BADUNG PADA
JAMAN
SUB DINASTI
JAMBE
(1750 – 1788
M)
Lahirnya Putera Utama
Kyai Ketut Bendesa
Untuk mengetahui asal-usul Kyai Jambe Merik, diceritakan
kembali tokoh Arya Kenceng yang
diberikan kekuasaan oleh Dhalem di daerah Tabanan (waktu itu istilah Tabanan
belum ada), mendirikan istana di desa Buwahan atau di Pucangan, mempunyai putera kandung, yang sulung bernama
Sri Maghada Prabu dan adiknya Sri Maghada Natha. Selain itu Arya Kenceng juga memiliki putera bernama Kyai Arya Tegeh Kori, seperti yang
diceritakan di depan. Putera sulung tidak berambisi menjadi raja, Sri Maghada
Natha menggantikan ayahnya menjadi raja dengan gelar Arya Ngurah Tabanan atau
Arya Pucangan.
Arya Ngurah Tabanan pernah diperintah oleh Dhalem untuk
mengamati situasi di kerajaan Wilatikta (Majapahit). Di sana beliau melihat
suasana yang kacau balau akibat
islamisasi. Setelah cukup mengatahui keadaan di Majapahit, Arya Ngurah Tabanan
pulang kembali ke Bali menghadap Dhalem di Gelgel untuk memberikan laporan.
Setelah memberikan laporan, Arya Ngurah Tabanan mendengar berita bahwa adiknya
(wanita) yang diperistri oleh Dhalem, diberikan lagi oleh Dhalem kepada Kyai
Asak di kapal keturunan Arya Kepakisan. Hal ini membuat Arya Ngurah Tabanan
merasa sedih, sakit hati, hingga meletakkan jabatan sebagai raja di Buwahan.
Tindakan Dhalem ini dinilai tidak menghargai persembahan Arya Ngurah Tabanan.
Putera sulungnya Kyai Ngurah Langwang menggantikan ayahnya menjadi raja yang
juga bergelar Arya Ngurah Tabanan dengan nama lain Arya Pucangan.
Setelah meletakkan jabatan Arya Ngurah Tabanan
meninggalkan keraton dan mendirikan sebuah pondok di tengah hutan yang disebut
Kubon Tingguh. Kubon Tinggoh adalah tempat berduka cita. Dalam kedukaan
tersebut beliau ditemani oleh putri Ki
Bendesa Pucangan hingga hamil. Lahirlah seorang putera utama yang diberi nama
Kyai Ketut Bendesa. Keutamaan Kyia Ketut Bendesa menimbulkan kecemburuan
kakaknya Arya Ngurah Tabanan yang bertahta di Buwahan. Segala macam daya upaya
dilakukan oleh Arya Ngurah Tabanan untuk mencelakakan adik tirinya Kyai Ketut
Bendesa, namun semua itu tidak pernah berhasil. Pernah Kyai Ketut Bendesa
disuruh untuk memangkas pohon Beringin yang tumbuh di Alun-alun Puri. Pohon Beringin
ini amat keramat dan ditakuti oleh semua orang karena amat angker. Tetapi tugas
ini berhasil dilaksanakan Kyai Ketut Bendesa dengan gemilang tanpa ada bahaya
apapun, sebagai bukti memang Kyai Ketut Bendesa adalah putera yang utama. Sejak
saat itu Kyai Ketut Bendesa diberi gelar Kyai Notor Wandira/Waringin.
Kyai Notor Wandira
Mendapat Anugrah Bhatari Danu
Setelah menginjak dewasa Kyai Notor Wandira
melakukan suatu perjalanan untuk mendapatkan keagungan dan kebesaran. Dalam
perjalanan beliau sampai di desa Tambiak, bertemu dengan seorang laki-laki
hitam, berambut merah, bergigi putih yang tidak tahu tentang dirinya sendiri. Oleh sebab itu dipungut sebagai sahaya oleh
Kyai Arya Notor Wandira yang kemudian diberi nama Ki Andagala atau Ki Tambiak.
Perjalanan diteruskan sampai ke puncak gunung Watukaru. Di sana beliau
bersemadi hingga mendapat wangsit agar perjalanan diteruskan ke Selagiri
(gunung Batur). Sampai di gunung Batur Arya Notor Wandira melakukan yoga
semadi, hingga akhirnya ada suatu penampakan yang menamakan diri Bhatari Danu.
Bhatari Danu memberi petunjuk ke arah Selatan yang terlihat Badeng
(gelap), Arya Notor Wandira agar menghadap Kyai Anglurah Tegeh Kori yang sedang
berkuasa, di sanalah tempat mendapat keagungan dan kebesaran. Arya Notor Wandira
dianugrahi pusaka berupa Tulup dan Pecut. Setelah mendapat
anugerah Bhatari Danu Batur Arya Notor Wandira dengan diiringi oleh Ki Tambiak
yang setia melanjutkan perjalanan ke arah Selatan seperti yang ditunjuk oleh
Bhatari Danu. Kata Badeng inilah yang kemudian jadi kata Badung.
