DEWA MANGGIS KUNING
BERKUASA DI DESA BENG
Petualangan
Dewa Manggis Kuning
Kerajaan Gelgel
(Swecapura) pada rentang tahun 1580 – 1665 M diperintah oleh Dhalem Segening
sebagai Sesuhunan Bali – Lombok VI. Dhalem Segening menjalankan politik kawin
masal agar banyak punya keturunan untuk memperkuat kekuasaannya.
Putera-puteranya yang ditempatkan di daerah-daerah yang jauh dari kerajaan
Gelgel. Diantaranya yang terkemuka adalah: I Gusti Ngurah Panji Sakti, berkuasa
di Buleleng.
Pada suatu hari Dhalem
Segening berkunjung ke Desa Manggis Karangasem. Ia terpikat dengan seorang
gadis wangsa ksatrya. Gadis ini hamil, kemudian melahirkan putera yang rupawan.
Mula-mula anak ini di asuh oleh ibunya di Desa Manggis Karangasem. Setelah
dewasa anak ini menghadap ayahandanya di Gelgel.
Sampai di istana Gelgel,
anak ini duduk di atas sebuah batu keramat di depan istana. Semua yang melihat
tercengang. Tidak ada yang berani menduduki batu ini kecuali Dhalem dan
putera-puteranya. Dhalem kemudian menanyakan asal-usul anak ini. Setelah
mendengar penjelasan dari anak ini, Dhalem baru teringat, dan mengakui anak ini
sebagai puteranya. Anak ini diberi nama Dewa Manggis Kuning, karena kulitnya
berwarna kekuning-kuningan.
Suatu hari Dhalem Segening
dihadap oleh I Gusti Anglurah Arya Tegeh Kori yang berkuasa di Daerah Badung.
Penguasa Badung ini mengajukan permohonan kepada Dhalem agar berkenan
memberikan salah satu puteranya untuk ditempatkan di Badung. Permohonan ini
dilakukan sehubungan dengan sering terjadinya pertikaian di Kerajaan Tegeh
Kori.
Dhalem berkenan memenuhi
permohonan ini, dan mempersilahkan Arya Badung tersebut memilih salah satu
puteranya. Pada malam harinya Arya Tegeh Kori mendatangi putera-putera Dhalem
yang sedang tidur. Salah satu di antaranya mengeluarkan sinar di wajahnya. Arya
Tegeh Kori menandai kaki putera itu dengan kapur sirih. Esok pagi hari Arya
Tegeh Kori menghadap Dhalem memohon agar putera Dhalem yang kakinya ada tanda
kapur sirih (karena namanya belum diketahui) diperkenankan untuk diajak ke
Badung. Permohonan dikabulkan, Dewa Manggis Kuning diajak ke negara Badung.
Semenjak itu negara Badung tenteram.
Perkembangan kemudian Dewa
Manggis Kuning, karena rupawan dicurigai oleh Arya Tegeh Kori. Arya Tegeh Kori
banyak punya isteri. Muncul isu tentang adanya hubungan rahasia antara isteri
Arya Tegeh Kori dengan Dewa Manggis Kuning, yang berujung dengan diusirnya Dewa
Manggis Kuning. Dewa Manggis Kuning secara diam-diam meninggalkan negara Badung
menuju desa Pahang, daerah kekuasaan I Gusti Arya Pinatih.
Keberadaan Dewa Manggis
Kuning di desa Pahang membuat I Gusti Arya Pinatih merasa cemas, sebab Arya
Tegeh Kori sangat berambisi untuk menemukan Dewa Manggis Kuning hidup atau
mati. Sebagai belas kasihannya I Gusti Arya Pinatih memberi salah sorang
puterinya, I Gusti Ayu Pahang sebagai isteri untuk menemani perjalanannya. Dewa
Manggis Kuning juga selanjutnya menginap di rumah I Gusti Pinatih Bija, di Desa
Bun demi keamanannya. Merasa tidak aman dari kejaran Arya Tegeh Kori, I Gusti
Pinatih Bija kemudian menyarankan agar Dewa Manggis Kuning segera meninggalkan Desa
Bun.
Perjalanan secara sembunyi
diteruskan menuju arah timur-laut dari Desa Pahang, hingga sampai di hutan
Bengkel. Setelah merasa aman dari kejaran orang-orang Arya Tegeh Kori, Dewa
Manggis Kuning membuka, merabas hutan. Ia bercocok tanam, berternak, dan
akhirnya menetap di sana.
Lama-lama daerah ini karena suburnya berkembang menjadi sebuah desa, dinamai Desa
Bengkel, dari hutan kayu Bengkel. Lama-lama Desa Bengkel lebih dikenal dengan Desa
Beng. Desa Beng mengalami kemajuan yang pesat dari segi perekonomian, yang
memberi kesejahteraan masyarakat desa Beng.
Dewa Manggis Kuning setelah
melakukan semedi di Pura Bukit Jati dianugrahi senjata berupa sebuah keris yang
diberi nama Ki Baru Kama. Senjata
lainnya berupa tombak juga diperoleh Dewa Manggis Kuning dari seorang bidadari
yang mengaguminya. Kedua senjata ini dipakainya dalam pembebasan negara Gelgel
yang dikuasai I Gusti Agung Maruti. Bersama dengan 40 parajuritnya Dewa Manggis
Kuning ikut ambil bagian dalam perang itu, yang berakhir dengan kalahnya I
Gusti Agung Maruti. Keturunan Dhalem
kembali bertahta, namun tidak menempati istana Gelgel karena rusak berat dan
dikotori oleh darah-darah manusia. Mereka dibuatkan istana baru di Klungkung,
dengan istananya bernama Smarawijaya Pura, dengan raja pertamanya bernama Dewa
Agung Jambe.
Kemasyuran Dewa Manggis
Kuning didengar oleh raja Buleleng I Gusti Anglurah Panji Sakti. Raja Buleleng
memimpin laskarnya menuju Desa Beng, untuk meminta senjata bertuah. Sesampai di
perbatasan Desa Beng, laskar Buleleng membangun benteng-benteng pertahanan.
Dewa Manggis Kuning mendengar hal itu menjadi marah. Ia langsung memimpin
laskarnya dan berada di depan untuk mencegah banyaknya korban jatuh. Laskar
Dewa Manggis Kuning bersenjatakan bambu runcing. Senjata bambu runcing ini di
upacarai (di-plaspas) di sebuah tempat yang kemudian menjadi sebuah
pura, bernama Pura Dalem Pering. Pura ini disungsung oleh warga tertentu, dan barisan
pering gading akhirnya bernama watek penamun.
Berkat kecekatan Dewa
Manggis Kuning, raja Buleleng beserta laskarnya mengalami kekalahan, mereka
lari tunggang langgang meninggalkan Desa Beng. Bukti kemenangan berupa genta gajah sampai kini masih ada.
Demikian juga sawah tempat gajah makan kacang-kacangan sebelum terjadi perang,
sekarang dinamai Subak Kacang Bedol.
Semenjak itu tombak Dewa Manggis Kuning yang berjasa diberi nama Ki Baru Alis. Desa Beng menjadi
tenteram, makmur berkat karisma Dewa Manggis Kuning.
