Label

Kamis, 04 April 2013

GANESA



SIMBOL – SIMBOL BHATARA GANA
(Ida Bagus Wirahaji)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Agama Hindu yang masuk ke Nusantara terdiri berbagai sekte. Namun yang berkembang adalah sekte Siwa Siddhanta. Berbagai peninggalan berupa prasasti banyak ditemukan yang mengungkapkan pemujaan kepada Siwa. Prasasti Hindu yang pertama kali ditemukan terletak di Kalimantan Timur merupakan kerajaan tertua sekitar tahun 400 M. Salah satu yupa mengungkapkan, bahwa Raja Mulawarman menghadiahkan 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana di lapangan suci bernama Vaprakeswara. Vaprakeswara berarti tempat suci untuk memuja dewa Siwa (Agung, 1987:42).
Di Jawa Tengah ditemukan prasasti Canggal yang berangka tahun 732 Masehi dikeluarkan oleh raja Sanjaya dari kerajaan Mataram. Kalimat dalam prasasti itu antara lain menyebutkan nama Siwa dengan nama-nama, seperti dewa Bhawa sebagai dewa Matahari, dewa bermata tiga, dan dewa berbadan delapan. Kemudian pada jamannya Rakai Pikatan, didirikan candi Loro Jonggrang di desa Prambanan tahun 865 M. Candi ini berisi 4 (empat) ruang yang berisi patung dewa-dewa kolompok Siwaistis (Arwati, 1996:59-60), yaitu.
a.       Ruang menghadap ke Timur terdapat arca Siwa Mahadewa
b.      Ruang menghadapke Selatan terdapat arca Siwa Guru
c.       Ruang menghadap ke Barat terdapat arca Bhatara Gana (lampiran VI-01)
d.      Ruang menghadap ke Utara terdapat arca Prajnaparamita (Durga)
Di Jawa Timur ditemukan prasasti Dinoyo berangka tahun 760 M. Prasasti ini antara lain menyebutkan seorang raja bijaksana bernama Dewasimha menjaga keraton dengan api suci dewa Siwa. Perkembangan selanjutnya muncul Mpu Sendok yang berkuasa tahun 929 - 947 M, di kerajaan Medang Kemulan. Beliau sebagai pendiri wangsa Isana bergelar Srisanottunggadewa Wijaya, yang berarti ‘Raja yang memuliakan dewa Siwa’. Berikutnya raden Wijaya yang bergelar Krtarajasa pendiri kerajaan Majapahit, setelah wafat pada tahun 1309 M, diistanakan dalam candi Siwa di selatan Blitar (Soekmono, 1973:69).
Masuknya agama Hindu ke Bali merupakan pengaruh dari Jawa TImur yang diperkirakan sebelum abad ke-8, karena dijumpai fragmen prasasti yang terdapat di Pejeng, berbahasa Sansekerta. Prasasti diduga berasal dari tahun 778 M, memuat tulisan Yete Mantra. Pada baris pertamanya menyebut kata Siwa ... ddh. Menurut Goris, kemungkinan kata utuhnya adalah Siwa Siddhanta (Agung, 1987:61-62).
Bukti lainnya berupa prasasti Sukawana A1 dari tahun 882 M, menyebutkan antara lain ada (tiga) tokoh agama, yakni Bhiksu Siwakangsita, Siwanirmala, dan Siwaprajna, membangun pertapaan di bukit Cintamani (Arwati, 1996:111). Dari nama-nama di atas menunjukkan kedua sekte Siwa dan Buddha telah mengalami sinkretisme. Kemudian faham Siwa dan Buddha menjadi agama negara negara pada masa pemerintahan raja Udayana Warmadewa beserta permaisurinya Gunapriya Dharmapatni yang berkuasa pada abad ke-10.
Goris (1986:4), berpangkal tolak pada susunan kelompok-kelompok, menyelidiki peninggalan-peninggalan yang masih ada, menyebutkan ada 9 (sembilan) sekte Hindu yang masuk ke Bali. Kesembilan sekte tersebut adalah Siwa Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Wainsawa, Bodha (Sogata), Brahmana,  Resi, Sora atau Surya, dan Ganapatya. Dari sembilan sekte tersebut yang paling dominan adalah sekte Siwa Siddhanta.
Sekte Ganapatya adalah kelompok yang mengagungkan bhatara Gana (ganesa) sebagai tokoh sentral. Tentang adanya sekte ini, banyak sekali bukti-bukti berupa peninggalan-peninggalan arca-arca bhatara Gana, baik dalam ukuran besar maupun kecil, ada dibuat dari batu maupun dari logam, tersimpan dalam pura-pura di Bali. Kelompok Ganapatya sangat erat kaitannya dengan sekte Siwa Siddhanta, yang merupakan kelompok terbesar di Bali. Dalam mithos sekte Siwa Siddhanta, bhatara Gana adalah salah satu putera dewa Siwa. Jadi bhatara Gana ternasuk dewa dari keluarga Siwa.
Di Indonesia banyak sekali terdapat arca bhatara Gana terutama di Jawa dan di Bali, mungkin karena pemujaan kepada Siwa kuat sekali. Bhatara Gana seringkali dipahat tersendiri, dianggap sebagai dewa penolak bahaya. Stutterheim mengemukakan bahwa arca bhatara Gana sering ditemukan di dekat tempat berbahaya seperti pada penyeberangan sungai atau dekat jurang seperti arca bhatara Gana di Karangkates. Di candi Setan banyak sekali ditemukan arca bhatara Gana. Di candi Gebang, bhatara Gana digambarkan duduk di atas Yoni. Ada beberapa arca bhatara Gana yang terdapat di Jawa Timur tampak agak lain seperti Bhatara Gana Singasari, Bhatara Gana Bara, Bhatara Gana Karangkates, Bhatara Gana berdiri berasal dari gunung Semeru. Keempat Bhatara Gana itu mempunyai satu ciri khas, yaitu padmasananya terdiri dari lapik berhiaskan tengkorak-tengkorak. Hisan badan arca-arca juga terdiri dari tengkorak (batok kepala). Ini berarti bahwa Bhatara Gana itu dianggap berada pada sebuah pesetran (medan perabuan). Bentuk patung atau pun arca Bhatara Gana ada yang bersifat demonis karena pengaruh Tantris (Satyawati, 1980:13).
Eksistensi Bhatara Gana di Bali tidak terlepas dari sekte Siwa Siddhanta, karena Bhatara Gana termasuk kelompok dewa keluarga Siwa atau yang bercorak Siwaisme, selain Bhatara Guru, bhatara Kumara, dewi Durga dan sebagainya. Bhatara Gana termasuk dewa yang banyak mengenakan simbol. Dengan banyaknya simbol yang melekat padanya, ini berarti Bhatara Gana banyak memiliki kemampuan yang dapat dianugrahkan kepada para pemujanya. Upakara atau banten Gana dipakai dalam upacara, baik dalam tingkat sederhana maupun pada tingkat yang lebih tinggi.
Pada upacara pecaruan, dikenal caru Rsi Gana, maksudnya tiada lain, dengan melambangkan bhatara Gana sebagai seorang Rsi, persembahan kepada Bhuta Kala, di mana Bhatara Gana sebagai rajanya Bhuta Kala. Sehingga dipercaya para Bhuta Kala tidak lagi menggangu (Aditya, 2000:3).
Di masyarakat sekarang ada kecenderungan patung Bhatara Gana dipasang di pekarangan rumah, di dekat pintu masuk, di atas pintu, di di tempat lainnya. Patung Bhatara Gana juga ditempatkan di kantor, di toko, atau pun ditempat usaha lainnya. Selain berupa patung, gambar-gambar atau rerajahan, tidak kalah pentingnya, banyak dipakai dalam melengkapi berbagai upacara Yajna.
Istilah Bhatara Gana adalah sebutan yang paling umum di Bali. Di Jawa ataupun didaerah lainnya dikenal dengan nama Ganesa, Ganapati, dan nama-nama lainnya. Bhatara Gana memiliki ciri yang paling umum sebagai penandanya, yakni berkepala gajah. Gajah adalah binatang yang cukup banyak populasinya di india. Di India kepercayaan terhadap gajah sebagai mahluk yang mempunyai sifat-sifat kedewataan sangat meluas. Sejak dulu gajah dianggap sebagai mahluk sorga yang pantas disambut dengan sikap religius disertai penuh rasa bhakti. Konon ceritanya, gajah pertama di alam raya mempunyai sayap dan isterinya adalah awan. Seekor gajah turun dari langit dan hinggap di dahan pohon yang di bawahnya ada pertapa yang sedang memberi ajaran kepada muridnya. Tiba-tiba dahan terinjak lalu patah dan minmpa murid tersebut sampai meninggal. Si pertapa sangat marah dan berteriak memanggil hujan. Kemudian hujan pun turun amat lebat. Sejak saat itu gajah dianggap sebagai binatang keramat yang dapat mendatangkan hujan dan kesuburan. Pada masa berikutnya, kedudukannya terangkat karena sering dihubungkan dengan tokoh dewa atau dewi.

