Label

Selasa, 22 Oktober 2013

Perempuan Dalam Kakawin



PEREMPUAN DALAM DUNIA KAKAWIN

ISBN: 978-979-3790-85-5
Penulis: Helen Creese
Penerbit: Pustaka Larasan
Tahun Terbit: Juni 2012
Bahasa: Indonesia
Penerjemah: Ida Bagus Putra Yadnya
Penyunting: I Nyoman Darma Putra
Jumlah Halaman: xiv + 316 Halaman
Ukuran : 16 x 24 cm

Perhatian utama buku ini adalah pengalaman-pengalaman para wanita dalam dunia istana dalam dunia kakawin. Menjelaskan gaya hidup dan aktifitas keseharian putri-putri bangsawan. Menelusuri perkembangan hubungan romantik pada masa-masa pacaran sampai perkawainan dan pemuasan hasrat birahi. Bentuk-bentuk kontrak perkawinan dan pentingnya sekutu politik dan kekerabatan dalam pemilihan pasangan.

Helen Creese mendeskripsikan berbagai upacara dan pesta sebagai perayaan umum atas menyatunya dua insan, serta perkawainan yang sah menurut hukum. Dan yang terakhir, perkawinan sering berakhir tragis dalam wujud pelaksanaan sati oleh wanita sebagai konsekuensi wanita terhormat.

Kakawin merupakan jenis puisi yang memiliki gaya dan bentuk yang sangat khas, merupakan salah satu tradisi sastra yang paling bertahan hidup di Asia Tenggara. Kakawin bukanlah dokumen historis yang kering, melainkan sebuah seni sastra, yang melalui bentuk puisi para pujangga mencoba menangkap kenikmatan hubungan laki-laki dan perempuan dengan kata-kata yang indah.

Kakawin umumnya berisi cerita perang, percintaan dan perkawinan. Namun dalam buku ini cerita tentang perang sedikit mendapat perhatian. Sebagai karya sastra, Kakawin adalah sebuah dunia yang dihuni oleh para raja, ratu, putra dan putri mahkota, serta mereka yang mendamping, melayani, seperti para pendeta, petingi istana, militer dan pelayan wanita dari berbagai level.

Wanita bukanlah mahluk yang lemah kualitas akalnya dibanding laki-laki sebagaimana yang diyakini banyak orang. Bahkan sejarah menunjukkan kepada kita bahwa wanita lebih dulu berpikir dengan akalnya daripada laki-laki. Dialah yang memulai ilmu pengetahuan di dalam sejarah kemanusiaan.

Ada pandangan yang mencoba memberi jawaban mengapa laki-laki menguasai perempuan. Pandangan tersebut didasarkan pada alasan bahwa perempuan zaman dahulu sibuk melahirkan dan mengasuh anak karena zaman menuntut pertambahan keturunan yang besar untuk menggantikan jumlah orang yang meninggal dan untuk mencukupi jumlah tenaga kerja pada lahan pertanian yang baru.

Dalam sudut pandang lain, perempuan adalah buruh tanpa upah, bekerja untuk menunaikan tugasnya serta harus menerima pekerja atau perempuan lain yang ikut serta membantu suaminya dalam meringankan bebannya. Wanita dapat melakukan apa saja yang dilakukan oleh kaum pria, tetapi tidak semua yang dapat dilakukan oleh wanita harus mereka lakukan.

Oleh karena keharusan satu suami bagi wanita tidak bisa memuaskan hasrat seksualnya sementara suami mempunyai banyak istri yang ikut serta memuaskan nafsu seksual suaminya, maka jadilah hak perempuan dalam hubungan seksual menjadi lemah yang tidak lebih dari bagian hak laki-laki. Hal ini bertentangan dimana perempuan dahulu kala sangat kuat hasrat seksualnya

Pria menciptakan giwang dan memberikan kepada wanita. Di daun telinga wanita ada satu titik yang berhubungan dengan seks. Dengan ditusuknya giwang di titik itu, hasrat seks wanita akan berkurang. Memang pria bisa menjadi pusing kalau hasrat seks wanita tidak dibendung. Ini merupakan kelicikan kaum pria, giwang yang diciptakannya untuk mengurangi dan mengimbangi gairah seks wanita.

Dalam satu kali hubungan seks, wanita minimal membutuhkan tiga kali orgasme, untuk mencapai kepuasan yang sempurna. Hanya satu kali orgasme saja tidak memuaskan wanita, namun biasanya mereka tidak mengeluh. Sebaliknya pria, biasanya ia sudah memperoleh kepuasan dari satu kali orgasme saja. Dan, ‘prosesi’ pun selesai sudah.

Daya tahan tubuh wanita pun melebihi daya tahan tubuh pria. Hanya mereka yang dapat mengandung selama berblan-bulan. Dalam bahasa Sanskrit, istilah yang digunakan untuk wanita adalah Shakti. Shakti berarti kekuatan atau kesaktian. Dibalik kesuksesan seorang suami ada istri shakti yang mendapingi. Dibalik kesuksesan anak ada ibu yang membesarkannya.

Kamasutra menganjurkan adanya perbedaan umur dalam perkawinan. Wanita lebih muda daripada pria. Anjuran ini bukannya tanpa alasan, wanita lebih cepat mencapai kedewasaan. Pria agak lamban, tidak jarang pria yang berusia belasan tahun masih kekanak-kanakan. Sebaliknya, wanita yang berusia sama akan menunjukkan sikap kedewasaan yang lebih tinggi.

Wanita lebih cocok menjadi jaksa dan hakim. Mereka bekerja berdasarkan rasa dan intuisi. Dalam hal ini, bidang peradilan sangat penting mencari kebenaran. Para jaksa dan hakim pria akan selalu bekerja berdasarkan fakta. Dan fakta itu belum tentu merupakan sebuah kebenaran.

