Label

Sabtu, 13 Oktober 2012

EKA DASA RUDRA



UPACARA EKA DASA RUDRA DI PURA BESAKIH
 (Sebuah Tinjauan Historis)

Ida Bagus Wirahaji


ABSTRAK


Bali mendapat pengaruh yang kuat kebudayaan India, sebagai akibat dari letak geografis Pulau Bali yang menjadi bagian dari jalur perdagangan. Pengaruh kebudayaan India antara lain datangnya mazhab Siwa yang mengalami perkembangan mengesankan di Bali. Mazhab Siwa menekankan ritual pengurbanan suci untuk mencapai jagadhita dan moksa. Salah satu ritualnya adalah upacara Eka Dasa Rudra.
Dewa Rudra disebutkan dalam beberapa kitab Weda memiliki sifat rwa bhineda, kejam sekaligus lembut, menyakiti dan menyembuhkan, marah tetapi juga tenang. Konsep Eka Dasa Rudra berasal dari sebelas Rudra yang merupakan simbol dari sebelas kekuatan prana. Eka Dasa Rudra juga menunjuk pada sebelas penjuru mata angin, dan upacara Eka Dasa Rudra bertujuan untuk menyucikan sebelas penjuru mata angin.
Setelah NKRI terbentuk upacara besar ini baru dapat dilaksanakan di Pura Besakih pada tahun 1963 dan diulang lagi pada tahun 1979. Pada tahun 1963 merupakan upacara yang luar biasa, yang pertama kali dilaksanakan dalam kurun waktu lama. Pada waktu itu Gunung Agung meletus, menelan korban jiwa sedikitnya 1.150 orang meninggal dan korban material yang tidak sedikit. Kemudian disusul oleh peristiwa berdarah G 30 S PKI tahun 1965, jatuhnya pesawat jet tahun 1974, dan gempa bumi tektonik 1976 yang berpusat di Seririt, Buleleng. Sederetan bencana dan musibah melanda Bali tersebut, menimbulkan keraguan akan ketepatan waktu dan pelaksanaaan Eka Dasa Rudra 1963.
Upacara Eka Dasa Rudra kembali digelar 1979 tepat pada tahun Saka berakhir 00 (tenggek windu rah windu). Berbeda dengan Eka Dasa Rudra 1963 yang lebih banyak berperan adalah Puri Klungkung, maka pada tahun 1979 penyelenggaraan menjadi tanggung jawab Parisadha. Presiden Soeharto didampingi Mentri dan sejumlah pejabat pusat hadir pada puncak acara. Kehadiran seorang prisiden menandakan bahwa skala Eka Dasa Rudra mencapai tingkat nasional dan mengangkat status Pura Besakih sebagai pura terbesar umat Hindu Indonesia.

Kata Kunci: Eka Dasa Rudra, Bencana dan Musibah.







