CIKAL BAKAL RAJA – RAJA MENGWI
Pembebasan Kota Gelgel
Setelah
berhasil melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Dalem Di Made, Patih Agung
Kryan Maruti memegang kekuasaan dengan tetap beristana di Suwecapura Gelgel,
pada tahun 1686 M. Dalem Di Made melarikan diri ke desa Guliang, Bangli bersama
dengan 300 orang rakyatnya. Dalem Di Made kemudian wafat di sana.
Naiknya
Patih Agung Maruti sebagai penguasa di Gelgel, menyebabkan raja – raja di Bali
memisahkan diri dari kekuasaan Gelgel. Raja – raja yang masih setia kepada
Dinasti Dalem Kepakisan menghimpun diri untuk melakukan perebutan kekuasaan
Patih Agung Maruti.
I
Dewa Agung Jambe salah seorang putera terkemuka dari Dalem Di Made, yang beribu
dari Badung, mengatur siasat. Beliau pindah dari lokasi pengungsian di desa
Guliang Bangli menuju istana Ulah di desa Sidemen, dengan diiringi rakyat yang
masih setia sekitar 150 orang. Di desa Sidemen beliau disambut oleh I Gusti
Ngurah Sidemen atau I Gusti Ngurah Singharsa nama lainnya. Di tempat inilah
direncanakan siasat untuk merebut kembali kota Gelgel dan mengembalikan
kekuasaan kepada keturunan Dalem.
Gerakan
penyerangan terhadap kota Gelgel dilakukan secara mendadak dan rahasia sesuai
dengan rencana. Penyerangan dari Selatan oleh laskar Badung dipimpin oleh
Panglima I Gusti Nyoman Pemedilan atau Kyai Ngurah Pemecutan (I). Laskar ini
lebih dahulu kontak dengan laskar Gelgel. Dalam pertempuran ini Kyai Ngurah
Pemecutan I gugur di desa Batu Klotok. Beliau kemudian bergelar Kyai
Anglurah Macan Gading.
Penyerangan dari Barat-Laut
oleh laskar Taruna Gowak Buleleng, dipimpin oleh Panglima Ki Tamblang
Sampun berhasil membunuh Panglima laskar Gelgel Ki Dukut Kerta. Penyerangan
dari arah Utara diperkuat oleh laskar Taman Bali di bawah pimpinan Kyai
Paketan. Sedangkan laskar Sidemen dalam jumlah besar menyerang dari arah Timur
Laut bermarkas di desa Samplangan sekarang di bawah pimpinan I Dewa Agung Jambe
dan I Gusti Ngurah Sidemen.
Kota Gelgel menjadi hancur
porak poranda akibat pertempuran ini. Sementara itu moral laskar Gelgel merosot
karena terbunuhnya Panglima mereka Ki Dukut Kerta. Patih Agung Maruti melihat
tanda – tanda seperti itu segera mengatur persiapan untuk melarikan diri.
Laskar I Dewa Agung Jambe dengan mudah memasuki kota Gelgel tanpa perlawanan,
karena telah ditinggal oleh laskar Gelgel. Kota Gelgel dapat direbut pada tahun
1705, tapi dalam keadaan sudah hancur lebur.
Patih Agung Maruti Melarikan Diri
Patih
Agung Maruti meninggalkan laskarnya melarikan diri diikuti oleh Kryan Kaler
Pacekan, menuju desa Jimbaran. Atas usaha liciknya Kryan Kaler Pacekan berhasil
membujuk rakyat I Gusti Agung Maruti untuk ikut bersamanya, dan berhasil
mendapatkan keris Ki Sekar Gadhung dan Ki Panglipur. Merasa
diperdaya I Gusti Agung kemudian menuju ke kerajaan Kyai Anglurah Tegeh Kori
hendak menghamba. Tetapi atas nasihat dari Kyai Tegeh Kori, Kryan Agung Maruti
menuju menemui Pangeran Kapal di desa Kapal, bersama 3 orang putera dan
puterinya, yatu: I Gusti Agung Putu, I Gusti Istri Ayu Made, dan I Gusti Agung
Anom. Sedangkan Kryan Kaler Pacekan tetap di desa Jimbaran.
Kemudian
terjadi peperangan antara Kapal dengan Buringkit, akibat penghinaan Pangeran
Kapal, yang menikahkan kuda kesayangannya dengan puteri dari Pangeran
Buringkit. Pangeran Kapal dan Pangeran Buringkit sama – sama tewas. Sebelum
tewas keduanya mengeluarkan kutukan, bahwa antara desa Kapal dan desa Buringkit
tidak boleh saling ambil mengambil (kawin), sampai dengan tumbuh-tumbuhan tidak
boleh bertemu sampai pada akhir jaman.
Atas
bantuan I Gusti Kaler Pacekan, Buringkit akhirnya berhasil mengalahkan Kapal. I
Gusti Agung Maruti yang ikut membela wilayah Kapal, melarikan diri bersama
dengan isteri dan ke-3 anaknya, menuju hutan Rangkan.
I Gusti Agung Maruti Menaklukkan Buringkit
Setelah beberapa lama berada
di hutan Rangkan I Gusti Agung mendapat anugerah dari Bhatara Dalem Tawang
Alun, berupa sebuah keris bernama Ki Bintang Kukus. Selain itu
Beliau juga menemukan sebuah tempat pemujaan di tengah hutan, yang kemudian
diperbaiki dan diberi nama Parahyangan Masceti. Kemudian beliau
mendirikan istana bernama Puri Kuramas.
Merasa mempunyai kekuatan
yang tangguh dan jumlah laskar yang cukup banyak, I Gusti Agung melakukan
penyerangan balasan ke Buringkit. Laskar Buringkit cerai berai, dan I Gusti
Kaler Pacekan berhasil dibunuh di Bukit Pegat. Keris pusaka Ki Sekar Gadhung
dan Ki Panglipur berhasil direbut kembali. Putera – putera I Gusti Kaler
Pacekan melarikan diri berpencar; ada yang ke Karangasem ada pula ke Tabanan.
I Gusti Agung Maruti
kemudian mewariskan kerajaan kepada putera – puteranya. I Gusti Agung Putu
diberikan Puri Kuramas, dan pusaka Ki Bintang Kukus dan Ki Sekar
Gadhung. I Gusti Agung Anom diberikan wilayah Kapal dan Buringkit, dan
pusaka keris Ki Panglipur, kemudian beliau bergelar I Gusti Agung
Made Agung. I Gusti Agung Maruti kemudian wafat di Puri Kuramas.
Perpecahan Kuramas dan Kapal
Tersebutlah
I Gusti Istri Ayu Made, adik dari I Gusti Agung Putu dan kakak dari I Gusti
Agung Made Agung, yang menderita sakit ingatan. Seorang Pandhya dari desa
Wanasara berhasil menyembuhkan, tetapi setiap berpisah dengan Sang Pandhya penyakitnya kambuh lagi. Akhirnya I Gusti Istri Ayu Made dikawinkan dengan Sang Pandhya. Perkawinan ini tanpa sepengetahuan kakaknya I Gusti Agung Putu
di Puri Kuramas. I Gusti Agung Putu murka dan membunuh Sang Pandhya. Sang Pandhya sebelum menghembus napas terakhir sempat mengeluarkan kutukan
kepada I Gusti Agung Putu, bahwa kelak I Gusti Agung Putu dan keturunannya
tidak akan pernah menjadi raja. Sedangkan kutukan kepada I Gusti Agung Made
Agung, bahwa keturunannya tidak akan habis – habisnya menderita sakit ingatan
(gila). Sejak peristiwa itu, I Gusti Agung Made Agung mengeluarkan sumpah putus
hubungan bersaudara dengan kakaknya I Gusti Agung Putu.
