GRUBUG AGUNG DI PESISIR TIMUR
KERAJAAN MENGWI
Tokoh Sakti Ki Balian Batur
Dikisahkan sekitar awal
tahun 1700 M ada seorang termashyur kesaktiannya tentang ilmu hitam keturunan Sengguhu
Bintang Danu, bertempat tinggal di dusun Teledunginyah, di sebelah Barat
desa Cau bernama Ki Balian Batur. Mempunyai asrama di desa Ketegan dan di desa
Alas Rangkan. Sosok Ki Balian Batur seorang lelaki berambut panjang, dengan
kebiasaan apabila mencuci rambutnya pergi ke Alas Rangkan untuk
mengeringkannya. Ki Balian Batur banyak mempunyai sisya (murid), salah
satu muridnya yang terkemuka adalah I Gede Mecaling.
Merasa telah matang
memberikan ilmu kepada murid-muridnya, Ki Balian Batur memerintahkan semua
muridnya melakukan penyerangan terhadap kekuasaan kerajaan Mengwi dibawah
rajanya I Gusti Agung Putu yang juga bergelar Cokorda Sakti Blambangan.
Murid-murid Ki Balian Batur mulai melakukan penyerangan di pesisir Timur
kekuasaan kerajaan Mengwi , dengan menciptakan epidemi (grubug). Banyak
rakyat Mengwi yang seketika sakit dengan gejala-gejala muntaber dan berkahir
dengan kematian tanpa putus-putusnya.
Mengetahui hal itu I Gusti
Agung Putu menjadi murka, seketika itu beliau memerintahkan laskar Mengwi
menyerang dusun Teledunginyah di bawah Panglima Ki Bendesa Gumiar. I Gusti Agung
Putu beserta laskar Mengwi kebingungan menghadapi lawan yang bersifat gaib.
Akhirnya terdengarlah suara di angkasa, yang memberitahukan I Gusti Agung Putu.
Bahwa Ki Balian Batur hanya dapat ditundukkan oleh orang keturunan Dhalem
dengan senjata bedil Ki Narantaka dan peluru Ki Selisik.
I Gusti Agung Putu segera berangkat ke istana
Smarajayapura Klungkung menghadap Dewa Agung Jambe, serta memberitahukan maksud
kedatangannya. Dewa Agung Jambe berkenan memberikan Ki Narantaka dengan
peluru Ki Selisik, tetapi mengutus Puteranya Dewa Agung Anom untuk
melaksanakan tugasnya membunuh Ki Balian Batur beserta para sisyanya.
Dalam Persiapan penyerangan Dewa Agung Anom dibuatkan asrama di desa Rangkan.
Singkat cerita Dewa Agung
Anom melaksanakan tugas dengan baik. Dengan tidak membuang kesempatan, beliau
mengangkat bedil Ki Narantaka dan menembak kan peluru Ki Selisik
tepat mengenai kuku ibu jari Ki balian Batur, tembus sampai ke kepalanya. Ki
Balian Batur akhirnya gugur dengan meninggalkan pesan agar sebagian wilayah
Mengwi diberikan kepada Dewa Agung Anom sebagai balas jasa kepada I Gusti Agung
Putu. Apabila tidak maka sukma Ki Balian Batur tidak akan henti-hentinya
membuat grubug di bumi Mengwi.
I Gede Mecaling
Setelah
mendengar pesan dari Ki Balian Batur, I Gusti Agung Putu berangkat Ke
Smarajayapura Klungkung memohon agar Dewa Agung Anom diperkenankan tinggal di
Baturan, di desa Timbul menjadi pacek menduduki wilayah Mengwi dengan
batas-batas: Utara sampai pegunungan Batur, Selatan sampai di laut, Timur sampai
di sungai Ayung, dan Selatan sampai di sungai Pakerisan. Permohonan Anglurah
Mengwi ini juga dikabulkan oleh Dewa Agung Klungkung.
Adapun perjalanan beliau
didampingi oleh beberapa orang, diantaranya terdapat tenaga yang cukup mahir,
seperti:
1. I Dewa Babi, ahli di bidang
ilmu pengiwa dan penengen
2. Kyai Batu Lepang, mahir di
bidang politik dan strategi
3. Ki Pula Sari, ahli di bidang
upakara
Diceritakan sekarang salah seorang murid terkemuka
Ki Balian Batur bernama I Gede Mecaling, anak ke empat dari Dukuh Jumpung yang
tinggal di Tegallinggah Banjaran Jungut, di desa Baturan. I Gede Mecaling
memiliki sifat usil suka mengganggu orang yang datang ke desa Baturan dengan
menggunakan kedigjayaan ilmu hitamnya.
