Label

Kamis, 18 Juni 2015

AC-Base

 KENDALA PENGGUNAAN AC-BASE PADA PROYEK JALAN


ABSTRAK

Mayor item pada proyek infrstruktur jalan perekerasan lentur umumnya terdiri dari AC-WC, AC-BC, atau AC-Base. AC-Base merupakan lapis pondasi campuran aspal panas yang pertama kali dilaksanakan di Bali pada Tahun anggaran 2014 ini. AC-Base terdiri dari 5 (lima) fraksi agregat, yang berarti memerlukan 5 buah pemasok dingin, dan 5 buah pemasok panas pada instalasi pencampur aspal (AMP).
Pihak Penyedia Jasa yang melaksanakan pekerjaan AC-Base pada Ruas Jalan Singaraja-Seririt dan Ruas Jalan Untung Surapati Amlapura Karangasem tidak siap, dalam arti tidak didukung oleh kondisi AMP, Crusher, dan Peralatan Laboratorium yang dimiliki. Hal ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap dokumen kontrak. Selain itu hasil produksi AC-Base yang diharapkan tidak akan mencapai kualitas yang disyaratkan dalam Spesifikasi Umum 2010 Revisi 2.
AMP Penyedia Jasa hanya memiliki 4 pemasok dingin dan 4 pemasok panas. Stone crusher hanya sampai memproduksi agregat ukuran 2-3 cm, sedangkan yang dibutuhkan AC-Base ukuran terbesar adalah 37,5 mm (agregat 3-4). Peralatan laboratorium yang diperlukan adalah alat Marshall dengan breaking head berjari-jari 3”. Pengambilan sampel di lapangan pada lapisan AC-Base yang sudah dipadatkan memerlukan alat core dengan mata bor berdiameter 6”.

Kata Kunci: AC-Base, Kendala Peralatan AMP dan Laboratorium..


LATAR BELAKANG
Lapis perkerasan jalan lentur nasional di Bali setiap tahun memerlukan perbaikan untuk memulihkan daya dukungnya dalam menerima beban lalu lintas yang makin meningkat baik berat maupun jumlah kendaraan yang melintasi. Ruas jalan yang termasuk Jalan Nasional di Bali antara lain: Jalan Denpasar-Gilimanuk, Denpasar-Singaraja, Denpasar-Amlapura, Amlapura- Singaraja, dan Singaraja-Gilimanuk.
Pada Tahun Anggaran 2014, semua ruas jalan yang disebutkan di atas mendapat dana dari APBN untuk diperbaiki. Jenis perbaikan antara lain: pemeliharan berkala, peningkatan struktur jalan, maupun peningkatan kapasitas jalan. Jalan Nasional merupakan kewenangan dari pusat untuk menangani, apabila jalan tersebut sudah tidak layak lagi melayani angkutan barang maupun angkutan penumpang secara aman dan cepat. Pada beberapa segmen dari ruas-ruas jalan tersebut memang perlu diperbaiki karena terdapat kerusakan berupa retak-retak, aus permukaan, penurunan di beberapa tempat, dan pelebaran pada bahu jalan.
Mayor item pada pekerjaan jalan lentur umumnya Laston Lapis Aus (AC-WC), Laston Lapis Antara (AC-BC), dan dua ruas jalan menggunakan Laston Lapis Pondasi (AC-Base). Pada proyek jembatan yang menjadi mayor item adalah baja tulangan pada struktur beton bertulang. Sedangkan material alam yang dipakai dalam proyek-proyek Tahun Anggaran 2014 ini diusahakan material lokal yang terdekat, yang memenuhi persyaratan.
Berbeda dengan tahun anggaran sebelumnya – tahun anggaran 2013 – yang menggunakan aspal modifikasi, yang menuntut pihak Penyedia Jasa untuk menambah fasilitas penyimpan dan pemrosesan aspalnya. Aspal modifikasi dimunculkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap aspal minyak, disamping untuk memperbesar tegangan campuran aspal dengan ketebalan lapisan yang dihampar yang lebih tipis. Dimana, permasalahannya menurut kalangan Penyedia Jasa adalah dengan terbatasnya ketersediaan aspal modifikasi.

RUMUSAN MASALAH
Penggunaan lapis konstruksi AC-Base pada perkerasan lentur, baru pertama kali diberlakukan di Bali pada Tahun Anggaran 2014 ini. Penggunaan AC-Base bukannya tanpa kendala. Dari uraian di atas dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut:
a.       Apa saja yang menjadi kendala dalam penggunaan AC-Base?
b.      Bagaimanakah dampaknya terhadap kualitas campuan AC-Base?


BATASAN MASALAH
Untuk menghindari analisis yang keluar dari topik kajian, maka dilakukan beberapa batasan masalah di bawah ini, yaitu:
a.       Lingkup kajian soal penggunaan campuran aspal panas AC-Base pada kedua ruas di atas, pada proyek tahun anggaran 2014.
b.      Masalah kesiapan pihak Penyedia Jasa dalam melaksanakan pekerjaan AC-Base, yang menyangkut peralatan, seperti Intalasi Pencampur Aspal (Asphalt Mixing Plant/AMP), peralatan pengujian di Laboratorium, dan mesin cor untuk pengambil sampel yang sudah digelar dan dipadatkan di lapangan.

TINJAUAN PUSTAKA
Campuran Aspal Panas
Menurut Spesifikasi Umum 2010 Revisi 2, jenis campuran aspal panas adalah sebagai berikut:
a.       Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir)
b.      Lapis Tipis Aspal Beton (Lataston)
c.       Lapis Aspal Beton (Laston)

Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir) atau juga disebut Sand Sheet (SS) terdiri dari 2 (dua) kelas tergantung tebal nominal minimum lapisannya, yaitu:
a.       Latasir Kelas A, dengan tebal nominal minimun 1,5 cm
b.      Latasir Kelas B, dengan tebal nominal minimum 2,0 cm

Latasir disyaratkan dengan toleransi tebal tiap lapis tidak lebih dari 2,0 mm. Sebagai lapisan aspal yang tipis, Latasir dalam prakteknya dicampur lagi denga tambahan filler, untuk memenuhi sifat-sifat yang di syaratkan, seperti kedap air. Latasir sering digunakan untuk pemeliharaan rutin untuk mencegah tingkat kerusakan jalan yang lebih parah. Latasir sendiri termasuk lapisan yang non struktural, dengan toleransi tebal untuk tiap lapisan campuran beraspal tidak lebih dari 3,0 mm.
Lapis Tipis Aspal Beton (Lataston) yang juga disebut Hot Rolled Sheet (HRS) terdiri dari 2 (dua) jenis campuran, tergantung tebal nominal minimum lapisan dan  proporsi fraksi agregat kasar, yaitu:
a.       Lataston Lapis Pondasi (HRS-Base), dengan tebal nominal minimum lapisan 3,5 cm, memiliki lebih banyak fraksi agregat kasar dari pada HRS-WC.
b.      Lataston Lapis Aus (HRS-Wearing Course, HRS-WC), dengan tebal nominal minimum lapisan 3,0 cm, memiliki lebih banyak fraksi agregat halus, guna mendapatkan campuran yang kedap air.

Lataston termasuk lapisan yang non struktural. Lataston memiliki ukuran maksimum agregat 19 mm dalam campuran, dimana untuk mendapatkan lapisan yang kuat, maka campuran dirancang dengan 2 (dua) persyaratan utama, yaitu:
1.      Gradasi yang benar-benar senjang, artinya ada beberapa ukuran butiran agregat yang ditiadakan. Untuk mencapai gradasi yang benar-benar senjang, maka selalu dilakukan pencapuran pasir halus dengan agregat produksi dari mesin pemecah batu.
2.      Sisa rongga udara dalam campuran pada kepadatan membal (refusal density) harus memenuhi ketentuan yang disyaratkan, yaitu minimum 3.