LATAR BELAKANG
Kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa, Bali, dan sebagian Sumatra, sejak abad-abad pertama masehi telah mengalami pengaruh yang kuat dari kebudayaan India. Tidak dapat dipungkiri, awal kontak India dengan Bali oleh para ahli diduga sebagai akibat adanya perdagangan cengkeh dan kayu cendana.
Kayu cendana telah disebutkan dalam Kitab Ramayana yang diduga ditulis sekitar abad ke-4 SM. Cengkeh dan kayu cendana juga disebutkan dalam Kitab Periplus yang berasal dari abad pertama Masehi. Kayu cendana berasal dari Sumba dan Timor, sedangkan cengkeh merupakan tumbuh-tumbuhan asli di daerah Maluku. Berdasarkan sumber tersebut, menurut Ardika (1997) Bali tampaknya terletak dalam jalur perdagangan yang menghubungkan Indonesia bagian barat dan timur.
Akibat dari letak geografis yang menjadi jalur perdagangan, Bali mendapat pengaruh kebudayaan asing, diantaranya kebudayaan India. Bali mewarisi agama Hindu yang didominasi oleh ajaran sekte Siwa. Salah satu mazhab pada zaman Purana yang berkembang pesat di India pada tahun 300 M sampai dengan 700 M. Sekte-sekte lain yang masuk dan berkembang di Bali, menurut Goris adalah sekte Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha/Sogata, Brahmana, Rsi, Sora (pemuja Surya), dan Ganapatya (penyembah Ganesa). Perkembangan selanjutnya sekte-sekte tidak memperlihatkan diri secara tegas, berkembang ke arah satu agama Tirtha.
Agama Hindu Siwa di Bali mengalami puncak keemasan ketika Dalem Waturenggong mengangkat Danghyang Nirartha sebagai Pendeta Istana pada tahun 1489 M. Danghyang Nirartha hidup pada zaman Majapahit akhir pada masa pemerintahan Girindra Wardhana (1474 – 1519), meninggalkan Pulau Jawa melakukan perjalanan spiritual (tirthayatra) ke Pulau Bali, Lombok, dan Sumbawa.
Di Bali Danghyang Nirartha menata dan menyempurnakan konsep Panca Yadnya. Ajaran tentang Yadnya dituangkan dalam kitan-kitab seperti Widhi Sastra, Catur Widhya, Yama Purana Tattwa, Ekaprata, Karya Panca Wali Krama, Eka Dasa Rudra, Ligya, dan sebagainya.
Sebagai penganut Siwa, Danghyang Nirartha mengimplementasikan  ajaran-ajaran Siwa dalam ritual-ritual keagamaan di Bali. Dalam ajaran mazhab Siwa, jagadhita dan moksa dapat dicapai melalui samskara dan sadhana Pancamakara. Filsafatnya disebut Shiwa Siddhanta. Mazhab Siwa umumnya masih mempertahankan ajaran-ajaran upacara kurban sebagaimana diajarkan dalam kitab suci Weda dan kitab-kitab Brahmana.
Impelementasi dari ajaran Shiwa pada masa keberadaan Danghyang Nirartha di Bali diantara berupa penyelenggaraan upacara Eka Dasa Rudra di Besakih. Eka Dasa Rudra juga dilaksanakan oleh  Sri Jaya Pangus, putra dari Sri Jaya Kesunu yang sudah wafat, seperti yang disebutkan dalam Babad Usana Bali Pulina. Namun, kapan tepatnya upacara tersebut dilaksanakan tidak diketahui. Upacara Eka Dasa Rudra pada kedua masa itu hanya disebutkan dalam teks, dalam tradisi tulis.
Pelaksanaan upacara Eka Dasa Rudra di Besakih baru dapat dilaksanakan tahun 1963 dan tahun 1979 dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut Stuart-Fox seorang penulis Australia,  upacara ini dilaksanakan untuk ‘membayar’ upacara-upacara yang tidak dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam catatan di Pura Agung Besakih, Tawur Agung Eka Dasa Rudra pernah dilaksanakan pada Sukra Pon Julungwangi, tanggal 9 Maret 1963. Kemudian dilaksanakan lagi pada Buda Pahing Wariga, tanggal 28 Maret 1979.
Upacara Eka Dasa Rudra termasuk bagian dari upacara bhuta yajna dalam tingkat besar dibawah upacara maligya gumi, dan dilaksanakan dalam kurun waktu atau periode yang lama (100 tahun sekali). Urutan upacara bhuta yajna dari tingkat terkecil sampai terbesar adalah: caru panca sata, panca sanak, panca kelud, balik sumpah, mesapuh-sapuh, panca wali krama, eka dasa rudra dan maligya gumi.
Eka Dasa Rudra disebutkan dalam lontar Dewa Tattwa sebagai upacara Tawur Agung yang merupakan rangkaian dari upacara Bhuta Yadnya. Upacara yang dilaksanakan di Pura Agung Besakih ini bertujuan untuk menjaga keharmonisan Bhuana Agung dan Bhuana Alit sebagai aplikasi dari filosofi Tri Hita Karana.