Dewa Agung Anom mendengar
hal tersebut memerintahkan kepada Dewa Babi dan Kyai Batu Lepang untuk
menuntaskan membebaskan bumi Timbul dari ilmu hitam. Singkat cerita Dewa Babi
dan I Gede Mecaling sepakat mengadu kesaktian, dengan menggunakan sarana Babi
Guling. Ada dua pilihan tali, yaitu tali benang dan tali kupas (tali
dari pohon pisang). Dewa Babi memilih tali benang dan I Gede Mecaling memilih
tali kupas. Kaki belakang dan depan babi guling diikat lalu dipanggang
sampai matang. Dewa Babi dan I Gede Mecaling sama – sama memusatkan pikiran,
ternyata tali kupas putus sebelum Babi Guling matang. Berarti ini
merupakan kekalahan I Gede Mecaling dan harus pergi meninggalkan bumi Timbul
sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Sebelum memenuhi perjanjian tersebut I
Gede Mecaling menuju ke suatu tempat untuk meninjau daerah yang akan dituju.
Tempat untuk melihat atau meninjau daerah yang akan dituju disebut Peninjoan
sekarang. Dari tempat ini I Gede Mecaling melihat daerah tujuannya yaitu: desa
Jugut Batu, Nusa Penida.
BERDIRINYA KERAJAAN
DHALEM SUKAWATI
Sri Aji Maha Sirikan Raja Sukawati I 1710 – 1745 M
Setelah dipastikan berkuasa di
bagian Timur wilayah kerajaan Mengwi, maka untuk selanjutnya ditentukan lokasi
istana untuk Dewa Agung Anom. Lokasi kerajaan ditentukan di Baturan (Batuan
sekarang) yang terletak di desa Timbul. Istana terletak di depan pasar Timbul
yang selesai dibangun pada tahun 1710 M, bernama Puri Grokgak, sekitar
27 km ke Selatan Smarajayapura. Setelah Puri Grokgak selesai dibangun, Dewa
Agung Anom Sirikan pindah dari pesramannya menempati Puri Grokgak. Bersamaan dengan itu dibangun pula Pemarajan
yang bernama Pura Penataran Agung sekarang. Semenjak pemerintahan beliau,
rakyat desa Timbul bersukahati, oleh karena itu desa Timbul lama-lama berubah
menjadi Sukahati (Sukawati sekarang). Beliau diberi gelar Sri Aji
Maha Sirikan, Sri Aji Wijaya Tanu, atau lumrah disebut Dhalem
Sukawati.
Menyadari diri masih muda, pada
awal pemerintahannya Dewa Agung Anom menginginkan beberapa pusaka yang masih
berada di istana Smarajayapura Klungkung. Tetapi beliau kecewa karena tidak
semua kehendaknya dipenuhi oleh kakaknya Dewa Agung Klungkung. Beliau hanya
diberi pusaka berupa ikat pinggang bernama Ki Pengasih Jagat dan rakyat
sebanyak 200 orang.
Suatu ketika pada Purnama
katiga beliau pergi ke pantai Air Jeruk melakukan yoga semadi memuja Bhatara
Segara. Dalam semadinya, beliau
dianugrahi pusaka berupa tombak yang kemudian disebut Ki Segara
Anglayang. Pantai tempat beliau menerima anugrah disebut Pantai Purnama
sekarang.
Dewa Agung mengambil isteri
dari Mengwi bernama I Gusti Agung Ayu Muter. Setelah wafat distanakan di Pemerajan
Agung Pura Penataran Sukawati pada pelinggih Meru tumpang 3, dengan
gelar Bhatari Mutering Jagat. Dari padmi ini menurunkan 3 orang
putera, yaitu: Ida I dewa Agung Jambe, Ida I Dewa Agung Karna, dan Ida I Dewa
Agung Mayun. Dari penawing beliau menurunkan 2 putera, yaitu: I Dewa
Bubunan, dan I Dewa Cangi.
Dewa Agung Gede Mayun Raja II Sukawati 1745 – 1770 M
Setelah
lanjut usia Dewa Agung Anom wafat, beliau distanakan di Pemerajan Agung Pura
Penataran Sukawati pada pelinggih Meru Tumpang 7. Beliau digantikan
oleh puteranya yang ke 3 Dewa Agung Gede Mayun, yang masih menempati istana
Grokgak Puri Agung Sukawati. Putera sulung Dewa Agung Jambe tidak berniat
menjadi raja, beliau melakukan diksa menjadi pendeta, dan pindah
mendirikan Puri di Geruwang (Guwang sekarang).
Dewa Agung Karna menggelar brata
nyukla Brahmacari, serta pindah mendirikan Puri di Ketewel. Dengan
kekuatan semadinya beliau berhasil menciptakan Tapel Widyadari, yang
konon beliau saksikan di Indraloka. Tempat beliau melakukan yoga semadi di Pura
Payogan Siwa Agung Ketewel sekarang. Tapel Bidadari hasil semadi Dewa Agung
disimpan juga di Pura ini sampai sekarang.
Dewa Agung Gede mengambil
isteri juga dari Mengwi, yaitu saudara dari I Gusti Agung Putu, menurunkan 2
orang putera, yaitu: I Dewa Agung Gede dan I Dewa Agung Made. Sedangkan dari
isteri lain menurunkan putera: Cokorda (Cok) Karang, Cok Anom, Cok Ngurah
Tabanan, Cok Gunung, Cok Tiyingan, Cok Ketut Segara, Cok Tangkeban, Cok
Langgeng, dan Cok Istri yang kemudian diperisteri oleh Dewa Manggis Geredeg di
Puri Agung Gianyar.