Lapis Aspal Beton (Laston) atau disebut juga Asphalt Concrete (AC), selanjutnya lebih sering disebut AC. Laston termasuk lapisan struktural yang direncanakan memikul bebas lalu lintas kendaraan.
Laston terdiri dari 3 (tiga) jenis campuran yang tergantung pada fungsi lapisan dan ukuran maksimum agregat, yaitu:
1.      AC Lapis Aus (AC-WC), adalah lapisan struktural dengan karakteristik sebagai berikut:
a.       Ukuran maksimum agregat sebesar 19 mm
b.      Tebal lapisan minimum 4,0 cm,
c.       Difungsikan sebagai lapisan kedap air

2.      AC Lapis Antara (AC-Binder), adalah campuran aspal panas dengan karakteristik sebagai berikut:
a.       Ukuran maksimum agregat sebesar 25,4 mm
b.      Tebal lapisan padat minimum 6,0 cm, dengan toleransi tebal untuk tiap lapisan campuran beraspal tidak lebih dari 4,0 mm.
c.       Difungsikan sebagai lapisan antara, mencegah rembesan air dari atas masuk ke lapisan pondasi

3.      AC Lapis Pondasi (AC-Base), adalah campuran aspal panas yang bernilai struktural, terletak paling bawah, dengan karakteristik sebagau berikut:
a.       Ukuran maksimum agregat sebesar 37,5 mm
b.      Tebal padat lapisan minimum 7,5 cm, Tebal lapisan padat minimum 6,0 cm, dengan toleransi tebal untuk tiap lapisan campuran beraspal tidak lebih dari 5,0 mm.
c.       Difungsikan sebagai lapisan pondasi menyangga lapisan di atasnya

AC-Base merupakan lapis perkerasan beraspal yang terletak di bawah lapis AC-BC. Lapis perkerasan ini tidak berhubungan langsung denga cuaca luar, tetapi harus memiliki stabilitas untuk menahan beban lalu lintas yang disebarkan melalui roda kendaraan.
AC-Base memiliki beberpa fungsi antara lain (Kusuma, 2014):
a.       fungsi memberi dukungan terhadap lapisan permukaan;
b.      mengurangi regangan dan tegangan;
c.       menyebarkan dan meneruskan beban konstruksi jalan di bawahnya (subgrade)

AC-Base memiliki ukuran agregat maksimum 3,75 mm yang artinya lebih besar dari 1” harus dibuatkan benda uji berdiameter 6” seperti disyarakan Spesifikasi Umum 2010 Revisi 2. Demikian pula mata bor pada mesin cor berdiameter 6” untuk mengambil sampel yang sudah dipadatkan di lapangan

Instalasi Pencampur Aspal (AMP)
AMP adalah seperangkat peralatan yang menghasilkan produk berupa campuran aspal panas. AMP terdiri dari Tipe Batch dan Tipe Continuius. Dalam kajian ini yang dibahas adalah AMP Tipe Batch, seperti ditunjukkan pada Gambar 01. Adapun bagian-bagian dari AMP tipe ini adalah sebagai berikut (Dirjen BM, 1996):
1.      Unit Pemasok Agregat Dingin (Cold Bin)
Cold Bin adalah bak tempat penampung agregat dari tiap-tiap fraksi mulai dari agregat halus sampai agregat kasar yang diperlukan dalam memproduksi campuran. Fraksi yang dimasukkan ke dalan cold bin sesuai dengan hasil produksi unit pemcah batu adalah:
a.       Abu batu
b.      Batu pecah 0,5 – 1,0 cm
c.       Batu pecah 1,0 – 2,0 cm
d.      Batu pecah 2,0 – 3,0 cm
e.       Batu pecah 3,0 – 4,0 cm

Maksud dan tujuan pemisahan masing-masing fraksi adalah agar proporsi tiap-tiap fraksi yang diperlukan sesuai dengan job mix formula/JMF  yang telah disetujui (Dirjen BM, 2007a). Pemisah antara cold bin perlu dipertegas, ditinggikan agar agar agregat yang dipasok oleh loader tidak bercampur dengan fraksi agregat lainnya.
Untuk produksi Latasir cukup diperlukan 2 (dua) buah cold bin, yaitu bin (a) dan bin (b). Untuk produksi Lataston diperlukan 3 (tiga) bin, yaitu: bin (a), (b), dan (c). Untuk Produksi Laston, AC-WC, AC-BC, diperlukan 4 (empat) bin, yaitu bin (a), (b), (c), dan (d), sedangkan untuk produksi AC-Base diperlukan 5 (lima) buah cold bin (semuanya).

2.      Unit Pengering (Dryer)
Alat pengering (dryer) ditempatkan dengan posisi miring, untuk memberi kesempatan agregat dingin yg dimasukkan ke dalam drum pengering dari ujung yang lebih tinggi dan keluar ke ujung yang lebih rendah, setelah melalui proses pengeringan. Makin besar kemiringan drum makin besar produksi yang dapat dihasilkan, akan tetapi makin pendek agregat mengalami pengeringan, sehingga tidak mendung mutu produksi. Kemiringan drum dryer rata-rata berkisar 3o sd 5o, dengan kapasitas temperatur alat pengering dryer sampai 100oC.
Besarnya kemiringan drum pengering ini ditentukan oleh pabrik berdasarkan:
a.       Rencana disain kapasitas produksi
b.      Rencana disain mutu produksi

3.      Saringan Agregat Panas (Hot Screen)
Saringan panas ini tersusun secara vertikal yang mendistribusikan agregat kedalam pemasok panas (hot bin) yang sesuai dengan ukuran butirnya.

4.      Unit Pemasok Agregat Panas (Hot Bin).
Hot bin adalah bin penampung agregat panas hasil distribusi hot screen.

5.      Timbangan Agregat Panas (Weigh Bin)
Bin ini berfungsi untuk menampung sekaligus menimbang agregat dari setiap fraksi yang dibutuhkan untuk tiap kali pencampuran. Yang terpenting adalah Weigh Bin ini harus melalui pemeriksaan kelayakan operasi oleh badan meteorologi dengan bukti fisik berupa sertifikat kalibrasi.

6.      Pencampur (Pugmill)
Semua material (agregat, dan aspal) masuk ke pugmill dalam kondisi panas dan dicampur untuk menghasilkan produk berupa campuran aspal panas.
Ada 2 (dua) jenis pencampuran, yaitu pencampuran kering dan pencampuran basah. Pencampuran kering adalah pengadukan agregat dari berbagai fraksi yang dituang dari weigh bin. Pencampuran basah adalah pengadukan setelah dicampur dengan aspal panas.
Waktu pengadukan dalam pugmill sekitar 45 detik, temperatur agregat panas di dalam pugmill harus sekitar 175oC, hal ini diperlukan untuk memperoleh tempertaur campuran aspal panas ± 150oC, maksimum 165oC.
Bahan pengisi (filler) dan additif dituangkan ke dalam pugmill (untuk satu kali pengadukan) melalui 2 (dua) cara, yaitu:
a.       Ditimbang bersama agregat panas di dalam weigh bin
b.      Ditimbang sendiri dan dituangkan ke dalam pugmill.

7.      Pemasok Aspal
Aspal sebagai bahan pengikat disimpan dalam bak penampung aspal, dipanaskan hingga mencapai 160oC untuk aspal keras pen. 60 agar suhu di dalam pugmill mencapai 140oC – 150oC.

8.      Pengumpul Debu (Dust Collector)
Pengumpul debu berfungsi untuk menjaga kebersihan udara dan lingkungan dari debu-debu akibat pengeringan di unit pengering (dryer). Ada 2 (dua) jenis pengumpukl debu:
a.       Jenis kering (dry cyclone)
Debu dari unit pengering dihisap ke dalam silo cyclone dan diputar sehingga partikel berat akan turun ke bawah, sedangkan udara yang tidak sudah tidak mengandung partikel debu dikeluarkan melalui cerobong.
b.      Jenis basah (wet scruber)
Debu dari unit pengering terbawa udara buangan dari dryer dialirkan ke dalam suatu bak atau ruangan dan disemprot air, sehingga partikel-partikel debunya terbawa air turun dan ditampung dalam bak-bak penampung. Udara yang keluar sudah bersih dari debu-debu dan keluar melalui cerobong asap.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZsilNJyY5L9Y015hIf80VUYgnm9oA7mDVZMfz0Se8C4LekWvFPRgvGeCS89ew_hxE33pgH3tp_6_sbkHHbiAagS9t3Z9kOeNARzjhIDGaWd6z7qg9NsoUjbpeRi_b_I0hyphenhyphen5SAZM2IRuxk/s1600/images.jpg
Gambar 01 Instalasi Pencampur Aspal (AMP)
Sumber: Dirjen BM, 1996.