I
Gusti Istri Ayu Made mesatya mengikuti perjalanan Sang Pandhya. I Gusti
Agung Made Agung mewarisi pusaka Sang Pandhya berupa genta Ki Bhrahmara,
genta Ki Kembang Lengeng, termasuk Siwa Pakaranan
pangeran Kapal yang kuno. Selain itu I Gusti Agung Made Agung juga mewarisi
pusaka seperti: keris Ki Panglipur, keris Ki Baru
Pesawahan (pusakanya Pangeran Kapal), keris Ki Pancar Utah
(pusakanya Pangeran Buringkit dahulu).
I
Gusti Agung Made Agung beristerikan Ni Gusti Luh Bengkel, puteri dari Kryan
Bebengan, menurunkan putera satu – satunya bernama I Gusti Agung Putu.
Puteranya adalah hasil dari permohonan I Gusti Agung Made Agung bersama
isterinya di Pura Sada, yaitu anugerah dari Bhatara Hanandharu.
I Gusti Agung Putu Ditawan Di Tabanan
Setelah
I Gusti Agung Made Agung wafat, digantikan oleh putera beliau. Dalam
pemerintahan I Gusti Agung Putu, rakyat kurang diperhatikan, beliau keras
kepala, hanya mengikuti hawa nafsunya sendiri. Timbul pemberontakan yang
dipimpin oleh I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari desa Kekeran. Timbul perang yang
ramai antara laskar Kapal dengan laskar Kekeran. I Gusti Agung Putu dapat
dikalahkan, dikira sudah mati, ditinggal oleh I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
Adalah seorang sahaya yang
bernama I Kedua, mendekati junjungannya. Dalam keadaan sekarat I Gusti Agung
Putu menitipkan pusakanya, yang bernama Ki Panglipur kepada I Kedua. I
Kedua menutupi badan junjungannya dengan daun Liligundi agar terasa sejuk.
Mengetahui I Gusti Agung Putu masih hidup, I Gusti Ngurah Batu Tumpeng
membawanya ke Linggasana Tabanan, menjadi tawanan raja I Gusti Ngurah Tabanan.
Seorang
pemimpin dari desa Wratmara (sekarang: Marga), bernama I Gusti Bebalang, yang
mengabdi di kerajaan Linggasana Tabanan, mengetahui bahwa I Gusti Agung Putu
ditawan. Atas permohonannya yang mendalam kepada raja Anglurah Tabanan, I Gusti
Bebalang berhasil melepaskan I Gusti Agung Putu, dan mengajak tinggal di desa
Wratmara. Di desa Wratmara I Gusti Agung Putu sangat akrab dengan adik I Guti
Bebalang yang bernama I Gusti Celuk.
I Gusti Agung Putu Mendapatkan Keagungan
Setelah
beberapa lama tinggal di desa Wratmara, di mana kondisi tubuh dan mentalnya
membaik, I Gusti Agung Putu berkeinginan membalas terhadap I Gusti Ngurah Batu
Tumpeng. Untuk itu beliau melakukan perjalanan menuju puncak Gunung Mangu
melakukan semadi. Dalam semadinya yang khusuk, Ida Bhatara Gunung Mangu
turun. I Gusti Agung Putu disuruh menjulurkan lidahnya, dan dirajah oleh
Ida Bhatara. Dari puncak Gunung Mangu itu pula I Gusti Agung Putu
disuruh melihat ke arah Timur, Selatan, Barat, dan Utara. Sabda Ida Bhatara,
bahwa apa – apa yang dilihat oleh I Gusti Agung Putu, kelak itulah akan menjadi
wilayah kekuasaannya. Selesai melakukan semadi, I Gusti Agung Putu kembali ke
desa Wratmara, disambut hangat oleh sahabatnya I Gusti Celuk.
Selanjutnya
I Gusti Agung Putu, dengan seijin penguasa desa Marga merabas hutan membangun
istana bernama Puri Balahayu, sebagai tempat kedudukan beliau. Nama
beliau menjadi termasyur, beberapa penguasa menghadap dan mendukung beliau,
antara lain: I Gusti Ngurah Tangeb, I Gusti Ngurah Pupuan, I Gusti Ngurah
Buringkit, I Gusti Ngurah Penarungan. I Kedua pun menghadap mempersembahkan
keris Pusaka Ki Panglipur yang dulu dititipkan kepadanya Tetapi I Gusti Ngurah
Kekeran (Batu Tumpeng) masih menentang. I Gusti Ngurah Kekeran kemudian
diserang dan berhasil dibunuh. Semenjak itu daerah Kekeran menjadi wilayah
kekuasaan I Gusti Agung Putu.
BERDIRINYA KERAJAAN KAWYAPURA
Pasek Badak Takluk
Setelah
berhasil mengalahkan I Gusti Ngurah Kekeran, I Gusti Agung Putu mendirikan
istana di Bekak, di sebelah Utara Bale Agung Mengwi, sehingga dinamai Puri
Kaleran. Di sebelah Barat – Laut istana dibangun Parahyangan (Dewa
Graha) yang dinamai Taman Ganter. Dibuatkan Tengeran (kulkul) yang bernama Si Tankober,
milik I Gusti Tangeb. Setelah diupacarai dinamakan Kawyapura, atau Manghapura
nama lainnya. Sementara istana beliau di Balahayu (Puri Belayu) diberikan
kepada I Gusti Celuk.
Ada
seorang Ki Pasek yang sakti dan teguh berkendaraan Badak, dengan pengikutnya
tidak mengakui kedaulatan I Gusti Agung Putu. Ki Pasek lalu dipanggil untuk
datang menghadap ke Puri. Ki Pasek bersama kerabatnya datang memenuhi
permintaan Raja. Raja menantang untuk
adu tanding, tanpa mengadu rakyat. Rakyat hanya menjadi taruhan. Tantangan
disetujui oleh Ki Pasek Badak. Mereka berdua mengadu kekuatan, sama – sama
kebal tidak terlukai oleh senjata. Tidak ada yang kalah. Kemudian Ki Pasek
Badak menyadari, bahwa I Gusti Agung Putu ditakdirkan menjadi penguasa dan
menikmati kewibawaan. Ki Pasek bersedia mengalah dan dibunuh dengan syarat
setelah menjadi Pitara disembah oleh 40 orang keturunan I Gusti Agung
Putu. Syarat itu disetujui, Ki Pasek menyerahkan nyawanya, ditikam dengan keris
Ki Nagakeras. Binatang Badak peliharaannya juga mati di sebelah Selatan
desa Buduk. I Gusti Agung Putu kemudian melakukan upacara pemerasan
kepada 40 orang dari semua golongan
masyarakat untuk menyembah roh Ki Pasek Badak, sebab beliau tidak mau keturunan
langsung yang menyembah. Warga Ki Pasek seluruhnya tidak mau tunduk, mereka
mengungsi ke desa Tanguntiti Tabanan.