Arya Notor Wandira
Menghamba Kepada Tegeh Kori
Diceritakan perjalanan Arya Notor Wandira sampai di
desa Lumintang, wilayah kekuasaan Kyai Anglurah Tegeh Kori, bertemu dengan Ki
Buyut Lumintang, salah seorang pemuka kerajaan. Setelah beberapa lama tinggal
di desa Lumintang Arya Notor Wandira diiringi Ki Buyut Lumintang bertemu dengan
Ki Mekel Tegal, untuk kemudian akhirnya menghadap Kyai Anglurah Tegeh Kori di
Puri Tegal. Pertemuan ini sangat mengharukan kedua pihak, karena antara Kyai
Tegeh Kori dan Arya Notor Wandira ada hubungan Paman – Ponakan. Arya Notor
Wandira menyatakan hasratnya untuk menghamba (mekandelin) pamannya di
bumi Badung. Kyai Tegeh Kori menyambut baik niat tersebut (versi lain lain:
Arya Notor Wandira kedharma putra oleh Tegeh Kori). Arya Notor Wandira
diberikan fasilitas tinggal di Badung dengan dibuatkan kediaman di dusun
Kerandan. Demikianlah Arya Notor Wandira tinggal di Badung dan menurunkan parati
sentana terus berkembang turun tumurun, yang kemudian keturunannya
membangun sebuah Pemerajan di Nambangan, yang dinamakan Pura Tambang
Badung sekarang.
Keturunan Arya Notor
Wandira di Kerajaan Tegeh Kori
Diceritakan sekarang seorang parati sentana
terkemuka dari dinasti Arya Notor Wandira bernama Kyai Bebed atau Kyai Jambe
Pule nama lain beliau adalah putera dari Kyai Papak. Meskipun kekuasaan berada
di tangan Kyai Anglurah Tegeh Kori XI, tetapi urusan sehari-hari pemerintahan
lebih banyak dijalankan oleh Kyai Jambe Pule, karena putera-putera dari Kyai
Tegeh Kori tidak mempunyai rasa tanggung jawab terhadap pemerintahan. Kyai
Jambe Pule lebih mendapat simpati di kalangan rakyat banyak. Oleh karena itu
ketika terjadi pertikaian yang disebabkan oleh kesalahan Kyai Tegeh Kori XI
membatalkan perkawinan puterinya dengan Kyai Jambe Merik putera Kyai Jambe
Pule, rakyat lebih banyak mendukung Kyai Jambe Pule. Kyai Jambe Pule dengan
dukungan rakyat memberontak dan menumbangkan kekuasaan Arya Tegeh Kori XI.
Kyai Jambe Pule mempunyai isteri terkemuka 3 orang.
Isteri pertama berasal dari keluarga Pucangan juga menurunkan putera utama Kyai
Ngurah Jambe Merik. Isteri yang ke dua berasal dari desa Tumbak Bayuh
menurunkan putera utama Kyai Ngurah Glogor. Isteri ke tiga berasal dari
Bebandhem menurunkan putera utama Kyai Nyoman Pemedilan, atau juga disebut Kyai
Ngurah Pemecutan I, juga Kyai Macan Gadhing nama lainnya. Ketiga Putera utama
dari Dinasti Arya Notor Wandira: Kyai Ngurah Jambe Merik, Kyai Ngurah Pemecutan
I, dan Kyai Ngurah Glogor inilah yang menerima warisan anugrah dari Bhatari
Danu.
Kyai Ngurah Jambe Merik diberikan tempat kedudukan di
Alang Badung, istananya bernama Puri Peken Badung (daerah Suci sekarang). Pemerajannya
bernama Pura Suci. Kyai Ngurah Glogor
diberi tempat kedudukan di Puri Glogor (di dekat Banjar Glogor sekarang). Kyai
Ngurah Pemecutan I diberi tempat kedudukan di Puri Pemecutan. Lokasi Puri
Pemecutan, di sebelah Selatan kuburan Badung, di sebelah Barat Pemerajan
Nambangan, di sebelah Utara Gerya Telabah, di sebelah Timur Jl. Thamrin
sekarang. Kyai Ngurah Pemecutan I sewaktu masih bayi ditinggal oleh ibunya,
beliau diasuh oleh Si Tunjung Gunung, termasuk juga Ki Andagala atau Ki
Tambiak.
Kyai Jambe Merik dan Kyai Pemecutan I pernah diutus
ke Dhalem Gelgel. Di Istana Gelgel terdapat
beberapa burung Gagak yang mengganggu kenyamanan Dhalem. Kyai Jambe
Merik melaksanakan tugas dengan baik membunuh burung-burung tersebut dengan
senjata Tulup, sehingga setelah meninggal diberi gelar Bhatara Hyang
Anulup. Sementara Kyai Pemecutan I disuruh bertarung adu cambuk/cemeti/pecut
dengan beberapa pemuda di Gelgel. Berkat kepandaiannya main pecut beliau
berhasil mengalahkan pemuda-pemuda tersebut. Oleh sebab itu beliau diberi
julukan Kyai Ngurah Pemecutan. Selanjutnya yang mengemuka dalam sejarah Badung
adalah: Kyai Jambe Merik menurunkan Sub Dinasti Jambe, dan Kyai Ngurah
Pemecutan I menurunkan Sub Dinasti
Pemecutan.
Kyai Anglurah Jambe Merik
Raja Badung I
Setelah berhasil menggulingkan kekuasaan Arya Tegeh Kori
Kyai Anglurah Jambe Merik menjadi raja di Badung beristana di Alang Badung
(daerah Suci sekarang), dengan Pemerajannya bernama Pura Suci, istananya
bernama Puri Peken Badung. Kyai Jambe Merik dapat dikatakan sebagai pendiri
kerajaan Badung. Pada jamannya beliau mengirim adiknya Kyai Ngurah Pemecutan I
untuk membebaskan kota Gelgel dari pendudukan I Gusti Agung Maruti sejak tahun
1686. Kyai Ngurah Pemecutan I gugur dalam pertempuran di desa Batu Klotok.
Sebagaimana diketahui salah seorang isteri Dhalem Di Made adalah saudara dari
Kyai Jambe Merik, yang menurunkan Dewa Agung Jambe Raja Klungkung I.