Karena usia sudah lanjut,
Dewa Manggis Kuning wafat, meninggalkan seorang putera yang bernama Dewa
Manggis Pahang. Nama ini diambil dari nama ibunya I Gusti Ayu Pahang, yang
berasal dari Desa Pahang Badung. Dewa Manggis Pahang menjadi generasi kedua,
juga disebut Dewa Manggis II.
Dewa Manggis
Pahang (Dewa Manggis II)
Dewa Manggis Pahang
menggantikan ayahnya memimpin Desa Beng, menjadi kepala desa. Dewa Manggis
Pahang menurunkan 5 orang putera terkemuka. Ibu dari treh ksatrya pungakan
dari Desa Beng menurunkan: Dewa Manggis Bengkel. Ibu dari seorang treh Arya Pinatih dari desa Tulikup,
menurunkan Dewa Made Pinatih, Dewa Nyoman Pinatih, dan Dewa Ketut Pinatih. Dari
ibu wangsa sudra desa Dauh Uma menurunkan Dewa Gde Kesiman.
Dewa Made Pinatih, Dewa
Nyoman Pinatih, Dewa Ketut Pinatih pindah mendirikan puri di Seronggo. Dewa
Ketut Pinatih kemudian pindah lagi membangun puri di Abiansemal. Sementara Dewa
Gde Kesiman membangun Puri di Desa Bitera.
Dewa Nyoman Pinatih bergelar
Dewata
di Pendem, ia dibunuh
oleh adiknya Dewa Ketut Pinatih di desa Kesian Gianyar. Di tempat itu kemudian
dibangun pura bernama Pura Pendem,
yang disungsung oleh warga Desa Kesian. Tidak ada yang menduga akan terjadi
pembunuhan di tempat itu, sehingga daerah itu disebut Tanon, dari Tan Naon =
tidak terduga.
Dewa Manggis Bengkel tetap
tinggal di kediaman ayahnya di desa Beng. Ia menggantikan kedudukan ayahnya
menjadi kepala desa Beng. Dewa Manggis Bengkel sebagai generasi berikutnya
disebut Dewa Manggis III.
Dewa Manggis
Bengkel (Dewa Manggis III)
Dewa Manggis Bengkel jatuh
hati pada puteri Dewa Gde Pemecutan yang berkuasa di kerajaan Taman Bali
Bangli, yang bernama Dewa Ayu Nila Puri. Suatu hari Dewa Manggis Bengkel
mengambil paksa sang puteri yang sedang berada di Taman Tirtha Arum, yang terletak
di sebelah selatan Taman Bali. Sang Puteri diboyong ke Desa Beng.
Raja Taman Bali ternyata
salut atas keberanian Dewa Manggis Bengkel. Hubungan Desa Beng dan Taman Bali
bertambah erat. Dari perkawinan ini menurunkan putera terkemuka bernama Dewa
Manggis Api, disebut juga Dewa Manggis IV. Ia kemudian menggantikan ayahnya
yang wafat karena usia tua.
BERDIRINYA
KERAJAAN GIANYAR
Dewa Manggis Sukawati (Dewa Manggis IV) Raja I Gianyar
Dewa Manggis Api
mendapat kebesaran bermula dari menghambakan diri pada pada mertuanya Sri Aji
Petemon, Raja II kerajaan Dalem Sukawati. Ia mendampingi Sri Aji pada saat-saat
akhir hayatnya. Sedangkan kedua putera dari Sri Aji Petemon, yakni Dewa Agung
Gde dan Dewa Agung Made tidak datang, karena keduanya masih berseteru. Dewa
Manggis Api dengan tekun mendengar pesan-pesan terakhir Sri Aji sebelum wafat.
Setelah Sri Aji
wafat, barulah kedua puteranya datang diiringi oleh saudara-saudaranya (dari penawing). Mereka membagi-bagikan pusaka
dan harta berharga lainnya. Sangat disayangkan kedua puteranya tidak ikut
mempersiapkan upacara pelebon
ayahnya. Justru Dewa Manggis Api yang mempersiapkan segala sesuatunya hingga
upacara pelebon selesai.
Sesuai dengan
pesan-pesan terakhir Sri Aji, Dewa Manggis Api melakukan semadi pada tengah
malam di dekat pemuhunan layon. Ia
kemudian melihat sebuah bayangan yang diyakini roh Sri Aji. Bayangan itu
memberikan sehelai rambut panjang, sepotong ibu jari, dan sebuah cakepan lontar. Pemberian itu diterima
bersamaan dengan lenyapnya bayangan itu. Benda-benda itu kemudian diusung ke
Puri Beng oleh Dewa Manggis Api dikeramatkan sebagai pusaka.
Di Puri Beng
Dewa Manggis Api tidak cocok dengan Cokorda Anom Bende (anak angkat ayahnya
Dewa Manggis Bengkel) dari Puri Pejeng. Ia mengalah, menghambakan diri kepada
mertuanya Dewa Pemecutan, Raja Tamanbali. Tidak beberapa lama Dewa Made Pinatih
(Paman Dewa Manggis Api) dari Puri Seronggo, Dewa Ketut Pinatih dari Puri
Abianbase, dan Dewa Gde Kesiman dari Puri Bitera, menjemputnya untuk diajak
membangun Puri di tempat yang baru. Mereka memberikan tukang-tukang
berpengalaman seperti: I Gunung, I Karang, dan I Taman.
Rakyat Seronggo,
Abianbase, dan Bitera bergotong royong, bahu-membahu membangun puri baru yang
terletak sekitar 2 km selatan Desa Beng. Penataan puri disesuaikan dengan Puri
Tamanbali, dibangun di atas areal milik seorang Brahmana bernama Ida Pedanda
Sakti Tarukan, yang diberikan kepada Dewa Manggis Api. Istana baru itu diberi
nama Puri Gerya Anyar, kemudian menjadi Puri Gianyar. Dewa Manggis Api sebagai
Raja I Gianyar dengan nama abhiseka
Dewa Manggis Sukawati (Dewa Manggis IV). Puri Gianyar diperkirakan selesai
dibangun tahun 1771 M.
Dewa Manggis Api
semakin berjaya, karismanya dapat merukunkan kedua putera pewaris kerajaan
Dalem Sukawati: Dewa Agung Gde dan Dewa Agung Made. Semenjak itu Puri Sukawati
dan Puri Peliatan berlindung di bawah Puri Gianyar.
Dewa Manggis Di Madia (Dewa Manggis V) Raja II Gianyar
Dewa Manggis IV
wafat dalam usia tua. Kedudukannya digantikan oleh putera terkemuka, Dewa
Manggis Di Madia sebagai Dewa Manggis V. Di
bawah kekuasaannya Kerajaan Gianyar mengalami perluasan wilayah. Ia
dikenal sebagai raja yang berani dan tegas dalam menegakkan keadilan.
Seorang raja
puteri Mengwi Gusti Ayu Oka menaruh hati padanya. Hubungan gelap pun terjadi.