RUMUSAN MASALAH
Upacara Eka Dasa Rudra merupakan upacara yang terbesar yang pernah dilaksanakan di Bali tahun 1963 dan 1979. Justru, di India upacara yang berdasarkan konsep Rudra atau Eka Dasa Rudra ini belum pernah dilaksanakan. Upacara ini melibatkan banyak orang dengan menghabiskan biaya besar, waktu yang panjang, dan tenaga yang banyak. Dibalik penyelenggaraan upacara Eka Dasa Rudra yang besar ini, ada beberapa pertanyaan yang penting yang harus mendapat penjelasan, yaitu:
1.      Apakah upacara Eka Dasa Rudra di Besakih bersumber pada kitab suci Weda?
2.      Mengapa setelah Upacara Eka Dasa Rudra 1963 dilakukan lagi upacara yang sama pada tahun 1979?
3.      Apa perbedaan Upacara Eka Dasa Rudra yang dilaksanakan pada tahun 1963 dengan tahun 1979?

PEMBAHASAN
Siapakah Dewa Rudra?
Rudra adalah dewa yang termasuk gugusan dewa-dewa dalam Kitab Weda Dalam Kitab Rig Weda, nama Rudra sedikit disebut, tetapi dalam berbagai kitab sesudah Rig Weda, Rudra semakin banyak dipuja dan bahkan didentikkan dengan Siwa (Siwa-Rudra). Dalam Kitab Yajurweda dan Atharaweda, Rudra digambarkan sebagai laki-laki bertubuh besar, perut warna biru, punggung berwarna merah, kepala biru (Nilagriwa), rambut keriting panjang terurai, seluruh tubuh memancar sinar keemasan. Tangannya memegang busur dan panah yag bercahaya. Karakternya sangat angker, sangat menakutkan dan mengerikan.
Dalam Rig Weda disebut Rudra sebagai pemburu Ilahi, menyusuri jalan sepi, mencari orang yang bisa dimangsanya. Dia Asura Agung dari sorga. Dalam Kitab Atharwa Weda disebutkan Rudra sebagai raja semesta, melepaskan anak panahnya kepada siapa pun yang dikehendaki, dan anak panahnya menyebabkan kematian atau memberi penyakit. Bahkan para dewa pun takut, bahwa Rudra akan menghancurkan mereka, karena tidak ada yang lebih kuat daripadanya.
Uniknya, Rudra memiliki sifat Rwa Binnedha, yaitu menakutkan/ghora dan tenang/santa. Rudra sebagai pembunuh kejam tetapi sekaligus memberi kelembutan yang luar biasa. Rudra membunuh dan menghidupkan, menyakiti dan menyembuhkan. Tak seorangpun dapat lepas dari tangannya. Bukan hanya sebagai perusak besar, tapi  juga penyembuh Ilahi dengan persediaan ribuan macam jampi. Tangannya suka mengelus menyembuhkan dan menyejukkan, serta dapat mengusir penyakit-penyakit yang disebabkan oleh dewa-dewa lainnya.
Dalam Atharwa Weda lebih lanjut disebutkan, Rudra diberi gelar Pasupati sebagai raja kawanan ternak. Dalam wujud inilah para pemuja suka memujinya, sebab mereka menganggap diri mereka sebagai bagian dari kawanan ternak, dan Rudra adalah raja kawanan ternak. Bahkan lebih itu, Rudra adalah rajanya dari kehidupan liar di hutan. Rudra tinggal di gunung dan hutan sebagai pemuja Lingga.
Dalam diri Rudra sendiri pertentangan-pertentangan dipertemukan tapi belum didamaikan. Berbeda dengan Siwa, dalam diri Siwa juga terdapat pertentangan-pertentangan yang dipertemukan untuk diatasi dan diperdamaikan.
Nama Rudra juga terdapat dalam Kitab Buana Kosa. Kitab Buana Kosa menyebutkan Rudra sebagai bagian dari Tri Murti. Pada VII.25, disebutkan, “Utpatti Bhagawan Brahma, sthiti Wisnuh tathe waca, pralina Bhagawan Rudrah, trayastre lokya saranah”. Artinya: Bhatara Brahma sebagai pencipta, Bhatara Wisnu memelihara, Bhatara Rudra melebur. Ketiga dewa itu menjadi pelindung dunia.
Dalam pengider-ider di Bali, Rudra ditempatkan pada arah mata angin di barat daya (neiriti). Dalam hal ini Rudra sebagai manifestasi Siwa, bagian dari Dewata Nawa Sanga, dengan Siwa berada di tengah-tengah (madya). Dalam pengider-ider, Rudra digambarkan bersenjata Moksala, wahananya kerbau, urip 3, warna orange, aksara suci Mang, dengan wuku warigadean, pahang, dan prangbakat.