1.2    Rumusan Masalah
Bhatara Gana adalah dewa yang berkepala gajah, termasuk banyak banyak simbol-simbol yang melekat padanya. Simbol-simbol tersebut masing-masing mempunyai arti dan fungsi sendiri-sendiri. Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Simbol - simbol apa saja yang melekat pada Bhatara Gana?
2.      Apa fungsi Bhatara Gana dalam hubungannya dengan pantheon Hindu?
3.      Apa fungsi simbol-simbol Bhatara Gana dalam kehidupan Siwaisme di Bali?

1.3    Tujuan
Suatu kepercayaan terhadap dewa, sebagai sinar suci dari Ida Sanghyang Widhi Wasa akan berhasil memperoleh anugrahNya apabila dewa tersebut melaksanakan fungsinya. Dewa berkenan melakukan fungsinya apabila umatnya mempunyai rasa bhakti dan pengetahuan yang cukup dalam memahami simbol-simbol yang dikenakan oleh dewa yang dipujanya. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Agar umat mengetahui fungsi simbol-simbol yang dikenakan Bhatara Gana.
2.      Mengetahui fungsi Bhatara Gana dalam pantheon Hindu.
3.      Mengetahui fungsi simbol Bhatara Gana dalam kehidupan Siwaisme di Bali.

1.4    Manfaat
Dengan memiliki pengetahuan yang benar tentang Bhatara Gana, terutama fungsi dari simbol-simbol yang dikenakannnya, maka manfaat yang dapat diharapkan adalah:
1.      Umat memiliki landasan keyakinan yang kuat.
2.      Pada akhirnya menuju masyarakat yang religius.



1.5    Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dimaksudkan untuk menghindari-kesimpang siuran terhadap pokok permasalahan, mengingat permasalahan yang diteliti cukup luas. Ruang lingkup pada penelitian ini adalah:
1.      Meneliti simbol-simbol pada Bhatara Gana, baik Bhatara Gana versi India, Jawa, maupun Bali.
2.      Meneliti jenis dan fungsi banten Gana pada upcara di Bali.
3.      Meneliti jenis dan fungsi Pujastawa Bhatara Gana di Bali.
4.      Meneliti jenis dan fungsi rerajahan Bhatara Gana di Bali.

1.6    Tinjauan Pustaka
Dalam bukunya Svami Chinmayananda (2002), yang berjudul kejayaan Ganesa, menghimpun berbagai Purana tentang kelahiran Bhatara Gana, serta mithos-mithos lainnya. Buku ini juga memuat pemujaan Bhatara Gana sebagai Ganapati dengan jumlah seloka 32 yang ditemukan dalam kitab Sri Tatvanidhi dari India Selatan.
Edi Sedyawati (1994), menulis Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singasari. Penelitian ini menelusuri perbedaan pahatan Bhatara Gana pada dua masa, yaitu masa Kediri dan masa Singasari. Bagi Edi Sedyawati, yang menarik adalah banyaknya frekuensi arca-arca Bhatara Gana ditemukan daripada arca-arca lainnya. Untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai pengarcaannya, Edi Sedyawati menelaah inskripsi-inskripsi dan buah karya sastra sebagai satuan pengamatan penunjang.
Bawa Atmaja dalam bukunya yang berjudul Ganesa sebagai Awighneswara, Vinayaka, dan Pengelukat (1999), menelaah tentang Siapa Bhatara Gana, mengapa memakai kober Gana, apa makna dari senjata-senjata yang mengitarinya dalam kober tersebut, dan lain sebagainya. Buku ini memaparkan fungsi Bhatara Gana dalam pantheon Hindu.

1.7    Metodologi
1.7.1   Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Pura-Pura di daerah kota Denpasar, di daerah Kabupaten Badung dan Gianyar. Arca-arca Ganesa baik dalam ukuran besar maupun kecil, terbuat dari batu, maupun dari logam masih banyak tersimpan atau dipasang dalam beberapa pura di Bali.

1.7.2   Desain Penelitian
Metode penelitian ada tiga, yaitu (1) penelitian eksploratif; (2) penelitian deskritif; dan (3) penelitian verifikatif. Penelitian eksploratif adalah penelitian yang bersifat menjelajah mengenai suatu gejala. Penelitian deskritif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat tentang objek yang diteliti. Penelitian verifikatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menguji hipotesis tentang adanya hubungan sebab akibat dari antara satu variabel dengan variabel yang lainnya (Selitz, Hyman, dalam Tan, 1993:29).
Penelitian ini pada dasarnya bersifat eksploratif dan deskritif, yakni menjelajah dengan mencari Pura Pura yang menggunakan patung atau arca Bhatara Gana, selainmeneliti sumber-sumber tertulis, dan keterngan-keterangan dari beberapa informan yang berkompeten.

1.7.3   Sumber Data
Ada tiga jenis obyek yang diteliti, yaitu: (1) sumber tertulis, berupa lontar dan buku-buku yang memuat tentang Bhatara Gana; (2) informan, yang mengerti banyak tentang Bhatara Gana; (3) data empiris, yang masih tersimpan di beberapa pura di Kota Denpasar, di Kabupaten Badung, dan di Kabupaten Gianyar.
Informan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) informan lokal, yaitu mereka yang dapat memberikan informasi di tempat di mana patung atau arca Gana itu dismpan atau disthanakan; (20 informan pendukung budaya, yaitu mereka yang termasuk dalam kelompok atau aliran pemuja Ganesa; (3) informan ahli, yaitu budayawan, tokoh agama, dan tokoh adat.

1.7.4   Teknik Penyajian Data
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih rinci tentang Bhatara Gana di beberapa Pura di lokasi, dilakukan pengamatan dan wawancara di lapangan, studi literatur dan bahan dokumen. Pengumpulan data dari informan dilakukan dengan metode wawancara langsung dengan instrumen penunjang, seperti alat-alat tulis, daftar pertanyaan, kamera, dan tape recorder.

1.7.5   Teknik Analisis Data
Analitis data dilakukan dengan cara deskriftif, analitis, komparatif, dan interpretatif, dengan mengkaji apa adanya informasi apa adanya informasi yang telah dikumpulkan dari lapangan, yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan literatur-literatur yang ada.

1.7.6   Teknik Penyajian Hasil
Informasi-informasi hasil wawancara terlebih dahulu diklasifikasikan menurut prioritas kebutuhan bahan-bahan deskripsi, kemudian dimasukkan dalam model tabel atau sistem tabulasi. Dengan demikian memudahkan mengangkat untuk menjadi bahan analitis.hasil-hasil dari lapangan yang lainnya lalu disajikan dalam bentuk uraian, gambar, dan foto.