Kyai Anglurah Jambe
Ketewel Raja Badung II
Setelah Kyai Jambe Merik meninggal, digantikan oleh
puteranya Kyai Anglurah Jambe Ketewel. Beliau masih menempati kediaman ayahnya
di Puri Peken Badung. Pada jamannya dibangun bendungan (DAM) raksasa di tukad
Sagsag, di mana sepasang suami-istri dari abdi menyerahkan nyawanya (jadi caru)
menjadi dasar bendungan tersebut. Suami-istri tersebut menceburkan diri di
tempat sekitar 75 meter ke Utara dari lokasi bendungan sekarang, disaksikan
oleh raja Badung, pejabat-pejabat kerajaan, dan rakyat. Oleh karena itu
bendungan tersebut diberi nama Oongan.
Sekitar akhir abad 18 kerajaan Badung diserang oleh
laskar Taruna Gowak Panji Sakti dari kerajaan Buleleng, yang dipimpin langsung oleh
rajanya Kyai Anglurah Panji Sakti. Pada saat kritis tersebut raja Badung
menunjuk Kyai Anglurah Pemecutan II yang beristana di Puri Pemecutan menjadi
pemimpin laskar Alang Badung untuk membendung serangan tersebut. Laskar Alang
Badung berhasil mendesak mundur laskar musuh dan banyak yang jatuh korban di
pihak Buleleng. Sisa anggota laskar melarikan diri ke desa Tanguntiti. Karena
reputasinya ini setelah wafat Kyai Anglurah Pemecutan II disebut Bhatara
Sakti. Tempat terjadinya pertempuran tersebut kemudian diberi nama
Taensiat.
Pada jamannya, Dewa Agung Jambe dari Klungkung
melakukan kunjungan ke Badung untuk mengucapkan rasa terimakasihnya atas
dukungan Badung dalam mengakhiri pendudukan Patih Agung I Gusti Agung Maruti di
istana Gelgel. Dewa Agung Jambe menghadiahkan desa Batu Bulan sebagai wilayah
kekuasaan Badung.
Kyai Anglurah Jambe
Tangkeban Raja Badung III
Dalam masa pemerintahannya tidak terjadi hal-hal penting
yang menyangkut masalah eksternal kerajaan. Menurut Babad Timbul, pada jamannya
datanglah seorang bangsawan keturunan Dhalem Sukawati yang bernama Dewa Agung
Made bersama adik-adiknya seperti: Dewa Agung Karang, Cokorda Anom, dan Cokorda
Ketut Segara, beserta putera – puteri
beliau. Kedatangan Dewa Agung Made ini adalah karena perselisihannya
dengan kakaknya Dewa Agung Gede yang memerintah kerajaan Dhalem Sukawati.
Mengetahui Dewa Agung Made dalam keadaan sedih, Kyai
Anglurah Jambe Tangkeban menjamu tamunya
dengan baik. Sampai salah seorang putri keluarga Puri hamil akibat hubungannya
dengan Dewa Agung Made. Setelah diperistri oleh Dewa Agung Made, gadis yang
sedang hamil itu diberikan kepada Kyai Jambe Tangkeban dengan syarat jangan dicampuri
sebelum anak itu lahir. Lahirlah seorang bayi laki-laki yang kemudian
menurunkan parati sentana di Puri Jero Kuta. Bayi yang kemudian menjadi
cikal bakal Puri Jero Kuta ini, putera kandung dari Dhalem Sukawati dan putera
tiri dari Kyai Jambe Tangkeban dari Sub Dinasti Jambe (bukan Sub Dinasti
Pemecutan).
Kyai Anglurah Jambe Aji
Raja Badung IV
Kyai Jambe Aji menggantikan kedudukan ayahnya yang
sudah tua. Beliau mendirikan istana baru bernama Puri Ksatria sekaligus
memindahkan pusat pemerintahannya. Komplek Puri di Utara berbatasan dengan
dusun Taensiat, sebelah Timur dusun Kaliungu, Selatan dusun Belaluan, dan Barat
dusun Tampak Gangsul. Dalam komplek Puri terdapat Gerya yang dinamakan Gerya
Ksatrya, dan pasar yang dinamakan Pasar Ksatrya. Karena megahnya keadaan Puri
Ksatrya itu beliau disebut juga Kyai Jambe Aeng.
Salah seorang isteri dari Kyai Anglurah Jambe Aji
adalah puteri dari Kyai Pemecutan II melahirkan putera mahkota yang bernama
Kyai Jambe Ksatrya. Kyai Jambe Ksatrya kemudian menggantikan ayahnya menjadi
raja Badung.
Kyai Anglurah Jambe
Ksatrya Raja Badung V
Kyai Anglurah Jambe Ksatrya adalah raja Badung terakhir
dari Sub Dinasti Jambe. Diceritakan Kyai Jambe Ksatrya mempunyai kesenangan
berjudi sabung ayam. Beliau mempercayakan ayam – ayamnya dipelihara oleh I
Gusti Ngurah Rai dari Sub Dinasti Pemecutan yang tinggal di Puri Kaleran (asal-usul
Puri Kaleran akan diceritakan pada bab berikutnya). Akibat seringnya I Gusti
Ngurah Rai ke kediaman Kyai Jambe Ksatrya untuk mengurus ayam sang Raja,
terjadi hubungan gelap antara I Gusti Ngurah Rai dengan salah satu istri raja
yang masih muda. Hubungan ini akhirnya diketahui juga oleh raja. Raja sangat
marah dan berencana memberi hukuman.