Konsep Eka Dasa Rudra
Rudra dikenal sebagai dewa penyebab kematian, penyebab dan penyembuh penyakit. Rudra juga dikenal sebagai penguasa angin topan, pelebur alam semesta.  Untuk mencegah terjadinya kehancuran akibat kemarahannya, maka Rudra dipuja secara istimewa dengan doa-doa khusus untuk ‘menenangkan’ dan meredakan kemarahannya.
Sifat Rudra yang pemarah itu sangat terkait dengan riwayat kelahirannya. Kisah kelahiran Rudra terdapat dalam beberapa Purana dengan beragam cerita. Disebutkan Rudra lahir dari kening Brahma yang sedang marah. Rudra yang lahir ini berbadan setengah laki-laki dan setengah perempuan. Dari tubuh Rudra ini lahirlah sebelas putra Rudra. Badan Rudra yang berjumlah sebelas ini menurut kitab Wisnu Purana merupakan asal mula Eka Dasa Rudra.
Konsep tentang sebelas Rudra telah dikembangkan di dalam Rig Weda. Kedelapan Wasu dan ketiga Prana bersama-sama membentuk angka sebelas sebagai sebelas Rudra. Penjelasan tentang Rudra dijabarkan di dalam upanishad-upanishad, dimana ke sebelas Rudra adalah simbol-simbol dari sebelas kekuatan-kekuatan prana.
Sedangkan menurut Anna Mathews, yang tinggal di Bali selama hampir 12 bulan pada saat terjadinya letusan Gunung Agung 1963, tawur Eka Dasa Rudra adalah sebuah ritual yang ditujukan untuk menyucikan sebelas penjuru angin. Sebelas Rudra ini didentikkan dengan sebelas penjuru mata angin, yaitu: 8 penjuru, 1 tengah, 1 zenith dan 1 nadir.
Tentang kesebelas Rudra, selanjutnya ditemukan di dalam Purana-Purana, seperti Kitab Wisnu Purana yang telah disebutkan di atas. Dalam kitab Lingga Purana disebutkan dengan jelas bahwa kesebelas Rudra adalah tidak lain dari kesebelas getaran Prana Brahma sebagai yang menjelma di dalam seluruh ciptaan yang hidup. Kesebelas prana itu, menurut Agastia harus tetap dijaga kesuciannya untuk tercapainya bhutahita atau sarpranihita.
Sehubungan dengan penyucian itu, waktu yang tepat adalah saat pergantian tahun. Dimana tahun baru Saka (tanggal 1 bulan 1 tahun 1 Saka) ditetapkan oleh Raja Kaniskha pada tanggal 22 Maret 79. Sehari sebelumnya, tanggal 21 Maret 79 terjadi peristiwa alam yang sangat penting, yaitu gerhana matahari total. Pada saat terjadinya gerhana, baik gerhana matahari (surya graha) maupun gerhana bulan (candra graha), matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus.