BAB II
MITHOLOGI DAN SIMBOL - SIMBOL
PENANDA BHATARA GANA

2.1    Mithologi Kelahiran Bhatara Gana
Kata mithologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua buah kata, yaitu: mithos dan logos. Mithos adalah cerita tradisional tentang dewa-dewa serta kejadian-kejadian gaib. Logos artinya ilmu pengetahuan. Jadi mithologi berarti ilmu pengetahuan tentang mithos (Ensiklopedi, 1977:703).
Sebagaimana dewa-dewa lainnya, Bhatara Gana pun memiliki mithos-mithos tentang kelahirannya yang dimuat dalam kitab-kitab Purana. Ada beberapa kitab yang mengisahkan tentang kelahiran bhatara Gana, seperti Lingga Purana, Siwa Purana, Ganesa Purana, Mudgala Purana, Matsya Purana, Padma Purana dan lain sebagainya. Sementara karya sastra Nusantara yang mengisahkan kelahiran Bhatara Gana adalah kitab Smaradahana, naskah yang berbetuk kekawin yang digubah oleh Mpu Darmaja. Zoetmulder (1973:374), memperkirakan Mpu Darmaja hidup sejaman dengan Mpu Panuluh yang menggubah kitab Ghatoskacasraya, dimasa kekuasaan raja Kameswara. Raja Kameswara sendiri berkuasa di kerajaan Kediri pada tahun 1115 - 1130 M (Soekmono, 1973:57).
Ada pun kelahiran Bhatara Gana yang dikisahkan oleh Mpu Darmaja, secara ringkas sebagai berikut. Seorang raksasa bengis bernama Nilarudraka, mengobrak-abrik sorga. Situasi di sorga tidak terkendali, para dewa bingung dan mengadakan rapat secara darurat. Mereka sepakat, hanya Siwa yang dapat menyelamatkan sorga, namun dewa Siwa sedang bertapa di Gunung Meru. Bhagawan Wrhaspati sebagai penasehat para dewa, menyarankan Dewa Kama membangunkan asmara Dewa Siwa terhadap Dewi Uma.
Dewa Kama menyetujui, mereka (para dewa, rsi) menuju tempat pertapaan dewa Siwa di Gunung Semeru. Dewa Kama mengeluarkan panah berbentuk bunga, diarahkan tepat pada hati Siwa. Panah dewa Kama menembus hati Dewa Siwa, hingga terbayang Dewi Uma duduk dipangkuannya. Ketika membuka mata, dilihatnya Dewa Kama di depannya. Siwa menjadi marah dengan mata ketiganya membakar Dewa Kama. Dewa dan rsi yang lain tidak dapat menolong.
Dewa Siwa yang terkena panah asmara dewa Kama, timbul hasratnya umtuk bercengkrama dengan Dewi Uma, hingga hamil. Tatkala Dewa Uma sedang mengandung datanglah para dewa yang mengajak gajah dewa Indra yang bernama Airawata. Dewi Uma terkejut melihat seekor gajah, dan selalu teringat dalam pikirannya. Akibatnya Dewi Uma melahirkan seorang putera berkepala gajah.
Bhatara Gana begitu lahir langsung dibawa ke medan perang melawan pasukan pimpinan raksasa Nilarudraka. Anehnya setiap kali kena pukulan, badan Bhatara Gana bertambah besar, dan dalam waktu singkat menjadi dewasa. Dalam peperangan itu, taring Bhatara Gana patah terkena senjata bajra Nilarudraka, yang merupakan anugerah dari dewa Siwa. Bhatara Gana menggunakan patahan taringnya untuk menyerang musuh-musuhnya. Dalam pertempuran di sorga itu, para dewa pimpinan Bhatara Gana akhirnya berhasil mengalahkan, membunuh pasukan raksasa yang dipimpin oleh raksasa Nilarudraka. Bhatara Gana dengan amrta menghidupkan pasukannya yag tewas. Para dewa dan rsi penghuni sorga memuji Bhatara Gana dengan terikan Ganajaya. Situasi di sorga pulih kembali (Zoetmulder, 1973:369-373).
Menurut informan Dr. I Wayan Redig (wawancara 19 Desember 2002), naskah Smaradhana merupakan satu-satunya karya sastra Indonesia yang mengisahkan kelahiran Bhatara Gana. Mengenai taring (gading)-nya yang patah ada versi yang menceritakan bahwa itu karena sengaja dipatahkan oleh Bhatara Gana sendiri.

2.2    Simbol-Simbol Penanda Bhatara Gana.
Dalam bahasa Inggris, kata symbol berarti ‘untuk sesuatu’ atau ‘untuk menggambarkan sesuatu’ khususnya sesuatu yang immaterial, abstrak, suatu idea, kualitas, tanda-tanda suatu obyek, proses, dan lain sebaginya (Coulsen dalam Titib, 2001:63). Kata ‘simbol’ dalam bahasa sansekerta dapat dijumpai padanannya, seperti pratika, cihnam, laksanam, linggam, samjna, partipura, di samping secara umum dikenal di Indonesia dengan istilah arca, pratima, pratiwimba, nyasa, nurti dan lain-lain. Kecerdasan manusia mulai dari konsepsi dan berakhir dengan ekspresi simbolis. Simbol-simbol bisa berupa verbal, keagamaan, kesenian, matematika, dan dua yang tertua sejak jaman prasejarah adalah bahasa dan mitos (Reede, Apate, Sekhar, dalam Titib, 2001:63-64).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa fungsi simbol antara lain adalah:
1.      Meningkatkan dan memantapkan sraddha umat dalam rangka menumbuhkan bhakti, yang akan membentuk kepribadian umat manusia dengan moralitas yang tinggi.
2.      Menumbuhkembangkan dan tetap terpeliharanya nilai seni budaya, baik melalui arca, seni lukis, dan seni karya lainnya.
3.      Memupuk rasa kebersamaan di kalangan umat Hindu dalam mewujudkan sarana pemujaan, utamanya dalam kaitannya dengan sakralisasi dan memfungsikan simbol-simbol yang dibuat tersebut (Ttitib, 2001:72-73).

Bhatara Gana banyak memakai simbol sebagai penandanya, di mana yang menonjol, seperti berkepala gajah yang bertaring satu, berperut buncit dengan wahana tikus. Bhatara Gana selalu digambarkan berkepala gajah, hal ini sesuai dengan sebutannya Gajanana. Gajanana ini juga disebut Ekadanta, karena menurut Brahmanda Purana, taring kirinya patah waktu berkelahi melawan Parasurama (Pendit dalam Bawa, 1999:25).
Dibandingkan dengan India, arca Bhatara gana Indonesia kebanyakan dalam sikap duduk dan belum pernah digambarkan dalam sikap menari. Jumlah tangan umumnya 4 (empat), membawa danta, aksamala, parasu, dan mangkok. Mangkok bhatara Gana di Indoensia kosong, sedangkan di India mangkok berisi modaka. Mahkota bhatara Gana di Indonesia berhiaskan ardhacandrakapala, sedangkan yang di India berhiaskan Kirtimuka. Kehadiran tikus sebagai wahana Bhatara Gana sangat jarang di Indonesia, tetapi sangat umum di India. Bhatara Gana lebih sering hadir bersama saktinya, tetapi bhatara Gana di Indonesia belum pernah. Bhatara Gana di India sering berkelompok dengan dewa-dewa Nawagraha, atau didampingi oleh para widyadara-widyadari dan para penyembahnya; hal ini tidak menjadi tradisi bagi Bhatara Gana Indonesia (Redig, 1996:171).
Menurut informan Ida Pedanda Gede Pemaron Mandara (wawancara pada tanggal 3 Desember 2002) dari Griya Kusuma Jati, Yang Batu Denpasar, mengatakan arca bhatara Gana di Bali ada 2 (dua), yaitu:
1.      Arca Ganesa
Sebagai dewa tenung dengan sikap duduk di atas padma, dipahat bertangan 4 (empat), yaitu tangan kanan depan memegang patahan taring (danta), tangan kiri depan memegang mangkok, dua tangan di belakang memegang tasbih (aksamala) dan pustaka (lontar).
2.      Arca Ganapati
Sebagai dewa perang dengan jabatan kepala paukan Siwa. Sikap berdiri, bertangan 2 (dua), kedua tangan memegang senjata. Dalam rupa Ganapati ini bhatara Gana berfungsi sebagai pengelukat dan penolak bahaya.





BAB III
FUNGSI BHATARA GANA DALAM PANTHEON HINDU

3.1    Bhatara Gana Sebagai Wighneswara
Kata ‘pantheon’ berasal dari bahasa Yunani, dari panthein, yang artinya ‘semua dewa’, ‘dewa bersama’. Pantheon adalah sebutan untuk menyatakan semua dewa yang dipuja oleh umatnya. Misalnya pantheon Yunani, berarti dewa-dewa yang dipuja oleh bangsa Yunani, pantheon India berarti dewa-dewa yang dipuja oleh bangsa India, dan sebagainya.
Kata Wighneswara terdiri dari wighna + Iswara. Wighna berarti ‘rintangan’, dan Iswara berarti ‘penguasa’ (semadi, 1985:102 &400). Dengan demikian dapat diartikan bhatara Gana adalah dewa penguasa rintangan.
Bertitik tolak dari mitologi Bhatara Gana terlihat bahwa Bhatara Gana adalah sebagai wighneswara. Ini buka berarti Bhatara Gana sebagai dewa yang menyebabkan bencana, melainkan sebagai penguasa yang mampu mengendali-kan segala bencana.
Penempatan Bhatara Gana sebagai wighneswara atau penghalang bahaya adalah sangat luas, mengingat jenis maupun sumbernya bahaya manusia bersifat beragam. Sehubungan dengan itu, penempatan Bhatara Gana sebagai Wighne-swara mencakup berbagai aspek sebagai berikut.
3.1.1        Dewa Perang
Penempatan Bhatara Gana sebagai dewa perang dapat dilihat pada mitos dari kelahiran, yang dikisahkan dalam kitab kekawin Smaradhana dan kitab-kitab purana lainnya. Dalam kitab kekawin Smaradhana, seperti kisah di atas, kelahiran Bhatara Gana sengaja direkayasa dan dinanti-nantikan untuk memerangi raksasa Nilrudraka.
Dalam kitab kekawin Siwaratrikalpa dan kitab Padma Purana menunjukkan keterkaitan Bhatara Gana dengan peperangan. Adanya pasukan yang bernama Ganabala, yang dipimpin secara langsung oleh Bhatara Gana untuk menghadang marabahaya (Bawa, 1999:41). Demikian juga dalam kitab Padma Purana, disebutkan dewa Brahma sebagai pencipta memberkati Bhatara Gana untuk menjadi pemimpin para Gana (kelompok besar pengiring Siwa) dan memanggilnya dengan nama Ganapati (Chinmayananda, 2002:29).