Gusti Ayu Oka sebagai tanda cintanya memberikan sebuah sarung keris pusaka
bernama prabangsa, yang sangat mahal harganya. Selain itu Dewa Manggis V juga
diberikan beberapa desa kekuasaan Mengwi, seperti: Belang, Singakerta,
Jukutpaku, Samu, Sigaran, dan Kengetan.
Hubungan gelap
ini diketahui oleh I Gusti Ngurah Jelantik XVII, penguasa Desa Blahbatuh.
Itulah sebabnya ia berani menolak permintaan Dewa Manggis V atas puterinya
Gusti Luh Meranggi. Penolakan ini membuat Dewa Manggis V geram. Blahbatuh
diserang hingga takluk. Gusti Luh Meranggi diboyong ke Puri Gianyar, namanya
diganti menjadi Gusti Ayu Ngurah.
Perkawinan ini
menurunkan seorang puteri yang bernama Dewa Ayu Ngempol. Setelah dewasa sang
puteri hendak dipinang oleh Raja Bangli Dewa Gde Rai Tangkeban. Penolakan ini
diketahui oleh Raja Tamanbali Dewa Gde Anom, yang sudah lama berseteru dengan
Raja Bangli. Raja Tamanbali meminta bantuan Puri Gianyar untuk menyerang
Bangli. Puri Gianyar menyetujui, dengan bantuan Puri Sukawati, Negara, dan Mas,
Kerajaan Bangli dapat ditaklukkan, Raja Dewa Gde Rai Tangkeban menyingkir ke
Pura Kehen. Puri Bangli jatuh di tangan laskar Gianyar.
Di Pura Kehen
Raja Bangli menyusun kekuatan untuk merebut Puri Bangli. Laskar Bangli mengamuk
membabat laskar Gianyar yang sedang mabuk-mabukkan merayakan kemanangannya.
Laskar Gianyar cerai berai banyak yang binasa. Demikian juga Puri Tamanbali
jatuh di tangan laskar Bangli. Raja Tamanbali Dewa Gde Anom tewas dalam perang
ini.
Markas laskar Gianyar yang
dipimpin langsung Raja Gianyar juga dikejar oleh laskar Bangli. Laskar Gianyar
mengundurkan diri sampai di Desa Sidan. Kemudian datang bantuan dari laskar
Tulikup. Sampai di sini laskar Bangli tidak berani mengejar. Kewaspadaan di
tingkatkan di sebelah utara desa Sidan, sehingga wilayah itu diberi nama Jagaperang.
Dewa Manggis V juga menerima
dengan baik permintaan Dewa Agung Panji dari Klungkung untuk bersembunyi di Desa
Tulikup. Dewa Agung Panji kalah dalam berseteru dengan Dewa Agung Putera I
dalam merebut kekuasaan. Dewa Agung Panji dibuatkan Puri di Desa Tulikup. Atas
kebaikan hati Dewa Manggis V, Dewa Agung Panji berkenan memberikan adiknya Dewa
Ayu Muter kepada Dewa Manggis V untuk dijadikan isteri. Atas usaha Dewa Manggis
V, kedua putera Raja Klungkung kembali rukun. Dewa Agung Panji kembali ke
Klungkung, permusuhan antara keduanya diakhiri.
Dewa Manggis
Di Rangki (Dewa Manggis VI) Raja III Gianyar
Dewa Manggis Di Madia (Dewa
Manggis V) wafat dalam usia tua. Ia kemudian digantikan oleh putera terkemuka,
Dewa Manggis Dirangki (Dewa Manggis VI) sebagai Raja Gianyar III.
Pada tahun 1846 M, Raja
Gianyar ini menyerang Desa Pejeng yang terletak ± 7 km dari kota Gianyar. Ia
marah karena pinangannya terhadap salah seorang puteri Pejeng ditolak oleh
penguasa Pejeng, Cokorda Pinatih. Raja memerintahkan punggawa Desa Blahbatuh I
Gusti Ngurah Jelantik XVIII dan adiknya I Gusti Ngurah Made menyerang Pejeng
dengan tentara pilihan. Pertempuran sengit antara Blahbatuh dan Pejeng pun
terjadi. Laskar Pejeng dapat dikalahkan, namun harus dibayar dengan tewasnya I
Gusti Ngurah Made, orang nomor dua di Blahbatuh. Sementara Cokorda Pinatih yang
sempat melarikan diri ke hutan akhirnya menyerahkan diri. Raja memberi hukuman selong, dibuang ke Nusa Penida.
Kekalahan Pejeng ini,
membuat Cokorda Oka, adik dari Cokorda Pinatih yang berkuasa di Belusung,
menyatakan lepas dari Kerajaan Gianyar dan menghamba ke Kerajaan Bangli.
Demikian juga Cokorda Anom Rambang penguasa Pejengaji Tegallalang, dan Cokorda
Agung penguasa desa Nyalian minta perlindungan pada Raja Bangli. Mereka bertiga
yang ber-wangsa ‘Cokorda’, tidak mau berada di bawah perintah Raja Gianyar yang ber-wangsa ‘I Dewa’ (bukan ‘Ida I Dewa’).
Dewa Manggis Di Rangki (Dewa
Manggis VI) wafat dalam usia tua, pada bulan Oktober 1847 M. Pelebon
dilaksanakan pada tanggal 21 Desember 1847, diiringi dengan mesatya yang dilakukan oleh orang-orang
yang setia pada raja. Selama upacara pelebon,
putera mahlota Dewa Gde Putera senantiasa diincar untuk dibunuh oleh punggawa
Seronggo Dewa Gde Kepandaian, yang berambisi menduduki tahta Puri Gianyar.
Putera mahkota sempat
menyingkir ke Puri Langon, yang terletak di pinggiran timur kota Gianyar. Sementara pasukan Dewa Gde
Kepandaian menduduki Puri Gianyar. Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada
akhir tahun 1848 M. Berkat kecekatan Patih Made Pasek dan salah seorang pemuda
I Made Pasek Cedok, pasukan Dewa Gde Kepandaian dapat dihasut sehingga berbalik
memihak lawan. Dewa Gde Kepandaian akhirnya melarikan diri ke Badung, setelah
beberapa lama berada di Puri Peliatan.
Tokoh-tokoh yang berada di
pihak Dewa Gde Kepandaian, seperti Dewa Gde Kompyang dari Puri Bitera ditangkap
diasingkan di desa Bakas. Ia meninggal di tempat pengasingan dibunuh oleh warga
setempat. Komplotan Dewa Gde Sengguan di Puri Batubulan dihukum selong ke Nusa Penida. Made Pasek Cedok
kemudian diangkat sebagai patih kerajaan.
Dewa Manggis
Di Ksatriya (Dewa Manggis VII) Raja IV Gianyar
Setelah situasi keamanan
terjamin Putera Mahkota Dewa Gde Putera dinobatkan dengan abhiseka Dewa Manggis Di Ksatriya (Dewa Manggis VII), sebagai Raja
IV Gianyar. Raja Gianyar ini mengirim pasukan yang berjumlah ribuan orang ke
Buleleng yang berperang melawan Belanda, yang lebih dikenal dengan Perang
Jagaraga. Kerajaan Buleleng akhirnya jatuh di tangan Belanda.