Peralatan Pengujian Laboratorium
Paling sedikit 30 hari sebelum dimulainya pekerjaan aspal, Penyedia Jasa diwajibkan menyerahkan secara tertulis Rumus Campuran Rancangan/Design Mix Formula (DMF). Setelah hasil tes properties aspal dan agregat diketahui dan telah memenuhi syarat, maka Penyedia Jasa membuat DMF di laboratoriumnya sendiri. Dalam membuat DMF ini Penyedia Jasa harus memiliki atau menggunakan sejumlah alat pengujian-pengujian di Laboratorium dan pengambilan sampel di lapangan, seperti:
a.       Alat Marshall, seperti ditunjukkan pada Gambar 02, yang dilengkapi dengan alat (SNI 06-2489-1991):
-          Breaking Head berbentuk lengkung.
-          Proving Ring yang disertai dengan arloji (dial) tekan.
-          Arloji untuk mengukur flow.
b.      Mould 4” untuk membuat benda uji AC-WC dan AC-BC, dan Mould 6” untuk benda uji AC-Base.
c.       Penumbuk manual atau otomatis berbetuk silinder dengan berat 4,5 kg, dan jatuh bebas setinggi 45,7 cm.
d.      Penumbuk getar untuk mencari kepadatan membal (refusal density).
e.       Mesin cor di lapangan dengan mata bor 4” untuk AC-WC dan AC-BC dan pisau bor 6” untuk lapisan AC-Base.
f.       Alat-alat perlengkapan lainnya di laboratorium.

http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQ1qbgJYZML074LAVU-auqO6gNev_aJO-hx_HJw8awTH2lhi4YWtQ
Gambar 02 Alat Marshall


Unit Pemecah Batu (Crusher)
Agregat yang digunakan dalam campuran aspal dapat diambil dari alam (quarry) yang berupa pasir, kerikil, atau batuan. Kadang batuan dari alam berukuran besar sehingga perlu dilakukan pemecahan terhadap batuan tersebut agar dapat dimanfaatkan dalam campuran. Guna mendapatkan kerikil atau batuan pecah yang sesuai dengan ukuran yang diharapkan (memenuhi amplop grading) maka diperlukan suatu alat untuk memecah tersebut. Alat pemecah batuan yang digunakan adalah pemecah batu (stone crusher).
Mesin pemecah batu (stone crusher), seperti Gambar 03, terdiri dari beberapa macam tipe, yaitu (Dirjen BM, 2007b):
a.       Roll crusher (pemecah silinder)
b.      Jaw crusher (pemecah rahang)
c.       Impact crusher (pemecah jepit)
d.      Hammer mill (pemecah pukulan)
e.       Cone crusher (pemecah konus)
http://jualbatusplit.files.wordpress.com/2012/11/stone_crusher_pl_4bb95412608e7.jpg
Gambar 03 Denah Unit Pemecah Batu
Sumber: Wordpress (2012)

AC-Base dirancang dengan menggunakan fraksi agregat kasar dan agregat halus dari batu pecah produksi crusher. Agregat pecah disiapkan dalam ukuran nominal sesuai dengan jenis campuran yang direncanakan. Hasil produksi yang lazim selama ini pada crusher-crusher yang ada di Bali, seperti ditunjukkan dalam Gambar 03 adalah:
a.       Abu batu (fine aggregate/FA)
b.      Batu pecah 0,5-1 cm (medium aggregate/MA)
c.       Batu pecah 1-2 cm (coarse aggregate/CA2)
d.      Batu pecah 2-3 cm (coarse aggregate/CA1)

ANALISIS
Pelaksaaan lapis AC-Base di Bali, yang digelar pada 2 (dua) ruas, seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu Ruas Jalan Singaraja-Seririt dan Ruas Jalan Untung Surapati Amlapura Karangasem, menghadapi beberapa kendala. Kendala menyangkut masalah produksi AC-Base yang harus didukung oleh kesiapan alat produksi yang ada, yaitu:
1.      Kendala pada Instalasi Pencampur Aspal (AMP).
2.      Kendala pada Unit Pemecah Batu (Stone Crusher).
3.      Kendala pada Peralatan Pengujian di Laboratorium.
4.      Kendala pada  alat pengambilan sampel di lapangan.


Kendala Pada Instalasi Pencampur Aspal (AMP)
Kendala pada Instalasi Pencampur Aspal (AMP), merupakan masalah terberat yang dihadapi oleh rekanan Penyedia Jasa (kontraktor). Sesuai dengan yang disyaratkan oleh Spesifikasi Umum 2010 Revisi 2 Divisi 6 hal 45 point (h) disebutkan: “Instalasi Pencampur Aspal (AMP), jika digunakan untuk pembuatan AC-Base, mempunyai pemasok dingin (cold bin) yang jumlahnya tidak kurang dari 5 (lima) buah, dan untuk jenis lain campuran beraspal minmal tersedia 4 (empat) pemasok dingin”.
Pihak Penyedia Jasa di Bali umumnya, dan khususnya Penyedia Jasa yang melaksanakan AC-Base ini tidak memiliki AMP dengan jumlah pemasok dingin (cold bin) seperti yang disyaratkan. Jumlah pemasok dingin mereka hanya 4 (empat) buah. AC-Base memerlukan 5 (lima) pemasuk dingin, karena ada 5 (lima) fraksi agregat yang diperlukan dalam campuran AC-Base, dengan ukuran butiran agregat terbesar adalah 37,5 mm. Pemasok dingin seperti terlihat pada Gambar 04.
Kelima fraksi yang ada dalam campuran AC-Base, yang ditampung dalam cold bin adalah:
1.      Fraksi abu batu
2.      Fraksi agregat ½-1 cm
3.      Fraksi agregat 1-2 cm
4.      Fraksi agregat 2-3 cm
5.      Fraksi agregat 3-4 cm

Selain itu, susunan hot screen untuk agregat yang telah dikeringkan dari unit pengering (dryer) harus juga ada 5 (lima) buah, diikuti jumlah hoper 5 buah, dan timbangan gantung agregat panas (weigh bin) juga harus berjumlah 5 buah. Jadi baik cold bin, hot bin, dan weigh bin harus berjumlah 5 buah untuk mengakomodasi 5 jenis fraksi agregat tadi.
Gambar 04 Cold Bin Penyedia Jasa 4 buah.
Sumber: Hasil Observasi 2014.

Bagi pihak Penyedia Jasa, menambah cold bin, hot bin dan weigh bin itu sama saja membeli AMP baru dan membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar 4 bulan untuk memedifikasi AMP. Selain membutuhkan biaya yang mahal untuk melengkapi AMP-nya, Penyedia Jasa juga memikirkan prospek investasi yang dikeluarkan untuk perbaikan AMP, terhadap kemungkinan munculnya item pekerjaan AC-Base pada tahun-tahun berikutnya. Pengalaman tahun lalu (2013), menunjukkan, setelah dimunculkan item pekerjaan Aspal Modifikasi, pihak Penyedia Jasa melakukan investasi menambah blending tank untuk aspal modifikasi. Tetapi, untuk tahun ini (2014) item Aspal Modifikasi tidak ada, ini berarti investasi pembuatan blending tank dari segi kajian ekonomi rugi.

Kendala Pada Unit Pemecah Batu (Stone Crusher)
Seperti disebut di atas, AC-Base terdiri dari 5 fraksi, dengan ukuran terbesar agregat (max size) adalah 37,5 mm, yang termasuk fraksi 3-4 cm. Sementara kondisi unit pemecah batu (stone crusher) yang ada di Bali hanya menghasilkan 4 fraksi, yaitu: fraksi abu batu, fraksi ½-1, frkasi 1-2, dan fraksi 2-3.
Apabila 4 fraksi dipertahankan sebagai agregat penyusun AC-Base, maka ukuran terbesar (max size) agregat tidak tercapai. Max size agregat tidak tercapai berimplikasi terhadap tidak tercapainya tegangan yang disyaratkan sebesar 1600 Mpa. AC-Base tidak mungkin  mencapai umur layanan selama 40 tahun, seperti yang diinstruksikan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga melalui SK Dirjen Tahun 2013 tentang umur layanan konstruksi jalan.
Perbaikan unit pemecah batu (stone crusher) bagi pihak Penyedia Jasa juga merupakan pengeluaran biaya ekstra. Penambahan jenis produksi fraksi, yaitu fraksi 3-4 cm, sampai pada masa mobiliasi berakhir belum juga terlaksana. Dengan demikian, campuran AC-Base tanpa fraksi 3-4. Ini merupakan potensi penyimpangan terhadap aturan kontrak.