3.1.2        Penjaga Gerbang dan Pengider-Ider
Dewi Parwati (shakti Siwa) menginginkan dirinya privacy. Ia menciptakan pelindungnya dari ketombe dan keringat badannya. Mahluk yang tercipta itu adalah Bhatara Gana, kemudian disuruh oleh Parwati menjaga pintu gerbangnya rumahnya. Ketika Siwa hendak masuk dihadang, dihadang oleh Bhatara Gana. Terjadi perkelahian antara keduanya (Kinsley, 1987:44).
Cerita berikutnya, Bhatara Gana menjaga pintu gerbang Siwa. Ketika Parasurama hendak masuk dihadang, karena dewa Siwa ayah Bhatara Gana sedang tidur. Terjadi perkelahian antara keduanya. Bhatara Gana memanjangkan belelainya, menangkap dan memutar Parasurama. Parasurama melepaskan senjata kapaknya, tepat mengenai taring bhatara Gana. Taring Bhatara Gana patah satu, sehingga disebut Ekadanta (Wilkins, 1991:327).
Kedua cerita di atas menyatakan bahwa Bhatara Gana adalah penjaga gerbang yang tangguh. Bhatara Gana hanya dapat dikalahkan oleh ayahnya sendiri (Dewa Siwa) dan Parasurama yang bersenjatakan kapak.
Di Bali fungsi Bhatara Gana sebagai penjaga pintu gerbang diwujudkan berupa ulap-ulap, yaitu secara kain kapan yang ditempel di kori bagian atas bergambar rerajahan Bhatara Gana (lampiran VI-20). Selain itu Bhatara Gana juga sebagai dewanya wuku Sungsang menempati arah Barat Laut.
Sebagai dewa pengider-ider, Bhatara Gana disebutkan dalam kitab Tantu Panggelaran cerita III. Disebutkan Mahameru punya empat pintu gerbang yang disebut Panaturmuka. Bhatara Gana ditugaskan menjaga gerbang Mahameru yang menghadap ke Timur (Pigeaud dalam Sedyawati, 1994:227-228)

3.1.3        Gramadewa
Dalam kamus bahasa (Semadi, 1986:153), kata grama berarti ‘desa’, ‘klen’ atau ‘masyarakat’. Jadi gramadewa dapat diartikan Bhatara Gana sebagai sewa pelindung desa atau pelindung masyarakat. Fungsi ini tidak lepas dari kedudukan Bhatara Gana sebagai wighneswara, penjaga pintu gerbang dan pengider-ider yang kemudian diterapkan dalam penataan desa.
Dalam naskah Korawasrama Cerita I, disebutkan riwayat Bhatara Gana sebagai dewa ulun desa. Bhatara Gana dewa serba tahu sehingga disebut Winayaka, para dewa datang untuk menguji dengan memberikan teka-teki, yang semuanya dapat dijawab dengan tepat oleh Bhatara Gana (Swellengrebel dalam Sedyawati, 1994:230-233).

3.1.4        Penolak Hama dan Penyakit Tanaman
Pengendalian penyakit tanaman di Bali, tidak saja dengan cara sekala, dengan kemajuan teknologi, tetapi juga melalui jalan niskala dengan melakukan upacara ritual bermacam-macam kegiatan yang bertumpu pada penggunaan jasa suatu kekuatan supranatural.
Dalam kitab Ganapati Tattwa (Kajian teks dan terjemahan), disebutkan pembersihan areal yang terserang hama oleh Sanghyang Ganapati berikut dengan sarananya (Mirsha, 1994:84-85).
Kitab Mahanirwana-Tantra menyebutkan Bhatara Gana sebagai penguasa panen. Potongan taringnya melambangkan mata bajak. Ada kisah di India selatan, di mana diceritakan Bhatara Gana berhasil merebut sebuah kendi Agastya yang berisi air suci Siwa. Kendi itu dibawa dan airnya diberikan kepada penyembahnya di India selatan. Air suci itu konon berubah menjadi sebuah sungai yang sekarang bernama sungai Kaveri (Getty dalam Titib, 2001:342).
3.1.5        Penolak Penyakit dan Epidemi
Pada masyarakat Bali ada kebiasaan memasang pelangkiran di atas tempat tidur menunjukkan bahwa dewa yang dipuja adalah Bhatara Gana bersama Bhatara Kumara, di mana keduanya adalah putera Siwa. Dalam naskah Bomakawya nama Gana dan Kumara digabung menjadi Ganakumara. Dewa ini ditugaskan Krisna untuk menjaga keamanan kota Dwarawati dari serangan musuh yang dipimpin oleh Bhoma (Zoemulder, 1983:402). Nama Ganakumara bisa jadi merupakan usaha menggabung-kan dua kekuatan untuk memperoleh figur dan daya magis yang lebih kuat.
Kemampuan Bhatara Gana dalam menanggulangi penyakit dan epidemi tidak terlepas dari warisan biologis dan sosiologis yang diberikan oleh ibunya dewi Durga. Dewi Durgalah penyebab dari semua penyakit yang ada di dunia ini. Dengan adanya hubungan ini, maka keduanya dapat dimohonkan untuk mengatasi penyakit dan epidemi.

3.1.6        Penolak Mimpi Buruk
Menurut Suryani (2000:85), dari sudut pandang psikiatri mimpi memang diperlukan, masalahnya bila terlalu sering akan mengakibatkan kelelahan. Dengan melakukan meditasi dan relaksasi akan dapat menyeleksi mimpi. Menurutnya, mimpi mempunyai arti yang berbeda-beda tergantung kondisi pada saat bermimpi. Mimpi bisa sebagai ramalan, bisa sebagai komunikasi dengan seseorang, dan bisa juga sebagai arana belajar kepada Tuhan. Mimpi akan mempunyai makna dan perlu dikupas, apabila pada saat baru bangun tidak mengalami kelelahan fisik.
Seperti disebutkan di atas, secara tradisi masyarakat Bali memasang pelangkiran di rumah, di mana dewa yang disthanakan salah satunya adalah Bhatara Gana. Tujuan bukan hanya untuk menangkal penyakit, tetapi juga untuk menetralisis mimpi buruk.

3.2    Bhatara Gana Sebagai Winayaka
3.2.1        Asal Mula Kewinayakaan Bhatara Gana
Dalam kitab Ganapati Tattwa, disebutkan Bhatara Gana sebagai penanya yang cerdas, menanyakan segala sesuatu tentang rahasia alam semesta dan kehidupan ini kepada ayahnya Dewa Siwa sebagai Mahaguru. Dalam kitab ini, Bhatara Gana disebut sebagai Sanghyang Ganadipa berperan sebagai sisya, dan Dewa Siwa berperan sebagai narasumber.
Dialog terjadi di puncak gunung Kailasa. Pelajaran yang diberikan Siwa, tidak saja menjadikan Bhatara Gana sebagai winayaka (serba tahu), tetapi juga memiliki kesidian.
Asalmula kewinayakaan Bhatara Gana juga disebutkan dalam kitab Korawasrama Cerita II. Dikisahkan, Sanghyang Anantawisesa memiliki kitab Linggapranala. Kitab ini diberikan kepada Sanghyang Taya. Sanghyang Taya memberikan kepada Dewi Saraswati. Dewi Saraswati-lah yang memberikan kitab ini kepada Bhatara Gana. Dengan mempelajari dan menguasai ajaran kitab Linggapranala, Bhatara Gana menjadi dewa yang serba tahu atau winayaka (Swellengrebel dalam Sedyawati, 1994:235-237).