Perkembangan selanjutnya,
berkat strategi Patih Made Pasek pada tahun 1854, dua wilayah, yaitu
Tampaksiring dan Payangan ditambah dengan sepuluh desa: Mulung, Semita,
Bonawah, Bonnyuh, Madangan, Padpadan, Panyembahan, Melayang, Mantering, dan
Petak, yang semula berada di bawah kekuasaan kerajaan Bangli menjadi bagian
dari kekuasaan Kerajaan Gianyar.
Raja Bangli Dewa Gde
Tangkeban minta bantuan kepada Pemerintah Hindia – Belanda untuk merebut
wilayah dan desa yang dikuasai Gianyar. Belanda mengirim utusan dari Banyuwangi
bernama Pringgo Kusumo ke kerajaan Gianyar, pada tanggal 6 September 1854.
Pringgo Kusumo tinggal di Gianyar selama 11 hari. Selama tinggal ia melihat
orang-orang Payangan dan Tampaksiring lebih senang menjadi rakyat Gianyar.
Belanda akhirnya tidak bersedia membantu Bangli dalam mengembalikan 2 wilayah
ini.
Raja Bangli kemudian
berpaling ke Puri Klungkung, menghasut Dewa Agung Putera III. Kebetulan Dewa
Agung Putera III juga tidak senang meluasnya Kerajaan Gianyar, sebab merasa
pernah dipermalukan oleh Raja Gianyar. Raja Klungkung gagal meminang puteri
dari Gianyar Dewa Ayu Muter, yang ternyata lebih dulu menikah dengan Dewa Gde
Agung Punggawa Sukawati.
Raja Klungkung juga pernah
membuat kesal Raja Gianyar. Ketika pada tanggal 19 Agustus 1854 Raja Klungkung
menikahi putri dari Badung bernama I Gusti Ayu Jambe, anak angkat dari I Gusti
Gde Kesiman, tokoh yang berpengaruh di Badung. Pernikahan diadakan di Badung.
Rencananya kedua mempelai pada waktu pulang ke Klungkung akan singgah di Puri
Gianyar. Raja Gianyar sudah mempersiapkan jalan-jalan menuju Puri Gianyar,
dihiasi dengan janur dan berbagai kembang. Akan tetapi kedua mempelai ternyata
memilih jalur pantai, menyusuri Pantai Lebih, terus ke Timur sampai ke
Klungkung.
Raja Gianyar semakin merasa
was-was atas perkawinan Dewa Agung Klungkung dengan seorang putri dari Kerajaan
Bangli. Raja Gianyar menutup rapat-rapat perbatasannya dengan Bangli, yang
melakukan kerjasama erat dengan Pemerintah Hindia-Belanda.
Raja Gianyar mengutus Patih
I Made Pasek ke Kerajaan Karangasem, untuk mempererat hubungan kedua kerajaan.
Kerajaan Karangasem berseteru dengan Klungkung soal wilayah-wilayah di Lombok. Raja Gianyar berharap dapat saling membantu dalam
menghadapi musuh-musuhnya. Salah seorang pengiring Patih I Made Pasek, bernama
I Mileh berkhianat. I Mileh pergi ke Klungkung seraya memberi tahu, bahwa Patih
I Made Pasek sedang berada di Karangasem.
Mata-mata Klungkung disebar
untuk menangkap Patih I Made Pasek pada waktu pulang dari Karangasem. Dewa
Agung Klungkung langsung memimpin untuk menghadang Patih I Made Pasek di
perairan Pantai Kusamba dengan berpuluh-puluh jukung. Ternyata Patih I Made Pasek tidak melalui perairan Kusamba,
melainkan lewat Desa Padang, kemudian menuju
Gunung Rata, sudah termasuk wilayah Gianyar.
Raja Gianyar memberi hukuman
kepada Cokorda Made Tanjung, salah seorang bangsawan muda di Tampaksiring.
Cokorda Made Tanjung adalah sepupu dari Raja Bali dihasut, akhirnya dijatuhui
hukuman selong, dibuang Nusa Barong,
dan menemui ajalnya di sana.
Wafatnya Cokorda Made
Tanjung membuat situasi konflik semakin memanas. Baik Raja Bangli maupun Dewa
Agung Klungkung memanfaatkan orang-orang penting Gianyar yang ber-wangsa ‘cokorda’. Memang selama ini wangsa ‘cokorda’ tidak rela dipimpin
oleh wangsa ‘dewa’. Para
wangsa ‘cokorda’ ini akan dijadikan
sebagai koloni ke-5 dalam usaha menghancurkan Kerajaan Gianyar. Para wangsa
‘cokorda’ ini terang-terangan mengatakan tidak senang dengan pemerintahan
Kerajaan Ganyar, dan siap membantu Dewa Agung Klungkung.
Bulan Mei 1862, pasukan
Kerajaan Gianyar bersiaga di kedua wilayah, yakni Payangan dan Tampaksiring.
Ditempatkannya pasukan Gianyar ini untuk mengantisipasi Kerajaan Bangli
menghasut rakyat di kedua desa itu, memanfaatkan wafatnya Cokorda Made Tanjung.
Pasukan Gianyar dan Bangli akhirnya bertempur di Desa Kerta, sebuah wilayah
Kerajaan Mengwi, yang dimanfaatkan oleh Kerajaan Bangli sebagai pangkalan untuk
menghasut rakyat Payangan dan Tampaksiring. Perang berlangsung pada bulan Juli
1862, tidak kurang 400 jiwa melayang. Raja Gianyar memprotes Kerajaan Mengwi
yang memberi ijin Kerajaan Bangli menggunakan wilayahnya sebagai pangkalan.
RUNTUHNYA KERAJAAN GIANYAR
Dewa Agung Klungkung Menghendaki Kehancuran Gianyar
Pada bulan April 1868
atas prakarsa Dewa Agung Klungkung, Kerajaan Gianyar diserang oleh pasukan
gabungan dari 4 (empat) kerajaan: Klungkung, Bangli, Mengwi, dan Badung. Dari
arah timur Gianyar diserang oleh pasukan Klungkung, dari arah timur-laut oleh Bangli,
dari barat-laut Mengwi, dan dari arah barat dan selatan pasukan dari Kerajaan
Badung. Desa Sasih di Batubulan diduduki oleh laskar Badung, desa Semana
dibakar oleh laskar Mengwi. Beberapa pengamat politik berpendapat, bahwa Badung
dan Mengwi tidak sepenuh hati membantu penyerangan ini, terbukti dengan tidak
adanya korban jiwa satu pun.
Pertempuran di perbatasan timur sangat sengit
terjadi di Desa Gunungrata. Patih Ketut Pasek dengan rambut terurai memimpin
laskar Gianyar, hingga tak sejengkal pun laskar Bangli dapat menguasai wilayah
Gianyar. Di Desa Tegal Besar laskar Gianyar dipimpin oleh kakak beradik Dewa
Nyoman Sandat dan Dewa Ketut Sandat. Desa Tegal Besar menjadi lautan api,
selain itu peperangan sengit terjadi di Desa Siyut, bala bantuan Klungkung dari
Tulikup, dan Bajarangkan segera berdatangan. Serangan Klungkung ini dapat
dibendung oleh lasakar Gianyar.