I Gusti Agung Putu memenuhi
janjinya dengan mendirikan Pura Taman Ahiun (Ayun). Arwah Ki
Pasek Badak diistanakan di Pelinggih Meru Tumpang 1. Kemudian
dilaksanakan upacara besar Bhuta Yajnya, Manca Wali Krama,
dan Siwa Yajnya, pada Anggara – Kliwon – Medangsya. Warga
40 orang yang menyembah roh Ki Pasek Badak kemudian dijadikan laskar kerajaan
bernama Bala Putra Dika Bata – Batu.
I Gusti Agung Putu Raja I Mengwi
Perjalanan
selanjutnya I Gusti Agung Putu menundukkan I Gusti Ngurah Teges, sehingga
kekuasaannya daerah Kaba-kaba menjadi bagian dari wilayah Kawyapura. I Gusti
Agung Putu juga menyerang dan menaklukkan Penebel dalam rangkaian membantu
Tabanan. Sebagai imbalan kemenangan itu Tabanan memberikan desa Marga kepada I
Gusti Agung Putu. Beberapa penguasa atau Anglurah juga menyatakan takluk kepada
Kawyapura, hingga wilayah Kawyapura meliputi: ke Selatan bukit Jimbaran sampai
Uluwatu, ke Utara sampai gunung Beratan, ke Timur sampai sungai Petanu, ke
Barat sampai sungai Yeh Panah.
Perkembangan
kemudian laskar I Gusti Agung Putu berperang dan menaklukkan laskar Buleleng. Perang ini
dipicu oleh putera I Gusti Ngurah Panji Sakti yang bernama I Gusti Panji
Wayahan, yang merabas hutan Batukaru, kekuasaan Kawyapura. Sebagai tanda takluk
I Gusti Ngurah Panji Sakti menyerahkan daerah Blambangan dan Jemberana menjadi
daerah kekuasaan Kawyapura. Selain itu, juga diberikan puterinya Ni Gusti Ayu
Panji sebagi isteri I Gusti Agung Putu. Raja juga memohon seorang Brahmana, Ida
Pedanda Sakti Bukian dari desa Kayu Putih, diberikan tempat di Kekeran untuk
mendampingi beliau,
Demikianlah
bertambah – tambah keagungan dan kebesaran I Gusti Agung Putu, Ketika diangkat
menjadi Raja I Kawyapura, beliau diberi gelar I Gusti Agung Made Agung Bima
Sakti, atau Cokorda Sakti Blambangan gelar lainnya. Beliau sangat
sakti (mangueng). Dari kata mangueng menjadi Mengwi.
I Gusti Agung Putu Tunduk Kepada Dewa Agung Klungkung
Dengan
semakin luasnya daerah – daerah jajahan yang kemudian menjadi wilayah
kekuasaan, I Gusti Agung Putu tidak
mau mengakui kewibawaan Dewa Agung Klungkung. Sekitar awal – awal tahun 1700,
ada seorang tokoh sakti ilmu hitam yang bernama Ki Balian Batur, tinggal di
pesisir Timur Kerajaan Mengwi, di desa Teledunginyah. Mempunyai sisya
(murid) yang banyak, yang terkemuka adalah I Gede Mecaling. Ki Balian Batur
konon ciptaan dari Bhatara Ulun Danu yang menginginkan agar I Gusti Agung Putu
tunduk terhadap Dewa Agung Klungkung.
Ulah Ki
Balian Batur beserta murid – muridnya membuat raja Mengwi merasa terusik.
Banyak rakyat beliau terutama di bagian Timur meninggal karena serangan ilmu
hitam. I Gusti Agung Putu mengerahkan laskar untuk menyerang Ki balian Batur
beserta rakyatnya. Namun laskar Mengwi tidak dapat berbuat apa, karena
berhadapan dengan mahluk – mahluk gaib. Dalam keadaan putus asa mengahadapi
musuh, I Gusti Agung Putu mendengar suara gaib, yang menyarankan meminta
bantuan dari Dewa Agung Klungkung. Ki Balian Batur hanya dapat dikalahkan
dengan bedil Ki Narantaka dan peluru Ki Selisik.
I Gusti
Agung Putu mengikuti saran suara gaib itu. Beliau menghadap Dewa Agung
Klungkung untuk meminta bantuan. Dewa Agung Klungkung memenuhi permohonan raja
Mengwi dengan mengutus adik beliau Dewa Agung Anom Sirikan, untuk melaksanakan
tugas membunuh Ki Balian Batur. Tugas dilaksanakan dengan baik dan sebagai
imbalannya I Gusti Agung Putu memberikan daerah Sukawati kepada Dewa Agung Anom
Sirikan. Demikianlah riwayatnya timbul kerajaan Dalem Sukawati, dan I Gusti
Agung Putu mengakui otoritas Dewa Agung Klungkung Sesuhunan Bali - Lombok.
I Gusti Agung Made Alangkajeng Raja II Mengwi
I Gusti
Agung Putu setelah tua digantikan oleh puteranya yang terkemuka, yaitu: I Gusti
Agung Made Alangkajeng. Putera – putera yang lain, yaitu: I Gusti Agung Panji,
I Gusti Ketut Buleleng, I Gusti Agung Made Kamasan, I Gusti Agung Nyoman
Alangkajeng, dan lain – lain, yang kesemuanya diberikan tempat dan rakyat.
Sedianya I Gusti Agung Panji akan menggantikan ayahnya, namun beliau wafat di
desa yang kemudian disebut Padekdekan. I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng
pindah ke desa Munggu mendirikan istana Puri Munggu.
I Gusti
Agung Made Alangkajeng menjadi raja bergelar I Gusti Ngurah Made Agung,
atau oleh Dewa Agung Klungkung dipanggil I Gusti Agung Banya, sebab beliau
sogol, sering mengucapkan banya (aku, kau). Adiknya I Gusti Agung
Nyoman Alangkajeng, disuruh pulang ke Mangha-pura, membangun istana baru di
Barat-daya Taman Ayun.
Pada
tahun 1750 I Gusti Ngurah Made Agung, memaksa meminta seorang puteri dari Nambangan,
yang bernama Ni Gusti Ratu Tegeh, puteri dari Kyai Anglurah Tegeh Kori XI.
Puteri ini sudah dijodohkan dengan Kyai Ngurah Jambe Merik, putera Kyai Jambe
Pule, sama – sama tinggal di Nambangan (Badung). Penyerahan puteri ini ke
Mengwi menyebabkan kemarahan keluarga Jambe beserta rakyat Badung. Keluarga
Jambe bersama dukungan sebagian besar rakyat Badung berhasil menjatuhkan
kekuasaan Kyai Anglurah Tegeh Kori XI.
Dari
isterinya Gusti Luh Patilik, berputera I Gusti Agung Made Agung. Dari puteri
Ratu Tegeh ini beliau menurunkan seorang puteri I Gusti Ratu Istri Bongan, yang
diperisteri oleh Kyai Anglurah Pemecutan II, menurunkan putera di Puri
Kaleran Pemecutan.