Merasa bersalah I Gusti Ngurah Rai mohon maaf, tapi
raja tidak bersedia mengampuni. I Gusti Ngurah Rai segera mencari upaya untuk
keluar meloloskan diri dari wilayah kekuasaan Badung. Mula pertama beliau
pamitan kepada ibundanya di Jro
Krobokan, kemudian meneruskan perjalanan sampai ke desa Serangan sampai
akhirnya menyeberang ke Lombok. Sementara laskar Jambe sibuk mencari putera
dari Puri Kaleran tersebut.
I Gusti Ngurah Rai diterima baik oleh raja Sasak,
dan diperlakukan seperti keluarga sendiri. Di sana beliau dapat pelajaran dan
pengalaman lain yang menambah kematangannya dalam urusan politik dan
ketata-negaraan. Sementara itu pihak keluarga Kaleran mengatur siasat untuk
menghadapi kekuasaan.
Berakhirnya Kekuasaan Sub
Dinasti Jambe
Kemelut yang berkepanjangan antara Puri Kaleran dari Sub
Dinasti Pemecutan dengan Puri Alang Badung yang berkuasa, sangat mengganggu
aktifitas sehari-hari kerajaan dan rakyat Badung. Sementara itu Puri Pemecutan
mengambil sikap netral tidak memihak manapun, karena yang berseteru ini adalah
keluarga sendiri. Ada seorang puteri dari Puri Agung Pemecutan kawin dinikahi
oleh Kyai Anglurah Jambe Ksatrya. Oleh karena itu Puri Pemecutan tidak banyak
berperan dalam penggulingan kekuasaan Sub Dinasti Jambe.
I Gusti Ngurah Rai setelah pulang dari Lombok, mencari
dukungan ke kerajaan Gianyar, yang waktu itu diperintah oleh Dewa Manggis Api.
Beliau juga mencari dukungan ke Gerya Jro Gede Sanur, karena salah seorang
puteri dari Sub Dinasti Pemecutan ada yang kawin ke Gerya Jero. Demikian juga I
Gusti Ngurah Rai mengadakan kunjungan ke Puri Jro Kuta untuk mencari dukungan.
Diplomasi di Jro Kuta memang berat dan riskan, karena Puri Jro Kuta adalah bagian
dari keluarga Sub Dinasti Jambe.
Pagi-pagi buta pada hari yang telah ditetapkan, pasukan
Jro Krobokan asal dari Ibunda I Gusti Ngurah Rai bergerak merapat ke Puri Jro
Kuta. Gerakan laskar Krobokan ini menyebabkan kepanikan di Puri Alang Badung.
Kentonganpun dipukul bertalu-talu. Laskar Jambe bersiap-siap menunggu perintah.
Raja Kyai Anglurah Jambe Ksatrya mengetahui banyaknya pihak yang mendukung I
Gusti Ngurah Rai, akhirnya bersedia menyelesaikan permasalahan ini dengan
pembicaraan keluarga di Puri Jro Kuta. Raja Kyai Anglurah Jambe Ksatrya
bersedia menyerahkan kekuasaan, memberikan sebilah keris Singapraga
kepada I Gusti Ngurah Rai dan menyuruh menikam raja. I Gusti Ngurah Rai dengan
hormat menerima keris itu dan membunuh raja di hadapan para hadirin. Beberapa
saat sebelum ditikam Raja Jambe sempat mengeluarkan kutukan agar selama tujuh
turunan keturunan dari I Gusti Ngurah Rai menderita sakit ingatan (buduh).
Setelah penusukan dilakukan I Gusti Ngurah Made Pemecutan (adik I Gusti Ngurah
Rai yang kemudian menjadi raja Badung berikutnya) menunggu di dekat pembaringan
raja sampai menghembuskan napas terakhir. Setelah Kyai Anglurah Jambe Ksatrya
dipastikan meninggal, dilakukan pengumuman di Jaba Puri Jro Kuta, bahwa
Raja Badung sudah wafat. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1788. Laskar-laskar
kedua belah pihak yang siap saling berhadapan ditenangkan dan dibubarkan. Kyai
Anglurah Jambe Ksatrya kemudian dijuluki Bhatara Maharaja Dewata. Dengan
demikian berakhir sudah masa kekuasaan Sub Dinasti Jambe, dan Badung memasuki
Jaman kekuasaan Sub Dinasti Pemecutan.
BADUNG PADA
JAMAN
SUB DINASTI
PEMECUTAN
(1788 – 1906)
Kyai Anglurah Pemecutan I
Meskipun belum memegang kekuasaan di Badung, namun
keluarga Sub Dinasti Pemecutan memiliki kebesaran dan keagungan yang tidak
kalah dengan Sub Dinasti yang memegang kekuasaan (Sub Dinasti Jambe). Kyai
Anglurah Pemecutan I berhasil mengalahkan beberapa pemuda yang mengeroyoknya
dalam adu cambuk yang digelar di istana Dhalem di Gelgel.