3.2.2        Bhatara Gana Sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan
Kewinayakaan Bhatara Gana, baik karena mendapatkan kitab Linggapranala maupun karena mendapatkan pelajaran di Gunung Kailasa, menyebabkan Bhatara Gana dipuja sebagai dewa ilmu pengetahuan. Karena itu, Hindu mengenal dua dewa ilmu pengetahuan, yaitu Saraswati dan Bhatara Gana. Menurut Hooykaas (dalam Bawa, 1999:82), Saraswati sebagai dewa ilmu pengetahuan bersifat feminim, yaitu kedamaian, keselamatan, kasih, dan kebersamaan. Sesuai dengan atributnya, seperti cakepan, genitri, vina, dan angsa. Sedangkan Bhatara Gana sebagai dewa ilmu pengetahuan maskulin, bersifat kompetitif, dominasi, eksploitasi, dan penghancuran sesuai dengan atributnya, seperti patahan taring, kapak, trisula, mangkok dan lain sebagainya.

3.3    Bhatara Gana Sebagai Pengelukat
Kewenangan Bhatara Gana sebagai dewa pengelukat dapat dilihat pada kitab Ganapati Tattwa, dan kitab Korawasrama. Dalam kitab Ganapati Tattwa, disebutkan Bhatara Gana setelah banyak mendapat pelajaran dari ayahnya Mahaguru, diberi kewenangan untuk melakukan pengelukatan, baik pengelukatan manusia, maupun pengelukatan dalam rangka pengendalian hama dan penyakit pada tanaman.
Dalam kitab Korawasarama Cerita II, disebutkan Dewi Uma merobek kitab Linggapranala, karena merasa malu tentang perbuatan serongnya tercatat di dalam kitab tersebut. Uma berubah menjadi Durga, berbadan besar, nafasnya bau busuk, rambut terurai lusuh, bibir tebal, bertaring, dan berteriak seperti singa mengaum. Menyesali nasibnya Durga mengejar Bhatara Gana untuk minta untuk dilukat. Bhatara Gana akhirnya memenuhi permintaan ibunya. Dewi Durga yang berwatak krodha akhirnya kembali menjadi Dewi Uma yang bersifat shanti.



BAB IV
FUNGSI SIMBOL-SIMBOL BHATARA GANA
DALAM KEHIDUPAN SIWAISME DI BALI

4.1    Fungsi Penempatan Arca-Arca Bhatara Gana
Pada masa Bali Kuna, Bhatara Gana dipuja dalam bentuk arca. Arca Bhatara Gana ditampilkan oleh seniman pada jamannya, yang diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti arca Ganesa, dengan sikap duduk Wirasana, arca Ganapati dengan sikap berdiri, dan ada arca Ganesa yang membawa sebilah keris. Adapun patung-patung atau arca-arca Bhatara Gana terdapat di pura-pura seperti:
4.1.1        Pura Luhur Uluwatu
Patung Bhatara Gana terdapat di pura ini ada sebanyak 6 (enam) buah. Masing-masing 2 (dua) buah pintu masuk candi bentar, 2 (dua) buah pada pintu masuk paduraksa (candi kurung), dan 2 (dua) buah pada pintu masuk candi bentar pura Dalem Jurit. Rata-rata patung-patung tersebut berukuran tinggi 100 cm, lebar 40 cm, kepala bulat, sikap berdiri, mempunyai caling (selain gading), perut agak buncit, tidak bermahkota, rambut berpola hias kakul-kakulan, upawita-nya tali polos (lampiran VI-14).
Penempatan patung Bhatara Gana di pintu masuk pura, menanda-kan fungsi Bhatara Gana sebagai dwarapala, sesuai dengan fungsinya sebagai penjaga pintu gerbang, seperti dalam mitologi kelahirannya yang dimuat dalam Siwa Purana. Dewi Parwati merasa tidak puas atas penjagaan kediamannya oleh pengawalnya. Sang dewi kemudian mengambil seonggok tanah liat dari sebuah telaga dan membentuk tanah itu menjadi orang yang tampan. Anak itu diberi nama Ganesa, ditugaskan menjaga pintu gerbang istananya (Debroy, Bibek dan Dipali, 2001:22-25).
Karakteristik patung-patung Bhatara Gana yang terdapat di pura Luhur Uluwatu mempunyai persamaan dengan patung-patung Bhatara Gana yang ada di Pura Sakenan, desa Serangan (lampiran VI-15). Hal ini mengingatkan bahwa Pura Sakenan didirikan pada kurun waktu yang sama denga Pura Uluwatu. Menurut informan I Ketut Linus (wawancara 10 Januari 2003), patung Bhatara Gana yang ditempatkan sebagai Dwarapala itu dinamakan Gajahwaktra. Gajahwaktra adalah juga sebutan lain dari Ganesa (Titib, 2001:343).

4.1.2        Pura Enteg Gana
Pura ini terletak terletak di dusun Baler Pasar, desa adat Aban Darmasaba, kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, sekitar 10 km ke arah utara dari Denpasar. Sampai sekarang belum ditemukan sumber-sumber tertulis mengenai sejarah pura Enteg Gana. Informan Si Gede Suka (wawancara 8 Januari 2003) sebagai pemangku di pura ini, menyatakan sewaktu ada gempa pura ini sempat hancur, hanya tampak bagian-bagian pondasinya saja. situasi di masyarakat juga kacau balau, sering terjadi tindak kejahatan. Pura dibangun kembali oleh masyarakat penyungsung-nya. Pada waktu mengumpulkan reruntuhan pelinggih ditemukan patung bhatara Gana. Patung bhatara Gana lalu dibuatkan pelinggih oleh masyarakat setempat. Semenjak itu situasi di masyarakat menjadi aman dan nyaman.
Arca Bhatara Gana keadaannya cukup baik, sikap duduk wirasana, di atas padma, perut buncit, bertangan 4 (empat), yaitu tangan kanan depan memegang danta, kiri depan memegang mangkok, tangan kanan belakang memegang aksamala, dan tangan kiri belakang memegang parasu. Arca berukuran  45 cm, lebar 30 cm. arca dipahat tri netra, seperti ayahnya dewa Siwa.
Menyimak seperti apa yang dituturkan pemangku pura, bahwa sebelum arca Bhatara Gana disthanakan di atas pelinggih, situasi di masyarakat kacau balau. Dan setelah disthanakan, masyarakat dapat menikmati keamanan dan kenyamanan. Hal ini tidak lapas dari fungsi Bhatara Gana sebagai Gramadewa, yaitu sebagai dewa Ulun Desa. Fungsi Bhatara Gana sebagai dewa Ulun Desa adalah sebagai dewanya warga desa, yang secara religius-magis memberi perlindungan pada warga masyarakat desa, agar mereka dalam keadaan tentram dan damai.

4.1.3        Pura Goa Gajah
Pura Goa Gajah terletak di dusun Goa, desa Bedulu, kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Ada dua jenis peninggalan yang ada di komplek ini, yaitu peninggalan Buddhisme pada abad ke-8 M dan peninggalan Siwaisme pada abad ke 11 M. Menurut Kempers (1956:41-42), nama ‘Goa Gajah’ mungkin sekali berasal dari Lwa Gajah, seperti tercantum dalam teks Jawa Kuna Negara Kertagama, yang ditulis tahun 1365 M. Kata Lwa berarti ‘air’, jadi artinya ‘Air Gajah’.
Patung Bhatara Gana terletak di dalam goa sebelah kiri. Menilik hiasannya merupakan patung bhairawa. Suatu aliran yang mempunyai keyakinan bahwa untuk mencapai moksa, setiap orang harus melaksana-kan Panca Tattwa, yaitu (1) Mangsa (makan daging); (2) Matsya (makan ikan); (3) Mada (minum minuman keras); (4) maithuna (senggama); dan (5) mudra (gerakan tangan menimnbulkan tenaga gaib). Dengan demikian fungsi bhatara Gana sebagai aliran bhairawa adalah sebagai dewa perang, yang memberikan kesidian bagi penyembahnya.

4.1.4        Pura Kebo Edan
Pura ini terletak di desa Pejeng paling selatan, kecamatan Tampak-siring, kabupaten Gianyar. Mengenai nama Kebo Edan (kerbau gila), mungkin nama ini berasal dari sepasang arca kerbau yang terdapat pada 2 buah pelinggih di sebelah kiri dan kanan dari pelinggih arca Siwa Bhairawa. Menurut Ardana (1983:19-20), pura ini diperkirakan didirikan pada jaman Singosari, masa kekuasaan raja Krtanegara (1268 - 1292), yang berusaha meluaskan wilayah kerajaannya dengan mengangkat Kebo Parud sebagai Adipati Singosari di Bali.
Arca Bhatara Gana yang terdapat di pura ini, keadaannya sangat rapuh. Tinggi 80 cm, tinggi alas 12 cm, dibuat dari batu andesit. Arca ini disthanakan khusus pada sebuah pelinggih. Yang aneh dalam arca ini, adalah meskipun terletak di pura yang bercorak tantrisme bhairawa, arca ini tidak berhiaskan tengkorak sebagai simbol-simbol dari tantra, kemungkinan arca ini tidak in situ lagi (Lampiran VI-15).