Tokoh-tokoh wanita dalam kakawin diambil dari naskah-naskah kakawin Jawa dan Bali, antara lain:
-          Rukmini, istri Kresna yang ditulis dalam kakawin Hariwangsa (abad ke-20) dan Kresnayana (abad ke-13)
-          Ksitisundari, yang menikah dengan Abimanyu dalam Ghatotkacasraya (abad ke-12).
-          Uttari, istri kedua Abimanyu dalam Abhimanyuwiwaha (abad ke-12).
-          Indumati, istri Aja dalam Sumanasantaka (abad ke-13).
-          Candrawati dalam Sutasoma (abad ke-14).
-          Citraganda dan Subhadara, kedua istri Arjuna dalam Parthayana, Subhadrawiwaha, Khandawawanawahana, dan Kalayawanataka, ditulis pada abad ke-18 dan 19.
-          Sita, istri Rama yang peristiwa penangkapanya diksahkan dalam kakawin yang paling tua, Ramayana.
-          Drupadi, yang perkawinan dan hidupnya dengan Pandawa bersaudara dikisahkan dalam Kresnapancawiwaha.
-          Yajnawati, istri Samba (putra Kresna) dalam Bhomakawya, yang merupakan kakawin Jawa tanpa tahun dan kakawin Bali Kresnantaka pada abad ke-18.

Slokantara sebuah naskah Jawa Kuna memberikan gambaran perjalanan menuju kedewasaan seksualitas wanita didasarkan tingkatan umur. Disebutkan terdapat empat macam wanita, yaitu:
1.      Kanya, wanita  yang belum pernah merasakan cinta pertama.
2.      Yuwati, wanita yang telah mencapai usia menstruasi.
3.      Kanta, wanita yang susunya telah tumbuh penuh, tetapi belum pernah melakukan hubungan seksual.
4.      Pramada, wanita yang sudah terkena panah dewi cinta dan merasakan panah asmara.

Dari perspektif dinastik dan politik, perkawinan dijodohkan adalah pilihan yang paling disukai bagi keluarga kerajaan. Perkawinan dijodohkan mempunyai maksud-maksud strategis antara lain untuk membangun persahabatan, mempererat hubungan, melanggengkan kekuasaan. Hak yang jarang dilakukan adalah perkawinan Arjuna dengan Subhadra. Subhadra terpaksa diculik oleh Arjuna karena tidak direstui oleh Baladewa, kakal tertua Subhadra.

Kesetiaan dan pengorbanan tertinggi wanita adalah mengikuti jejak suami yang telah meninggal agar bisa terus mendampingi dengan melakukan sati (mesatya) baik menceburkan diri ke dalam api maupun menusuk diri dengan keris. Tokoh-tokoh wanita yang melakukan sati antara lain:
-          Yajnawati dalam Bhomakawya memilih mati dengan menceburkan diri ke dalam api.
-          Wedawati terjun ke dalam kobaran api untuk meghindari cenkraman Rahwana dalam Arjunawijaya.
-          Ratih mengikuti kematian Kama yang dibakar Dewa Siwa
-          Citrawati dalam Ramaparasuwijaya
-          Rukmini mengikuti kematian Kresna dalam Kresnantaka.
-          Ksitisundari mengikuti kematian suaminya Abimanyu.
-          Satyawati dalam Angling Darma.

Kenyatannya menikam diri sendiri atau menceburkan diri ke dalam api pastilah memerlukan keberanian dan tekad yang luar biasa. Sementara pilihan untuk menambil keputusan seperti itu mungkin terletak pada diri wanita itu sendiri, namun terdapat bukti yang menunjukkan bahwa di samping semakin tinggi motivasi cinta dan kewajiban, kekecewaan akan masa depan juga memainkan peran. Mengikuti jejak suami dalam kematian tampaknya lebih disukai dibandingkan menjadi selir dalam keluarga musuh  yang menang. Kematian mengikuti suami menjadi solusi satu-satunya, untuk menyelamatkan diri dari nasib menjadi wanita tangkapan dan dibagi-bagi di kalangan petinggi dan tentara musuh yang menang.

John Crawfurd, seorang petinggi Inggris ketika Inggris berkuasa secara singkat di Jawa (1811 – 1816) pernah menyaksikan upacara sati di kerajaan Buleleng, Bali Utara. Putra mahkota melakukan upacara kremasi ayahnya yang diikuti oleh 70 (tujuh puluh) wanita mengorbankan diri melakukan sati. Sedangkan selanjutnya pada tahun 1813 ketika upacara kremasi Wayan Jlantik – anggota lain dari keluarga bangsawan yang sama, sebanyak 20 wanita melakukan sati.

Alternatif lain bagi wanita yang telah kehilangan suami adalah pergi ke gunung menjadi pertapa. Dalam Kresnantaka, misalnya ketika Kresna meninggal, para istrinya menceburkan diri ke api pembakaran, karena tidak ada yang lebih luhur daripada bakti terhadap suaminya. Mereka yang memilih tidak mati dalam sati, jalan yang terbaik adalah pergi ke hutan gunung menarik diri dari kehidupan duniawi.

Buku ini menjelaskan integrasi halus antara kepercayaan India dengan adat tradisi lokal yang membentuk indentitas gender dari wanta-wanita elit. Melalui kombinasi keahlian mengenai gender, sastra, dan sejarah,  Helen Creese mempresentasikan pengalaman-pengalaman para wanita elit dalam perkawinan dan seksualitas yang dapat menjadi inspirasi dan sebuah model untuk para sarjana yang akan melakukan penelitian selanjutnya (IBW).