Setelah memasuki usia lanjut
Dewa Agung Gede membuat tempat peristirahatan di desa Petemon sekitar 15 km di
sebelah Timur Laut dari Puri Agung Sukawati. Di tempat inilah beliau
menghabiskan waktunya untuk beristarahat sebelum ajal tiba, oleh karenanya
beliau diberi gelar Sri Aji Petemon. Beliau sangat menyayangkan kedua
puteranya Dewa Agung Gede dan Dewa Agung Made tidak ada kecocokan. Pada
saat-saat akhir sebelum wafat kedua puteranya ini tidak ada yang datang
mendengarkan pesan-pesan terakhir ayahnya. Hanya ada menantu beliau Dewa
Manggis Geredeg yang mendengar
pesan-pesan beliau.
PEREBUTAN KEKUASAAN
DI KERAJAAN DHALEM SUKAWATI
Dewa Agung Gede Raja III Sukawati 1770 – 1790 M
Setelah
Sri Aji Petemon wafat, sementara Dewa Agung Gede dan Dewa Agung Made tidak ada
kecocokan, pusaka-pusaka diambil oleh Dewa Manggis Api dibawa ke Puri Gianyar.
Adapun pusaka-pusaka tersebut antara lain:
1.
Ki Pengasih Jagat, berupa ikat pinggang
pemberian dari Dewa Agung Gede Klungkung
2.
Lontar Ki Pengeraksa Bhuwana
3.
Ki Penempur Satru atau Ki bajra Narasinga,
berupa ibu jari dengan kuku panjang
4.
Ki Mustika Manik Amrayascita, berupa mirah
bersinar 9 warna
Terjadi perselisihan 2
bersaudara antara Dewa Agung Gede dan Dewa Agung Made. Dewa Agung Made
menghendaki kerajaan dibagi 2, namun ditolak oleh Dewa Agung Gede. Perseteruan
ini membuat rakyat jadi berpihak-pihak.
I Gusti Ngurah Padang Tegal
memihak Dewa Agung Gede, sedang I Gusti Made Taman memihak Dewa Agung Made.
Terjadi perang hebat antara laskar Padang Tegal dan laskar Taman. Pasukan
Dhalem Sukawati datang utnuk mendamaikan perang tersebut. Laskar Padang Tegal
lari ke tempat yang sekarang disebut desa Punggul, sementara laskar
Taman lari ke tempat yang sekarang di sebut desa Taman. Untuk menjaga
keamanan, Dewa Agung Gede memutuskan untuk menempatkan adik-adiknya, seperti:
1.
Cokorda Ngurah Tabanan, tinggal di Peliatan
2.
Cokorda Tangkeban, tinggal di Ubud
3.
Cokorda Gunung, tinggal di Petulu
4.
Cokorda Tiyingan, tinggal Gentong.
Dewa Agung Made Pergi Ke Badung
Merasa
keamanan beliau terancam Dewa Agung Made memutuskan untuk pergi meninggalkan
Puri Agung. Beliau disertai saudara-saudaranya, seperti: Cok Agung Karang, Cok
Anom dan Cok Ketut Segara. Turut serta para istri dan putera-puterinya: Dewa
Agung Batuan, Cok Putu Kandel, Cok Made Kandel, Cok Raka, Cok Anom Perasi, dan
Cok Istri Raka. Berkat bantuan saudaranya beliau berhasil membawa pusaka Tombak
Ki Segara Anglayang, yang sampai sekarang tersimpan di Puri
Agung Peliatan.
Perjalanan beliau sampai di
bumi Badung disambut oleh penguasa Badung Kyai Jambe Tangkeban. Antara Dewa
Agung Made dengan Kyai Jambe Tangkeban masih ada hubungan kelab. Selama
di bumi Badung Kyai Tangkeban memberi pelayanan yang memuaskan kepada Dewa
Agung Made, sehingga salah seorang puteri Puri hamil. Bayi yang dikandung ini
kemudian menurunkan parati sentana di Puri Jero Kuta, yang berhak
menggunakan upacara kebesaran seperti Dewa Agung Klungkung, dan Dewa Agung
Sukawati.
Setelah beberapa lama Dewa
Agung Made tinggal di kediaman Kyai Tangkeban, beliau disarankan agar menuju ke
Mengwi bertemu dengan pamannya untuk membicarakan masalah ini. Saran Kyai Jambe
Tangkeban diterima, Dewa Agung Made berangkat menuju Puri Mengwi.
Dewa Agung Made Pindah ke Mengwi
Kedatangan
Dewa Agung Made di Mengwi disambut terharu oleh penguasa Mengwi I Gusti Agung
Putu. Dewa Agung Made diberikan tempat yang dinamakan Puri Dhalem.
Sedangkan kakaknya Cokorda Karang diberi tempat di Puri Mambal, dan
Cokorda Ketut Segara diberi tempat di Puri Sangeh.
Suatu
hari Raja Mengwi I Gusti Agung Putu bersurat kepada Dewa Agung Gede untuk
mempertimbangkan dengan matang keinginan Dewa Agung Made. Surat itu dibalas
oleh Dewa Agung Gede. Setelah membaca surat balasan tersebut I Gusti Agung Putu
merasa tersinggung karena dituduh memihak Dewa Agung Made. Dalam surat itu pula
Dewa Agung Gede menuduh Dewa Agung Made mencuri Pusaka kawitan tombak Ki
Segara Anglayang untuk membunuh dirinya.