4.2    Fungsi Banten Gana Dalam Upacara Yajna
Banten Gana adalah simbol atau perwujudan yang ditujukan kehadapan Bhatara Gana. Menurut Mas Putra (1982:50), ada dua tingkatan banten Gana, yaitu:
1.      Gana Alit, digunakan pada upacara tingkat pedudusan alit.
2.      Gana Pikulan, digunakan pada tingkat upacara padudusan agung.
Menurut informan Ida Pedanda Putera Kemenuh (wawancara 19 Desember 2002), Gana pikulan hanya dipakai dalam upcara yang sangat besar (utamaning-utama), disertai dengan pemogpog, yang terdiri dari beras, kelapa, telor, itik, ayam, pisang, gula merah, serta buah-buahan, yang serba hidup atau masih mentah. Banten ini ditempatkan bersama-sama banten Guru di sanggar pesaksi.
Selanjutnya di bawah ini diuraikan fungsi banten-banten Gana dalam Panca Yajna di Bali.
4.2.1        Dewa Yajna
Upacara dewa yajna yang menggunakan banten Gana adalah upcara tingkat padudusan, baik padudusan alit maupun padudusan agung. Karena pada upacara tingkat padudusan, disertai mendirikan sanggar tawang. Banten Gana ditempatkan di sanggar tawang sebagai banten pelengkap dari banten pesaksi berfungsi sebagai penyucian demi kelancaran jalannya upacara. Dalam lontar Perembon Bebanten (lb 4b), dinyatakan sebagai berikut.
“ ... yan angadegaken sanggar tawang lawan panggungan, saprakaranya den kading lagi, genahaken ring areping parahyangan, banten kang munggah ring sanggar, banten suci petang danaman mwang catur, Gana, genep saprakaraning suci, pada maiwak itik sowang-sowang tekaning lada bebek, pripih kancana 2 maka lingga, rinajah Siwa mwang Gana”.

Terjemahannya:
“ .. jika mendirikan sanggar tawang dan panggungan, perlengkapannya seperti biasa ditaruh di depan parahyangan, banten yang naik di sanggar, banten suci empat dan catur, Gana lengkap dengan perlengkapan suci, dagingnya masing-masing daging itik, peripih emas dua berisi gambaran bhatara Siwa dan Gana”.

4.2.2        Pitra Yajna
Pitra Yajna adalah suatu upacara yang ditujuan untuk pitara atau roh leluhur yang sudah meninggal. Pelaksanaan upacara ini dipandang sangat penting karena sebagai sentana berhutang budi kepada leluhur. Adapun pelaksanaan upacara yang diselenggarakan dalam upaya mengembalikan jiwatman orang tua kepada paramatman adalah dengan dua tahap, yaitu.
1.      Upacara Ngaben, mengembalikan badan kasar ke Panca Maha Bhuta.
2.       Upacara Ngasti atau Atma Wedana dengan tingkat-tingkatnya.
Pada tingkat maligia, dapat dikumpai simbol-simbol bhatara Gana berupa sarana banten Gana, yang ditempatkan di Sanggar Agung. Banten Gana di sinni juga sebagai banten pelengkap dari banten pesaksi yang berfungsi sebagai banten penyucian dan penyelamat jalannya upacara.

4.2.3        Manusa Yajna
Simbol-simbol Bhatara Gana yang terdapat pada upacara manusa yajna, mulai dari upacara satu oton, munggah daha, mepandes, pawiwahan, dan pawintenan. Khusus untuk keluarga Puri yang melaksanakan upacara abhiseka ratu, di mana tingkat upacaranya besar, simbol bhatara Gana berupa banten Gana juga dipakai sebagai pelengkap banten pesaksi, yang dilinggihkan di sanggar tawang.
Pada upacara pawintenan, simbol Bhatara Gana dapat dijumpai pada alas banten dari ngiu atau tempeh. Pada ngiu atau tempeh tersebut digambar dengan rerajahan bhatara Gana. Hal ini berhubungan dengan cerita dalam kitab Korawasrama Cerita I dan II, yang mengisahkan bhatara Gana sebagai dewa ilmu pengetahuan dan pengeruwat. Maka tepatlah penggunaan simbol Bhatara Gana pada upacara pawintenan tersebut.

4.2.4        Rsi Yajna
Simbol-simbol Bhatara Gana dapat dijumpai pada saat upacara padiksan. Ini dilihat dengan sarana bebanten yang digunakan dalam sanggar tawang sama dengan jenis-jenis bebanten yang digunakan dalam upacara-upacara lainnya, jika upacara tersebut pada tingkat padudusan. Banten Gana mendapat proporsi yang sama dengan dewa-dewa lainnya, seperti Bhatara Guru, dan Dewi Saraswati. Bhatara Guru sebagai guru tertinggi, Bhatari Saraswati sebagai penguasa ilmu pengetahuan, bukan hanya pengetahuan keagamaan. Sedangkan Bhatara Gana sebagai dewa penguasa rintangan, penolak ampuh segala bentuk mala, baik dalam Bhuwana Agung maupun Bhuwana Alit, juga sebagai dewa pengelukat atau pembersih secara sekala dan niskala.
Jika dikaitkan upacara Rsi Yajna dengan penokohan Bhatara Gana dalam naskah Korawasrama Cerita II, maka dapat dikatakan Bhatara Gana memang tepat dipuja dalam upacara ini. Karena fungsi bhatara Gana dalam cerita tersebut adalah sebagai seorang pendeta melukat atau meruwat ibunya dewi Durga menjadi dewi Uma. Upacara ini bertujuan sebagai penyucian agar manusia terlepas dari sifat-sifat keangkaramurka-an dan segala bentuk kekotoran.

4.2.5        Bhuta Yajna
Bhuta Yajna adalah suatu upacara suci yang bertujuan untuk membersihkan alam beserta isinya. Simbol-simbol Bhatara Gana terdapat dalam upacara caru Rsi Gana, atau upacara caru lainnya yang megguna-kan caru Rsi Gana. Caru ini dilaksanakan apabila ada peristiwa yang tidak wajar dalam suatu pelemahan (pekarangan), baik itu di perumahan, di tempat suci, dan lain sebagainya.
Dalam lontar Bhama Kertih memuat keputusan Sanghyang Resi Gana pamarisuddhaning Karang Angker. Menurut lontar Bhama Kertih (lb 25a) dan juga terdapat dalam lontar Pecaru Resi Gana Labuh Gentuh (lb 1a), peritiwa-peristiwa yang menyebabkan tanah pekarangan panes adalah salah pati, kelebon amuk, sinambering gelap, kepanjingan bhuta, kepanjingan buron agung, kerubuhan taru, kegunturan rah dan lain-lainnya.
Menurut informan Ida Resi Oka Widnyana (wawancara 20 Maret 2003), caru rsi Gana dilaksanakan di pemrajan atau di sanggah, bertujuan untuk membersihkan segala bentuk cemer yang ada di penataran pemrajan, di pekarangan rumah, maupun pemedal agung. Upacara Rsi Gana sendiri ada 3 tingkatan, yaitu.
1.      Upacara Rsi Gana Alit, dasarnya Caru Ayam Brumbun.
2.      Upacara Rsi Gana Madya, dasarnya Caru Panca Sata.
3.      Upacara Rsi Gana Ageng, dasarnya Caru Panca Kelud.