Kendala Pada Peralatan Pengujian
Dalam pengendalian mutu pelaksanaan pekerjaan jalan, hal yang tidak dapat diabaikan adalah masalah pemeriksaan material penyusun campuran dan pengujian campuran, baik dalam pembuatan Design Mix Formula (DMF) maupun pengujian campuran yang sudah ditetapkan dalam Job Mix Formula (JMF). Untuk itu pentingnya peralatan laboratorium dimiliki dan dikalibrasi oleh Penyedia Jasa untuk akurasi hasil pemeriksaan atau pengujian.
Dalam proses pembuatan DMF AC-Base, peralatan laboratorium yang harus dimiliki Penyedia Jasa adalah:
1.      Mould ukuran 6”
2.      Alat Marshall Modified
3.      Alat penumbuk getar
4.      Alat cor dengan pisau bor berdiameter 6”

Apabila mould 6” tidak dimiliki, maka tidak dapat dibuatkan benda uji AC-Base dalam membuat DMF. Bila menggunakan mould 4” ini berarti keluar menyimpng dari persyaratan spesifikasi. Menurut Spesifikasi Umum 2010 Revisi 2, Divisi 6 hal 59 Tabel 6.3.7.(2) Pengendalian Mutu disebutkan:”Benda uji inti (core) berdiameter 4” untuk partikel maksimum 1” dan 6” untuk partikel ukuran di atas 1”, baik untuk pemeriksaan pemadatan maupun tebal lapisan”.
Alat Marshall Modified untuk menguji benda uji AC-Base juga harus dimiliki Penyedia Jasa. Alat Marshall yang umum dimiliki adalah alat Marshall standar dengan breaking head berbentuk lengkung berjari-jari dalam 2”. Sedangkan breaking head yang diperuntukkan AC-Base adalah yang berjari-jari dalam 3”. Apabila benda uji AC-Base dibuat dengan ukuran 4” dan diuji dengan Alat Marshall Standar, maka ini juga merupakan bentuk penyimpangan terhadap spesifikasi. Hasil yang sebenarnya, yang representatif terhadap nilai Marshall AC-Base tidak diketahui.
Campuran aspal panas yang dihampar dan sudah dilakukan pemadatan, harus dicore untuk dilakukan pengujian terhadap nilai density pemadatan dan kadar aspal yang dikandung campuran. Untuk AC-Base, hasil cor harus berdiameter 6”. Ini berarti alat core harus dilengkapi dengan pisau bor 6”.. Apabila dicore dengan pisau bor berdiameter standar 4”, maka ini berarti pengujian density tidak representatif untuk AC-Base.


SIMPULAN DAN SARAN
Dari beberapa analisis di atas dapat disimpulkan dan diberikan saran sebagai berikut:

1.      AC-Base yang dikerjakan dengan kondisi peralatan yang dimiliki sekarang, seperti AMP, Crusher, dan alat pemeriksaan/pengujian di laboratorium, maka ini tidak sesuai dengan dokumen kontrak.
2.      Pengendalian terhadap kualitas campuran AC-Base tidak dapat dilakukan secara optimal, karena tidak terpenuhi metode kerja seperti yang disyaratkan pada Spesifikasi Umum 2010 Revisi 2.
3.      Pihak Penyedia Jasa harus melakukan persiapan pada peralatannya baik peralatan untuk memproduksi maupun untuk melakukan pengujian terhadap AC-Base.
4.      Penyedia Jasa juga dapat mengutarakan keberatannya terhadap item pekerjaan yang akan dilaksanakan pada waktu aanwijzing.
5.      Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang menangani item pekerjaan ini dapat bersurat kepada Satuan Kerja (Satker) untuk dibicarakan di Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah (BPJN) VIII. Kemudian Balai dapat menerus ke Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) di Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Bina Marga (Dirjen BM). 1996. Petuntuk Pemeriksaan Peralatan Pencampur Aspal (Asphalt Mixing Plant). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
Direktorat Jenderal Bina Marga (Dirjen BM). 2010. Spesifikasi Umum 2010 Revisi 2. Jakarta: Kementrian Pekerjaan Umum.
Direktorat Jenderal Bina Marga (Dirjen BM). 2007a. Petuntuk Pemeriksaan Unit Pencampur Aspal (Asphalt Mixing Plant). Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
Direktorat Jenderal Bina Marga (Dirjen BM). 2007b. Pemeriksaan Peralatan Pemecah Batu (Stone Crusher). Buku 3: Perawatan Peralatan. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
Kusuma, D. 2014. Mengenal Konstruksi Lapisan Aspal. http://dwikusumadpu. wordpress.com/2014/02/09/mengenal-konstruksi-lapisan-aspal/. Diakses 4 Juni 2014.
SNI 03-1737-1989 tentang Tata Cara Pelaksanaan Lapis Aspal Beton (Laston) untuk Jalan Raya.
SNI 06-2489-1991 tentang Metode Pengujian Campuran Aspal Dengan Alat Marshall.

Wordpress. 2012. Proses Pemecahan Batu dengan Stone Crusher. http://jualbatusplit.wordpress.com/author/jualbatusplit/page/3/. Diaskes 4 Juni 2014.

REGRESI LOGISTIK BINER

APLIKASI METODE STATISTIK REGRESI LOGISTIK PADA PEMODELAN KEPEMILIKAN SEPEDA MOTOR PADA RUMAH TANGGA DI SEPANJANG
KORIDOR TRAYEK TRANS SARBAGITA


ABSTRAK
            Tingginya kepemilikan sepeda motor berdampak langsung pada masyarakat dalam menggunakan angkutan umum. Oleh karena itu, studi mengenai kepemilikan sepeda motor sangat penting. Data yang digunakan adalah komposisi keluarga (jumlah anggota, pekerja dan pelajar/sekolah/mahasiswa, dan jumlah yang bukan pekerja dan pelajar/sekolah/mahasiswa), tujuan perjalanan (kantor, sekolah dan pusat perbelanjaan) dan pendapatan keluarga. Perangkat lunak seperti Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 20 digunakan untuk penyusunan model regresi logistik.
            Hasil dari penelitian kepemilikan sepeda motor pada rumah tangga di sepanjang koridor pada 2 (dua) rute Trayek Trans Sarbagita dengan jumlah 253 data adalah dari sisi sosial-ekonomi dan demografi penduduk. Prosentase tertinggi pendapatan adalah keluarga lebih besar dari Rp 3.000.000,- sampai dengan Rp 5.000.000,- sebesar 40,7%, sedangkan pendapatan terendah lebih kecil dari Rp 3.000.000,- dengan prosentase sebesar 39,9%, sementara yang berpenghasilan diatas Rp 5.000.000,- sebesar 19,4%. Kepemilikan 1 - 2 unit sepeda motor mempunyai prosentase tertinggi yaitu 67,6%, sedangkan kepemilikan lebih dari 2 unit sepeda motor adalah 32,4%. Adapun bentuk model pemilihan moda dari kepemilikan sepeda motor pada rumah tangga di sepanjang koridor pada 2 (dua) rute Trayek Trans Sarbagita adalah:
In =   0,915-0,824*JmlAnggotaKel(1)-2,531*Pekerja(1)-
1,200*Pelajar(1)+1,200*BknPekPel(1)-0,474*PerBek(1)+0,504*PerSek(1)+0,003*BknPerBekPel(1)+0,575*Pendapatan(2)
            Untuk probabilitas dari masing-masing variabel yang berpengaruh terhadap kepemilikan sepeda motor pada rumah tangga di sepanjang koridor pada 2 (dua) rute Trayek Trans Sarbagita pada tingkat 5% atau dengan kepercayaan 95% adalah jumlah anggota keluarga > 4 orang dibandingkan dengan anggota keluarga ≤ 4 orang, lebih besar 56,1% (0,439-1), jumlah anggota keluarga yang bekerja > 2 orang dibandingkan dengan anggota keluarga yang bekerja ≤ 2 orang, lebih besar 99,92% (0,080-1).

Kata Kunci:     Pendapatan Rumah Tangga, Kepemilikan Sepeda Motor, Regresi Logistik.

