI
(1600 – 1780 M)
Ki Gusti Ngurah
Panji Sakti, Raja I Buleleng
I
Gusti Ngurah Panji Sakti adalah salah satu putera dari Dalem Segening Sesuhunan
Bali – Lombok VI, yang berkuasa di Swecapura Gelgel tahun 1580 – 1665 M. Ia
beribu seorang sahaya, yang bernama Ni Luh Pasek, berasal dari desa Panji,
Denbukit. Ketika ia masih dikandung, ibunya diserahkan oleh Dalem kepada Arya
Ki Gusti Jelantik Bogol untuk diperisteri, sebagai penghargaan atas jasa-jasa
terhadap kerajaan. Tetapi dengan syarat jangan ‘dicampuri’ sebelum anak itu
lahir, dan agar dipersaudarakan dengan putera kandung Ki Gusti Jelantik Bogol.
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti
diperkirakan lahir tahun 1584 M. Masa kecilnya diberi nama Ki Barak Panji.
Sejak kecil sudah menunjukkan tanda-tanda kebesaran. Dari kepalanya keluar
sinar suci menandakan prabawanya. Hal ini menimbulkan kekuatiran Sri Aji Dalem
akan tahta kerajaan. Itulah sebabnya sewaktu Ki Barak Panji berumur sekitar 12
tahun diperintahkan untuk pergi meninggalkan Suwecapura, tinggal di desa asal
ibunya, desa Panji, Den Bukit.
Ki Barak Panji berangkat ke
desa Panji dengan dibekali pusaka keris Ki Semang, tombak Ki Tunjung Tutur atau
Ki Pangkajatatwa. Rombongan perjalanan yang berjumlah 40 orang dipimpin oleh Ki
Dumpyung dan Ki Dosot. Ki Barak Panji pamitan di desa Jarantik, kemudian
meneruskan ke desa Samprangan, desa Kawisunya (wilayah Bandana), Danau
Pabaratan (Beratan), istirahat makan di bukit Watusaga (Batumejan) wilayah Den
Bukit. Sewaktu makan ketupat nasi, mereka kekurangan air maka ditancapkanlah
tombak Pangkajatatwa, hingga keluar air bersih untuk diminum. Daerah tempat
keluarnya air tersebut selanjutnya diberi nama Banyu Anaman atau Toya Ketipat
nama lainnya.
Pada sore hari rombongan
berada di atas danau Bubuyan (Buyan), tiba-tiba muncul sosok manusia gaib yang
kemudian diberi nama Ki Panji Landung. Ki Panji Landung mencegat Ki Barak Panji
dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ki Barak Panji disuruh melihat arah Utara
(samudra luas), Timur (gunung Toya Anyar/Tianyar), Barat (gunung Banger), dan
arah Selatan. Kelak daerah yang dilihatnya itu menjadi kekuasaannya.
Sesampainya di desa Panji
para pengiring kembali ke Suwecapura kecuali Ki Dumpyung dan Ki Dosot yang
sangat setia. Penguasa daerah Panji bernama Ki Pungakan Gendis sangat tamak
ditakuti rakyat. Dari angkasa Ki Barak Panji mendengar sabda sebagai petunjuk
untuk membunuh Ki Pungakan Gendis. Ki Barak Panji naik ke atas pohon Leca,
kemudian di bawah dilihat Ki Pungakan Gendis baru pulang dari sabung ayam. Ki
Barak Panji turun mencegat seraya mengacungkan keris pusaka Dalem, Ki Semang.
Seketika itu Ki Pungakan Gendis meninggal kaku di atas kuda. Penggantinya untuk
sementara ditugaskan Ki Bendesa Gendis untuk memerintah desa Gendis.