I Gusti Agung
Nyoman Alangkajeng Raja III Mengwi
Setelah I
Gusti Ngurah Made Agung wafat, digantikan oleh adiknya I Gusti Agung Nyoman
Alangkajeng, yang bergelar Cokorda Munggu. Hal ini disebabkan putera
mahkota I Gusti Agung Made Agung tidak kuasa dicegah, melanggar bisama
leluhur, mengambil isteri ke Puri Kuramas. I Gusti Agung Made Agung mengungsi
ke desa Kapal, menjadi Pangeran Kapal.
I Gusti
Agung Nyoman Alangkajeng mempunyai beberapa putera, yakni: I Gusti Agung
Mbahyun, I Gusti Agung Made Munggu, I Gusti Ngurah Jembrana (pemguasa di
Jembrana), dan I Gusti Gede Meliling.
I Gusti Mbahyun (Mayun) Raja IV Mengwi
Setelah I Gusti Agung
Alangkajeng tua, beliau yang masih beristana di dua Puri (Angaron Puri)
wafat di Puri Munggu. Oleh masyarakat
diberi gelar Bhatara Ring Pasaren Belimbing. Putera sulungnya I Gusti
Mbahyun (Mayun) menggantikan bergelar Cokorda Mayun.
Pada masa pemerintahanya,
laskar Mangha-pura berperang dengan laskar I Gusti Ngurah Bun. Terjadinya
perang tersebut, dikarenakan I Gusti Ngurah Bun tidak setia kepada Kawya-pura.
I Gusti Mayun tewas dalam pertempuran yang terjadi di desa Lambing. I Gusti
Agung Made Munggu, setelah mendengar kakaknya tewas, memukul kentongan mengirim
laskar bantuan. Laskar I Gusti Ngurah Bun dapat dikalahkan. I Gusti Ngurah Bun
dapat dibunuh, anggota laskarnya dikejar sampai ke desa – desa. Itu sebabnya
desa Bun berganti nama dengan desa Sedang, Angantaka, dan Jagapati.
Jenasah I Gusti Mbahyun setelah diupacarai diberi gelar Bhatara ring Bun.
Beliau meninggalkan seorang putera I Gusti Putu Mayun, masih anak – anak.
I Gusti Agung Made Munggu Raja V Mengwi
Setelah
wafatnya I Gusti Mayun terjadi huru – hara antara sesama keturunan kerajaan
Mengwi saling serang, memisahkan diri. Atas permintaan para pemuka kerajaan I
Gusti Agung Made Munggu didaulat menduduki tahta Kawya-pura. Beliau melangkah
ke istana Kawya-pura sambil membawa pusaka – pusaka. Tempat pemujaan dibangun
berhadapan dengan Puri, sebelah Timur jalan, bernama Pemerajan Mayun.
Beliau bergelar Cokorda Munggu. Sementara itu I Gusti Agung Kapal
diserahkan memelihara Pemerajan dan Taman Ayun.
Dalam
masa pemerintahannya I Gusti Agung Made Munggu menyerang, merebut kembali bekas
– bekas wilayah kerajaan Mengwi yang
melepaskan diri, seperti desa Abian Semal, Sangeh, dan Mambal.
Setelah
lama memerintah, beliau pindah keraton di Puri Agung Kaleran, lengkap
dengan tembok yang megah. Beliau beristerikan puteri dari Anglurah Tabanan yang
beristana di Puri Kubon Tingguh, berputera I Gusti Agung Putu Agung. Serta
seorang isteri puteri dari I Gusti Ngurah Kaba – Kaba, bernama I Gusti Ayu Oka
tidak diceritakan keturunannya
I Gusti Ayu Oka Raja (Ratu) VI Mengwi
I Gusti
Agung Made Munggu setelah lanjut usia dan wafat bergelar Bhatara Ring
Pasaren Gede. I Gusti Ayu Oka isteri beliau dari Puri Kaba – Kaba untuk
sementara mengisi kekosongan, oleh karena putera kandung I Gusti Agung Putu
Agung dan kemenakannya, I Gusti Putu Mayun masih anak – anak.
Tersiar
fitnah yang mengatakan Blambangan melepaskan diri. Ratu kemudian memanggil
Pangeran Blambangan. Pangeran Blambangan datang memenuhi panggilan namun tidak
diperkenankan masuk ke Puri. Pangeran beristirahat di pesanggrahan di Tegal
Waru, sebelah Barat-daya Puri bernama Banjar Jawa. Pengiring Pangeran
Blambangan diberi tempat di sebelah Barat Sahibang (Sibang), yang sekarang
dinamakan Janggala Blambangan, dan Tan Hayu.
Pangeran
Blambangan terkenal sakti, sempat memperliatkan kehebatannya berjalan – jalan
di atas air telaga Tama Ayun. Ratu I Gusti Ayu Oka sempat mendengar kejadian
ini semakin menjadi marah, kemudian menyuruh I Gusti Agung Kamasan dari Sibang
dan Mekel Munggu membunuh Pangeran di Pantai Seseh. Pangeran Blambangan dengan
tabah menerima maut yang segera datang. Sesaat sebelum menghembus napas
terakhir, Pangeran mengutuk Kawya-pura akan mengalami masa – masa surut.
Setelah wafat Pangeran Blambangan dibuatkan Kramat dan Meru Tunpang
Solas, yang disembah oleh orang – orang di desa Munggu, Cemagi dan Sibang.
I Gusti Agung Putu Agung Raja VII Mengwi
Setelah
memerintah beberapa lama I Gusti Ayu Oka sudah tua dan wafat. Putera tiri
beliau I Gusti Agung Putu Agung menggantikan bergelar Cokorda Putu Agung.
Dalam pemerintahannya beliau dibantu oleh adik misannya sebagai Raja Muda
bernama I Gusti Agung Putu Mayun, putera dari Bhatara Ring Bun.
Cokorda
Putu Agung wafat di Ukiran, bergelar Bhatareng Ring Ukiran. Beliau
berputera I Gusti Agung Made Agung, beribu dari I Gusti Ayu Ngurah, puterinya I
Gusti Ngurah Teges dari Puri Kaba-Kaba.
I Gusti Agung Made Agung Raja VIII Mengwi
I Gusti
Agung Made Agung dinobatkan menjadi raja bergelar Cokorda Agung Ngurah Made
Agung. Beliau didampingi oleh Raja Muda Cokorda Made Kandel, seorang
putera yang diangkat (diperas) dari Dewa Agung Made dari kerajaan Dalem
Sukawati, oleh I Gusti Agung Putu Mayun. I Gusti Agung Putu Mayun setelah wafat
bergelar Bhatara Ring Pasaren Anyar.
Setelah
wafat Cokorda Agung Ngurah Made Agung bergelar Bhatara Angluhur. Beliau
banyak mempunyai isteri baik dari kalangan Puri maupun dari sudra.
Adapun putera yang terkemuka adalah: I Gusti Agung Made Agung, beribu Jro
Sengguan dari Kekeran, I Gusti Agung Ketut Agung, beribu dari Kapal Kanginan.
Sedangkan
Cokorda Made Kandel setelah wafat bergelar Bhatareng Saren Sibang, berputera I
Gusti Agung Putu Mayun Mreta, dan I Gusti Agung Nyoman Munggu.
I Gusti Agung Made Agung Raja IX Mengwi
I Gusti
Agung Made Agung seorang putera kelahiran sudra, setelah diangkat anak
oleh ibu tirinya (permaisuri dari Munchan), naik menggantikan ayahnya menjadi
raja Mengwi, bergelar Cokorda Ngurah Made Agung.