LATAR BELAKANG
Sebagai wujud nyata dalam usaha mengatasi kemacetan lalu lintas, Pemerintah Provinsi Bali dalam hal ini Dinas Perhubungan Provinsi Bali telah menetapkan Jaringan Trayek Angkutan Umum Trans Sarbagita melalui Surat Keputusan Gubernur No. 1186/03-f/HK Tahun 2010. Trayek Trans Sarbagita terdiri dari 17 (tujuh belas) Trayek Utama dan 36  (tiga puluh enam) Trayek Cabang. Pada tanggal 18 Agustus 2011 untuk pertama kalinya dioperasikan armada Bus Trans Sarbagita  pada Trayek Batu Bulan - Nusa Dua PP Via Sentral Parkir Kuta. Trayek ini membutuhkan kendaraan 14 (empat belas) unit kendaraan dengan menempuh jarak 68,80 km. Sementara itu, pada tanggal 10 Agustus 2012 diluncurkan lagi armada bus Trans Sarbagita untuk Trayek Kota - GWK (Garuda Wisnu Kencana) PP sebanyak 10 unit kendaraan dengan menempuh jarak 44,20 km.
Sementara itu, sepeda motor merupakan suatu alat transportasi yang murah dan mendominasi moda transportasi di wilayah Sarbagita. Sekitar hampir 85 % dari semua moda yang bergerak di ruas jalan di wilayah ini merupakan sepeda motor (BPS Bali, 2011). Sebagai moda transportasi, sepeda motor memiliki beberapa keunggulan yang menguntungkan penggunanya yaitu murah, hemat bahan bakar, lincah bermanuver saat terjadi kemacetan dan pelayanannya bersifat door to door.  Sepeda motor secara signifikan dapat mengurangi minat masyarakat untuk menggunakan angkutan massal dan moda berkelanjutan lainnya seperti berjalan kaki atau naik sepeda (Prabnasak, et.al, 2011).  
Metode statistik yang dipakai untuk pemodelan kepemilikan sepeda motor ini adalah regresi logistik (logistic regression). Regresi logistik merupakan bagian dari analisis regresi, dimana variabel terikatnya merupakan variabel dikotomi/binary (Widaryono, 2010). Variabel dikotomi terdiri dari 2 (dua) nilai, diberi angka 0 dan 1, yang mewakili kemunculan atau tidak adanya suatu kejadian. Regresi logistik sebenarnya mirip dengan regresi berganda, hanya saja variabel terikatnya merupakan variabel yang memiliki 2 (dua) buah nilai, yaitu 0 dan 1. Sementara dalam regresi berganda  variabel terikatnya merupakan variabel kontinyu.
Lokasi penelitian dilaksanakan di sepanjang koridor 2 (dua) Trayek Trans Sarbagita, yaitu Trayek I: Terminal Mengwi - Pelabuhan Benoa PP Via Kota dan Trayek II: Sanur - Petitenget PP Via Nitimandala. Dipilihnya kedua trayek ini sebagai lokasi penelitian, karena pada lokasi di kedua trayek dan pada semua Trayek Trans Sarbagita belum ada penelitian tentang pemodelan kepemilikan sepeda motor. Selain itu, pada kedua trayek tersebut merupakan daerah yang berkembang dengan tipe penduduk yang lebih heterogen.


RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pada kedua koridor trayek tersebut, yaitu:
1.        Bagaimanakah karakteristik sosial ekonomi dan demografi penduduk di koridor trayek tersebut?
2.        Bagaimanakah model kepemilikan sepeda motor pada rumah tangga di koridor trayek tersebut?
3.        Bagaimanakah probabilitas pengaruh variabel bebas terhadap kepemilikan sepeda motor pada rumah tangga di koridor trayek tersebut?


BATASAN PENELITIAN
Untuk mencegah pembahasan yang menyimpang dari tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini dibatasi beberapa hal, yaitu:
1.        Karena variabel terikat berupa data kategorik, maka penelitian hanya menggunakan metode statistik Regresi Logistik.
2.        Data variabel bebas yang diperhitungkan adalah: jumlah anggota keluarga, jumlah anggota keluarga yang bekerja, jumlah anggota keluarga yang sekolah/pelajar/mahasiswa, jumlah anggota keluarga yang bukan pekerja dan sekolah/pelajar/mahasiswa, jumlah perjalanan bekerja, jumlah perjalanan sekolah/pelajar/mahasiswa, bukan perjalanan pekerja dan sekolah/pelajar/mahasiswa dan pendapatan rumah tangga per bulan.
3.        Hanya mengkaji 2 (dua) koridor Trayek Utama Trans Sarbagita dari 17 trayek yang ditetapkan. Kedua Trayek tersebut adalah: Trayek I (Terminal Mengwi - Pelabuhan Benoa PP Via Kota), Trayek II (Sanur - Petitenget PP Via Nitimandala).
4.        Semua data yang dikaji adalah data sekunder.


KONSEP PEMODELAN TRANSPORTASI
            Menurut Siregar dalam Setiawati (2009), karakteristik model yang baik sebagai ukuran untuk mencapai tujuan dari model itu adalah:
1.        Mempunyai tingkat generalisasi yang tinggi. Kemampuan model untuk memecahkan masalah akan semakin tinggi bila tingkat generalisasinya makin tinggi.
2.        Mempunyai mekanisme transparansi. Model dapat menerangkan kembali tanpa ada hal-hal yang disembunyikan.
3.        Mempunyai potensi yang dikembangkan. Model dapat memacu peneliti lainnya untuk melakukan pemodelan yang lebih lanjut atau mengembangkan model tersebut dalam memecahkan suatu masalah.
4.        Mempunyai kepekaan terhadap asumsi. Proses pemodelan akan lama dan akan selalu menerima celah-celah masuknya asumsi-asumsi baru.

Dalam perencanaan transportasi pada tahap pemilihan moda (modal choice) tidak terlepas dari kepemilikan kendaraan pribadi, baik kendaraan bermotor maupun tidak bermotor, baik kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Seseorang akan dapat melakukan pilihan menggunakan kendaraan pribadi apabila telah memiliki kendaraan pribadi yang siap dipakai. Pilihan melakukan pergerakan dengan menggunakan kendaraan pribadi semakin banyak, yang membuat volume lalu lintas makin padat, dan seringkali menimbulkan kemacetan.

Kalibrasi
Bila di dalam regresi linear dipakai kuadrat terkecil (least squares) yang digunakan untuk estimasi parameter model, maka di dalam regresi logistik digunakan adalah prinsip estimasi maximum likelihood (ML). Prinsip maximum likelihood ini adalah parameter populasi diestimasi dengan cara memaksimumkan kemungkinan (likelihood) dari data observasi. Dengan kata lain, prinsip ini menentukan koefisien variabel bebas dalam regresi sebesar mungkin, sehingga probabilitas atau peluang kejadian dari variabel respon menjadi sebesar mungkin.
Besarnya probabilitas yang memaksimumkan suatu kejadian sebagai variabel terikat dsebut dengan log of likelihood (LL). Jadi LL merupakan ukuran akurasi garis regresi logistik di dalam metode maximum likelihood. Likelihood merupakan suatu fungsi dari data dan parameter model. Jika terdapat data biner, maka bentuk dari likelihood adalah sebagai berikut:
a.         Yi = 1, dengan probabilitas pi
b.        Yi = 0, dengan probabilitas 1 - pi
Jika untuk setiap Yi = 1, dengan probabilitas pi dan Yi = 0, dengan probabilitas 1 - pi, maka bentuk umum dari likelihood adalah Rumus 2.1 sebagai berikut:
.................................................................. (2.1)
Fungsi logistik  linear dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara probabilitas  dan variabel Xi seperti Rumus 2.2, sebagai berikut:
    .............................................................................. (2.2)
dan         .......................................................................... (2.3)
Dengan menggunakan kedua persamanaan, yaitu Rumus 2.2 dan Rumus 2.3 dimasukkan pada Rumus 2.1, maka diperoleh Rumus 2.4.