Patih I Ketut Pasek membuat sebuah patung dari
jerami dengan wujud Dewa Agung Putera III. Patung tersebut ditempatkan di depan
Pasar Gianyar. Warga yang melintas di depan patung disuruh memukul, menendang
sebagai simbol kemarahan rakyat Gianyar. Dewa Agung Putera III yang mengetahui
dirinya dihina bukan kepalang meluap kemarahannya.
Dewa Agung Klungkung memerintahkan Mengwi agar sungguh-sungguh menyerang
Gianyar. Perintah ini terpaksa dituruti Raja Mengwi mengingat keselamatan
seorang puterinya yang menjadi taruhan di Klungkung. Bulan Agustus 1874 Mengwi
menyerang desa Kedewatan yang terletak di pinggir timur Tukad Ayung. Cokorda
Rai Batur pembesar dari Ubud, memimpin laskar Ubud, Kelusa, Tegalalang, dan
Negara berhasil mengusir laskar Mengwi. Sekitar 1.000 orang laskar Mengwi tewas
akibat terjangkit kolera. Atas jasanya itu, Cokorda Rai Batur diangkat sebagai
Punggawa Ubud. Sebelumnya Ubud berstatus Manca
di bawah Punggawa Peliatan.
I Ketut Sara Mengendalikan Pemerintahan Gianyar.
Pada suatu hari setelah menghadari upacara potong gigi di tempat Punggawa
Negara, Raja Gianyar Dewa Manggis Di Ksatriya menginap di rumah kakaknya
Punggawa Sukawati. Sebagai penghormatan Punggawa Sukawati mengadakan tontonan
joged. Rupanya Raja Gianyar jatuh hati pada salah seorang penari joged yang
bernama Ni Kalis. Ni Kalis diboyong ke Puri Gianyar, diperisteri oleh raja dan
diberi gelar Ni Jro Nyeri. Konon Ni Kalis sebelumnya
melakukan hubungan dengan seorang bangsawan hanya saja belum sah secara
tradisi. Ni Jro Nyeri mulai dipingit, ia mempunyai seorang adik laki-laki
bernama I Ketut Sara.
Karena sayangnya Raja Gianyar pada isterinya Ni Jro Nyeri, I Ketut Sara pun
mendapat kedudukan di kerajaan. Patih Made Pasek dan para Manca lainnya sangat
menyayangkan sikap raja yang mentolerir tindak-tanduk I Ketut Sara, yang tidak
menghormati para pembesar bangsawan lainnya. Patih I Made Pasek merasa tidak
berguna lagi sehingga tidak pernah muncul di paseban. Sementara itu I Ketut
Sara yang mendapat kekuasaan menggangkat beberapa orang sebagai penasihatnya,
seperti: Ida Kompyang Bajing.
Kebijakan I Ketut Sara
membuka hubungan dengan Klungkung ditentang oleh para punggawa dan patih,
tetapi tidak digubris karena disetujui oleh raja. Sementara
Klungkung merasa beruntung, karena dengan demikian terbuka jalan untuk
menghancurkan Kerajaan Gianyar. Berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah
Hindia-belanda (beslit) No. 3 pada
Tanggal 3 September 1883, Kerajaan Gianyar berlindung di bawah Kerajaan
Klungkung.
Tanggal 17 Pebruari 1884
rakyat desa Apuan yang dipimpin oleh I
Wayan Rebut, menyatakan bergabung dengan Kerajaan Bangli. Laskar Bangli segera
menduduki desa tersebut. Raja Gianyar sangat marah menerima berita ini, ia
segera memerintahkan I Ketut Sara untuk mengambil tindakan. Bulan Maret 1884, I Ketut Sara memimpin lasakar Gianyar menyerbu Desa
Apuan. Serangan ini gagal karena ia belum berpengalaman menjadi panglima.
Serbuan kedua pada bulan Agustus 1884, I Ketut Sara memimpin laskar Gianyar
yang dibantu oleh laskar Pejeng dan Sukawati. Laskar Pejeng menyerang dari
barat-laut, laskar Sukawati dari barat-daya. Kedua laskar ini bertemu, tidak
saling mengenal, akhirnya terjadi saling serang antar teman sendiri. Serbuan
kedua ini juga gagal, sedikit 300 prajurit tewas akibat pertempuran dengan
kawan sendiri.
Januari 1885 Punggawa Negara Cokorda memimpin rakyat desa Negara melepaskan
diri dan memberontak terhadap kekuasaan Kerajaan Gianyar, atas himbauan Dewa
Agung Klungkung. Punggawa Sukawati Dewa Gde Agung tidak dapat menahan serangan
laskar Negara, demikian juga Dewa Ketut Serongga Manca Batuan dipaksa menyerah.
Laskar Negara akhirnya menguasai desa-desa: Batuan, Batuaji, Puaya, Peninjoan,
Sumampan, Abianpandan, Cemenggon, Sakah, Kengetan, Ketewel, Gumicik, Singapadu,
Sindujiwa, Singakerta, Tebongkang, Kelusa, Tengkulak, Semana, Banjar Ambengan,
Tatag, Pejengaji, Yeh Tengah, dan Demayu.
Dewa Agung Klungkung
mengirim utusan Cokorda Gde Oka Satriya sebagai Senapati, beserta Ida Pedanda
Ketut Pidada, diiringi dengan puluhan lakar Klungkung. Utusan tiba di desa
Negara untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan Punggawa Negaa ini.
Raja Gianyar baru mendengar
berita pemberontakan ini saat diadakan sabungan ayam di depan halaman Puri
Gianyar. Raja Gianyar menjadi bingung segera menitahkan I Ketut Sara untuk
mengirim utusan mencari kejelasan. Utusan yang dikirim ke Negara dan Peliatan.
Ke Negara diutus Ida Pedanda Bitera, yang pernah memimpin upacara pemanahan
Nagabanda sewaktu Pelebon di Negara dulu. Ke Peliatan diutus Ida Pedanda
Buruan disertai Dewa Bokor dan Dewa Janur. Utusan yang dikirim melaporkan bahwa
laskar Mengwi sudah tiba bergabung di Negara dan Peliatan untuk menyerang
Gianyar.
Raja Gianyar Tunduk
Terhadap Permintaan Klungkung
Perkembangan selanjutnya,
Kerajaan Gianyar dikepung dari berbagai arah. Situasi di Puri Gianyar semakin
genting, raja meminta mengadakan paruman para pembesar kerajaan. Raja Putera
Dewa Ngurah Pahang meminta patih tua I Made Pasek untuk datang. Dalam keadaan
sakit tua I Made Pasek digotong ke Puri. Hadir juga dalam pesamuhan itu antara
lain: Dewa Gde Raka, I Gusti Ngurah Made
Blahbatuh, Ida Kompyang Bajing, I Ketut Pasek, I Ketut Sara, beberapa punggawa
manca dari Bitera, Tulikup dan lain sebagainya.