Oleh
karena sudah tidak ada jalan lain lagi untuk berdamai, maka mulai dilakukan
persiapan perang oleh Dewa Agung Made di Mengwi untuk merebut dan membagi 2
kerajaan. Bala bantuanpun didatangkan, laskar Badung direncanakan menyerang
dari Selatan di bawah pimpinan I Gusti Munang dari Jro Gerenceng, dengan
ketentuan desa-desa yang ditaklukkannya menjadi daerah kekuasaan Badung. Dari
Barat laskar Mengwi dan Mambal dibawah pimpinan Cokorda Karang. Dari Utara
laskar Mengwi dan Sangeh, dibawah pimpinan Dewa Agung Made dan Cokorda Ketut
Segara. Demikian setelah persiapan mantang mulai dilakukan penyerangan dari
ketiga arah: Selatan, Barat, dan Utara.
I Gusti Munang Menduduki Istana Dhalem Sukawati
Laskar
Dewa Agung Made dan Cokorda Ketut Segara hanya bisa tembus sampai di desa
Tegallalang, karena di desa Gentong pertahanan Cokorda Tiyingan sangat kuat,
demikian juga pertahanan Cokorda Gunung di desa Petulu.
Untuk sementara Dewa Agung Made
membuat Puri di desa Tegallalang 1765 M, yang nanti akan diceritakan lebih
jauh. Dewa Agung Karang hanya bisa sampai di desa Padang Tegal karena pertahan
Ubud sangat kuat di bawah pimpinan Cokorda Tangkeban dan di desa Peliatan di
bawah pimpinan Cokorda Ngurah Tabanan. Untuk itu beliau mambuat Puri di Padang
Tegal.
Sedangkan
penyerangan dari Selatan berhasil dengan gemilang. Laskar pelopor Badung di bawah pimpinan I Gusti Munang, langsung
menuju pusat pemerintahan Sukawati. Dewa Agung Gede kaget langsung mengungsi ke
desa Tojan di rumah I Gusti Ngurah Jelantik. Tempat tinggal laskar pelopor
Badung terletak di sebelah Selatan Puri, sehingga di Sukawati ada tempat yang
bernama Pemecutan. Sesuai dengan perjanjian I Gusti Munang menduduki
istana Puri Agung Sukawati. Hal ini membuat keluarga Dhalem Sukawati merasa
tidak senang meskipun dibantu dalam pembebasan kerajaan Sukawati. Mereka
mengkuatirkan akan kelestarian Pemerajan Agung Pura Penataran
Dhalem Sukawati. Selain itu memang semestinya yang menduduki tahta Dhalem
Sukawati adalah warih dari Dewa Agung Anom Sirikan, pendiri kerajaan
Dhalem Sukawati.
I Gusti Munang Digulingkan
Menyadari
hal itu, Dewa Agung Made mengadakan perundingan dengan kakak adik beliu,
seperti: Cokorda Ngurah Tabanan dari Puri Peliatan, Cokorda Tangkeban dari Puri
Ubud, Cokorda Gunung dari Petulu, dan, Dewa Agung Karang, dari Puri Padang
Tegal. Hasil dari perundingan itu, Dewa Agung Made pindah dari Puri Tegallalang
ke Puri Peliatan tahun 1775 M. Puri Tegallalang diserahkan kepada adiknya
Cokorda Ketut Segara. Dewa Agung Karang pindah dari Padang Tegal ke Tapesan
(Negara sekarang), untuk mempengaruhi rakyat di sana.
Sebelum pindah Dewa Agung
Karang sempat bersemadi di Pura Dalem Padang Tegal. Beliau dinugrahi pusaka Ki Bintang Kukus. Berkat
keuletan Dewa Agung Karang banyak rakyat Sukawati menolak perintah I Gusti
Munang. Sementara itu, Dewa Agung Gede akan segera dipulangkan dari tempat
pengungsian beliau di Tojan.
Adalah
seorang sahaya yang bernama I Wayan Tebuana meninggalkan Sukawati menghamba ke
Negara kepada Dewa Agung Karang. Mendengar hal itu I Gusti Munang mengutus I
Dewa Kaleran ke Negara. Dewa Kaleran bertemu dengan Dewa Agung Karang. Mereka
ternyata sepakat untuk merahasiakan hubungannya dan setuju untuk mengembalikan
Sukawati diperintah oleh putera Dhalem.
Saatnya tiba
Kulkul bersuara bulus, rakyat Sukawati keluar bersenjata lengkap.
Dengan sorak sorai bergemuruh di bawah pimpinan Dewa Kaleran memberontak
kekuasaan I Gusti Munang. Perkampungan orang-orang Pemecutan dibakar habis,
sehingga banyak jatuh korban di pihak Pemecutan. I Gusti Munang dapat
meloloskan diri. Setelah sampai di seberang tukad Wos I Gusti
Munang angregep sika. Berkat kesaktiannya mucullah air bah tukad Wos,
menghalangi rakyat Sukawati mengejar I Gusti Munang bersama pengikutnya. Sejak
itu tukad Wos berganti nama tukad Cengcengan, sebab
I Gusti Munang berasal dari Gerenceng.