4.3    Fungsi Pujastawa Bhatara Gana
Dalam Lingga Purana, Siwa bersabda: “Mereka yang ingin memujaKu, atau semua aspek kekuatanKu seperti Wisnu, Brahma, atau Indra untuk memnuhi keinginannya, mereka harus memohon terlebih dahulu kepadamu  (Bhatara Gana), tanpa memujamu terlebih dahulu akan menemui kegagalan dalam usahanya”. Demikian juga dalam Siwa Purana, Brahmawaiwarta Purana dikatakan, bahwa suatu doa akan selalu diawali dengan seruan atau pujian kepada bhatara Gana (Chinmayananda, 2002:27,33,37).
Ada 3 (tiga) prasasti pada masa Mpu Sindok, yang menyerukan Bhatara Gana, yaitu prasasti Gulung-gulung, prasasti Linggasuntan, dan prasasti Geweg. Prasasti-prasasti ini menyebut kata-kata yang mengandung makna keselamatan (Sedyawati, 1994:136-137), seperti:
1.      Siddhir astu, artinya semoga berhasil
2.      Awighnam astu, semoga tidak ada halangan
Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa kata0kata di atas yang terdapat dalam prasasti Jawa Kuna yang mengandung makna keselamatan dan keberhasilan, merupakan padanan dari seruan kepada Bhatara Gana, seperti dalam cerita Purana di atas.
Dalam praktek upacara di Bali, Bhatara Gana tidak hanya disimbolkan dengan bebantenan, tetapi juga dengan mantra-mantra atau pujastawa dari sulinggih yang muput upacara. Menurut Ida Pedanda Gede Oka Pemecutan (wawancara 9 Desember 2002), mantra atau pujastawa bhatara Gana dapat berfungsi antara lain:
1.      Sebagai penetralisir yang bersifat negatif, memberikan kerahayuan kepada manusia. Bhatara Gana disimbolkan mengkoordinir shaktinya catur dewata, seperti bagian stawa pulegembar berikut.
Om Gana Ganapati
Om Uma dewi purwa desaya namah
Om Saraswati dewi daksina desaya namah
Om Saci dewi pascima desaya namah
Om Sri dewi uttara desaya namah
2.      Sebagai pengelikat dengan menggunakan tirtha pengelukatan. Ada pun bagian stawa dalam pembuatan tirtha pengelukatan terdapat dalam lontar pujastawa (lb 28a-28b), sebagai berikut.
Om Gana parama twam guhyam, Gana tattwa parayana
Gana pranata labanam, suka Gana namo stute

Asuci sarwa pawitram, sarwa karya suci muktim
bhukti Gana mahottama, dewa sukha paripurnam

Tesu karti maha Gana, mataras te sukha kahryam
etena sarwa pinuja, suddha dewa paripurnam

Terjemahannya:

Om Engkau yang paling seni dari Gana yang bernilai seni yang terpendam, engkau seni yang merupakan inti pokok dan tempat perlindungan dari Gana dicapai dengan persembahan, engkau yang paling mulia dengan kemurahan anugerah, sujud kepada Mu.

Penyuci dari segala kekotoran, kesadaran yang suci dari segala perbuatan yang dilakukan, kenikmatan, O penguasa terbesar Gana, penuh dengan hitungan dewa-dewa kebahagiaan seseorang akan mendapatkan dari Mu.

Kepada mereka Gana yang besar, ibu-ibu Mu, kebahagiaan dicapainya, dengan ini seseorang akan mendapatkan segalanya, penuh denga jiwa Ketuhanan yang murni.

Dari mantra-mantra atau pujastawa di atas, tampak Bhatara Gana disimbolkan sebagai dewa yang berfungsi sebagai winayaka atau serba mengetahui, sebagai wighneswara atau penguasa rintangan, dan sebagai dewa pengelukat. Apabila mantra-mantra atau pujastawa ini dihubungkan dengan cerita dari purana-purana, kitab Krawasrama, maka tepatlah fungsi Bhatara Gana dalam pantheon Hindu sebagai dewa yang serba mengetahui, penguasa rintangan dan sebagai dewa pengelukat atau pengruwat.

4.4    Fungsi Gambar-Gambar / Rerajahan Bhatara Gana
Dalam sistem ritual Hindu dikenal simbol-simbol suci yang disebut yantra. Dari yantra inilah dapat menimbulkan berbagai kekuatan magis yang religius, apabila dipadukan dengan mantra, tantra, yajna, dan yoga (Jaman, 1999:iii). Yantra di Bali dikenal dengan sebutan rerajahan. Rerajahan yang dipergunakan untuk membuat orang celaka tidaklah patut dikembangkan dalam kehidupan beragama. Rerajahan tersebut tidak ada artinya kalau tidak digerakkan oleh tenaga supranatural, yang didorong oleh keyakinan. Rerajahan akan menjadi gambar hampa tidak mempunyai kekuatan magis.
Menurut (Hooykaas, 1980:5), dari tujuan rerajahan dibuat, maka rerajahan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu.
1.      Mohon karunia Tuhan, mahluk gaib, alam semesta, wanita, dan pria.
2.      Mencegah dan menangkal hal-hal yang berbahaya dan yang tidak diharapkan.
3.      Melemparkan kembali senjata dan sihir serta menyebabkan lawan meninggal.
4.      Serangan langsung untuk membinasakan orang.

Rerajahan diyakini sebagai suatu sarana yang ampuh selain bebanten, mantra, dan mudra, untuk mencegah dan mengatasi kesialan. Apabila tidak mendapatkan keturunan, maka kemandulan dapat diatasi dengan rerajahan. Banyak juga terdapat rerajahan mengenai penyakit anak dan penyakit menahun orang-orang dewasa, rerajahan wabah cacar dan penyakit lainnya. Penyelamatan rumah dan halaman, kandang ternak dan ternaknya sendiri, terutama di sawah dan ladang, serta hasil panen di lumbung, memerlukan juga gambar-gambar rerajahan yang semuanya itu disebut: atma, jiwa, raga, dan sarira raksa. Kesemuanya itu merupakan perlindungan terhadap atma, jiwa, raga, dan sarira, yaitu tempat perasaan umat Hindu di Bali.
Rerajahan pada hakikatnya merupakan lebudayaan Bali sebagai suatu produk local genius dari umat Hindu Bali. Menurut informan Ida Pedanda Gede Made Gunung (wawancara 9 Januari 2003), sebagai suatu produk kebudayaan Bali motif rerajahan dipengaruhi gaya gambar pewayangan. Itulah sebabnya mengapa rerajahan Bhatara Gana tidak berperut buncit seperti dalam pemahatan patung-patungnya.
4.4.1        Rerajahan Sanghyang Ganasari, Lampiran VI-19 (Hooykaas, 1980b:62)
Dalam rerajahan tersebut tertulis:
Sanghyang Ganasari pengasih sarwa tetumpur mwang grubug
Salwuring durjana mwang bhuta dewa
Sa, kasa, gantung angen bendera tunjuk di duur.
Dari tulisan di atas dapat diketahui fungsi dari rerajahan tersebut untuk menangkal segala pencemaran dan epidemi, segala perbuatan jahat dan malaikat-malaikat jahat. Digambar di atas kain kasa, dipasang di atas sebagai kober.