Dewa Gde Raka mengusulkan
dalam persidangan itu, agar Raja Gianyar memenuhi permintaan Dewa Agung
Klungkung untuk menyingkir terlebih dulu ke Klungkung demi keselamatan raja.
Usulan ini disokong oleh I Ketut Sara dan kelompoknya. Mereka percaya Dewa
Agung Klungkung setia dengan kata-kata. Dengan menyingkirnya Raja Gianyar,
memudahkan Dewa Agung untuk menindas pemberontak di Kerajaan Gianyar.
Tanggal 3 Pebruari 1885
rombongan Raja Gianyar meninggalkan istana menuju Puri Smarapura Klungkung.
Rombongan bermalam di Banjarangkan di kediaman Dewa Gde Raka, Manca Banjarangkan. Pagi-pagi esoknya
datang utusan dari Dewa Agung yang menyatakan agar rombongan menyerahkan semua
senjata. Rombongan tidak dibolehkan bersenjata. Semua senjata pusaka kawitan
seperti: keris Ki Baru Kama, Raksasa Bedak, sepasang tombak Ki Baru Alis dan Ki
Badeg, diserahkan sebagai tanda ketulusan hati.
Sesampai rombongan Raja
Gianyar tiba di Klungkung, ternyata rombongan tidak dibolehkan ke Puri, mereka
dibelokkan menuju Puri Satrya di kediaman Cokorda Rai (pernah paman Raja Gianyar). Di sinilah Raja Gianyar diasingkan
bertahun-tahun hingga wafat pada tanggal 24 April 1891. I Ketut Sara
diperkenankan menjadi abdi di Puri Klungkung, sementara Patih I Ketut Pasek
dibunuh secara kejam di Takmung. Keluarganya yang masih tersisa dihukum selong dibuang ke Nusa Barong (Penida).
Sehari setelah Raja Gianyar
meninggalkan kerajaan, laskar Klungkung dan Bangli langsung menduduki kota Gianyar. Kerajaan
Gianyar sebelah timur sungai Petanu dibagi dua. Daerah pesisir menjadi bagian
Klungkung, sedangkan daerah pegunungan dikuasai Bangli. Daerah Barat sungai
Petanu seperti: Tegalalang, Ubud, Peliatan, Payangan, dan Tampaksiring tidak
mau tunduk kepada penguasa baru.
Cokorda Made sebagai wakil
Dewa Agung Klungkung di Puri Gianyar mengunpulkan para perbekel dua hari
setelah Raja Gianyar meninggalkan kerajaan. Semua perbekel yang diundang
menyatakan setuju datang kecuali patih I Made Pasek yang menyatakan tidak
bersedia datang karena sudah tua dan sakit-sakitan, Benar besoknya patih I Made
Pasek menghembuskan napas terakhir, ia meninggal secara ngerta semaya.
Daerah Batu Bulan dibawah
pimpinan kakak-adik Dewa Made Pelasa dan Dewa Ketut Pelasa tidak mengakui
penguasa baru. Dengan tipu daya yang licik, Dewa Ketut Sandat mendatangi
mereka, dengan mengatakan bahwa Dewa Made Pelasa dan Dewa Ketut Pelasa diundang
Raja Klungkung untuk membicarakan kerajaan Gianyar bersama dengan Raja Gianyar.
Kedua kakak-beradik ini tanpa curiga bersedia datang ke Klungkung, mereka
ternyata dibawa ke Gelgel, ke Pura Dasar, dengan alasan kedua Raja: Raja
Klungkung dan Gianyar berada di sana.
Setibanya di Gelgel keduanya diajak ke desa Kamasan. Di desa inilah kedua
penguasa Batubulan ditahan hingga meninggal di tempat tahanan.
Perlawanan
Terhadap Kekuasaan Klungkung
Pendudukan Klungkung dan
Bangli mulai mendapatkan perlawanan. I Gusti Ngurah Made dari Blahbatuh
menganggap Dewa Agung tidak menepati janjinya, untuk melindungi Dewa Mangis
Diksatrya. Semua keluarga Puri Blahbatuh dikumpulkan, mereka sepakat
mengumpulkan kekuatan dengan membentuk persatuan dengan para Punggawa dan Manca, seperti: Sukawati, Tegalalang, Peliatan, Siangan, Bedulu,
Bitera, Abianbase, Gianyar dan Tulikup. Mereka melakukan sumpah setia di Pura Taman
Ayun.
Penggalangan kekuatan ini
diketahui oleh Dewa Agung. Dewa Agung marah segera mengirim pasukan untuk
menyerang pasukan pimpinan I Gusti Ngurah Made. Dewa Gde Rai dan adiknya Dewa
Gde Oka penggawa Tulikup ditangkap ditawan di Klungkung, kemudian dibebaskan
dengan sumpah kesetiaan kepada Klungkung. Punggawa
Abianbase, dan Sukawati lari ke Blahbatuh, kemudian bersama-sama punggawa Blahbatuh mereka menyelamatkan
diri ke Mengwi.
Perkembangan selanjutnya
tiga serangkai punggawa Peliatan,
Ubud, dan Tegalalang berhasil mengalahkan Negara yang didukung oleh Klungkung.
Dewa Agung kemudian mengutus Cokorda Pelonot dengan ratusan tentara Klungkung.
Negara menyatakan lepas dan merdeka dari kekuasaan Tiga Serangkai Punggawa Peliatan, Ubud, dan Tegalalang.
Pernyataan kemerdekaan ini mengundang amarah dari Cokorda Gde Sukawati, ia
segera mengambil tindakan, namun dihalangi oleh Dewa Gde Rai Sana Punggawa Tegalalang, dan disarankan
menghubungi Raja Mengwi untuk membantu penyerangan ke Negara.
Pada Tanggal 5 Januari 1891
ratusan bala bantuan Mengwi tiba di bawah pimpinan I Gusti Agung Mayun. Laskar Peliatan dan Tegalalang siap dari arah selatan desa Mas. Laskar Ubud
dari arah barat. Punggawa Negara mengantisipasi serangan ini dengan
mendatangkan laskar dari Blahbatuh, Kuramas, Tojan, Bonbiyu yang berjumlah
ribuan. Laskar gabungan Negara akhirnya berhasil mengalahkan laskar Gabungan
Mengwi, Peliatan, Ubud, dan Tegalalang. Gagalnya penyerangan terhadap Negara
ini membuat sedih perasaan Cokorda Sukawati yang sedang beristirahat di desa
Camenggaon.
Dewa Manggis
Diksatrya (VII) Wafat Di Puri Satrya
Pada tanggal 24 April 1891
Raja Gianyar Dewa Manggis Diksatrya (VII) wafat di tenpat pengasingannya di
Puri Satrya. Pelebon dilaksanakan di
tempat pengasingan oleh putera mahkota Dewa Ngurah Pahang dan adiknya Dewa Gde
Raka. Kedua putera pewaris kerajaan Gianyar ini tetap tinggal di pengasingan
dengan status sebagai tawanan.