Ki Barak Panji sempat
menolong perahu terdampar di Pantai Penimbangan (dekat Pura Segara Panji
sekarang). Pemilik perahu orang Cina bernama Ki Dompu Awwang (San Po Kong)
menjanjikan memberi hadiah semua isi perahu kepada yang mampu menarik perahu
tersebut. Dengan keris pusaka pemberian Dalem Ki Barak Panji berhasil
menyelamatkan perahu itu. Sejak itu Ki Barak Panji menjadi kaya.
Setelah menginjak usia 20
tahun Ki Barak Panji dinobatkan sebagai penguasa desa Panji dengan nama Ki
Gusti Ngurah Panji. Berkat karisma dan kewibawaannya, berbondong-bondong orang
datang dari lain desa. selanjutnya tinggal di desa Panji. Dari timur: sungai We
Nirmala, sampai ujung desa Toya Anyar. Kyayi Alit Manala dari Kubwan Dalem
tunduk dan mengabdikan diri. Dari Barat: sungai We Kulwan Kyayi Sasangkadri
yang beristana di Tebu Salak tunduk menyerahkan diri. Kekuasaan Ki Gusti Ngurah
Panji semakin meluas. Ia memindahkan istana ke desa Sangket, Sukasada. Sejak
saat itu bergelar Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti
meminta Ida Pedanda Kumenuh menjadi Bhagawanta. Sebutan di masyarakat
Ida Pedanda Sakti Ngurah. Brahmana ini memiliki ilmu yang luhur, yaitu ilmu
Pasupati. Sang Pendeta semula dari Ler Adri menetap di desa Tarupinge (Kayu
Putih sekarang), kemudian setelah dijadikan pendeta kerajaan, diberi kedudukan
di desa Banjar Ambengan, rakyat 3000 orang, sebatas barat sungai Bukbuk. Sang
Brahmana sangat ahli membuat keris, hingga dikenal keris buatan Banjar. Ki
Gusti Ngurah Panji Sakti juga memberikan Pendeta kediaman yang beri nama Griya
Romarsana. Di tempat inilah kedua tokoh ini mengikat janji, mengingat sewaktu
di Yawadwipa leluhur mereka bersaudara. Itulah sebabnya daerahnya ini disebut
desa Sangket.
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti
teringat akan anugerah dari Ki Gusti Panji Landung, bahwa ia akan dapat
menaklukkan Blambangan. Setelah mendapat alamat dari burung gagak dan petunjuk
dari Bhagawanta, ia berangkat bersama laskarnya. Rute perjalanan perahu,
melalui Candi Gading, di pinggiran Tirta Arum, selanjutnya menyerang Banger.
Terjadi pertempuran yang ramai antara laskar Taruna Gowak Buleleng dengan
Laskar Dalem Blambangan. Dalem Blambangan akhirnya wafat ditikam dengan keris
Ki Semang, anugerah Dalem Segening. Namun kemenangan laskar Buleleng harus
dibayar dengan gugurnya salah seorang puteranya yang bernama I Gusti Ngurah
Nyoman Panji Danudresta.
Diceritakan Ki Gusti Ngurah
Panji Sakti merintis membangun kota, di petegalan daerah Jenggala Balalak,
sebelah utara Sukasada, tempat penduduk menanam buleleng (jagung gembal). Lama
kelamaan tempat itu menjadi ramai disebut kota Buleleng. Tempat tinggal baginda
raja diberi nama Singaraja. Sebab keberaniannya bagaikan singa. Ia mempunyai
gajah bagaikan gajah Airwata. Dibuatkan kandang di sebelah Utara kota, sehingga
tempat itu diberi nama Banjar Petak. Tiga orang pemberian raja Solo ditugaskan
mengembalakan gajah tersebut. Dua orang tinggal di sebelah Utara desa Petak
selanjutnya tempat itu diberi nama Banjar Jawa. Seorang lagi diberi tempat di
pesisir Toya Mala (Banyumala). Di antara Banjar Jawa dan Banjar Petak dinamai
Bajnar Peguyangan, tempat gajah raja berkubang. Mereka kemudian dipindahkan ke
hutan Pengatepan (artinya Pegayaman = Teep), yang sekarang bernama desa
Pegayaman, dimaksudkan sebagai benteng penjaga perbatasan di Selatan.