Eka Dasa Rudra 1963
Pada tanggal 28 April 1908 Belanda berhasil menguasai Pulau Bali secara keseluruhan setelah menaklukkan Kerajaan Klungkung, melalui perang Puputan Klungkung. Bali kemudian dijadikan sebagai bagian dari Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda. Akibat penguasaan Belanda terhadap Bali, pada tahun-tahun awal abad ke-20 situasi politik masih kacau sehingga berdampak terhadap Pura Besakih dan pura-pura kahyangan jagat lainnya yang semakin terabaikan. Hingga, pada tanggal 21 Januari 1917 Bali diguncang gempa dahsyat pada pukul 6.50 pagi selama 45 detik, disusul oleh gempa 4 Februari dan gempa-gempa berikutnya selama dua minggu. Bali selatan bagian tengah mengalami kerusakan yang paling parah. Tercatat 1.372 orang tewas atau hilang. Gempa bumi dahsyat ini dikenal dengan Gejer Bali. Bencana alam dahsyat ini dipercaya oleh tokoh-tokoh dan masyarakat Bali sebagai pertanda buruk, kemurkaan dewa-dewa atas ditelantarkannya pura-pura di Bali.
Peristiwa Gejer Bali ini membuat Pemerintah Kolonial membentuk Paroeman Kerta Negara, yang terdiri dari penguasa-penguasa daerah. Lembaga ini membuat dua keputusan penting, yaitu menyelenggarakan Panca Walikrama pada tahun 1933 dan upacara Bhatara Turun Kabeh tahun 1936. Setelah NKRI terbentuk, perhatian pemerintah semakin besar, dan ini terlihat dramatis dalam pelaksanaan upacara Panca Walikrama tahun 1960 dan Eka Dasa Rudra tahun 1963.
Pelaksanaan Eka Dasa Rudra tahun 1963 menjadi peristiwa yang sangat monumental. Eka Dasa Rudra 1963 disebut peneregteg karena upacara ini belum pernah dilaksanakan setelah melewati masa beberapa ratus tahun sebelumnya. Upacara ini  mempengaruhi semua umat Hindu sampai pada tingkat yang lebih besar daripada upacara yang telah dilaksanakan sebelumnya. Pada saat persiapan upacara dilakukan, secara kebetulan Gunung Agung meletus untuk pertama kalinya dalam kurun waktu lebih dari seabad. Letusan Gunung Agung dimulai tanggal 18 Pebruari 1963 dan berakhir 27 Januari 1964. Upacara tetap dilakukan walaupun terjadi letusan. Puncak karya pada tanggal 9 Maret 1963. Upacara berlangsung dalam kondisi yang luar biasa.
Penduduk mendengar ledakan yang sangat keras pada tanggal 18 Pebruari 1963, menyaksikan awan panas muncul dari kawah Gunung Agung. Suhu di sekitar gunung pun makin meningkat, mata air menjadi kering, tumbuhan disekitar gunung menjadi dan binatang pada mengungsi. Tanggal 23 Pebruari 1963 pukul 08.30 di sekitar Besakih, Rendang, dan Selat dihujani batu kecil serta tajam, pasir serta abu. Lava di Utara tetap meleleh, lahar hujan mengalir hingga di desa Sogra, Sangkan Kuasa. Asap semakin pekat, penduduk Sogra, Sangkan Kuasa, Badeg Dukuh dan Badeg Tengah mengungsi ke Selatan. Dan seterusnya. Akibat awan panas korban meninggal 820 orang, akibat lahar korban meninggal 165 orang, terkena bebatuan meninggal 163 orang.
Stuart-Fox dalam disertasinya yang berjudul “Pura Besakih – Pura, Agama, dan Masyarakat Bali”, berulang-ulang kali menyebut upacara Eka Dasa Rudra tahun 1963 sebagai perayaan yang LUAR BIASA. Masyarakat Bali ‘berjibaku’ demi terselenggaranya perayaan ini. Upacara ini seolah-olah menjadi taruhan, walau apa pun terjadi upacara tetap jalan. Panitia mengumumkan melalui surat kabar Suara Indonesia, menegaskan bahwa ‘Karya Eka Dasa Rudra Djalan Terus’. Gambar 01 menunjukkan letusan Gunung Agung 1963.
Anna Mathews bersama suaminya Denis yang tinggal di Desa Iseh Karangasem pada masa pemulihan pascarevolusi dan Perang Dunia II, sempat membuat catatan tentang letusan Gunung Agung, yang dirangkum Vickers, sebagai berikut:
“....Tanggal 3 Maret 1963 dilakukan sebuah prosesi usungan dan turun ke laut dekat Klungkung untuk ritual mandi dan penyucian. Lalu para dewa kembali ke pura. Di sepanjang perjalanan menerima persembahan dan doa-doa yang juga melewati desa kami, Iseh. Begitu para dewa kembali ke pura, tidak ada yang menyangka akan datangnya bencana. Tanah berguncang beberapa detik, sesaat kemudian terdengar ledakan yang luar biasa, disertai jeritan histeris panik yang pecah dari sekelompok anak di persimpangan. Asap hitam beracun membumbung dalam sebuah gumpalan yang sangat tebal, menjalar ribuan kaki dalam hitungan detik. Bebatuan besar beterbangan dari mulut kawah di atas semburan air. Lintasannya jelas batu-batu tersebut jatuh menimpa lereng gunung. Kami menuju Rendang, kami lihat orang-orang berdiri tanpa tujuan di jalan. Orang-orang berkumpul membentuk kelompok kecil di ujung jalan desa. Dimana-mana terlihat wanita dan juga laki-laki menggendong anak-anak dan bayi, Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ratusan orang berjalan telanjang kaki dalam diam. Mereka pergi dari desanya dengan membawa ternaknya dalam diam, tanpa kata-kata. Mereka tidak mengharapkan belas kasihan orang dan mereka tidak mendapatkannya.....”
Sampai pada puncak upacara gunung tetap aktif, namun tidak keras. Letusan lebih banyak menelan korban di lereng bagian utara. Sepanjang masa letusan tidak  mengakibatkan kerusakan yang berat pada komplek bangunan suci. Ironisnya, sebuah gempa bumi tektonik yang kuat terjadi pada tanggal 18 Mei 1963, yang disusul oleh gempa-gempa lainnya merusak bangunan-bangunan Pura Besakih, sebulan setelah Eka Dasa Rudra selesai.
Gunung Agung meletus sebelum hingga setelah Eka Dasa Rudra tahun 1963 selesai.