KEMBALINYA PUTERA PEWARIS
KERAJAAN SUKAWATI
Pemerintahan Kolektif
Setelah situasi dapat dipulihkan Dewa Agung Gede didaulat
untuk menduduki tahta Puri Agung Sukawati, sementara Dewa Agung Made beristana
di Puri Agung Peliatan. Namun Dewa Agung Gede tidak suka beristana di Puri
Agung, beliau mendirikan Puri baru di sebelah Timur Puri yang lama. Sebagai
tanda hubungan yang baik antara Dewa Agung Gede dan Dewa Agung Made, salah
seorang putera dari Dewa Agung Made yang bernama Dewa Agung Mayun yang beribu
dari Pejeng dititahkan untuk mekandelin Dewa Agung Gede.
Putera-putera Dewa Agung Made yang lain seperti:
Cokorda Putu Kandel mendirikan Puri Mas (sebelum ke Ubud), Cokorda Raka berpuri
di Bedulu, dan Cokorda Perasi berpuri di Keliki Tegallalang. Sedangkan Dewa
Agung Batuan tinggal bersama ayahnya di Puri Agung Peliatan. Adapun putera dari
Dewa Agung Gede bernama Dewa Agung Ratu membuat Puri di sebelah Barat Pura
Penataran Agung, di sebelah puri Kaleran.
Demikianlah kerajaan Sukawati diperintah secara kolektif
oleh 2 saudara dari 2 Puri, Puri Agung Sukawati dan Puri Agung Peliatan, Dewa Agung Gede dan Dewa Agung Made beserta
dengan para putera. Setelah berdua sama – sama lanjut usia Dewa Agung Gede
wafat, kemudian tidak lama disusul oleh Dewa Agung Made.
Dewa Agung Putera Dibunuh
di Mengwi
Setelah wafatnya Dewa Agung Gede dan Dewa Agung Made,maka
kedudukan beliau digantikan oleh para putera-puteranya. Dewa Agung Batuan
bertahta di Puri Agung Peliatan, dan Dewa Agung Putera bertahta di Puri Agung
Sukawati.
Angin fitnah berhembus,
Dewa Agung Putera yang bertahta di Puri Agung Sukawati dituduh memperkosa
isteri dari Dewa Agung Mayun, dituduh tidak waras, tidak cocok menjadi raja.
Demikianlah fitnah tersebut semakin hari semakin santer.
Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan Dewa
Manggis di Puri Gianyar menawarkan Dewa Agung Putera pindah ke Gianyar. Tetapi
setelah berada di Gianyar, Dewa Manggis merasa tidak nyaman, lalu mengajak Dewa
Agung Putera ke Puri Mengwi. Dewa Agung Putera mengerti maksud Dewa Manggis,
dan beliaupun bermaksud melepas keduniawian untuk mencapai Nirwana.
Akhirnya belakangan Dewa Agung Putera menyadari
semua ini adalah akibat dari rekayasa Dewa Agung Batuan. Dewa Agung ditikam di setra
Mengwi oleh Dewa Elot utusan dari Dewa Manggis Jorog dari Puri Gianyar. Sukma
dari Dewa Agung Putera distanakan di pelinggih Meru Tumpang 3 di Pura
Gunung Lebah Campuan Ubud.
Setelah wafatnya Dewa Agung Putera, tersiar lagi fitnah
yang menyatakan adik Dewa Agung Putera akan membalas dendam kepada Dewa Agung
Batuan. Menanggapi berita tersebut, Dewa Agung Batuan mengusir Dewa Agung Ratu
serta isteri dan anak-anak dan cucunya yang masih bayi ke Lombok. Namun baru
sampai di Klungkung dicegat oleh Dewa Agung Klungkung, yang menaruh kasihan
karena masih bayi sudah menerima hukuman. Dewa Agung Klungkung menitahkan agar
bayi itu dikembalikan ke Sukawati. Bayi ini setelah besar bernama Cokorda
Samba, putera dari Cokorda Raka, cucu dari Dewa Agung Ratu, yang kemudian menurunkan para Agung di Puri
Kaleran Sukawati.
Perwalian dan Racun
Fitnah
Diceritakan sekarang Dewa Agung Batuan setelah lanjut
usia menderita sakit-sakitan, dan wafat tahun 1820 M. Putera beliau yang beribu
puteri dari Dewa Manggis Geredeg, adik dari Dewa Manggis Jorog masih kecil.
Atas prakarsa Dewa Manggis Jorog, maka para semeton Puri Agung Peliatan
menyetujui Cokorda Raka di Puri Bedulu pulang menjadi wali di Puri Agung
Peliatan.
Berselang beberapa lama Cokorda Raka menjadi wali,
bertahta di Puri Agung Peliatan, berhembuslah angin fitnah yang menyatakan
beliau hendak memperisteri ipar beliau, yaitu janda Dewa Agung Batuan. Beliau
lalu diusir ke Klungkung, kemudian pindah ke Bangli untuk menjaga keamanan
beliau. Sementara Puri beliau di Bedulu dikuasai oleh Dewa Manggis Jorog.