Beliau juga dipercaya sebagai panglima laskar
Badung, yang dikirim ke Gelgel untuk mengakhiri pendudukan tahta Dhalem oleh
Patih Agung I Gusti Agung Maruti. Selain laskar Badung, juga terdapat laskar
Buleleng yang dipimpin panglima Ki Tamblang Sampun, dan laskar Sidhemen yang
dipimpin langsung oleh I Gusti Ngurah Singharsa. Pasukan Badung menyerang dari
Selatan, laskar Denbukit dari yang bermarkas di desa Panasan menyerang dari
Barat, dan laskar Sidhemen menyerang dari Utara. Laskar Badung terlebih dahulu
kontak dengan laskar I Gusti Agung Maruti dengan jumlah yang lebih besar. Kyai
Anglurah Pemecutan I gugur di desa Batu Klotok. Beliau kemudian bergelar Kyai
Anglurah Macan Gading dan Bhatara Mur Ring Batu Klotok.
Beliau menurunkan 4 putera dan puteri beribu dari
Penataran, yaitu: Kyai Anglurah Pemecutan II, Kyai Madhe Tegal, Kyai Ketut
Telabah, dan seorang Puteri menikah dengan Brahmana bernama Ida Ngenjung dari
Gerya Jro Gede Sanur.
Kyai Anglurah Pemecutan
II
Kyai Anglurah Pemecutan II berkedudukan di Puri
Agung Pemecutan. Beliau berjasa dalam mengalahkan laskar Taruna Gowak Panji
Sakti dari Buleleng dalam suatu pertempuran yang terjadi di desa yang kemudian
dinamakan Taensiat. Semenjak itu beliau dijuluki Kyai Anglurah Pemecutan Sakti
(Bhatara Sakti). Beliau mejalankan politik kawin agar banyak mendapat
dukungan. Beliau menurunkan beberapa putera terkemuka. Dari Permasuri pertama
asal Badung menurunkan Kyai Anglurah Pemecutan III, yang berkedudukan di Puri
Agung Pemecutan. Permasuri ke dua Ratu Istri Bongan dari kerajaan Mengwi,
menurunkan Kyai Agung Gde Oka Pemecutan, dibuatkan istana baru di Utara bernama
Puri Kaleran. Satu lagi putera beliau yang terkemuka adalah Kyai Anglurah Mayun
beristana di Puri Kesiman Pengerobongan.
Kyai Anglurah Gde Oka Pemecutan atau I Gusti Ngurah Gde
Oka Pemecutan yang berkedudukan di Puri Kaleran berputera: I Gusti Gde Ngurah
Pemecutan, Beliau membuat tetamanan di Denpasar.
I Gusti Gde Ngurah Pemecutan berputera: I Gusti Ngurah
Rai berkedudukan di Puri Kaleran (yang membunuh raja Jambe), I Gusti Ngurah
Made Pemecutan yang mendirikan Puri Denpasar dan kemudian mejadi Raja Badung
VI, I Gusti Ngurah Alit Pemecutan membangun istana baru bernama Puri Kaleran
Kangin, (sehingga nama Puri Kaleran yang
di Barat berubah menjadi Puri Kaleran Kawan) dan I Gusti Ngurah Ketut Tegal
berkedudukan di Puri Tegal.
Kyai Anglurah Pemecutan III, yang berkedudukan di Puri
Agung Pemecutan menurunkan Kyai Anglurah Pemecutan IV. Kyai Anglurah Pemecutan
IV wafat di Ukiran. Saudara perempuannya ada yang kawin ke Puri Alang Badung,
ada ke kerajaan Taman Bali, dan ke Gerya Wanasari Sanur.
Kyai Anglurah Pemecutan IV yang wafat di Ukiran mempunyai
beberapa orang putera dan puteri, yang terkemuka adalah Kyai Anglurah Pemecutan
V, putera yang beribu dari saudaranya Kyai Anglurah Bija dari desa Bun.
Kyai Anglurah Pemecutan V beristerikan seorang yang
berstatus rendahan (Sudra), menurunkan 2 putera dan 2 puteri. Puteri
pertama kawin ke Puri Denpasar, dan puteri ke dua kawin ke Puri Jro Kuta.
Putera sulung bernama Kyai Agung Gde Raka mewariskan tathta Puri Pemecutan
bergelar Kyai Anglurah Pemecutan VI, adiknya yang bungsu Kyai Agung Gde Rai
bergelar dan menjabat sebagai Kyai Lanang Pemecutan.
Kyai Anglurah Pemecutan VI menikahi puteri dari Puri
Denpasar, menurunkan Kyai Anglurah Pemecutan VII. Kyai Anglurah Pemecutan VII
dijuluki Maharaja Dewateng Kurbhasana, menurunkan puteri yang kemudian
dinikahi oleh Kyai Agung Gde Oka putra tertua dari Kyai Lanang Pemecutan, dari
Jro Kanginan. Kyai Agung Oka kemudian pindah melangkah memasuki Puri Pemecutan
bergelar Kyai Anglurah Pemecutan VIII.
Kyai Anglurah Pemecutan VIII, memerintah begitu lama di
Puri Agung Pemecutan, dijuluki Bhatara Dewateng Madharddha. Beliau tidak
berputera (putung). Adapun adik beliau yang bernama Kyai Lanang
Pemecutan yang tinggal di Jro Kanginan beristeri puteri dari Puri Jambe,
menurunkan putera yang kemudian diangkat sebagai Kyai Anglurah Pemecutan IX
atau Cokorda Pemecutan IX. Beliau pindah melangkah, memasuki Puri Pemecutan dan
menikahi puteri dari Puri Denpasar. Cokorda Pemecutan IX inilah yang gugur
dalam perang Puputan Badung bersama Raja Badung Cokorda Ngurah Made Agung.