Adanya bencana gempa bumi pada saat upacara berlangsung dipandang sebagai pertanda buruk. Masyarakat Bali percaya gempa tersebut bukan gejala alam biasa. Terdapat hubungan hakiki antara alam semesta (Bhuana Agung) dengan diri manusia (Bhuana Alit). Dan, gempa bumi adalah dipandang sebagai respon buruk dari Bhuana Agung. Upacara Eka Dasa Rudra belum dapat ‘menenangkan’ Dewa Rudra. Upacara yang diharapkan dapat memberikan keseimbangan, keharmonisan kehidupan manusia tidak kunjung tiba. Dua tahun kemudian, terjadi peristiwa politik yang mengerikan, ketika puluhan ribu orang tewas dalam pembantaian tragedi berdarah pemberontakan G 30 S PKI. Kemudian bencana lain melanda Bali, tahun 1974 sebuah pesawat jet penumpang internasional jatuh menewaskan seluruh awak dan penumpangnya.
Tanggal 14 Juli 1976 kembali Bali diguncang gempa yang berpusat di Seririt Buleleng. Gempa dengan kekuatan 6.5 skala richter tercatat menewaskan 600 orang, 850 orang luka berat. Bangunan-bangunan di Buleleng Barat rusak berat, di Tabanan dan Jembrana dilaporkan 75% bangunan rusak.
Sejumlah bencana dan musibah tersebut di atas membangkitkan pertanyaan dan keraguan terhadap kepatutan penentuan waktu pelaksanaan Eka Dasa Rudra 1963. Sehingga sebuah paruman khusus diadakan di Besakih pada 24 Juli 1977 yang dihadiri 200 pendeta dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Paruman menghasilkan keputusan akan diadakan upacara Panca Walikarama di tahun 1978 dan Eka Dasa Rudra 1979.
Keputusan penentuan waktu pelaksanaan Eka Dasa Rudra di atas sesuai menurut teks Indik Ngeka Dasa Rudra. Dalam lontar milik Griya Intaran Sanur (Gedong Kertya Singaraja Nomor 1C, 2478) disebutkan Eka Dasa Rudra diselenggarakan 100 tahun sekali, ketika tahun Saka berakhir dengan 00 atau Rah Windu Tenggek Windu.