4.4.2        Rerajahan Sanghyang Ganapati, Lampiran VI-20 (Hooykaas, 1980b:71)
Pada rerajahan tersebut tertulis:
Iti Sanghyang Ganapati,
Maka atma raksa, sing srana.
Buntil yan anggen penunggun umah ...
Rerajahan ini berfungsi melindungi nyawa, sarananya bebas. Selipkan diikat pinggang, aau kalau dipakai sebagai penjaga rumah dipasang di atas pintu gerbang menuju halaman, berfungsi sebagai penolak bahaya, menyelamatkan penghuni rumah.
4.4.3        Rerajahan Bhatara Gana Lainnya.
Dalam rerajahan Bhatara Gana dapat dilukiskan sebagai Ganapati dengan senjata pengider-ider, juga dilukiskan sebagai seorang pendeta. Lampiran VI-18 (Hooykaas, 1980a:33), bhatara Gana dilukiskan tanpa senjata, ujung tangan dan ujung kaki tidak berjari melainkan berbentuk senjata Trisula. Rerajahan ini berfungsi sebagai sarana untuk menangkal macam-macam kejahatan, hama tanaman, dan wabah penyakit.
Lampiran VI-21 (Hooykaas, 1980a:18), wajah dari Bhatara Gana tidak ditampilkan, ini menunjukkan tingkatan yang lebih tinggi, kepala memakai ketu, menunjukkan simbol pendeta, serta tidak membawa senjata. Rerajahan ini melukiskan bhatara Gana sebagai seorang pendeta, berfungsi sebagai penyelamat dan penangkal yang dapat dipakai sebagai jimat dikenakan dalam pakaian.
Lampiran VI-22 (Hooykaas, 1980a:100), Bhatara Gana dilukiskan membawa senjata moksala pada tangan kanannya, dan pada tangan kirinya membawa suatu senjata (tidak diketahui). Pada mulut selain mempunyai dua gading juga mempunyai gigi dan caling. Rerajahan pamurti dari bhatara Gana ini berfungsi sebagai penawar jalan keluar dari penyakit.
Lampiran VI-23 (Hooykaas, 1980a:111), Bhatara Gana dilukiskan sebagai seorang Rsi, tidak membawa senjata. Pada mulut selain mempunyai 2 (dua) gading juga mempunyai caling (taring). Rerajahan ini berfungsi sebagai pengeraksa atau penunggu hidup, raga, dan jiwa.
Lampiran VI-24 (Hooykaas, 1980a:128), Bhatara Gana dilukiskan lebih garang. Ujung tangan kanan berbentuk trisula, tangan kiri memegang senjata moksala. Pada bagian bawah tergambar 2 (dua) wajah manusia terbalik. Pada bagian mulut selain ada 2 (dua) gading juga terdapat gigi dan taring. Mahkota berbentuk menyerupai ketu. Rerajahan ini sebagai pemungkem, pemugpug, pamurna, penganjur, pengeseng, penulah, penungkul, dan penyengker.
Lampiran VI-25 (Hooykaas, 1980b:63), Bhatara Gana dilukiskan sebagai Ganapati lengkap dengan senjata bajra, gada, cakra, dan nagapasa. Rerajahan ini berfungsi sebagai penangkal gering grubug.
Lampiran VI-26 (Hooykaas, 1980b:179), Bhatara Gana dilukiskan dengan busana yang minim. Pada bagian kaki dibelit oleh seekor ular atau naga. Rerajahan Ganapati atau Ganesa dipasang di atas pintu gerbang menuju halaman rumah, berfungsi untuk melindungi nyawa para penghuni rumah.
Lampiran VI-27 (koleksi sendiri), Bhatara Gana dilukiskan pada ngiu atau tempeh sebagai sarana dalam upacara pawintenan. Tampak Bhatara Gana hanya membawa senjata padma. Menurut informan Ida Pedanda Gede Batuan (wawancara 19 Januari 2003), rerajahan tersebut berfungsi sebagai pewayangan Bhatara Gana agar berkenan turun dalam upacara pawintenan.
Lampiran VI-28 (Bawa, 1999:98), Bhatara Gana membawa senjata padma, dan dikelilingi senjata gada, bajra, nagapasa, dan cakra. Rerajahan ini dipakai sebagai kober dalam ritual tawur kesanga maupun upacara caru Roghasangharbhumi, yakni upacara untuk menyucikan makrokosmos dan mikrokosmos dengan nyomia bhuta kala, sehingga manusia hidup dalam suasana kesucian dan kedamaian.
Lampiran VI-28 (koleksi sendiri), rerajahan Bhatara Gana seperti biasa disebarkan oleh pihak pura desa pekraman Denpasar kepada masyarakat (umatnya) pada sasih keenem. Rerajahan ini dipasang sebagai kober pada sanggah cucuk, yang ditancap di pemedal agung tiap-tiap rumah. Rerajahan ini berfungsi untuk mencegah gering grubug.
Dari contoh-contoh rerajahan Bhatara Gana di atas, tampak fungsi simbol ini secara umum adalah sebagai pelindung penghuni rumah, termasuk ternak, atau binatang peliharaan lainnya. Melindungi dalam artian mencegah, menanggulangi, termasuk menaklukkan musuh, bahkan sampai membinasakan lawan. Jadi dalam gambar-gambar rerajahan ini fungsi Bhatara Gana yang menonjol adalah sebagai wighneswara (penguasa rintangan), dan wighna-ghna (pengganggu gangguan).



BAB V
PENUTUP

5.1    Kesimpulan
Setelah dipaparkan secara panjang lebar tentang fungsi simbol-simbol dari Bhatara Gana, maka dapatlah disimpulkan simbol-simbol itu sebagai berikut:
1.      Simbol Berupa Pating atau Arca
Patung-patung atau arca dari bhatara Gana yang terdapat di pura-pura yang diteliti memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut.
a.       Berkepala gajah, sehingga disebut Gajanana, Gajendrawadana, Gajawadana, dan Karimuka. Gajah adalah simbol alam semesta, kemakmuran, kekuatan, ketabahan, kesetiaan, kesabaran, ketenangan, dan kedamaian. Belalainya digambarkan menghirup air pada mangkok yang dipegang oleh tangan kirinya, sebaai simbol kesukaan Bhatara Gana kepada ilmu pengetahuan.
b.      Bertelinga lebar, sehingga disebut Lambakarna, sebagai simbol ketajaman dalam mendengar, dan dengan mengibaskan telinganya berfungsi menghalau rintangan-rintangan.
c.       Berbadan gemuk, sehingga disebut Waktrtunda, dan berperut buncit sehingga disebut Lambodara, sebagai simbol Bhatara Gana memperlaku-kan alam semesta ini sesuai dengan perutnya.
d.      Bhatara Gana lebih banyak digambarkan dalam sikap duduk wirasana, yaitu kedua telapak kaki bertemu. Bhatara Gana selalu digambarkan duduk di atas padma menandakan Bhatara Gana sejajar dengan dewa-dewa lainnya.
e.       Bhatara Gana umumnya digambarkan bertangan 4 (empat), dengan tangan kanan depan memegang danta sebagai simbol kebijaksanaan, tangan kiri depan memegang mangkok, sebagai simbol ilmu pengetahuan, tangan kanan belakang membawa aksamala, sebagai simbol aksara, dan tangan kairi belakang membawa parasu, sebagai simbol perlindungan.
Patung-patung atau arca-arca Bhatara Gana yang terdapat di pura-pura yang diteliti, ada yang ditempatkan di pelinggih di halaman pura, berfungsi sebagai memberi kesejahteraan umat manusia. Patung atau arca bhatara Gana yang ditempatkan di pemedal agung, sebagai dwarapala, berfungsi menjaga umat yang tangkil ke pura.

2.      Simbol Berupa Banten
Banten-banten Gana dipakai pada upacara tingkat padudusan. Banten Gana dipakai untuk melengkapi banten pesaksi yang ditempatkan di sanggar tawang. Banten Gana juga berfungsi sebagai pemahayu karang, baik itu di perumahan, di tempat-tempat suci, maupun di fasilitas-fasilitas umum lainnya, dengan melaksanakan upacara Caru Rsi Gana.
3.      Simbol Berupa Pujastawa
Bhatara Gana sering diserukan paling awal dalam karya-karya sastra ataupun dalam tulisan-tulisan lainnya di majalah-majalah. Seruan itu adalah:
a.       Siddhir astu, artinya semoga berhasil.
b.      Awighnam astu, artinya semoga tidak ada halangan
Pujastawa yang ditujukan kepada bhatara Gana berfungsi sebagai pembersihan, penyucian atau pengelukatan. Pada waktu membuat tirtha pengelukatan, sulinggih mengucapkan pujastawa bhatara Gana. Demikian juga pujastawa yang diucapkan oleh sulinggih pada upacara caru Rsi Gana, tawur Agung ke Sanga, tawur agung Panca Bali Krama, dan tawur agung Eka Dasa Rudra.

4.      Simbol Berupa Gambar atau Rerajahan
Gambar-gambar atau rerajahan Bhatara Gana berfungsi sebagai pemungkem, pemugpug, pemurna, penganjur, pengeseng, penulah, penungkul, dan penyengker.
Ada pun rerajahan bhatara Gana dipergunakan dalam berbagai bentuk, seperti:
a.       Bentuk kober, dipasang di sanggah cucuk, berfungsi sebagai penolak bahaya dan pemberian perlindungan, dan di sanggar pesaksi, berfungsi sebagai penyelamat jalannya upacara.
b.      Bentuk ulap-ulap, dipasang dipasang di atas pintu gerbang masuk halaman rumah berfungsi untuk melindungi penghuni rumah, termasuk ternak, dan binatang peliharaan.
c.       Bentuk buntil, dipasanga di pinggang, berfungsi untuk menjaga keselamatan.
5.2    Saran-Saran
Bhatara Gana adalah salah satu pantheon Hindu yang banyak memakai simbol. Setiap simbol mempunyai arti, fungsi, dan makna sendiri-sendiri. Untuk memperkuat landasan keyakinan kepada bhatara Gana, dengan sendirinya harus mempelajari simbol-simbol yang melekat padanya. Dengan mengetahui fungsi dari simbol-simbol tersebut, umat akan semakin dekat kepada bhatara Gana.
Penelitian yang dilakukan ini amatlah terbatas. Terbatas dalam hal waktu (lamanya penelitian), terbatas dalam hal biaya, informan yang diwawancarai, serta terbatasnya pura-pura yang ditinjau.
Penelitian ini perlu dikembangkan dengan: (1) menambahkan waktu penelitian; (2) memperbesar anggaran atau biaya untuk mendukung penelitian; (3) memperluas jumlah dan jenis informan dari berbagai kalangan; (4) memperbanyak jumlah pura-pura di seluruh Bali yang ditinjau; (5) memperbanyak buku-buku literatur atau lontar-lontar sebagai bahan refrensi.

Diselesaikan  Mei 2003
Dari Berbagai Sumber....