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti
melebarkan daerah kekuasaannya dengan menyerang Jaranbana (Jemberana). Dengan
keris pusaka Ki Semang, ia berhasil menaklukkan daerah Jaranbana. Ia juga
mendengar ada seorang puteri cantik adik Ki Gusti Ngurah Made Agung, raja
Mengwi. Ia mengirim utusan untuk melamar sang puteri. Raja Mengwi ingin menguji
keberanian Raja Buleleng dan kehebatan laskar Ler Adri. Mula-mula lamaran
ditolak. Timbul kemarahan Raja Buleleng hingga mengirim laskar untuk menyerang
Mengwi. Raja Mengwi mengirim laskar andalan, yaitu laskar Taruna Batan Tunjung
dan laskar Taruna Munggu. Pertempuran sempat berlangsung seru, saling tikam,
sebelum didamaikan oleh raja Mengwi. Sang Puteri Ki Gusti Ayu Rai akhirnya
dinikahkan dengan dengan Raja Buleleng. Sebagai imbalannya, Raja Buleleng
memberikan daerah Brambangan (Blambangan) dan Jaranbana (Jemberana).
Ki Gusti
Ngurah Panji Sakti sempat memancing kemarahan raja Bandana (Badung) dengan
menyerang daerah Watukaru, merusak parahyangan Agung Batukaru. Tiba-tiba
segerombolan lebah menyerang laskar Buleleng. Kejadian ini dirasakan sebagai
kutukan dewata. Pengerusakan Parahyangan Agung Batukaru ini membuat raja
Bandana berang. Raja Buleleng mengirim laskar ke daerah Badeng (Badung). Kedua
belah pihak bertempur di tempat yang sekarang diberi nama Taensiat. Pertempuran
dapat dihentikan, kedua belah pihak berdamai. Selanjutnya, Ki Gusti Ngurah
Panji Sakti mengambil puteri dari golongan Wesia dari Banjar Ambengan Badung.
Pada tahun 1686 M terjadi
peristiwa penggulingan Dalem Di Made oleh Ki Gusti Agung Maruti di Swecapura
(Gelgel). Dalem Di Made dilarikan ke desa Guliang Bangli bersama puteranya I Dewa Jambe beribu dari treh Jambe
Pule Badung. Dalem Di Made akhirnya wafat di desa Guliang. Ki Gusti Ngurah
Panji Sakti sangat berang, langsung memimpin laskarnya untuk membebaskan Gelgel
dari cengkeraman Ki Gusti Agung Maruti. Laskar Buleleng sampai di sebuah desa
di sebelah Barat Toya Jinah. Di daerah ini mereka bermarkas, yang membuat
masyarakat setempat kesusahan, sehingga daerah itu diberi nama desa Panasan.
Laskar Ki Gusti Agung Maruti dapat dipukul mundur, namun demikian Ki Gusti
Ngurah Panji Sakti sempat kecewa dengan kerisnya yang berkepala berbentuk babodolan,
sehingga setelah sampai di kora Gelgel mengeluarkan sumpah, semua keturunanya
kelak tidak boleh memakai keris yang berkepala berbentuk babodolan.
Ki Gusti Ngurah Panji Gede, Raja II Buleleng
Diceritakan
karena usia, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti meninggalkan dunia ini mencapai moksah
menuju alam Nirbana. Ia memiliki beberapa putera dari beberapa isteri. Dari
putri Pungakan Gendis yang bernama I Dewa Ayu Juruh. Melahirkan 3 putra, yaitu:
Ki Gusti Ngurah Panji Gede, Ki Gusti Ngurah Panji Made, serta yang bungsu
bernama Ki Gusti Ngurah Panji Wala. Dari puteri Banjar Ambengan Badung lahir I
Gusti Alit Oka dan I Gusti Made Padang. Beribu dari desa Panji lahir Ki Gusti
Wayan Padang dan Ki Gusti Made Banjar. Beribu Ki Gusti Ayu Rai (puteri Raja
Mengwi) lahir I Gusti Ayu Panji, diperisteri oleh Ki Gusti Anom dari Kapal
Mengwi.