Beliau beristeri I Gusti Agung
Istri Agung, puteri dari I Gusti Ketut Kamasan Sibang. Istrinya ini membawa
abdi tatadan dari desa Sedang dan Angantaka, berikut harta benda, mas,
sawah, sebab beliau adalah puteri satu – satunya. Dari isteri ini melahirkan
puteri satu – satunya bernama I Gusti Agung Istri Agung Muter, yang diperisteri
oleh raja Klungkung Dewa Agung Gede Putera. Putera tiri dari I Gusti Agung
Istri Agung Muter yang bernama Dewa Agung Gede Jambe, bergelar Dewa Agung
Putera inilah yang gugur dalam Puputan Klungkung pada tanggal 28 April
1908.
Dalam masa pemerintahannya, I
Gusti Agung Made Agung berselisih dengan adiknya tirinya I Gusti Agung Ketut
Agung. Raja juga menjalankan fitnah terhadap I Gusti Agung Nyoman Munggu,
hingga dibuang oleh Dewa Agung Klungkung ke Nusa Barong (Nusa Penida)
Raja ingin menyingkirkan saudaranya
dengan mengangkat derajat dari orang – orang yang tidak pantas. Raja memberi
gelar kepada I Gusti Made Kedewatan dengan Anak Agung Gede Putera, yang
disiapkan untuk menggantikan kedudukannya, sebab beliau tidak punyai putera
laki – laki.
Sebaliknya I Gusti Agung Ketut
Agung membuktikan diri beliau sebagai seorang Raja Putera. Beliau diuji oleh
Dewa Agung Klungkung untuk memasuki Goa Lawah sampai tembus ke Pura
Besakih. Ujian itu dilaksanakan dengan berhasil berkat restu dari Ida
Bhatara Tolangkir. Semenjak itu beliau diberi gelar I Gusti Agung Ketut
Agung Bhusakih. Dewa Agung Klungkung kemudian memberi tahu pihak
Mangha-pura tentang keagungan I Gusti Agung Ketut Agung. Namun raja Mangha-pura
tidak mau percaya dan tidak mau menerima kedatangan adiknya tirinya. Itu
sebabnya I Gusti Agung Ketut Agung dibuatkan istana di Klungkung bernama Puri
Batan Waru.
Singkat cerita, dalam
perkembangan selanjutnya kedudukan Raja menjadi terhimpit, oleh karena banyak
pemuka – pemuka kerajaan memihak I Gusti Agung Ketut Agung. Tokoh – tokoh dari
warga desa seperti Marga, Sembung, Cau tidak suka kepada Anak Agung Gede
Putera. Mereka memisahkan diri dengan Kawya-pura dan mengabdi ke kerajaan
Tabanan. Inilah awal permusuhan kerajaan Tabanan dengan Mengwi.
I Gusti Agung Ketut Agung Raja X Mengwi
I Gusti
Agung Ketut Agung yang berkedudukan di Puri Batan Waru Klungkung pulang kembali
ke Mngha-pura, tetapi tidak ke Puri Agung, beliau tinggal di Jeroan Bakungan.
I Gusti Agung Nyoman Munggu, yang sempat dibuang oleh Dewa Agung Klungkung ke
Nusa Penida, kembali pulang ke Mangha-pura membangun istana bernama Puri
Mayun.
Di Puri
Mayun inilah diselenggarakan Pesamuhan Agung keluarga Raja dengan pemuka – pemuka masyarakat, yang menghasilkan
kesepakatan, mendudukkan I Gusti Agung Ketut Agung sebagai Raja, dan I Gusti
Agung Nyoman Munggu beserta I Gusti Agung Putu Mayun Merta sebagai Iwa Raja
(raja muda).
Hasil
kesepakatan Pesamuhan Agung disampaikan kepada Raja. Raja
bersedia menerima kesepakatan tersebut. Kemudian I Gusti Agung Ketut Agung
diangkat menjadi Raja bergelar Cokorda Agung Ketut Agung Bhusakih. I
Gusti Agung Nyoman Munggu menjadi raja muda bergelar Cokorda Nyoman Mayun
dan I Gusti Agung Putu Agung Mayun bergelar Cokorda Mayun Mreta. Tetapi
I Gusti Agung Ketut Agung Bhusakih belum bersedia memasuki Puri Agung, oleh
karena Anak Agung Gede Putera masih tinggal di Puri Agung.
Anak Agung Gede Putera
mendengar berita, laskar Munggu akan menyerang dirinya. Dengan dibekali keris
Pusaka Ki Panglipur oleh Raja IX secara diam – diam pergi ke arah Barat,
tujuannya ke Tabanan. Laskar Munggu yang mengetahui Anak Agung Gede Putera
lari, dapat dikejar sampai di persawahan desa Kelaci. Raja IX yang berusaha
melindungi, menghalanginya hingga terjadi perang dengan laskar Munggu. Laskar
Munggu tidak mengatahui bahwa yang diserang dan dibunuh itu adalah rajanya
sendiri (Raja IX). Sementara Anak Agung Gede Putera dapat meloloskan diri. Raja
I Gusti Agung Made Agung yang terbunuh oleh laskar Munggu bergelar Bhatara
Ring Suradana.
Raja I Gusti Agung Ketut Agung
belum bersedia melangkah memasuki Puri Agung, oleh karena keris pusaka Ki
Panglipur masih dibawa oleh Anak Agung Gede Putera yang bersembunyi di
Tabanan. Dengan segala upaya keris pusaka dapat dikembalikan, dan Anak Agung
Gede Agung diampuni diberikan rakyat di Moncos, Baha dan Banjar Sayan, yang
kemudian dijadikan manca. Setelah mendapat keris pusaka Ki Panglipur,
barulah Raja I Gusti Agung Ketut Agung Bhusakih melangkah memasuki Puri Agung.
Oleh karena desa Wratmara
(Marga) sudah bergabung ke kerajaan Tabanan, maka sulitlah Raja Mengwi
mendatangi (tangkil) ke Pura Kahyangan Beratan, untuk memuja Bhatara
Gunung Mangu. Itu sebabnya Cokorda Mayun mendirikan Pura Penataran
Kahyangan Tinggan di desa Tinggan, yang kerjakan oleh penduduk desa
Tinggan, Tiyingan, Semanik, Plaga, Kiadan, Nungnung, Bon, Sidan, dan desa
Belok, yang diplaspas tahun 1830 M. Tahun 1832 dibangun lagi Pura
Penataran Agung Bon. Tahun 1834 lagi dibangun Pura Puncak Gunung Tedung
oleh Cokorda Mayun.
Raja Cokorda Ketut Agung Bhusakih
setelah tua, dan wafat bergelar Bhatara
Ring Pasaren Agung. Beliau hanya meninggalkan seorang puteri I Gusti Agung
Istri Mayun, yang bergelar Cokorda Istri Agung.
Raja Muda (Iwa Raja) Cokorda Nyoman
Mayun setelah tua dan wafat bergelar Bhatara Ring Galungan. Beliau
meninggalkan putera I Gusti Agung Made Raka, beribu Jro Serongga , keluarga
Bendesa Mas Mambal. I Gusti Agung Istri Putu dan adiknya I Gusti Agung Made
Agung, kedua beribu patni dari Puri Grana.