 
......................................................................... (2.4)
Log-likelihood dari data biner di dalam suatu model regresi logistik adalah seperti Rumus 2.5, sebagai berikut:
 ............. (2.5)

Validasi
Validasi merupakan langkah yang penting dalam pemodelan. Tujuan dari validasi model adalah untuk mengukur sejauh mana hasil model mendekati kondisi sebenarnya.  Semakin dekat hasil model dengan data lapangan, semakin valid model tersebut dalam menggambarkan kondisi lapangannya. Pengujian validitas atau kecocokan/kesesuaian (goodness of fit) mengetes apakah frekuensi nyata (hasil pengamatan/obeservasi) sesuai (fit) dengan frekuensi harapan (fh atau fe: frequencies of expected). Langkah pengujiannya adalah sebagai berikut (Sudaryono, 2012):
1.        Menentukan Ho dan Ha
Ho : fo = fh (fo dan fh sesuai/fit)
Ha : fo ≠ fh (fo dan fa tidak sesuai atau tidak fit)
2.        Menentukan level of confidence
Taraf keyakinan atau selang kepercayaan dapat digunakan sebesar 80%, 90%, 95%, 98%, dan 99%. Misalnya selang kepercayaan 95%, artinya peneliti percaya dengan tingkat kepercayaan 95% nilai parameter diduga berada dalam selang tersebut.
3.        Kriteria batas penerimaan dan penolakan dengan Two Tailed (Dua Pihak)
Daerah penerimaan sesuai Gambar 01 berfungsi sebagai alat estimasi atau prediksi. Sementara daerah penolakan berfungsi sebagai alat uji hipotesis.
Gambar 01 Kurva Batas Penerimaan dan Penolakan
Sumber: Supangat (2010)

Pada penelitian ini dipakai pengujian dua pihak (two tailed) dengan taraf signifikansi (α) sebesar 5%, maka selang kepercayaan adalah 1- α = 95%, seperti terlihat pada Gambar 2.1. Ini berarti (Supangat, 2010):
 

4.        Pengujian dengan menggunakan rumus 2.6, sebagai berikut:
 ............................................................................ (2.6)

Dimana:
X       = jumlah proporsi sampel
N       = jumlah populasi sampel
5.        Kesimpulan
Berdasarkan pengujian dan kriteria pengujian, dapat ditentukan Ho diterima atau ditolak.

Probabilitas
Probabilitas atau peluang adalah angka yang menunjukkan kemungkinan terjadinya suatu kejadian. Nilainya diantara 0 dan 1. Kejadian yang mempunyai nilai probabilitas 1 adalah kejadian yang pasti terjadi. Sedangkan suatu kejadian yang mempunyai nilai probabilitas 0 adalah kejadian yang tidak mungkin terjadi (Wikipedia, 2013c). Semakin kecil nilai probabilitas suatu peristiwa (mendekati 0), semakin kecil kesempatan (kemungkinan) peristiwa tersebut akan terjadi. Sebaliknya, semakin besar nilai probabilitas (mendekati 1), semakin besar kesempatan (kemungkinan) peristiwa tersebut akan terjadi.
Teori probabilitas diawali dengan penelitian terhadap permainan judi seperti rolet, kartu, dadu, dan lain sebagainya yang kemudian dilanjutkan pada penelitian terjadinya dugaan yang keliru di dalam bisnis dan aspek-aspek lain di dalam kehidupan. Probabilitas juga merupakan konsep yang menyatakan perhitungan secara numerik dari suatu tingkat ketidakpastian dan juga kepastian terjadinya suatu peristiwa (Anton, 2002).


Regresi Logistik
Regresi logistik adalah analisis regresi yang digunakan ketika variabel terikat (respon) merupakan variabel dikotomi atau kategorik. Variabel dikotomi biasanya hanya terdiri atas dua nilai, yang mewakili kemunculan atau tidak adanya suatu kejadian yang biasanya diberi angka 0 atau 1. Regresi logistik merupakan regresi non linear, dengan kata lain regresi logistik tidak mengasumsikan hubugan antara variabel bebas dengan variabel terikat secara linear. Variabel bebas dan variabel terikat akan mengikuti kurva pada Gambar 02 (Ariyoso, 2009):
Gambar 02 Kurva Regresi Linear dan Regresi Logistik
Sumber: Ariyoso (2009)

Berdasarkan data bivariat (X,Y) dimana X adalah variabel numerik atau variabel 0 - 1 dan Y adalah variabel respon 0 - 1, dapat diperlihatkan model regresi dalam bentuk umum, seperti Rumus 2.15, sebagai berikut (Washington, et.al, 2003):
 ........................................................... (2.15)
Dimana:
      = proporsi skor/nilai , di dalam populasi di antara
                         semua skor/nilai  0 - 1 yang mungkin.
Besaran   sering dinyatakan sebagai peluang atau probabilitas peristiwa yang ditentukan oleh skor Y = 1. Misalnya, jika seorang individu dipilih secara random dari populasi tertentu.  sebenarnya menyatakan proporsi atau peluang bersyarat, yang secara lengkap seharusnya ditulis seperti Rumus 2.16, sebagai berikut:
............................................................................ (2.16)
Sehingga jelaslah bahwa dengan menerapkan model logistik berdasarkan data tertentu, termasuk dengan data bivariat (X,Y) tersebut di atas, bertujuan untuk memperkirakan atau mengestimasi besarnya proporsi Y = 1, di dalam proporsi yang bersangkutan.
Berkaitan dengan model regresi univariat pada umumnya, model regresi logistik Rumus 2.17, dapat juga ditulis dalam bentuk sebagai berikut:
 ............................................................................... (2.17)
 ........................................................................ (2.18)

2.1         Variabel Diskret
Variabel diskret sering dinyatakan dalam kategori. Variabel diskret sering juga disebut variabel nominal atau variabel kategorik. Apabila terdapat 2 (dua) kategori disebut dikotomi. Misalnya, variabel jenis kelamin, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Apabila lebih dari 2 (dua) kategori disebut politomi. Misalnya, korban kecelakaan yang terdiri dari 3 (tiga) kategori, yaitu luka ringan, luka berat, dan meninggal dunia. Sementara itu variabel kontinyu adalah variabel yang nilainya dalam jarak tertentu dan dengan pecahan yang tidak terbatas. Misalnya, variabel kecepatan laju sepeda motor di jalan raya, yaitu 50 km/jam, 61,5 km/jam, dan seterusnya.
Regresi logistik tidak hanya mengasumsikan variabel terikat bersifat dikotomi, tetapi juga variabel biner (binary), yaitu diberi kode 0 dan 1. Kode ini harus berupa bilangan numerik dan bukan tekstual (string) dan merupakan suatu keharusan bahwa kode dengan bilangan 0 berarti kejadian tidak ada dan kode dengan blangan 1 berarti kejadian itu ada (Washington et.al, 2003).
Tiap-tiap variabel bebas dalam uji hipotesis untuk membuktikan keberartiannya menggunakan Rumus 2.19 selang kepercayaan untuk proporsi populasi, yaitu:
 .................................................................................... (2.19)
Dimana:
        = proporsi sampel
        = 1 –
   = nilai variabel standar normal (Z) dengan area ‘tails’ adalah

Rumus 2.19 dipakai untuk menghitung selang kepercayaan (95%) dari proporsi sampel. Variabel yang memiliki nilai signifikansi lebih dari 0,05 (5%) maka variabel tersebut tidak signifikan. Uji signifikansi dapat menyeleksi variabel bebas desain yang terdapat pada variabel dummy.

METODE PENELTIAN
Seperti halnya disiplin ilmu lainnya, penelitian di bidang transportasi memerlukan prosedur atau tahapan-tahapan yang logis, sehingga menghasilkan kesimpulan yang bisa diterima secara logis pula. Adapun tahapan-tahapan dalam penelitian ini seperti terlihat pada Gambar 03 di bawah ini:









Gambar 03 Tahapan-Tahapan Penelitian







Variabel Dummy dan Uji Signifikansinya
Berdasarkan dari data yang diperoleh, kemudian dihitung prosentase untuk masing-masing klasifikasi dari faktor-faktor pemilihan moda. Prosentase ini digunakan dalam reduksi variabel dummy, dimana reduksi bermanfaat untuk mengeliminasi variabel dummy yang prosentasenya tidak mempunyai signifikansi 5%. Prosedur pengeliminasian menggunakan uji hipotesis adalah:
H0 : pi  =  0 dan,
Ha : pi  ≠  0 dengan menggunakan Rumus 2.19

Dari Tabel 4.13 terlihat bahwa variabel bebas diskrit diuji signifikansinya dengan uji hipotesis. Dari hasil uji hipotesis tersebut terlihat bahwa semua kategori variabel bebas diskrit signifikan secara statistik. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya batas bawah 95% selang kepercayaan untuk setiap kategori variabel bebas yang bernilai nol (0). Konsekuensinya semua variabel bebas diskrit dapat digunakan sebagai faktor penduga di dalam model.