Ki Gusti Ngurah Panji Gede yang
menjadi putera mahkota, dinobatkan menjadi Raja Den Bukit berikutnya. akan
tetapi ia tetap menempati istana di Puri Sukasada.
Ki Gusti Ngurah Panji Bali, Raja III Buleleng
Ki Gusti
Ngurah Panji Gede mempunyai seorang puteri bernama I Gusti Ayu Jelantik Rawit.
Sedangkan adiknya Ki Gusti Ngurah Panji Made berputera I Gusti Ngurah Panji
Bali (memperisteri I Gusti Ayu Jelantik Rawit), I Gusti Panji Tahimuk, I Gusti
Made Munggu, I Gusti Nyoman Panji, dan yang bungsu bernama I Gusti Oka.
Setelah
Ki Gusti Ngurah Panji Gede dan Ki Gusti Ngurah Panji Made wafat, maka tahta
kerajaan, tampuk pemerintahan dipegang oleh Ki Gusti Ngurah Panji Bali, sebagai
raja berikutnya. Ia menempati istana di Puri Sukasada. Istana di Singaraja
tetap dipelihara sebagai tempat bersenang-senang.
Ki Gusti Ngurah Jelantik, Raja IV Buleleng
Sepeninggal
Ki Gusti Ngurah Panji Bali, Buleleng diperintah secara kolektif oleh 2 Puri.
Putera Sulung bernama Ki Gusti Ngurah Panji menempati Puri Sukasada. Adiknya Ki
Gusti Ngurah Jelantik menempati Puri Singaraja. Kedua puteranya ini lahir dari
dua ibu, sebagai permaisuri.
Perkembangan
selanjutnya, pada tahun 1780 M, kedua raja ini berseteru karena mempercayai
fitnah tersebar. Ki Gusti Ngurah Jelantik meminta bantuan Raja Karangamla
(Karangasem) Ki Gusti Ngurah Ketut Karangasem. Bantuan diberikan dengan
perjanjian, setelah menang nanti Ki Gusti Ngurah Jelantik dinobatkan menjadi
raja hanya sebagai boneka. Laskar gabungan Singaraja – Karangasem berhasil
mendesak laskar Sukasada. Keris pusaka Ki Semang, anugerah Dalem berhasil
direbut. Ki Gusti Ngurah Panji berhasil ditikam hingga gugur dalam pertempuran
ini. Tempat terjadinya peristiwa pertempuran 2 saudara ini diberi nama desa
Baratan.
Ki Gusti
Ngurah Jelantik dinobatkan menjadi raja Buleleng. Ki Gusti Nyoman Karangasem dari treh
Arya Petandakan, dinobatkan sebagai raja muda. Sama-sama beristana di Puri
Singaraja.
BULELENG PADA MASA KEKUASAAN
DINASTI
KARANGASEM
(1780 – 1849 M)
Ki Gusti Nyoman Karangasem, Raja V Buleleng
Ki Gusti Nyoman Karangasem
dinobatkan menjadi raja berikutnya setelah Ki Gusti Ngurah Jelantik wafat.
Mulailah treh Karangsem menguasai Den Bukit. Ada pun putera Ki Gusti
Ngurah Jelantik yang bernama Ki Gusti Bagus Jelantik Banjar, diberi kedudukan
sebagai patih, menempati istana di Puri Bangkang, sebelah Barat We Mala
(Banyumala).
