BALI
TEMPO DULU
(Ida Bagus Wirahaji)
BALI PADA ABAD XVI
Th
1580:
Pelaut
terkenal Inggris Francis Drake telah mengunjungi Bali. Demikian juga Cavendish
yang pernah berlayar di selat Bali (Agung, 1989). .
Th
1586:
Kapal
Portugis kandas di dekat yang sekarang disebut Bukit. Para pedagang Portugis
datang dari Malaka ingin menetap di Bali, akan tetapi maksudnya tidak tercapai (Agung, 1989).
2
April 1595:
Empat
buah kapal Belanda berangkat dari pulau Texel (Belanda Utara) menuju Asia.
Dalam perjalanan kapal yang bernama “Amsterdam” kandas dan tenggelam sehingga
tinggal 3 kapal yang berlayar (Agung, 1989).
27
Januari 1597:
Rombongan
Jacob Kackerlack dari Belanda tiba di Bali disambut dengan baik oleh penduduk
setempat disuguh air minum dan makanan olahan daging babi yang lezat. Raja
dikawal oleh tuan tanah yang sebagian besar menunggang kuda. Jumlah pengawal
raja sekitar 300 orang dipersenjatai tombak, keris yang mirip dengan pedang
Turki diselipkan dibalik lipatan pakaian. Tidak disebutkan nama raja dan
kerajaan (Vickers, 2012).
Awal
Februari 1597:
Ketiga
kapal Belanda mendekati pulau Bali, dibawah pimpinan Komodor Cornelis de
Houtman. Kapal pertama berlabuh di pantai Jembrana, kapal kedua berlabuh di
Couten (Kuta), dan kapal ketiga berlabih di Couteraes (Labuhan Amuk). Dalam
peta pelaut Belanda Bali disebut “Baelle”.
Tiga
awak kapal yang berlabuh di Kuta, salah seorang diantaranya adalah Aernoudt
Lintgens (Agung,
1989).
9
Februari 1597:
Awak
kapal Aernoudt Lintgens diterima oleh penguasa di Badung, dimana Badung pada
waktu itu masih merupakan bagian dari Kerajaan Mengwi (Mongopura). Komodor
Cornelis de Houtman tidak ikut mendarat.
Dalam
catatan Lintgens tidak disebutkan nama Raja, tapi dapat ditafsirkan yang
berkuasa saat itu adalah Dalem Segening, adalah Dewa Agung Susuhunan
Bali-Lombok. Lintgens menemui Raja di Gelgel diantar oleh yang disebutnya
“Kijloer” (Pejabat Kerajaan). Lintgens melihat adanya persiapan pasukan Bali
berjumlah 20.000 orang untuk merebut Blambangan yang diduduki oleh Sultan Agung
Mataram.
Lintgens
tercengang mendengar Raja (umur 40 tahun) beristeri 200 orang. Seorang anak
laki 20 tahun disiapkan sebagai penggantinya. Sebaliknya raja juga tercengang
mendengar berita yang dikatakan Lintgens, bahwa di Belanda berkuasa Pangeran
Maurits Van Nassau berumur 30 tahun belum beristeri! Raja mengatakan di Bali
pria kawin umur 12 tahun sedangkan wanita 9 tahun.
Lintgens
menjelaskan iklim di Belanda yang silih berganti, tapi raja tidak percaya
karena tidak tahu apa itu salju. Lintgens memperlihatkan peta dunia, dimana
raja terkejut karena Bali begitu kecil. Raja sangat kagum atas luasnya wilayah
Kekuasaan kerajaan Turki dan Tiongkok.
Dalam
laporannya Lintgens mengatakan bahwa raja duduk di atas roda pedati, atapnya
dihias, ditarik oleh 2 ekor kerbau putih (Agung, 1989).
16
Februari 1597:
Kapal2
Belanda meninggalkan Bali sebelumnya berkumpul di Labuhan Amuk. Di sini
Cornelis de Houtman sempat mendarat untuk mencari air minum sebagai persediaan
dalam pelayaran. Dua awak kapal dari rombongan Cornelis de Houtman, Emanuel
Roodenburch dan Jacob Clasz tidak ikut pulang ingin menetap di Gelgel (Agung, 1989).
BALI PADA ABAD XVII
Awal
Juni 1601:
Armada
niaga Belanda kedua di bawah pimpinan Laksmana Cornelis Heemsherck, mengunjungi
Dewa Agung Dalem Segening, membawa surat persahabatan dari Pangeran Maurits Van
Nassau (Agung,
1989).
7
Juli 1601:
Surat
balasan Dewa Agung Dalem Segening kepada Pangeran Maurits Van Nassau. Surat
ditulis dalam daun lontar, tidak ditandatangani, diterjemahkan oleh Emmanuel Roodenburch
dalam bahasa Belanda. Kalimat terakhir Dewa Agung dalam suratnya berbunyi:
“Bali dan Holland adalah satu”, maksudnya menandakan hubungan baik. Dalam
perkembangan selanjutnya kalimat inilah yang dipegang Belanda sebagai dasar
untuk menguasai Bali (Agung, 1989).
Th
1632:
Sri
Aji Panji Sakti Raja Buleleng mengangkat Ida Pedanda Sakti Ngurah Pemade
sebagai bhagawanta puri. Pendeta ini memiliki keahlian khusus membuat senjata
keris dan tombak bertuah, yang kemudian diwarisi oleh puteranya Ida Pedanda
Sakti Lelandep (Sastrodiwiryo, 2007).