Raja Muda Cokorda Mayun Mreta
setelah wafat bergelar Bhatara Ring Pekerisan. Beliau meninggalkan
seorang putera I Gusti Agung Gede Mayun, beribu Gusti Luh Kajeng dari Bindhu.
I Gusti Agung Made Agung Raja XI (Terakhir) Mengwi
Oleh
karena Raja hanya mempunyai seorang puteri, maka para pemuka di kalangan Puri
Agung mengadakan Pesamuhan untuk menunjuk pengganti Raja berikutnya.
Dalam pesamuhan itu disepakati untuk mendudukkan I Gusti Agung Made
Agung, putera Bhatara Ring Galungan menjadi Raja Mengwi, bergelar Cokorda
Ngurah Made Agung. Kakak beliau I Gusti Agung Made raka diangkat sebagai
Raja Muda (Iwa Raja) bergelar Anak Agung Gede Alangkajeng.
Kemudian Puri Mayun dibagi 2
bagian. Bagian Utara tetap bernama Puri Mayun, tempat tinggal dari I Gusti
Agung Gede Mayun atau Anak Agung Gede Mayun nama lainnya. Bagian Selatan
bernama Puri Anyar, kediaman dari Anak Agung Gede Alangkajeng. Puri
Anyar dan Pemerajannya diplaspas pada tahun 1860 M.
Anak
Agung Gede Alangkajeng terkenal sakti dan kebal, tidak dapat ditembus oleh
peluru. Adapun kesaktiannya berkat anugrah dari Bhatara Gunung Mangu.
Pada suatu hari tengah malam beliau bersemadi. Di dalam daksina didengar suara berisik. Beliau mengambil dan membuka isi daksina,
yang ternyata ada ular hitam – putih. Ular tersebut dililitkan ditubuhnya. Tiba
– tiba ular tersebut berubah menjadi selempang bahu berwarna Hitam – Putih,
diberi nama Ki Naga Poleng.
BERAKHIRNYA KERAJAAN MENGWI
Perselisihan di Dalam Kerajaan Mangha-pura
Dalam
perkembangan selanjutnya terjadi perselisihan di dalam kerajaan Mengwi. Anak
Agung Gede Alangkajeng meninggalkan kerajaan Mengwi dan putera – puterinya,
hanya didampingi oleh isterinya I Gusti Ayu Sagung, menuju negara Badung di Jro
Kanginan. Selama tinggal di Badung putera – puterinya tidak ada yang
menjenguk, hingga membuat hatinya semakin sedih. Anak Agung meninggal di Jro
Kanginan Badung bergelar Bhatara Ring Badung. Beliau dibuatkan Pelinggih
Gedong di Pura Penataran Tinggan.
Anak
Agung Gede Alangkajeng meninggalkan beberapa putera dan puteri, yang terkemuka
diantaranya adalah: I Gusti Agung Made Ngurah (beribu Gusti Luh Rai dari Bnajar
Natih Sedang), I Gusti Agung Putu Alangkajeng (beribu keturunan Dewa Godong
Artha), I Gusti Agung Istri Kajeng (beribu Jro Taluh Harsa) diperistri oleh Ida
Putu Batu, kemudian mediksa bernama Ida Pedanda Gede Sembung dan Ida
Pedanda Istri Agung. Yang paling bungsu bernama I Gusti Agung Ketut Rai beribu
Jro Ketut Raga.
Putera
beliau yang bernama I Gusti Agung Made Ngurah diangkat menjadi Raja Muda.
Tetapi tidak disenangi karena tidak mempunyai tanggung jawab sebagai pemimpin,
hanya menjalankan kesenangan sendiri.
Laskar Gabungan Menaklukkan Mengwi
Dewa
Agung Klungkung mendengar perselisihan di dalam kerajaan Mangha-pura, sangat
merasa prihatin. Beliau mengirim utusan untuk meminta Raja Muda I Gusti Agung
Made Ngurah agar menghadap Dewa Agung di
Klungkung. Tetapi oleh raja Mangha-pura perintah itu tidak dipenuhi dengan
alasan takut akan dibuang seperti yang pernah dialami oleh leluhur beliau Bhatara
Ring Galungan, yang sempat dibuang ke Nusa Barong (Nusa Penida).
Sikap penentangan ini mengundang kemarahan besar
Dewa Agung Klungkung. Segera beliau memerintahkan kerajaan Badung, Tabanan,
Ubud, dan Bangli menyerang Mangha-pura. Situasi di Mangha-pura sendiri menjadi semakin kacau
setelah mengetahui adanya perintah Dewa Agung tersebut. Diantara pembesar –
pembesar kerajaan kurang bersatu, masing – masing memikirkan keselamatan diri
sendiri. Sebab mereka tahu perintah Dewa Agung pasti dijunjung oleh raja – raja
yang masih setia kepada Dewa Agung Sesuhunan Bali – Lombok.
Sesuai
perintah Dewa Agung, laskar gabungan Badung, Tabanan, Ubud, dan Bangli
menyerang Mengwi. Perlawanan laskar Mengwi berakhir pada tanggal 20 Juni 1891.
Raja Mengwi Cokorda Ngurah Made Agung tewas di tengah sawah di sebelah Barat
desa Mengwi Tani, bersama sahabat karibnya Ida Pedanda Made Bang dari Gerya
Liligundi Buleleng. Jenasah Cokorda Ngurah Made Agung ditawan di Badung,
satu tempat dengan jenasah Anak Agung Gede Alangkajeng.
Cokorda Ngurah Made Agung, raja
terakhir Mengwi ini bergelar Bhatara Ring Rana. Beliau meninggalkan
putera – puteri, diantaranya yang terkemuka adalah: I Gusti Agung Gede Agung
(beribu Jero Saren, yang diangkat putera oleh permaisuri Cokorda Istri Agung),
I Gusti Agung Ketut Agung (Beribu Jero Sumapatra, juga diangkat putera oleh
permaisuri Cokorda Istri Agung). Cokorda Istri Agung sendiri, karena tidak
sanggup menanggung kesedihan, beliau wafat di Badung. Jenasahnya disatukan
dengan jenasah kakak beliau.
Seluruh harta benda dan pusaka
kerajaan dibawa ke negara Badung. Keluarga, kerabat dan sabahat raja juga
ditawan. Diantaranya Ida Pedanda Gede Kekeran ditawan, ditempatkan di Puri
Tegal Badung. Demikian juga wilayah – wilayah kerajaan Mengwi dibagi-bagi,
seperti desa Kaba-kaba, Kediri, Belayu dikuasai Tabanan. Desa Carangsari, ke
Utara sampai desa Tinggan dikuasai kerajaan Bangli. Desa Jagapati, Abiansemal
sampai desa Samuan dikuasai oleh Ubud. Sisanya dikuasai oleh Badung.
Putera – Puteri Kawya-pura Lolos dari Tawanan
Setelah
sekitar 3 bulan putera – puteri Mangha-pura ditawan di Badung, Anak Agung
Nyoman Kaler dari Puri Gerana yang diiringi oleh puteranya I Gusti Agung Made
Raka karena rasa kesetiaannya bersaudara, ikut berduka cita, menyusul ke Badung. Sementara harta benda dan
pusaka Puri Gerana diserahkan dan dijaga oleh I Gusti Ngurah Gede Pacung dari
Puri Carangsari.