Ki Gusti Agung Made Karangasem Sori, Raja VI Buleleng
Pemerintahan
Ki Gusti Nyoman Karangasem tidak bertahan lama. Ia meninggal karena serangan
penyakit. Kedudukannya digantikan oleh Ki Gusti Agung Made Karangasem Sori
keturunan Karangasem. Ia hanya berkuasa selama 3 tahun, sebelum mengundurkan
diri. Kegagalannya adalah tidak tegas, tidak adil selalu memilih muka, pilih
kasih.
Ki Gusti Ngurah Agung, Raja VII Buleleng
Ki Gusti
Ngurah Agung diangkat oleh raja Karangasem sebagai raja Buleleng berikutnya,
menggantikan Ki Gusti Agung Made Karangasem Sori. Pada tahun 1808 M raja ini
memimpin langsung laskar Buleleng menyerbu komunitas Bugis di Jemberana yang
berjumlah 1.200 orang. Penyerbuan ini dilakukan setelah ia minta ijin kepada
Raja Bandana I Gusti Ngurah Made Pemecutan. Ia sendiri dibunuh oleh gerombolan
bersenjata di desa Pengambengan Jemberana. Sejak itu Jemberana menjadi wilayah
kekuasaan Buleleng sampai perang Jagaraga tahun 1849 M.
Pada tahun 1814 M, laskar
Buleleng menyerang Banyuwangi namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan
Inggeris. Sebagai balasan satu eskader AL Inggeris dikirim ke Buleleng untuk
memberi pelajaran kepada Raja Buleleng.
Pada tanggal 22 Oktober 1818 M
terjadi bencana tanah longsor dan banjir bandang. Salah satu dinding di bukit
Danau Buyan dan Danau Tamblingan jebol. Bencana ini menewaskan rakyat dan
beberapa pembesar kerajaan. Seperti: Ki
Gusti Bagus Jelantik Banjar patih yang beristana di Puri Bangkang, Ki Gusti
Wayan Panji, Ki Gusti Wayan Penebel, serta Ki Gusti Nyoman Penarungan,
sama-sama tinggal di Sukasada semuanya tewas terbenam lumpur. Lokasi jebolnya
dinding bukit itu sekarang tepat pada ceking Tamblingan, di tepi jalan menuju
Munduk di tepi Danau Tamblingan.
Ki Gusti Agung Pahang, Raja VIII Buleleng (1829 – 1831
M)
Ki Gusti Agung Pahang (Canang)
dari keturunan Karangasem, diangkat sebagai raja Buleleng menggantikan Ki Gusti
Ngurah Agung yang wafat di Pengambengan Jemberana. Ia dinobatkan pada tahun
1829 M, memindahkan istana Singaraja ke sebelah Barat jalan. Raja ini seorang
tirani, kejam tidak mengindahkan tata susila, takabur, bengis, doyan perempuan,
melakukan gamia gamana dan berbagai kejahatan lainnya.
Raja ini
memerintahkan untuk membunuh Ki Gusti Bagus Ksatra, Wayan Rumyani (Pan Apus),
dan orang lainnya yang dirahasiakan. Ki Gusti Bagus Ksatra dibunuh karena
menghaturkan hidangan ikan Udang. Kata ‘Udang’ diartikan sebagai ‘uudang’
artinya selesai mejadi raja.
Sepak terjang raja menimbulkan
kemarahan pada keturunan Panji. Mereka mengatur siasat. Pada suatu malam ada
pertunjukkan wayang di halaman puri, dengan dalang Ki Gulyang dari desa Banjar.
Mereka (para arya) menunggu keluarnya raja untuk menonton. Namun raja tidak
keluar, membuat para arya kepayahan. Pada saat sang dalang memegang wayang Bima
dan Tualen, meletus kerusuhan. Sang dalang sempat ditikam dari belakang, namun
bisa menyelamatkan diri. Tidak diketahui banyaknya korban yang tewas dan
terluka dalam peristiwa malam itu.