Tabel 4.13 Uji Signifikansi Kategori Variabel Bebas Dummy
Sumber: Analisis Data (2013)

Dimana:
            X =  Jumlah klasifikasi yang timbul
            n  =  Jumlah data/sampel

            Dari data sampel pada Tabel 4.13 dapat dilihat bahwa kelompok rumah tangga yang mempunyai pendapatan Rp. 3 - 5 juta/bulan memiliki persentase yang paling besar, yaitu sekitar 41%. Rumah tangga dengan pendapatan < Rp. 3 juta/bulan menempati urutan kedua, yaitu sekitar 40% dan yang merupakan jumlah paling sedikit adalah rumah tangga dengan pendapatan > Rp. 5 juta/bulan sekitar 19%.

Kalibrasi Model
Kegiatan selanjutnya adalah menganalisis variabel bebas yang mampu memberikan nilai ekspektasi yang signifikan. Hasil estimasi parameter model dapat dilihat pada Tabel 4.14. Pada tabel tersebut dapat juga dilakukan analisis multikolinearitas atau adanya korelasi yang erat di antara masing-masing variabel bebas. Dari nilai standard error (S.E.) setiap variabel bebas diketahui bahwa tidak terdapat nilai yang melebihi 2.0 sehingga dapat dikatakan tidak terdapat persoalan multikolinearitas (ketergantungan yang kuat antara satu variabel bebas yang satu dengan variabel yang lainnya) di dalam model tersebut.

Tabel 4.14 Variabel Bebas yang Signifikan
Variabel
B
Standard Error
Sig.
Exp(B)
JmlAnggotaKel(1)
-.824
.397
.038
.439
Pekerja(1)
-2.531
.428
.000
.080
Pelajar(1)
-1.200
.426
.005
.301
BknPekPel(1)
1.200
.521
.021
3.321
PerBek(1)
-.474
.426
.266
.623
PerSek(1)
.504
.659
.444
1.656
BknPerBekPel(1)
.003
.870
.997
1.003
Pendapatan(2)
.575
.467
.219
1.777
Konstan
.915
.597
.126
2.496

Sumber: Analisis Data (2013)

Dimana:
            JmlAnggotaKel(1)      :  Jumlah anggota keluarga > 4 orang
            Pekerja            (1)                    :  Jumlah anggota keluarga yang Bekerja > 2 orang
Pelajar(1)                     :  Jumlah anggota keluarga yang
   Sekolah/Pelajar/Mahasiswa > 1 orang
BknPekPel(1)              :  Jumlah anggota keluarga yang bukan Pekerja dan
                                       Sekolah/Pelajar/Mahasiswa > 1 orang
PerBek(1)                    :  Jumlah perjalanan Bekerja > 4 rit
PerSek(1)                    :  Jumlah perjalanan Sekolah/Pelajar/Mahasiswa > 2
   rit
BknPerPekPel (1)        :  Jumlah bukan perjalanan Pekerja dan
   Sekolah/Pelajar/Mahasiswa > 2 rit
Pendapatan(2)             :  Pendapatan rumah tangga per bulan Rp. 3 - 5 juta

Dari Tabel 4.14 terlihat bahwa variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepemilikan sepeda motor pada rumah tangga di sepanjang Koridor Trayek I dan Trayek II pada tingkat 5% atau dengan kepercayaan 95% adalah jumlah anggota keluarga > 4 orang, pendapatan rumah tangga per bulan Rp. 3 - 5 juta. Pengaruh dari masing-masing faktor tersebut dapat dideskripsikan dengan melihat nilai ekspektasi nilai variabel bebasnya (Exp(B)):
a.       Jumlah keluarga dengan anggota > 4 orang dibandingkan dengan anggota keluarga ≤ 4 orang, lebih besar 56,1% (0,439-1) kemungkinannya untuk memiliki > 2 unit sepeda motor. Dengan perkataan lain semakin besar jumlah anggota keluarganya, maka peluang keluarga memiliki > 2 unit sepeda motor lebih besar.
b.      Jumlah anggota keluarga yang Bekerja > 2 orang dibandingkan dengan anggota keluarga yang Bekerja ≤ 2 orang, lebih besar 99,92% (0,080-1) kemungkinannya untuk memiliki > 2 unit sepeda motor. Dengan perkataan lain semakin besar jumlah anggota keluarga yang Bekerja, maka peluang memiliki > 2 unit sepeda motor lebih besar.
c.       Jumlah anggota keluarga yang Sekolah/Pelajar/Mahasiswa > 1 orang dibandingkan dengan anggota keluarga yang Sekolah/Pelajar/Mahasiswa ≤ 1 orang, lebih besar 69,9% (0,301-1) kemungkinannya untuk memiliki > 2 unit sepeda motor. Dengan perkataan lain semakin besar jumlah anggota keluarga yang Sekolah/Pelajar/Mahasiswa, maka peluang memiliki > 2 unit sepeda motor lebih besar.
d.      Jumlah anggota keluarga yang bukan Pekerja dan Sekolah/Pelajar/Mahasiswa > 1 orang dibandingkan dengan anggota keluarga yang bukan Pekerja dan Sekolah/Pelajar/Mahasiswa ≤ 1 orang, lebih besar 3,3 kali lipat kemungkinannya untuk memiliki > 2 unit sepeda motor. Dengan perkataan lain semakin besar jumlah anggota keluarga yang bukan Pekerja dan Sekolah/Pelajar/Mahasiswa, maka peluang memiliki > 2 unit sepeda motor lebih besar.

Dari keempat variabel yang berpengaruh terhadap kepemilikan sepeda motor pada rumah tangga di sepanjang Koridor Trayek I dan Trayek II, dapat di analisis beberapa hal sebagai berikut:
a.       Jumlah anggota keluarga, jumlah anggota keluarga yang Bekerja dan Sekolah/Pelajar/Mahasiswa serta jumlah anggota keluarga yang bukan Pekerja dan Sekolah/Pelajar/Mahasiswa yang lebih banyak dapat mempengaruhi kepemilikan sepeda motor > 2 unit. Jika dikaitkan dengan alternatif moda transportasi Bus Trans Sarbagita, maka fenomena ini merupakan suatu konsekuensi yang logis.
b.      Akan tetapi kepemilikan dan penggunaan yang terus meningkat dari sepeda motor tentunya akan berdampak kepada penambahan kendaraan pribadi di jalan raya yang selanjutnya berkontribusi kepada permasalahan transportasi seperti kemacetan dan kecelakaan lalu lintas.

Berdasarkan Tabel 4.14 maka dapat disusun model kepemilikan sepeda motor pada rumah tangga di sepanjang Koridor Trayek I dan Trayek II.

In =   0,915-0,824*JmlAnggotaKel(1)-2,531*Pekerja(1)-
1,200*Pelajar(1)+1,200*BknPekPel(1)-0,474*PerBek(1)+0,504*PerSek(1)+0,003*BknPerBekPel(1)+0,575*Pendapatan(2) ………………………………….… (4.1)

Dimana:
            p                                  :  Peluang untuk memiliki > 2 unit sepeda motor
JmlAnggotaKel(1)      :  Jumlah anggota keluarga > 4 orang
            Pekerja            (1)                    :  Jumlah anggota keluarga yang Bekerja > 2 orang
Pelajar(1)                     :  Jumlah anggota keluarga yang
   Sekolah/Pelajar/Mahasiswa > 1 orang
BknPekPel(1)              :  Jumlah anggota keluarga yang bukan Pekerja dan
                                       Sekolah/Pelajar/Mahasiswa > 1 orang
PerBek(1)                    :  Jumlah perjalanan Bekerja > 4 rit
PerSek(1)                    :  Jumlah perjalanan Sekolah/Pelajar/Mahasiswa > 2
   rit
BknPerPekPel (1)        :  Jumlah bukan perjalanan Pekerja dan
   Sekolah/Pelajar/Mahasiswa > 2 rit
Pendapatan(2)             :  Pendapatan rumah tangga per bulan Rp. 3 - 5 juta

Kategori PerBek(1), PerSek(1), BknPerBekPel(1) dan Pendapatan(2) tetap diikutsertakan pada model walaupun mempunyai signifikansi kurang dari 5%. Hal ini karena jika kategori-kategori tersebut dikeluarkan dari model akan mempengaruhi kelayakan (goodness of fit) dari model secara keseluruhan.