Pada tanggal 18 Juni 1891,
tiga serangkai Punggawa Peliatan, Ubud, dan Tegalalang dengan laskarnya menggempur
Negara lagi. Kali ini serangannya sungguh hebat. Laskar Sukawati membantu
sebelumnya sudah berada di Peliatan. Cokorda Lingsir Cekele di Blahbatuh tidak
berdaya membantu adiknya Cokorda Pelonot di Negara. Demikian juga Cokorda Made,
kuasa Dewa Agung di Gianyar yang tinggal di Puri Seronggo tidak tahan terhadap
serangan laskar Abianbase, melarikan diri ke Klungkung. Puri Negara dibakar
hingga menjadi abu. Cokorda Pelonot melarikan diri ke Badung.
Dewa Ngurah Pahang Meloloskan Diri Dari Tahanan
Pada tanggal 20 Januari 1893
Karangasem mengirim laskar berani mati berjumlah 75 orang dipimin oleh orang
dari desa Taro menjemput dan mengambil kedua pengeran Gianyar di desa Satrya.
Kedua Pangeran Dewa Ngurah Pahang dan Dewa Gde Raka yang diboyong sampai di sebuah
tempat yang sekarang bernama Pura Tugu, sebagai tempat pemujaan putera mahkota.
Kerajaan Gianyar telah
berdiri lagi berkat ketangguhan Penggawa Ubud yang bernama Cokorda Gde
Sukawati, sebagai Panglima Perang Kerajaan Gianyar. Berdirinya kembali Kerajaan
Gianyar dibuktikan dengan surat Pemerintah
Hindia Belanda tanggal 27 Pebruari 1893, kemudian Akta Van Arkening tanggal 20 Nopember 1893, dan dkuatkan lagi
dengan surat
Pemerintah Hindia-Belanda di Batavia tanggal 19 Maret 1984.
Tanggal 23 Januari 1896 Dewa
Ngurah Pahang mendadak wafat, mungkin karena payah dalam mengkonsolidasikan
kerajaan. Ia belum menjalani upacara abhiseka,
sehingga tidak berhak memakai gelar ‘Manggis’. Pelebon dilaksanakan pada tanggal 18 September 1896.
Dewa Gde Raka
(Dewa Manggis VIII) Raja V (Terakhir) Gianyar
Adik Dewa Ngurah Pahang yang
bernama Dewa Gde Raka, naik menggantikan kakaknya. Ia menjalani upacara abhiseka dengan Dewa Manggis VIII
sebagai raja V Gianyar. Pemerintahan Hindia-Belanda mengakui penobatan ini
dengan surat tertanggal 22 Desember 1896, kemudian dikuatkan lagi dengan besluit Gubernur Jenderal di Batavia No.
11 tertanggal 18 Mei 1897 dengan gelar Dewa Manggis VIII.
Dewa Manggis VIII tidak
mempunyai kepribadian kuat dalam memegang pemerintahan. Ia tidak berani mengambil
tindakan tegas, ketika salah seorang adiknya perempuannya Dewa Ayu Stri Oka
dikawini oleh Cokorde Gde Sukawati. Wanita ini sebenarnya sudah bersuamikan
Dewa Agung Gde Oka, putra Raja Dewa Ngurah Pahang. Peristiwa jelas sebagai
pelanggaran hukum adat.
Tanggal 14 Agustus 1897
Punggawa Tampaksiring memberontak dan membelot ke Kerajaan Bangli atas
saran Dewa Agung Klungkung. Kemudian
tanggal 16 Agustus 1897 laskar Klungkung menyerang pantai Lebih. Serangan ini
dapat digagalkan berkat ketangguhan Dewa Gde Agung Putera, yang dibantu oleh
Punggawa Peliatan. Perang ini memakan korban 22 orang tentara
Klungkung tewas dan 5 buah rumah terbakar.
Klungkung dan Bangli selalu mencari upaya untuk menjatuhkan Gianyar, selalu
melakukan serangan berikutnya, seperti: tanggal 12 April 1899 menyerang desa
Mancawarna; 15 Mei 1899 menyerang Pejeng, Cokorde Suda Pejeng lari membelot ke
Bangli; 30 Juni 1899 menyerang Sloli.
Kerajaan Gianyar Berlindung Kepada Pemerintah Hindia –
Belanda.
Pada pertengahan Desember 1899, di Paseban Keraton Gianyar diadakan
musyawarah besar dalam menentukan nasib kerajaan Gianyar. Rapat dipimpin
langsung oleh Raja Gianyar, dihadiri oleh para pembesar seperti: para punggawa,
manca, pemuka masyarakat. Raja memaparkan tentang tawaran dari Pemerintah
Hindia-Belanda yang akan memberi perlindungan apabila bernaung di bawah bendera
Pemerintah Hindia-Belanda. Oleh para hadirin, diputuskan untuk berlindung
kepada Pemerintah Hindia – Belanda.
Raja Gianyar mengirim surat permohonan perlindungan keamanan kepada
Pemerintah Hindia – Belanda tertanggal 28 Desember 1899, yang disusul Surat
Permohonan berikutnya tertanggal 8 Januari 1900, hasil rapat di desa Swat.
Sementara menunggu jawaban dari Pemerintah Hindia – Belanda, Gianyar diserang
terus oleh kerajaan Bangli. Gianyar menolak tawaran Dewa Agung Klungkung yang
akan memberi perlindungan apabila berlindung kepada Klungkung. Kerajaan Gianyar
mempunyai pengalaman yang buruk masa sebelumnya, ketika Gianyar berlindung
kepada Dewa Agung Klungkung. Utusan Dewa Agung Klungkung beberapa kali datang
ke Gianyar, tetapi tidak ditanggapi oleh Cokorde Gde Sukawati.
Tanggal 2 Januari 1900 Bangli menyerang 6 desa: Petak, Mantering, Padpadan,
Panyembahan, Melayang, dan Pemanisan. Panglima Perang Cokorde Gde Sukawati
bersama laskar Punggawa Bitera, Siangan membendung serang tersebut. Perang ini
menyebabkan 80 rumah hangus, 24 tewas, 26 luka-luka, di pihak Gianyar. Korban
dari pihak Bangli tidak diketahui.
Laskar Bangli kembali menyerang kerajaan Gianyar di desa Semita, Bonyuh, dan
Nadangan pada tanggal 10 Januari 1900. Serangan juga dapat dibendung. Panglima
Perang Cokorde Gde Sukawati bertekad akan tetap mempertahankan wilayah Kerajaan
Gianyar sampai titik darah penghabisan. Atas tekanan Dewa Agung Klungkung, Raja
Gianyar tidak dapat menolak menandatangani surat perjanjian perdamaian.
Perdamaian ini dikukuhkan dengan upacara sumpah yang diadakan di Pura Kentel
Gumi, Desa Banjarangkan pada tanggal 26 Januari 1900. Namun, Raja Gianyar tetap
berprinsip untuk menempatkan Kerajaan Gianyar di bawah kekuasaan Pemerintah
Hindia-Belanda, dan Kerajaan Gianyar akan tetap berdiri sendiri. Upacara sumpah
di Pura Kentel Gumi ini dilaporkan Raja Gianyar, Dewa Gede Raka, kepada
Presiden Liefrinck dalam suratnya tetanggal 17 Pebruari 1900.