Kepala penjaga istana Ketut
Karang mengingatkan Ki Gusti Made Singaraja beserta pengikutnya untuk pulang ke
rumah masing-masing. Keesokan harinya Raja Buleleng mengadakan persidangan
dengan para Manca, namun tidak dihadiri oleh para Arya Buleleng. Disepakati
untuk membunuh semua keturunan Arya Buleleng mulai dari kecil sampai yang tua.
Gerakan pasukan kerajaan sangat cepat, terlambat diantisipasi oleh para Arya
Buleleng sehingga keturunan Panji banyak yang tewas. Arya yang selamat
mengungsi keluar daerah Buleleng.
Perkembangan selanjutnya rakyat
Buleleng bergerak mengangkat senjata, karena sudah muak dengan pemerintahan
raja yang menimbulkan kepanasan, kekeringan, panen sering gagal. Raja melarikan
diri ke Karangasem. Namun di Karangasem ia berhasil dibunuh oleh rakyat
Karangasem atas perintah Raja Karangasem Ki Gusti Lanang Peguyangan, pada tahun
1831 M.
Ki Gusti Ngurah Made Karangasem, Raja IX Buleleng (1833
– 1846 M)
Ki Gusti Ngurah Made Karangasem
pada tahun 1833 M ditunjuk menggantikan raja yang telah tewas. Ia didampingi
oleh patih yang terkenal bernama Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir. Sang Patih
sangat terkenal keberaniannya menyerang dan menguasai daerah pegunungan,
seperti desa Payangan daerah kekuasaan Bangli. Sang Patih berhasil merebut
desa-desa yang melepaskan diri karena ulah raja sebelumnya. Ia juga menyatukan
para bangsawan keturunan Panji dengan para bangsawan keturunan Karangasem,
sehingga kerajaan Buleleng bersatu padu dalam menghadapi agresi Belanda.
Pada bulan Mei 1845 sebuah
kapal berbendera Belanda bernama Atut Rahman kandas dan karam di Pantai Karang
Anyar daerah kekuasaan Karangasem. Kapal dirampas penduduk, menyebabkan pihak
Belanda memprotes keras karena melanggar perjanjian yang sepakati. Peristiwa
ini memicu Belanda mengirim utusan ke Buleleng untuk melakukan perundingan
tentang penghapusan Hak Tawan Karang. Tanggal 5 Mei 1845 berlabuh kapal perang
Belanda yang bernama Bromo, berbobot besar membawa Residen/Komisaris JFT Mayor
beserta rombongan. Rombongan terdiri dari 12 orang, 10 orang Belanda, seorang
Pangeran Syarif Hamid dan seorang Bupati Basuki. Tanggal 7 Mei syahbandar
memberitakan bahwa Raja Ki Gusti Ngurah Made Karangasem bersedia menerima
rombongan esok hari. Perundingan tidak segera dilakukan, menunggu kedatangan
Adipati Agung Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir.
Pada tanggal 8 Mei 1845 dalam
perundingan, Adipati Agung Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir berbicara keras dan
lantang. Katanya, “Orang tidak dapat menguasai negeri orang lain hanya dengan
sehelai kertas, hal demikian hanya dapat diputuskan oleh ujung keris”.
Peristiwa ini mendorong Belanda melakukan tindakan militer.
Pada tanggal 28 Juni 1846, dini
hari pasukan ekspedisi Belanda didaratkan di sebuah desa persawahan sesuai
petunjuk dari peta yang dibuat Lettu Von Stampa. Sedangkan meriam-meriam
Belanda terus menerus memuntahkan peluru ke arah istana. Belanda dibantu oleh
pasukan Seleparang. Raja Bangli menyesalkan tidak diikut sertakan menyerang
Buleleng. Esok harinya pasukan ekspedisi Belanda menuju kota Singaraja. Ternyata
pasukan Bali tidak memberikan perlawanan. Raja, pembesar kerajaan dan laskar
Buleleng meninggalkan Singaraja menuju desa Jagaraga. Sesuai instruksi Puri
Singaraja dihancurkan. Raja Buleleng dan keluarganya mengundurkan diri desa
Jagaraga. Sementara Adipati bersama sahabatnya Ida Bagus Tamu juga mengungsi ke
desa Jagaraga.