Demikian juga adik beliau Cokorda Putu Kandel di Mas, dikuatirkan membalas
dendam diusir.
Beliau pergi ke desa Lebih kemudian pindah ke desa
Tumbak Karsa wilayah Tegallalang. Sementara Purinya di Mas diserahkan oleh Dewa
Manggis Jorog kepada Cokorda Nagi dari Guwang. Dengan demikian kembali tathta
Puri Agung Peliatan kosong. Atas kesepakatan antara para Manca dan Perbekel
didaulat Cokorda Anom Perasi adik tiri Dewa Agung Batuan. Cokorda Anom Perasi
tidak lama menjadi wali karena juga tidak luput dari fitnah dituduh membunuh
keturunan Dewa Agung Batuan, agar keturunan beliaulah yang berkuasa.
Dewa Agung Mayun Raja
Terakhir Sukawati
Sementara itu Dewa Agung Mayun, putera almarhum Dewa
Agung Made yang ditugasi oleh ayahnya mekandelin (mendampingi) Puri
Agung Sukawati tinggal seorang diri. Menilik dari waris Purusa
sebenarnya memang berhaklah beliau menduduki tahta Sukawati, apalagi tahta
Peliatan, karena Dewa Agung Batuan adalah kakak beliau, sama-sama putera dari
Dewa Agung Made.
Beliaupun tidak luput dari berita fitnah, dituduh
mengganggu isteri – isteri bawahan dan tuduhan – tuduhan lainnya yang lebih
keji, yang membuat beliau merasa malu. Beliau akhirnya pergi dari bumi Sukawati
menuju daerah Pecatu, Jimbaran. Di Pecatu beliau mempunyai putera yang diberi
nama Anak Agung Gede Pecatu. Dari Pecatu beliau pindah ke Klungkung menghamba
kepada Dewa Agung Klungkung. Dengan demikian Dewa Agung Mayun adalah raja
terakhir di Puri Agung Sukawati.
Pengisian Kekosongan
Untuk mengisi tahta Puri Agung Sukawati, Dewa Manggis
Jorog menitahkan putera beliau Dewa Made Rai, yang kemudian diganti oleh Dewa
Gede Oka cucu dari Dwa Manggis Jorog. Sementara itu Cokorda Putu Kandel yang
bersembunyi di desa Tumbak Karsa Tegalllalang disuruh kembali pulang dan
kesalahannya diampuni. Cokorda Putu
Kandel bersedia pulang, beliau berkedudukan di Ubud. Sedangkan di Puri Agung
Peliatan diisi oleh Dewa Agung Jelantik putera dari Dewa Agung Batuan pada tahun
1823 M, yang dinikahkan dengan salah seorang puteri dari I Gusti Ngurah
Jelantik dari Blahbatuh.
Dewa Agung Jelantik memerintah dalam keadaan terjepit oleh dominasi Dewa
Manggis dari Gianyar. Beliau wafat dalam usia muda tahun 1835 M, meninggalkan 2
orang putera laki-laki yang masih kecil, yaitu: Dewa Agung Bungbungan beribu
dari permaisuri puteri Blahbatuh, dan Cokorda Rai beribu dari penawing.
Dewata Mantuk Ring Bale
Tengah
Setelah kedua orang putera Dewa Agung Jelantik cukup
dewasa, masing-masing angalap rabi. Dewa Agung Bungbungan beristrerikan
puterinya Dewa Manggis Rangki, sedangkan Cokorda Rai beristerikan puterinya
Dewa Kendran. Tidak diketahui sebabnya, Cokorda Rai mendapat hukuman selong
dibuang ke Nusa Penida sampai wafat di sana. Isterinya Dewa Ayu Kendran mesatya
sewaktu pelebon suaminya.
Dewa Agung Bungbungan nampak kebingungan setelah
peristiwa ini, sering beliau termenung, tiada nafsu makan, kadang-kadang marah
tanpa sebab. Pada suatu hari beliau marah tanpa sebab hingga memuncak sampai
membunuh neneknya di Puri Gianyar. Kemudian beliau pulang dari Puri Gianyar ke
Puri Peliatan. Dalam perjalanan beliau sempat memutuskan jembatan sungai
Petanu, dan langsung ke Puri menuju Balai Tengah. Kemudian dengan keris
terhunus penuh dengan darah, beliau memanggil patih Dewa Gede dari Banjar Bucu
Peliatan, seraya menitahkan agar menikam diri beliau dengan keris tersebut.
Patih Dewa Gede Banjar bucu dengan berat hati melaksanakan tugas tersebut. Dewa
Agung Bungbungan akhirnya wafat di Balai Tengah tahun 1850 M.
Sampai generasi ini, Puri Gianyar mendominasi Puri
Agung Sukawati dan Puri Agung Peliatan, menggeser kedudukan putera – putera
keturunan Sri Aji Maha Sirikan, pendiri kerajaan Dhalem Sukawati.