Pada
tahun 1893, suatu hari pada tengah malam putera – puteri Mangha-pura berhasil
meloloskan diri, mengiringi Ida Pedanda Gede Kekeran menuju Puri Ubud, karena pihak
Puri Ubud menjanjikan keselamatan. Disediakan tempat tinggal yang bernama Puri
Kelodan. Kemudian datang berkunjung Ida Pedanda Gede Pemaron dari
Mengwi beserta keluarga untuk ikut merasakan kedukaan. Oleh Raja Ubud
disediakan tempat yang diberi nama Gerya Taman Sari.
Tidak beberapa lama, banyak
putera – puteri Mangha-pura memenuhi Puri Kelodan tersebut. Mereka juga
menempati desa – desa bekas wilayah Mengwi yang dikuasai Ubud. Raja Muda
Manga-pura Anak Agung Mayun kemudian wafat di desa Sedang tahun 1894,
jenasahnya dibakar di desa Lambing, bergelar Bhatara Ring Lambing.
Putera Mangha-pura Gagal Merebut Taman Ayun
I Gusti
Agung Gede Agung putera Bhatara Ring Rana, salah satu pewaris kerajaan
Mengwi, berkehendak merebut paling tidak kawasan Taman Ayun yang dikuasai
Badung. Seperti diketahui kawasan Pura Taman Ayun adalah tempat para leluhur
beliau distanakan. Beliau mengirim utusan untuk meminta bantuan Ubud. Ubud
menerima baik niat tersebut dan berjanji membantu mengembalikan kawasan Taman
Ayun kepada putera Mangha-pura.
Para hari
yang ditentukan berangkatlah laskar dan putera – putera Mangha-pura yang
dipimpin oleh I Gusti Agung Gede Agung menuju daerah Taman Ayun. Mereka
terkejut disongsong oleh laskar dari Badung dalam jumlah yang banyak, yang dipimpin
oleh I Gusti Ngurah Raka Dabot. Bantuan yang diharapkan dari Cokorda Ubud
ternyata tidak datang. Terjadi pertempuran di desa Penarungan tahun 1897 M.
Anak Agung Nyoman Kaler dari Puri Gerana tewas. Jenasahnya ditawan di Badung,
bergelar Bhatara Ring Penarungan.
I Gusti Agung Gede Agung Raja Abian Semal
Sementara Raja Putera I Gusti
Agung Gede Agung bersama rakyatnya mengungsi ke desa Abian Semal, daerah
kekuasaan Ubud, dimana laskar Badung tidak berani mengejarnya. Di sini beliau
berpikir memohon kebijaksanaan Dewa Agung agar diberikan wilayah untuk
memerintah. Beliau mengutus ibundanya I Gusti Istri Raka ke Smara-pura. Dewa
Agung Klungkung yang merasa kasihan atas nasib putera-putera Mangha-pura,
mengutus I Gusti Ngurah Raka Dabot. Dewa Agung hanya memberikan bekas wilayah
kerajaan Mangha-pura yang dikuasai oleh Ubud saja. Pihak Ubud menentang
keputusan Dewa Agung ini.
Atas perintah Dewa Agung
Klungkung, raja Badung dan Bangli membantu I Gusti Agung Gede Agung merebut
bekas wilayah kerajaan Mengwi yang dikuasai Ubud. Setelah berhasil, I Gusti
Agung Gede Agung kemudian dinobatkan menjadi Raja di Abian Semal, bergelar Cokorda
Gede Agung tahun 1902 M. Adapun wilayah kekuasaan beliau kemudian adalah
bekas wilayah Mangha-pura yang dirampas oleh Ubud dan Bangli.
Putera – Putera Mangha-pura diberi Kedudukan
Raja Abian Semal Cokorda Gede
Agung menempatkan saudara – saudaranya ke daerah-daerah yang belum ada
pemimpinnya, seperti :
1.
Putera-putera Bhatara Ring Badung: I Gusti Agung
Oka dan I Gusti Agung Ketut Rai diberi kedudukan di desa Getasan, Pangsan, dan
Sekarmukti. Selanjutnya membangun istana bernama Puri Anyar Getasan.
I Gusti Agung Ketut Kaler
diberikan kedudukan di desa Abian Semal, mendirikan Puri Anyar Lebah.
I Gusti Agung Putu Alangkajeng
diberikan kedudukan di desa Mambal, membangun Puri Anyar Kedampal.
I Gusti Agung Made Rai
diberikan kedudukan di desa Lambing dan Sigaran, mendirikan Puri Anyar
Lambing.
I Gusti Agung Made Ngurah
diberikan kedudukan di desa Sedang, medirikan Puri Anyar Sedang. Kemudian
beliau madwijati menjadi pendeta.
I Gusti Agung Nyoman Munggu
menjadi Raja Muda Abian Semal, beliau menjunjung Pemarajan Dalem.
2.
I Gusti Agung Made Raka beserta adik-adiknya (putera Bhatara
Ring Penarungan) diberi kedudukan di desa Gerana sampai ke Sangeh.
Mendirikan istana baru bernama Puri Gerana.
3.
I Gusti Agung Made Oka dan adik-adiknya (putera Bhatara
Ring Lambing) diberi kedudukan di desa Blahkiuh dan Pikat. Mendirikan
istana bernama Puri Mayun Blahkiuh.
4.
I Gusti Ngurah Pacung diberi kedudukan di desa Carangsari,
dan adiknya I Gusti Ngurah Alit Pacung diberi kedudukan di desa Petang.
Kemudian keduanya melapaskan diri dari Abian Semal, bergabung kepada raja Ubud.
5.
I Gusti Ngurah Gede jelantik diberi kedudukan di desa
Angantaka. Kemudian tidak mau tunduk dengan Abian Semal, bergabung kepada raja
Ubud.
6.
I Gusti Ngurah Mayun diberi kedudukan di desa Sibang
Kaja. Kemudian berbalik bergabung kepada Smara-pura.
Pasca Puputan Badung dan Puputan Klungkung
Setelah
kerajaan Badung lenyap ditaklukkan oleh Belanda dalam Puputan Badung yang
puncaknya tanggal 20 September 1906, I Gusti Agung Made Oka yang berkedudukan
di desa Blahkiuh berselisih dengan Raja Muda Abian Semal, I Gusti Agung Nyoman
Munggu. I Gusti Agung Oka bersama dengan adik – adiknya, menyerahkan desa – desa
kekuasaannya kepada Belanda. Oleh Belanda, I Gusti Agung Oka diberi kedudukan
sebagai Punggawa pertama Mengwi. Sementara Puri Blahkiuh diserahkan
kepada adiknya I Gusti Agung Ratu Mayun.
Kemudian
pada tanggal 28 April 1908, Semara-pura jatuh, Dewa Agung Klungkung Sesuhunan
Bali – Lombok terakhir wafat dalam puputan Klungkung. Raja Abian Semal Cokorda
Gede Agung, oleh Belanda kemudian diangkat sebagai Punggawa pertama
Abian Semal. Karena sakit, Cokorda Gede Agung tidak lama menjadi Punggawa Abian
Semal, beliau diganti oleh I Gusti Agung Ratu Mayun, putera Bhatara Ring
Lambing.
Demikianlah
riwayat perjalanan putera – putera kerajaam Manghapura, masih panjang untuk
diceritakan.