BULELENG PADA MASA KEKUASAAN
KOLONIAL BELANDA
(1846 – 1942 M)
I Gusti Made Rai, Raja X Buleleng
Setelah Buleleng dapat
dikuasai, Belanda menunjuk I Gusti Made Rai sebagai Raja Buleleng berikutnya.
Pengangkatan ini disetujui oleh para Manca. I Gusti Made Rai adalah putera dari
I Gusti Made Kari, keturunan Panji Sakti Arya Den Bukit. I Gusti Made Kari
pernah lari ke daerah Kapal Mengwi ketika diserang oleh Raja Ki Gusti Agung
Pahang. I Gusti Made Rai beristana di Puri Sukasada.
Sementara itu pasukan ekspedisi
Belanda tetap mengejar para pembesar kerajaan terdahulu ke desa Jagaraga.
Dipilihnya desa Jagaraga sebagai benteng, karena salah seorang isteri Adipati
Agung berasal dari desa Jagaraga. Pada tanggal 15 April 1849 perang Jagaraga.
Pasukan ekspedisi Belanda dipimpin oleh Jendral Michiels, Letkol Van Swieten,
dan Letkol De Brauw. Perang sehari penuh hingga larut malam. Esoknya 16 April
1949, benteng Jagaraga jatuh. Raja Buleleng, Karangasem, dan Adipati Ki Gusti
Ketut Jelantik Gingsir mengungsi ke desa Batur. Mereka ini dikejar oleh laskar
Bangli, hingga mengungsi ke Karangasem. Pada tanggal 20 Mei 1849 pasukan
Seleparang pimpinan Ki Gusti Gede Rai dan Adipati Agung Ki Gusti Made Jungutan
yang memihak Belanda berhasil membunuh raja Buleleng dan Karangasem. Sementara
Adipati Agung Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir dapat dikejar dan dibunuh di desa
Seraya.
Ki Gusti Ngurah Ketut Jelantik, Raja XI (Terakhir)
Buleleng
Ki Gusti Made Rai berkuasa sekitar
3 tahun lamanya. Ia tidak mempunyai kepribadian dalam memimpin kerajaan. Ia
sangat gemar berjudi sabung ayam. Karena kegemaran ini, ia mengundurkan diri
melepaskan tahta kerajaan. Ia lalu pergi tinggal di desa Panji diiringi oleh
para bebotoh.
Belanda menunjuk Ki Gusti
Ngurah Ketut Jelantik sebagai penggantinya, setelah disetujui para Menteri dan
Punggawa. Ki Gusti Ketut Jelantik adalah putera dari I Gusti Putu Kari dari
Kubutambahan, keturunan Sri Agung Panji Sakti. Sementara ayahnya Ki Gusti Putu Kari
diberi kedudukan sebagai Punggawa di Kubutambahan.
Karena keserakahan Belanda
untuk berkuasa penuh di daerah Buleleng, maka disebarkan fitnah terhadap Raja
Ki Gusti Ngurah Ketut Jelantik. Fitnah ini membuat kedudukan raja sangat
terpojok, sehingga Belanda memiliki alasan kuat membuang raja. Ki Gusti Ngurah
Ketut Jelantik diberi hukuman selong dibuang ke Padang Sumatera. Setelah
itu Belanda tidak lagi menunjukkan seorang raja, hanya Ki Gusti Bagus Jelantik
dijadikan sebagai patih untuk memimpin orang-orang Bali di Buleleng.
swastyastu Bli, ijin bagikan kembali ngih
BalasHapus