Dengan hancurnya Puri Pemecutan akibat serangan pasukan Belanda sewaktu Puputan
Badung, maka Jro Kanginan mengambil-alih status sebagai Puri Agung Pemecutan
yang baru, oleh karena Cokorda Pemecutan IX berasal dari Jro Kanginan.
I Gusti Ngurah Made
Pemecutan Raja Badung VI (1788 – 1810)
Kembali lagi. Setelah krisis di kerajaan Badung yang
disebabkan oleh perseteruan antara Puri Kaleran Pemecutan dan Puri Ksatrya berakhir
dengan wafatnya Kyai Anglurah Jambe Ksatrya, maka kekuasaan beralih kepada
keluarga Sub Dinasti Pemecutan. I Gusti Ngurah Made Pemecutan menjadi raja
Badung VI beristana di Puri Denpasar.
Beliau adalah adik dari I Gusti Ngurah
Rai yang menikam raja Jambe Kyai Anglurah Jambe Ksatrya.
Pada masa pemerintahannya, tahun 1805 beliau memperluas
kekuasaannya dengan menyerang kerajaan Jembrana yang diperintah oleh I Gusti
Ngurah Gde Jembrana. Beliau dapat menaklukkan Jembrana dan mempercayakan Kapten
Patini orang Bugis sebagai penguasa daerah tersebut. Namun tahun 1808 Buleleng
merebut kembali daerah itu. Kapten Patini beserta orang-orang Bugis banyak mati
terbunuh.
Pada tahun 1808 Raja Badung I Gusti Ngurah Made Pemecutan
menanda-tangani kontrak dengan utusan Pemerintahan Hindia – Belanda bernama Van
den Wahl. Isi kontrak adalah persahabatan antara kedua belah pihak. Belanda
akan melindungi wilayah Badung, untuk itu pasukan Belanda diijinkan membangun
rumah-rumah, benteng – benteng dan
gudang – gudang persenjataan. Perjanjian
ini dinilai oleh pengamat politik merugikan pihak Badung.
I Gusti Ngurah Made Pemecutan mempunyai 7 putera. Putera
yang terkemuka adalah I Gusti Gede Ngurah Pemecutan yang kemudian pada tahun
1810 menggantikan ayahnya yang sudah sakit – sakitan.
I Gusti Gde Ngurah
Pemecutan Raja Badung VII (1810 – 1818)
I Gusti Gde Ngurah Pemecutan menjadi raja Badung tetap
beristana di Puri Denpasar. Beliau memerintah Kerajaan Badung dalam waktu yang
singkat. Pada masa pemerintahannya, tahun 1817 Kerajaan Mengwi pernah menyerang
Badung, akan tetapi serangan dapat digagalkan. Sebelum mengakhiri jabatannya
pernah disodori kontrak baru oleh pihak Pemerintah Hindia – Belanda yang
diwakili oleh Van den Broek. Kontrak ini tidak mau ditanda – tangani karena
pihak Belanda tidak mau membantu Badung dalam menyerang kerajaan Lombok. Pada
tahun 1818 beliau meninggal, dan sebagai pengantinya diangkat puteranya yang
tertua bernama: I Gusti Ngurah Denpasar.
I Gusti Ngurah Denpasar
Raja Badung VIII (1818 – 1829)
I Gusti Ngurah Denpasar menggantikan ayahnya sebagai Raja
Badung tetap beristana di Puri Agung Denpasar. Beliau sering menderita sakit
sehingga urusan pemerintah lebih banyak ditangani oleh I Gusti Ngurah Pemecutan
yang beristana di Puri Agung Pemecutan. Kontrak pada tahun 1826 ditanda tangani
oleh I Gusti Ngurah Pemecutan, sedangkan di pihak Belanda diwakili oleh J.S.
Wetters. Kontrak ini sangat merugikan Kerajaan Badung, yang antara lain
menyatakan bahwa Kerajaan Badung adalah daerah taklukan Pemerintah Hindia –
Belanda.
Pada tahun 1829 Raja I Gusti Ngurah Denpasar meninggal.
Oleh karena beliau tidak mempunyai putera maka diselenggarakan Pesamuhan
Agung Kerajaan. Hasil Pesamuhan tersebut memutuskan I Gusti Made
Pemecutan yang berkedudukan di Puri Agung Kesiman menjadi Raja Badung
berikutnya. Beliau kemudian bergelar I Gusti Gde Ngurah Kesiman.
I Gusti Gde Ngurah
Kesiman Raja Badung IX (1830 – 1861)
Pada masa pemerintahannya Kerajaan Badung mengalami
kemajuan yang pesat terutama di bidang perdagangan. Ini berkat kecerdasan
beliau memerintah Badung dibanding dengan pendahulunya. Tidak jarang beliau
berhubungan minta nasihat kepada Dewa Manggis Raja di Puri Gianyar.
Dalam bidang perdagangan, beliau melakukan
perbaikan-perbaikan jalan ruas Kesiman – Kuta, melalui desa – desa seperti:
Pagan – Tatasan – Tonja – Denpasar – Titih – Suci – Alangkajeng – Celagigendong
– Tegal – Buagan – Abian Timbul – dan Meregaya. Barang – barang yang menjadi
komoditi adalah: kapas, pakaian, beras, barang-barang hasil kerajinan tangan,
kacang tanah, buah mentimun, buah kelapa, jagung dan ketela, diperdagangkan
dari kerajaan tetangganya seperti: Tabanan, Mengwi, Gianyar, Klungkung.