PERISTIWA
DI PURI
TEGALLALANG
Dewa Agung Made Raja I
Tegallalang 1765 – 1770 M
Seperti diceritakan di depan, Puri dan Pemerajan
Penataran Agung Tegallalang didirikan oleh Dewa Agung Made tahun 1765 M,
sebagai persimpangan Pura Penataran Agung di Sukawati. Sementara Puri
dibangun sebagai persiapan untuk bersama-sama menyerang Dewa Agung Gede di Puri
Agung Sukawati. dari 3 jurusan. Dari
Selatan laskar Badung dipimpin oleh I Gusti Munang dari Jero Gerenceng, dari
Barat laskar Mambal dipimpin oleh Cokorda Karang, dan dari Utara dipimpin oleh
Dewa Agung Made dan Cokorda Ketut Segara.
Laskar gabungan ini berhasil mengalahkan laskar
Sukawati yang dipimpin oleh Dewa Agung Gede. Dewa Agung Gede melarikan diri ke
desa Tojan di bawah perlindungan I Gusti Ngurah Jelantik. Tetapi keberhasilan
ini mengecewakan Dewa Agung Made, karena yang menduduki Puri Agung Sukawati
adalah I Gusti Munang, bukan keturunan pewaris kerajaan Sukawati. Oleh sebab
itu Dewa Agung Made merencanakan merebut Puri Agung Sukawati. Dalam persiapan
merebut kembali Puri Agung Sukawati dari I Gusti Munang, Dewa Agung Made
mendirikan Puri Agung Peliatan. Beliau kuatir akan kelestarian Pemerajan
Agung Pura Penataran Sukawati.
Cokorda Ketut Segara Raja
II Tegallalang 1770 – 1790 M
Setelah berhasil mengusir I Gusti Munang dari Puri Agung
Sukawati, Dewa Agung Made membagi wilayah kekuasaan menjadi 2. Baliau memanggil
adiknya Cokorda Ketut Segara dari Sangeh untuk menempati Puri Agung
Tegallalang, dan menyarankan agar melanjutkan pembangunan Pura Duwur Bingin
tempat beliau bersemadi bersama-sama panjak tatadan, seperti: Ki
Pulasari, Gde Tebuana, Pasek manik Mas, Pande dan lain-lain.
Mula – mula Cokorda Ketut Segara merasa resah menerima
tugas sebagai penguasa tunggal di
Tegallalang, karena daerah Tegallalang merupakan kawasan angker, yang sering
dipergunakan untuk adu kesaktian ilmu hitam. Menyadari hal itu Dewa Agung Made
memberikan sebuah cincin bertuah warna putih yang bernama Tri Pujangga Sakti,
yang berkhasiat menolak gering, dan pengasih jagat.
Dewa Agung Made berhasrat besar melanjutkan pembangunan Pura
Duwur Bingin. Beliau tangkil ke Batur untuk mohon anugrah Bhatara
Ulun Danu Batur. Setelah beliau mohon tirta pakuluh, Dewa Agung Made
kembali ke Puri Tegallalang. Pada saat tirta tersebut diambil oleh seorang pemangku,
ditemui sebuah permata Mirah Bolong pada sangku tirta tersebut.
Permata Mirah Bolong tersebut kemudian dijadikan sebagai Pretima
yang tersimpan di Pelinggih Gedong sampai sekarang.
Cokorda Gde Ngurah Raja
III Tegallalang 1790 M
Cokorda Ketut Segara mempunyai putera 2 orang. Yang
sulung bernama Cokorda Gde Ngurah, menggantikan ayahnya, dan yang bungsu
bernama Cokorda Tangkas, dibuatkan istana di Yeh Tengah untuk mencegah
perebutan kekuasaan seperti Dewa Agung Gede dengan Dewa Agung Made. Di desa Yeh
Tengah Cokorda Tangkas dianugrahi 3 orang anak laki – laki; antara lain Cokorda
Alit, Cokorda Anom, dan Cokorda Rai. Cokorda Alit tetap bersama ayahnya,
sedangkan Cokorda Anom dan Cokorda Rai pindah ke Pejengaji dan menurunkan parati
sentana di sana.
Cokorda Gde Ngurah menurunkan 2 putera; Cok. Anom Rambang
dan Cok Mesaji, yang menurunkan parati sentana di Puri Kawan Tanggu Peliatan
dan Puri sangeh Sukawati. Setelah Cokrda Gde Ngurah lanjut usia, beliau wafat
digantikan oleh puteranya Cokorda Anom Rambang.
Cokorda Anom Rambang Raja
IV Tegallalang Digusur 1822 M
Cokorda Anom Rambang adalah cucu dari Cokorda Ketut
Segara. Beliau digambarkan sebagai orang yang tegas, keras, berbadan tegap,
berkulit hitam, rambut ikal (kribo) dan kales (brewok). Pada jaman
pemerintahan beliau, desa Tegallalang mengalami masa keemasan. Belau taat
merawat beberapa pura, seperti: Pura Duwur Bingin, Pura Penataran Agung, Pura
Dalem Kelod, dan Pura Dalem Ngetut.