Eka Dasa Rudra 1979.
Sebagai realisasi dari keputusan paruman, Eka Dasa Rudra 1979 dilaksanakan pada Bhuda Pahing Wariga 28 Maret 1979 bertepatan dengan Tilem Caitra Saka 1900, ketika Bumi, Bulan, dan Matahari berada dalam posisi garis lurus di atas Katulistiwa. Sementara Eka Dasa Rudra 1963 tidak memenuhi perhitungan seperti itu.
Eka Dasa Rudra 1963 dilaksanakan pada zaman Orde Lama, dimana Presiden Soekarno tidak hadir upacara ini. Ia diwakili oleh Komandan Angkatan Perang Indonesia Jenderal Ahmad Yani. Eka Dasa Rudra 1979 dilaksanakan pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto hadir pada puncak perayaan didampingi oleh Menteri dan Pejabat Pusat lainnya. Kehadiran presiden setidaknya mengangkat status upacara Eka Dasa Rudra menjadi berskala nasional, dan status nasional Pura Besakih sebagai tempat suci Hindu terbesar di Indonesia.
Pada penyelenggaraan Eka Dasa Rudra 1979, sebagai pelindung Gubernur Bali dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Sekretaris Daerah sebagai Ketua Umum. Sekretaris Jenderal Parisada, Wayan Surpha dan Kepala Kantor Departemen Agama Provinsi Bali I Gusti Agung Gede Putra memainkan peran utama. Sedangkan pada penyelenggaraan Eka Dasa Rudra 1963 sebagai pelindung adalah Panglima Kodam XVI Udayana, sekaligus mengontrol pendanaan pemerintah pusat. Gubernur sebagai kepala pengawas, ketua Ida I Dewa Agung Klungkung, sebagai penghormatan atas status tradisonalnya. Dewa Agung Klungkung secara de facto masih mempunyai pengaruh yang kuat untuk mengerahkan orang-orang yang terampil dalam pelaksanaan upacara.
Upakara pada Eka Dasa Rudra 1963 didasarkan pada naskah upacara milik Geriya Cucukan Klungkung. Persiapan upacara diserahkan kepada Puri Klungkung. Sedangkan pada Eka Dasa Rudra 1979 peran Parisadha semakin dominan, yang berperan besar adalah I Gusti Agung Mas Putra (Istri dari kepala kantor Departemen Agama Provinsi Bali) mengatur bagian upakaranya. Ia membandingkan berbagai naskah yang relevan serta berkonsultasi dengan pendeta yang mengetahui mengenai upakara terkait.






SIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas diperoleh beberapa kesimpulan antara lain:
1.      Upacara Eka Dasa Rudra bersumber pada kitab suci Weda. Rudra termasuk salah satu dewa dalam Kitab Weda. Dalam Wisnu Purana disebutkan badan Rudra yang berjumlah sebelas merupakan asal mula Eka Dasa Rudra. Eka Dasa Rudra merupakan penyucian sebelas penjuru angin.
2.      Upacara dilaksanakan setiap 100 tahun sekali, ketika tahun Saka berakhir 00 (tenggek windu rah windu), dan dilaksanakan  sehari sebelum pergantian tahun Saka, yaitu pada Tilen Caitra.
3.      Pada waktu Eka Dasa Rudra 1963 diselenggarakan, secara kebetulan Gunung Agung meletus. Disusul oleh sejumlah bencana dan musibah lainnya yang melanda Bali, yang membuat para tokoh mengakaji ulang akan kebenaran pemilihan waktu dan kekeliruan dalam pelaksanaan Eka Dasa Rudra 1963. Sehingga diputuskan penyelenggaraan ulang Eka Dasa Rudra tahun 1979, dimana tahun Saka berakhir 00.
4.      Presiden Soeharto hadir dalam puncak acara Eka Dasa Rudra 1979. Hal ini menandakan, bahwa upacara Eka Dasar Rudra berskala nasional dan mengangkat status nasional Pura Besakih sebagai pura terbesar umat Hindu di Indonesia.
5.      Pada Eka Dasa Rudra 1963, Puri Klungkung memainkan peran yang utama dalam aspek upakara. Sedangkan pada Eka Dasa Rudra 1979 yang peran Parisadha. Aspek upakara dipimpin oleh I Gusti Mas Putra dengan mengkaji beberapa naskah atau teks-teks dan dikonsultasikan dengan sejumlah pendeta.