Sebaliknya barang – barang yang diperdagangkan Badung adalah: alat – alat rumah
tangga, senjata, candu, peluru dan lain-lain. Beliau juga memaksimal dua
pelabuhan, yakni: Kuta dan Tuban, disamping pelabuhan lainnya seperti: Benoa,
Serangan, Sanur, dan Seseh.
Ramainya perdagangan di pelabuhan Kuta yang menguntungkan
Badung, berkat usaha beliau mengadakan hubungan persahabatan yang akrab dengan
saudagar berkebangsaan Denmark tetapi berkewarganegaraan Belanda bernama Mads
Johann Lange. Demikian antara lain usaha – usaha yang dilakukan Raja I Gusti
Ngurah Gde Kesiman untuk meningkatkan kesejateraan rakyat Badung. Di bidang
politik, atas usaha keras diplomatik beliau bersama sahabat karibnya Mads
Lange, Belanda mengurungkan niat menyerang Dewa Agung Klungkung pada waktu
itu. Sehingga dapat dipandang pada masa
pemerintahan I Gusti Gde Ngurah Kesiman kerajaan Badung mengalami masa
kejayaan.
I Gusti Alit Ngurah
Pemecutan Raja Badung X (1861 – 1902)
Pada Tahun 1861 kerajaan Badung kehilangan tokoh
karismatik I Gusti Gde Ngurah Kesiman yang meninggal dalam usia 70 tahun.
Beliau diganti oleh I Gusti Alit Ngurah Pemecutan atau nama lainnya I Gusti Gde
Ngurah Denpasar, yang beristana di Puri Agung Denpasar.
Satu peristiwa penting dalam masa pemerintahannya adalah
keberhasilan Badung menamatkan Kerajaan Mengwi, yang secara resmi dinyatakan
takluk pada tanggal 20 Juni 1891. Laskar koalisi Badung, Tabanan, Bangli,
Gianyar, dan Klungkung berhasil menghancurkan perlawanan laskar Mengwi. Rajanya
yang terakhir Cokorda Ngurah Made Agung diberi gelar Bhatara Mantuk Ring
Rana. Menurut babad Mengwi Raja Mengwi Cokorda Ngurah Made Agung gugur di
tengah persawahan di sebelah Barat desa Mengwi Tani, bersama sahabat karibnya
Ida Pedanda Made Bang dari Gerya Liligundi Buleleng. Sementara keluarga dan
sahabatnya yang masih hidup ditawan di Badung, diantaranya Ida Pedanda Gde
Kekeran ditawan dan ditempatkan di Puri Tegal.
Sebab – sebab terjadinya peristiwa Badung menyerang
Mengwi, diantara babad berbeda versi, diantaranya adalah: pada masa – masa itu
Dewa Agung Klungkung berseteru dengan Karangasem, merebutkan wilayah Lombok.
Sedangkan Kerajaan Mengwi dan Karangasem adalah satu keturunan (satu treh:
Nararya Kepakisan). Pertimbangan Dewa Agung, kalau Karangasem diserang, maka
Mengwi sudah pasti akan membantu Karangasem. Oleh karena itu Mengwi perlu
dihabisi dulu. Sementara Badung sangat setia kepada Dewa Agung, karena Raja I
Klungkung Dewa Agung Jambe beribu dari Badung. Apapun perintah yang diberikan
Dewa Agung, Badung pasti siap melaksanakan, dan terbukti perintah dilaksanakan dengan baik. Jadi penyerbuan
Badung ke Mengwi hanya semata – mata demi kepentingan Dewa Agung Klungkung, dan
Kerajaan Mengwi adalah korban dari permusuhan Dewa Agung Klungkung dengan
Karangasem.
Versi lainnya: untuk mengairi sawah – sawah yang ada di
Badung, sumber air sebagian besar dari Tukad Ayung yang berhulu di
Kerajaan Mengwi. Faktor pengairan atau irigasi sering membuat ke dua kerajaan
berperang hingga puncaknya pada bulan Juni 1891.
Versi lainnya lagi: akibat pencaplokan Mengwi terhadap
daerah – daerah milik kerajaan Gianyar seperti: Kuramas, Blahbatuh, Ubud, dan
Payangan.
I Gusti Ngurah Made Agung
Raja Badung X Terakhir (1902 – 1906)
Pada tahun 1902 Raja I Gusti Alit Ngurah Pemecutan
meninggal. Oleh karena putera mahkota yang bernama I Gusti Alit Ngurah (Cokorda
Alit Ngurah) masih belia sekitar 6 tahun, maka kedudukan beliau dijabat oleh
adiknya I Gusti Ngurah Made Agung, yang beristana di Puri Agung Denpasar, yang
kemudian bergelar Bhatara Mantuk Ring Rana. Beliau tekun belajar sastra
dan berguru kepada Ida Bagus Made Sidemen dari Gerya Taman Sanur, yang kemudian
mediksa bernama Ida Pedanda Made Sidemen.