Pada hari Sukra – Umanis – Merakih, sekitar pk 20.00, waktu itu kebetulan piodalan
di Pemerajan Agung Tegallalang, datanglah laskar dari kerajaan Bangli
secara mendadak, dengan persenjataan lengkap. Cokorda Anom Rambang segera
melarikan diri ke arah Utara sampai di desa Tegal Suci dengan menunggangi kuda Oncer
Srawa. Setelah lama merenungkan nasibnya beliau akhirnya menyerahkan diri
kepada raja Bangli, dan menetap selamanya di Jro Pedunungan, Bangli
sekarang. Dengan demikian terjadi kekosongan di Puri Agung Tegallalang.
Atas kesepakatan antara Dewa Agung Jelantik dengan
Dewa Manggis Jorog, ditunjuk salah seorang cucu dari Dewa Manggis Jorog yang
bernama Dewa Anom Serean dari Puri Tulikup untuk menduduki tahta Puri Agung
Tegallalang, sebagai Raja V Tegallalang. Setelah tua dan wafat Dewa Anom Serean
digantikan oleh puteranya Dewa Made Rai Sana sebagai Raja VI Tegallalang.
Cokorda Putu Celuki Raja
VII Tegallalang 1890 M
Pada tahun 1890 diadakan perundingan penting di Pemerajan
Agung Puri Peliatan, yang dihadiri tokoh – tokoh dari Puri Ubud, Mengwi,
dan Kendran, untuk memanggil Dewa Made Rai Sana, dan menempatkan Cokorda Putu
Celuki putera sulung Dewa Agung Gde Agung Peliatan (Raja Peliatan IV) sebagai Pacek
di Puri Agung Tegallalang. Karena dikuatirkan nantinya akan ada serangan
balasan dari Cokorda Anom Rambang. Sementara itu putera – putera Dewa Made Rai Sana, yakni: Dewa Gde Ngurah
dan Dewa Rai Perit jauh sebelumnya sudah ditempatkan di Puri Sukawati.
Pada suatu hari, Cokorda Putu Celuki memberi ijin rakyat
Taro dari Proyek Pembangunan ruas jalan Pujung – Jasan – Tegal Suci dan seterusnya
karena ngaturang ayah piodalan di Pura Taro. Tersiar fitnah yang
menyatakan bahwa Cokorda Putu tidak mau mengawasi pembangnan jalan. Beliau
dipanggil ke Puri Gianyar untuk diminta tanggung – jawabnya. Tuan Kontrolir
(tidak disebut namanya) tidak percaya dengan alas an Cokorda Putu, dan
menyerahkan kepada Raja Gianyar Dewa Made Raka, untuk diberi hukuman duduk di
tempat atau kebengongan beberapa hari.
Menyadari adanya usaha – usaha untuk menyingkirkan
dirinya, Cokorda Putu secara ksatria mengundurkan diri dengan hormat sebagai
penguasa pada jaman Belanda pada akhir tahun 1917 M.
Dewa Anom Lasia Raja VIII
(Terakhir) Tegallalang
Kedudukan Cokorda Putu Celuki diganti oleh Dewa Anom
Lasia salah seorang keluarga Gianyar dari Jero Kelodan Tegallalang. Tetapi yang
bersangkutan juga tidak lama menjabat sebagai Punggawa karena mendapat hukuman selong
(buang) ke Negara sambil membawa kesenian Legong Keraton. Sejak itu
jabatan Punggawa Tegallalang tidak pernah diisi oleh putera keturunan Puri
Agung Tegallalang sendiri.
Tahun 1893 M Puri Agung Tegallalang masih utuh, sampai
gempa bumi tahun 1917 M menghancur – leburkan
Puri Agung. Cokorda Putu akhirnya wafat pada tahun 1918 M, setelah sakit
perut karena makan bubur sumsum persembahan dari luar Puri yang diduga keracunan.
Putera Cokorda Putu yang bernama Cokorda Gede Ngurah
pada tahun 1936 M membangun kembali Pemerajan Agung sekaligus mengadakan
upacara Ngenteg Linggih, serta Nuntun ulang dari Pemerajan
Kawitan di Peliatan. Pada upacara tersebut hadir pihak Puri Peliatan,
Ubud, dan Tegallalang. Sebelum upacara berlangsung terjadi insiden, dimana
beberapa keluarga Puri Tulikup yang tinggal di Puri Tegallalang memprotes agar
dibuatkan Pelinggih Ibu di Pelemahan Pemarajan Agung,
padahal sebelumnya tidak pernah ada pelinggih tersebut. Mereka mengancam
akan mengandeg karya apabila tuntutannya tidak dipenuhi. Cokorda Gede
Ngurah memenuhi tuntutan tersebut, dan upacara berlangsung sampai selesai.
Diselesaikan pada Buddha –
Kliwon – Gumbreg
Panglong ping 6, Sasih Ke
Wulu, Isaka 1926
Tanggal: 2 Pebruari 2005
Ida Bagus Wirahaji, SAg
Mohon pak, apakah bisa menjelaskan tentang kerajaan Prabhu Kalianget, sebelum Prabhu Kalianget dan sesudah jatuhnya Kalianget, beserta angka tahunnya. Suksma pak
BalasHapuspergilah kau
BalasHapus