Sayang kerajaan besar seperti
Mangha-pura lenyap sebelum Belanda mengusai Pulau Bali, sehingga daerah Mengwi
tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu Kabupaten di Bali. Dengan
berkuasanya Belanda dan kemudian disusul
dengan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semuanya menutup
riwayat Mengwi.
Diselesaikan
pada Anggara – Kliwon – Tambir
Panglong
Ping 5, Sasih ke Jyestha, Isaka 1927
Tanggal
3 Mei 2005
Ida Bagus Wirahaji, S.Ag
mantap jitu
BalasHapusAmpura Tu Aji,
BalasHapusTerima kasih atas tulisan ini, sehingga saya yang merupakan keturunan dari keluarga Mengwi ini, jadi paham mengenai sejarah leluhur kami.
Mungkin sedikit masukan (atau permintaan) bisakah dalam tulisan ini disertakan dengan tahun kejadian nya? Supaya kami juga dapat memahami kapan peristiwa sejarah ini terjadi.
Suksma
Krisna Teja
https://www.facebook.com/Trashingpencil
Ulasan yang luar biasa apik.
BalasHapusSuksme Ratu
Titiyang,
AA Gede Agung Eka Putra Mayun, S.Sos
Puri Mayun Wed Mengwi
Jalan I Gusti Ngurah Rai No.66
Banjar Alangkajeng Mengwi - Bali
Mohon dlanjutkan Ratu Aji...
BalasHapusRatu Aji...tunas titiyang yening wenten babad/cerita/sejarah mengenai 2 orang putra I Gusti Nyoman Rai cucu dari I Gusti Made Rai Sempidi (Penguasa Jero Tibubeneng) pada saat perang Saudara mengungsi ke Puri Mengwi.........
BalasHapustitiang pratisentane Ida Sri Nararya Kresna Kepakisan saking Buleleng, tityang warih Ida I Gusti Ngurah Batu Lepang Putran Ida I Gusti Agung Widya (I Gusti Agung Maruti), tiang jagi metaken kidik, silsilah I Gusti Agung Maruti dados melianan sareng silsilah sane wenten ring kawitan titiang Ida I Gusti Ngurah Batu Lepang.
BalasHapusring silsilah Ida I Gusti Ngurah Batu Lepang:
Ida I Gusti Agung Widya (I Gusti Agung Maruti) medue putra/i 7 diri:
1. I Gusti Agung Kedung
2. I Gusti Agung Kalanganyar
3. I Gusti Agung Ngurah Batu Lepang
4. I Gusti Agung Basang Tamiang
5. I Gusti Agung Karang Amla
6. Ida Istri Ayu Bakas
7. Ida Istri Ayu Karangasem
napi putran Ida I Gusti Agung Widya (I Gusti Agung Maruti) sane ring Kuramas dan Kapal sareng rabin Ida sane lianan?
Suksma atur titiang.
Pangeran Anglurah Kapal/ I Gusti Made Asak Kepakisan, menurunkan Kyayi Manginte/Kyayi Nginte, menurunkan 2 anak ; Kiyayi Widya/I Gusti Agung DiMade/I Gusti Agung Maruti (2 isteri 11 anak) dan Kiyayi Kaler Pranawa (1 isteri 9 anak).
HapusDari isteri-1/permaisuri Kiyayi Agung Widya/I Gusti Agung Maruti menurunkan 4 anak ; I Gusti Agung Putu Agung (Puri Keramas), I Gusti Agung Isteri Made Ratih (menikah dgn Pandita Wanasara Tabanan, wafat), I Gusti Agung Made Agung (Puri Kapal), dan I Gusti Agung Isteri Nyoman Ratih menikah dgn Pandita Griya Keramas Dangin, wafat).
Dari isteri-2/selir/penawing I Gusti Agung Maruti menurunkan 7 anak ; I Gusti Agung Kedung, I Gusti Agung Kalanganyar, I Gusti Agung Ngurah Batulepang, I Gusti Agung Basang Tamiang, I Gusti Agung Karangamla, I Gusti Ayu Agung Karangasem, dan I Gusti Ayu Agung Kalanganyar.
Sedangkan adik dari Kiyayi Agung Widya/I Gusti Agung Maruti yaitu Kiyayi Ler Prenawa/I Gusti Agung Kaler Prenawa menurunkan 9 anak ; Gusti Penida, Gusti Kamasan, Gusti Kaler Pemacekan, Gusti Sebetan, Gusti Sampalan, Gusti Tambesi, Gusti Teges, Gusti Ubud, dan Gusti Basang Kasa.
Dahat becik pisan
BalasHapusSentana igusti ler pernawa..i Gusti wayahan Kamasan jenek ring penarungan...erat kaitan dengan Puri Mengwi🙏😇
BalasHapusTy jagi metaken indik bukti tertulis Niki ring dije dados Panggih ty..tyang keturunan pangeran kapal Ida I dewa Bukian taler sane dados begawan dalem kapal..indik diduur wawu ditulis dan dikatakan keturunan pangeran kapal dan Pangerang beribgkit wafat..Nike Ten patut.. indik sebab akibat terjadinya perang beribgkit kapal karena salah paham antara perjodohan..dan yang memberikan pangeran kapal Siwa krana adalah keturunan Mengwi yg membunuh pertanda wanasara digriya wanasara Bongan dan dikutuklah 7 keturunan akan punah dipuri mengwi..indik merajan Griya agung karang suwung dan pegedokan jaran gadang milik pangeran kapal masih ada secara nyata..bahkan ini yg harus diluruskan..mengapa keturunan dari pangeran kapal dados bagawanta Puri dimengwi diatas griya" yg ada dikapal..bukti fisik ini dan tertulis di batu nisan puri sading..sebaiknya sebelum menulis ada baiknya kita bertanya kepada penglingsir yg tau akan sejarah ini..
BalasHapusAmpura Tu Aji,
BalasHapusMungkin punya sejarah patih" Kerajaan mengwi, mohon dishare :)
sebelum perang Badung-Mengwi, Leluhur ty ring Jero Gede sebelah Banjar kangin Sempidi, mangkin ty di Jero Banjar sempidi Abiansemal
ingin tahu saja, apakah Puri pemecutan punya Museum yang menyimpan senjata dan lontar" jarahan perang dengan Sempidi (mengwi) dan jika ada apakah dibuka untuk umum? ty hanya penasaran dengan peninggalan leluhur ty dijaman dahulu
Om swastiastu ratu aji. Sinampura dahat ttyng saking Tabanan ( salah satu desa Sane nampek ring wilayah penebel) ttyng jaga metaken kdik. Kocap dari cerita turun temurun leluhur ttyng. Leluhur ttyng mawiwit saking desa penarungan Mengwi pindah ke Tabanan, ring sanggah gede keluarga ttyng ring Tabanan, Wenten Pelinggih penyawangan pura puseh / desa, desa pengarungan, LAN nyabran tetoyan ring pura puseh,LAN Desa, desa penarungan, leluhur ttyng saking dumun ngantos mangkin pedek Tangkil ring ke pura puseh penarungan, pikatekn ttyng, yaning ratu aji uning, napi Wenten kisah panjak desa penarungan pindah ke Tabanan khususnya ke Tabanan Utara sampai ke penebel ? Suksma
BalasHapus