Baru pada tanggal 6 Desember 1900 datang surat balasan dari Pemerintah
Hindia – Belanda. Semenjak itu kerajaan Gianyar berada dalam status stedehouder, hingga Dewa Manggis VIII
sebagai Raja terakhir Gianyar wafat pada tahun 1912.
KERAJAAN
GIANYAR BERSTATUS STEDEHOULDER
Ide Anak Agung Ngurah Agung
Raja pertama yang memerintah Gianyar setelah berstatus Stedehoulder adalah Ide Anak Agung Ngurah Agung. Ide Anak Agung Ngurah
Agung adalah putera dari Dewa Gde Raka (Dewa Manggis VIII), lahir dari
permaisuri utama asal keluarga Punggawa Ubud, putri sulung dari punggawa
terkenal Kerajaan Gianyar, yakni Cokorda Gde Raka Sukawati. Ngurah Agung
mempunyai 9 (sembilan) anak dari perkawinannya dengan para istri dan selir (24
orang). Dari 9 (sembilan) anak itu anya 4 (empat) yang hidup, yaitu dua
laki-laki dan dua perempuan. Anak laki-laki pertama bernama Ide Anak Agung Gde
Agung dan adiknya Ana Agung Gde Oka.
Ide Anak Agung Ngurah Agung yang lahir tahun 1895, mulai memerintah tahun
1917 hingga 1943. Ngurah Agung tidak sempat dinobatkan sebagai Raja sehingga
tidak berhak menyandang gelar Dewa Manggis IX. Selama masa pemerintahannya
memberi kesan tersendiri bagi sejarahwan Amerika, Williard A Hanna yang menggambarkan
Ngurah Agung sebagai raja yang cerdas, ahli dalam seni tari, sastra, musik, dan
drama. Ngurah Agung sangat dekat dengan para seniman, seperti para pematung,
pengukir, pelukis, penenun, dan pengerajin seni lainnya.
Sebagai penerus tahta Puri Gianyar, Ngurah Agung belajar adat dan agama melalui
sastra klasik serta pokok-pokok Hindu Dharma yang bersumber pada Kitab Weda dan
ajaran-ajaran yang termuat dalam naskah Jawa Kuno, Bali, dan lain sebagainya. Ngurah
Agung sagat pasih tentang isi kitab-kitab seperti Ramayana, Mahabharata,
Sutasoma, Adiparwa dan sebagainya. Raja Ngurah Agung dengan tegas menolak
pendirian sekolah-sekolah Kristen yang dicurigai akan menyebarkan ajaran agama
Kristen.
Berdasarkan Ketetapan Pemerintah Hindia-Belanda tanggl 8 Maret 1900 maka
status Ngurah Agung adalah Regent, status
ini membuat Kerajaan Gianyar amat sering dikunjungi oleh Residen di Singaraja
maupun Gubernur Jenderak yang berkedudukan di Batavia. Konsekuensinya, Puri
Agung Gianyar harus menyiapkan berbagai cara penyambutan, seperti resepsi
kenegaraan, dan jamuan makan ala
Belanda. Gianyar juga sebagau gerbang masuknya budaya Barat (kemudian Jepang).
Maka, para penerus Dinasti Manggis
berusaha menyerap dan mengadaptasi semuanya. Mereka mempelajari ilmu
pengetahuan, aspirasi politik pemerintahan modern, hingga berbagai jenis
makanan dan minuman, serta melatih keluarga Puri menyiapkan jamuan makan
kerajaan atau kenegaraan.
Ide Anak Agung Gde Agung
Ide Anak Agung Ngurah Agung digantikan oleh putera sulungnya Ide Anak Agung
Gde Agung sebagai Regent berikutnya
pada tahun 1943. Ngurah Agung kemudian wafat tahun 1960 disusul permaisuri
utama ibunda Gde Agung tahun 1962. Wafatnya permaisuri utama mengundang
kecurigaan berbagai pihak, bahwa kematiannya disebabkan oleh penyakit yang
dibuat oleh permasuri lain yang cemburu.
Ide Anak Agung Gde Agung lahir di Puri Gianyar tanggal 24 Juli 1921. Sebagai
pengganti ayahandanya, Gde Agung meneruskan tugas memimpin komunitas istana,
semua tugas sosial kemasyarakatan, serta menjalankan dan mempertahankan adat
istiadat Puri Agung Gianyar. Gde Agung menggantikan ayahandanya dalan usia yang
amat belia, yakni 23 tahun.
Sejak masa kanak-kanak,
dan menjelang dewasa, Gde Agung menjalani pendidikan teratur, keras, dan penuh
disiplin. Setelah tamat HIS di Klungkung, Gde Agung disekolahkan ayahnya ke
sekolah menengah MULO di Malang. Demikian seterusnya Gde Agung sebagai pewaris
terakhir Kerajaan Gianyar menikmati pendidikan Belanda, sampai NKRI
diproklamasikan 17 Agustus 1945, yang mengakhiri semua kekuasaan kerajaan di
Nusantara termasuk Kerajaan Gianyar.
Om Swastiastu
BalasHapussaya ingin bertanya, cerita ini bersumber dari mana ?
trus kira" dalam Babad Gianyar, terdapat atau tidaknya sebuah nama/ sebutan Ki Banjaran ??
Suksma
"Om Santi Santi Santi Om"
Osa, postingan yg bagus...sumbernya dari mana ya, dan Pura Bukit Jati yang dikatakan tempat bersemadi Dewa Agung Manggis Kuning yg berada di gianyar, atau bukit jati guliag bangli?trims
BalasHapusOm Swastiastu, Sejarah Gianyar ini Fiktif atau non Fiktif, belum ada sumber yang diposting. Bagaimana peran Panamun ( Meranggi Dana, Pedungan, Kayuan dan Batuan) katanya mereka trsbt adalah cikla bakal berdirinya Kerajaan Gianyar?
BalasHapusBACA buku Bali pd abad ke 19.karya DR anak agung gede agung..lebih lengkap sumbernya dr universitas leiden Belanda.
BalasHapusBerkas2 ada di jro batan leci gianyar tempat tinggalnya pertisentana, patih made pasek cedok dan juga ada babad2 pasek.. Serta geguritan2
BalasHapusSeharusnya sugre Patih Pasek Cedok golongan Satria Arya karena menjabat sebagai Patih Kerajaan Gianyar yg berjasa bagi raja dan negara.
BalasHapusMatur suksma telah mengenal leluhur kami ...salam dari batanleci gianyar, generasi ke 7 dari tabik pakulun patih made pasek cedok✌️🙂
Hapusjro made pasek tidak mau meninggalkan Darah kepasekanya
BalasHapusKenapa dari Kerajaan Gianyar tidak ada yang melakukan perlawanan terhadap ekspansi Belanda/ perang Puputan seperti puri-puri lainnya di Bali?
BalasHapusKarena gianyar tahu ...jika puputan akan mengakibatkan bnyk korban dari rakyat gianyar..
Hapus