Sementara di Puri Agung Pemecutan bertahta Kyai
Anglurah Pemecutan IX yang sudah lanjut usia dan sakit – sakitan. Kedua tokoh (Cokorda
kalih) inilah yang memimpin perlawanan rakyat Badung dalam Puputan Badung,
dengan pusat perlawanan di Puri Agung Denpasar. Kedua Puri baik Puri Agung
Denpasar dan Puri Agung Pemecutan dihancurkan oleh Belanda.
Ada 3 peristiwa atau kejadian alam penting yang dipercaya
sebagai tanda atau ciri akan datangnya pralaya di bumi Badung. Ke tiga
peristiwa itu adalah:
1.
Meletusnya Gunung Batur pada bulan Maret 1905.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, Gunung Batur yang diyakini tempat
bersemayamnya Bhatari Dewi Danu adalah tempat yang memberikan anugrah kekuasaan
kepada Dinasti Pucangan di daerah Badung.
2.
Pada tahun yang sama rakyat melihat bintang berekor
dalam ukuran yang besar dan bercahaya terang di langit.
3.
Pada akhir tahun 1905, terjadinya peristiwa yang
menakutkan rakyat Badung, adalah runtuhnya tanah tebing ke laut di Pura Uluwatu.
Pura Uluwatu dipandang keramat sebagai tempat pemujaan raja – raja Badung
Perang Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906
terjadi karena ambisi Pemerintah Hindia – Belanda untuk menguasai daerah
Nusantara, sementara peristiwa karamnya kapal Wangkang Sri Komala pada tanggal
25 Mei 1904 hanyalah peristiwa kecil yang dibesar – besarkan yang dipakai
sebagai dalih untuk menyerang Badung. Belanda menuntut agar Raja Badung
membayar ganti rugi sebesar f 7.500 atas perampasan kapal tersebut, yang dinilai
melanggar kontrak perjanjian sebelumnya. Namun Raja Badung I Gusti Ngurah Agung
menolak tuntutan tersebut karena tidak ada bukti – bukti perampasan oleh rakyat
Sanur terhadap kapal yang karam itu. Hal ini dibuktikan dengan sumpah 2800
orang penduduk desa Sanur.
Pasukan Belanda mendarat di Pabean Sanur, naik ke darat
bergerak dari Utara, melalui Puri Kesiman – desa Sumerta – Puri Denpasar – Puri
Suci – dan terkahir Puri Pemecutan. Raja Badung Cokorda Ngurah Made Agung, dan
raja Pemecutan Cokorda Pemecutan IX gugur bersama rakyatnya. Jumlah korban
tewas di pihak Badung sedikitnya 2.000 orang.
Dengan demikian berakhir sudah kerajaan Badung, dan
Belanda pada tahun 1908 berhasil menguasai Pulau Bali dengan menghancurkan
Kerajaan Klungkung melalui Puputan Klungkung.
Diselesaikan pada Anggara –
Kliwon – Medangsya
Penanggal ping 5 Purnama Ke
Dasa Isaka 1927
Tanggal: 29 Maret 2005
Ida Bagus Wirahaji, S.Ag
DAFTAR PUSTAKA
1.
Agung, DR. MR. Ide Anak Agung Gde, 1989. Bali Pada
Abad XIX Perjuangan Rakyat Dan Raja – Raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808
– 1908. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
2.
Agung, Cokorda Gde, 1985. Hancurnya Istana Kerajaan
Gelgel Kemudian Timbul Dua Buah Kerajaan Kembar Klungkung Dan Sukawati.
Denpasar: Puri Agung Tegallalang.
3.
Agung, Anak Agung Ketut, 1991. Kupu – Kupu Kuning
Yang Terbang Di Selat Lombok. Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661 –
1950). Denpasar: Upada Sastra
4.
Agung, Ida Cokorda Ngurah, 1994. Cikal Bakal Raja –
Raja Badung: Denpasar: Puri Agung Denpasar.
5.
Ardana, I Ketut, 1994. Bali Dalam Kilasan Sejarah.
Dalam Buku: Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Bali Post
6.
Bernard Keytimu, 2004. I Gusti Ngurah Made Agung
Dalam Peristiwa Puputan Badung. Denpasar: Dinas Kesejateraaan Sosial
Provinsi Bali.
7.
Darta, A A Gde, dkk, 1996. Babad Arya Tabanan Dan
Ratu Tabanan. Denpasar: Upada Sastra.
8.
Mirsha, I Gst
Ngurah Rai, dkk, 1986. Sejarah Bali. Denpasar: Proyek Penyusunan
Sejarah Bali. Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
9.
Mirsha, I Gst Ngurah Rai dkk, 1991. Raja Badung. I
Gusti Ngurah Made Agung. Hasil Karya dan Perjuangannya. Denpasar: Pusat
Dokumentasi Kebudayaan Bali.
10. Oka,
Anak Agung Ngurah, 1989. Mesuci Ngadegang Pengelingsir Pesemetonan Warga
Warga Puri Agung Pemecutan. Denpasar: Panitia Karya Abiseka Pengelingsir Puri
Agung Pemecutan.
11. Sujana,
Drs. I Nyoman, dkk, 2002. Babad Mengwi. Denpasar: Dinas Kebudayaan
Propinsi Bali.
12. Saputera,
SH, I Gusti Bagus, 2000. Empat Abad Dynasti Arya Kenceng Tegehkuri. Denpasar:
-
13. Segatri
Putra, Dra. Gst, 1990. Babad Arya Kenceng Tegeh Kori. Denpasar: -
14. Tim
Penerjemah, 2001. Babad Pemancangah Ki Gusti Tegeh Kori. Babad Badung.
Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.