Validasi Model
Setelah semua data terkumpul dan masing-masing kategori sudah diberikan variabel dummy, maka langkah selanjutnya adalah memasukkan semua data tersebut ke dalam kolom “data view” dan “variabel view” di dalam program SPSS version 20. Hasil output SPSS selanjutnya bisa kita analisa. Print out SPSS dapat dilihat secara lengkap pada lampiran.
Analisa penentuan hubungan antara variabel bebas dan variabel tidak bebas di dalam model serta kelayakan model di dalam menyatakan hubungan antara variabel bebas dengan variabel tidak bebas, dapat dilihat pada Tabel 4.15 yang diperoleh dari output program SPSS.

Tabel 4.15 Signifikansi Model

Chi-square
df
Sig.
Model
92.194
4
.000
Sumber: Hasil Analisis Data (2013)

            Pada Tabel 4.15 terlihat bahwa untuk model kepemilikan sepeda motor mempunyai peluang Chi-square 92,194 dengan tingkat signifikansi 0,000 atau model kepemilikan sepeda motor pada rumah tangga di sepanjang Koridor Trayek I dan Trayek II mempunyai signifikansi pada tingkat 5%. Ini menunjukkan bahwa model yang disusun mempunyai hubungan yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel tidak bebasnya.

Tabel 4.16 Koefisien Determinasi Model
Step
-2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1
226.550
.305
.426

Sumber: Hasil Analisis Data (2013)

Mengacu kepada Washington, et. al. (2003) dijelaskan bahwa pada model pilihan dengan model logistik, semakin tinggi nilai pseudo R2 (goodness of fit), semakin baik model yang disusun. Akan tetapi hal ini tidak selalu tepat. O’Donnel dan Cannor (2002) menyatakan bahwa secara praktis nilai tersebut dapat diabaikan karena untuk model regresi logistik ini tidak ada nilai baku pseudo R2 yang dapat dijadikan sebagai acuan kelayakan model. Nilai ini mempunyai batas atas baik secara teoritis dan empiris yang selalu kurang dari satu. Oleh karena itu, digunakan cara lain untuk menentukan kelayakan model yaitu dengan uji Hosmer and Lemeshow (H-L test).
Uji kelayakan model atau model goodness of fit dilakukan dengan menggunakan prinsip Hosmer and Lemeshow (H-L test). Jika nilai uji H-L sama atau kurang dari 5% berarti ada perbedaan yang signifikan antara model dengan nilai observasinya, dimana kelayakan model tidak baik karena model dianggap tidak bisa memprediksi nilai observasinya. Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow’s goodness of fit lebih besar dari 5% berarti model mampu untuk memprediksi nilai observasinya dengan kepercayaan 95%.

Tabel 4.17 Uji Hosmer-Lemeshow
Step
Chi-square
df
Sig.
1
10.793
6
.095

Sumber: Hasil Analisis Data (2013)

Dari Tabel 4.17 terlihat bahwa nilai signifikansi berdasarkan uji Hosmer and Lemeshow (H-L) 1 adalah 0,095 (>5%), maka model regresi logistik yang disusun bisa digunakan untuk memprediksi nilai observasi dengan kepercayaan 95%.
Akurasi klasifikasi model umumnya adalah 25% atau lebih tinggi daripada proporsi data. Kegunaan analisis akurasi klasifikasi model adalah untuk membandingkan akurasi model nol (model hanya dengan konstanta tanpa variabel bebas) dengan full model atau model dengan menyertakan variabel bebas. Proporsi akurasi klasifikasi model dihitung dengan menggunakan proporsi klasifikasi variabel tidak bebasnya. Akurasi proporsi data dan akurasi model dapat dilihat pada Tabel 4.18.

Tabel 4.18 Akurasi Proporsi Data dan Model
Sumber: Analisis Data (2013)

            Untuk model proporsi data adalah 0,67592 + 0,32412 = 0,562 (56,2%). Akurasi model dengan regresi logistik (full model) adalah 79,4% dan lebih besar dari akurasi proporsi data. Oleh karena itu “full model” kepemilikan sepeda motor lebih baik daripada model nolnya. Dari perbandingan akurasi model terlihat bahwa penambahan variabel bebas di dalam kedua model yang disusun memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan dengan model tanpa variabel bebas sehingga dapat dijadikan prediksi dalam peningkatan kepemilikan kendaraan di masa yang akan datang.


SIMPULAN
Dari hasil analisis yang dilakukan pada Bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan seperti berikut:
a.       Prosentase tertinggi pendapatan adalah keluarga dengan pendapatan lebih besar dari Rp 3.000.000,- sampai dengan Rp 5.000.000,- sebesar 40,7%, sedangkan pendapatan terendah lebih kecil dari Rp 3.000.000,- dengan prosentase sebesar 39,9%, sementara yang berpenghasilan diatas Rp 5.000.000,- sebesar 19,4%.
b.      Kepemilikan 1 - 2 unit sepeda motor mempunyai prosentase tertinggi yaitu 67,6%, sedangkan kepemilikan lebih dari 2 unit sepeda motor adalah 32,4%.
c.       Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil survai dan analisis data yang dilakukan pada Bab sebelumnya, maka dapat disusun model kepemilikan sepeda motor per KK seperti Rumus 4.1 di sepanjang Koridor Trayek I dan Trayek II.

In =   0,915-0,824*JmlAnggotaKel(1)-2,531*Pekerja(1)-
1,200*Pelajar(1)+1,200*BknPekPel(1)-0,474*PerBek(1)+0,504*PerSek(1)+0,003*BknPerBekPel(1)+0,575*Pendapatan(2)
.
d.      Probabilitas dari masing-masing faktor yang berpengaruh terhadap kepemilikan sepeda motor dapat dideskripsikan dengan melihat nilai ekspektasi nilai variabel bebasnya (Exp(B)). Jumlah keluarga dengan anggota > 4 orang dibandingkan dengan anggota keluarga ≤ 4 orang, lebih besar 56,1% (0,439-1) kemungkinannya untuk memiliki > 2 unit sepeda motor. Dengan perkataan lain semakin besar jumlah anggota keluarganya, maka peluang keluarga memiliki > 2 unit sepeda motor lebih besar.


Saran
            Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:
1.      Penelitian ini dapat dikembangkan lagi dengan menganalisis daerah studi (Koridor Trayek Trans Sarbagita) lainnya dengan cakupan wilayah yang lebih luas.
2.      Dianjurkan menggunakan model lain (bukan regresi logistik) agar dapat digunakan sebagai pembanding di dalam kepemilikan sepeda motor di koridor tersebut dan atau koridor lainnya.



DAFTAR PUSTAKA

Anton, L.W. 2002. Statistik Teknik. Jakarta: Universitas Trisakti.
Ariyoso. 2009. Regresi Logistik. http://statistik4life.blogspot.com/2009/12/ regresi-logistik.html. Diakses 10 Juli 2013.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali. 2011. Bali Dalam Angka 2011. Denpasar: -
Pemerintah Provinsi Bali. 2010. Surat Keputusan Gubernur Bali No. 1186/03-F/HK/2010 tentang Penetapan Jaringan Trayek Angkutan Umum Trans Sarbagita. Denpasar: -
Prabnasak, J., Taylor, M.A.P., Yue, W.L. (2011). An Investigation of Vehicle Ownership and the Effect of Income and Vehicle Expenses in Mid-Sized City of Thailand, Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol. 9, 437-451.
Setiawati, E P. 2009. Penyusunan Model. Bandung: UNPAD
Sudaryono.2012. Statistika Probablitas – Teori dan Aplikasi.  Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET.
Supangat, A. 2010. Statistika – Dalam Kajian Deskriptif, Inferensi, dan Non-parametrik. Jakarta: Prenada Media Group.

Wikipedia, 2013c. Peluang (matematika). http://id.wikipedia.org/wiki/Peluang_ %28matematika%29. Diakses 15 Juli 2013.