Th
1633:
Jan
Oosterwijk mencatat adanya upacara mesatya di Bali. Pada pelebon dua putera raja, diikuti upacara mesatya sebanyak 42 (empat puluh dua) wanita untuk satu putera raja
dan 34 (tiga puluh empat) untuk putera raja satunya lagi di tusuk dan dibakar.
Namun wanita yang lebih tinggi derajatnya langsung menceburkan diri ke dalam
bara api kremasi suaminya (Creese, 2012). Tidak disebutkan nama raja
dan kerajaan, namun melihat angka tahun ini tampaknya yang dimaksud adalah
zaman Suwecapura (Gelgel).
2
Februari 1633:
Surat
Gubernur Jenderal kompeni Hendrik Brower di Batavia, menawarkan bantuan beras
dan angkutan kapal untuk mengangkut pasukan Bali ke Blambangan. Dalem Segening
sebagai Dewa Agung Susuhunan Bali-Lombok, berperang dengan raja Mataram Sultan
Agung (Agung,
1989).
7
Oktober 1635
Raja
Tabanan dan Kyai Ngurah Pacung bersama pasukan berangkat menuju Blambangan atas
perintah Maharaja Dalem Di Made (Samsubur,
2011).
Th
1639:
Dewa
Agung Dalem Segening mengirim utusan ke Batavia menghadap Gubernur Jenderal
Kompeni dengan tujuan minta bantuan dalam menghadapi pasukan Sultan Agung dari
Mataram. Permintaan ini ditolak karena Belanda tidak bermusuhan lagi dengan
kerajaan Mataram (Agung,
1989).
16
April 1644:
Raja
Mataram menyerang Bali dan mengirimkan lagi pasukannya ke Bali untuk memaksakan
Bali agar menyerah (Sastrodiwiryo, 2011).
28
Agustus 1665:
I
Gusti Panji Sakti, Raja Buleleng mengirim utusan dan bersurat kepada Pemerintah
Hindia-Belanda. Surat tersebut melaporkan seorang aparat Belanda melakukan
pembakaran terhadap beberapa perahu yang menewaskan beberapa orang. Panji Sakti
juga memprotes penjualan perempuan Bali.
Pada
waktu yang sama Agung Maruti juga berkirim surat kepada batavia yang dipimpin
oleh I Gedor, yang isinya keinginan Gelgel mengadakan persahabatan (Sastrodiwiryo, 2011).
1
Maret 1666:
Meetsyuker,
seorang pembesar VOC di Batavia menandatangani surat pernyataan yang mengakui
kekuasaan Kyai Agung Di Made sebagai kepala pemerintahan di Bali (Sastrodiwiryo, 2011).
18
Oktober 1666:
Panji
Sakti kembali berkirim surat kepada Batavia, menuntut seorang Belanda yang
bernama Willem yang melanggar hukum adat melarikan seorang perempuan Bali ke
Ambon. Utusan ini ditanggapi secara dingin, karena Batavia hanya mengakui
Pemerintahan Gelgel (Sastrodiwiryo, 2011).
Juli
1674:
Pelaut
Makasar Karaeng Galengsong bersembunyi dan minta perlindungan kepada Panji
Sakti dai kejaran VOC Laksamana Speelman (Sastrodiwiryo,
2011).
Th
1676:
Gerombolan
Pelaut Makasar dipimpin Karaeng Tallolo melakukan perampokan terhadap penduduk
di Pantai Tulamben. Rumah-rumah penduduk dibakar, harta benda dijarah. Penduduk
Tulamben yang berjunlah sekitar 5.900 mengungsi demi keselamatannya (Sastrodiwiryo, 2011).
Th
1667:
Muncul
seorang yang berkuasa yang bernama “Gusty Agong” pemimpin Bali Selatan sebagai
‘Regen Gelgel’ yang menjadi leluhur Kerajaan Mengwi (Nordholt, 2009).
Th
1677:
Suatu
laskar Bali melintasi semak belukar yang memisahkan Lombok Barat dan Lombok
Timur menyerang orang2 Makasar di Sumbawa yang berakhir dengan hancurnya
masyarakat Makasar atau Bugis (Agung, 1989).
Th
1678:
Kerajaan
Seleparang dihancurkan oleh pasukan Bali, sehingga orang-orang Bali mulai
menguasai seluruh Lombok (Agung, 1989).
Th
1685:
Christoffel
Frikius berlayar ke Bali dengan kapal Hollandia.
Ia bertemu dengan seorang makelar Belanda yang menjual seorang budak perempuan
kepadanya seharga 18 Rd. Christoffel sengaja datang ke Bali untuk melihat
upacara pembakaran mayat laki-laki dan pembakaran hidup-hidup dari jandanya
yang melompat ke dalam kobaran api (Vickers,
2012).
Th
1686:
Terjadi
pemberontakan di Gelgel yang dipimpin oleh I Gusti Agung Widia atau I Gusti
Agung Maruti terhadap Dewa Agung Dalem Dimade. Pemberontak berhasil mengambil
alih pemerintahan selama 19 tahun. Dengan demikian berakhirlah dinasti Dalem.
Dalem Dimade melarikan diri ke Guliang, beliau wafat di sini. Jadi Dalem Dimade
adalah dinasti Dalem yang terakhir (Agung, 1989).
Th
1687:
Sebuah
surat tiba di Batavia yang dikirim oleh Dewa Agung Klungkung, yang
memperkenalkan dirinya sebagai raja baru di Bali. Surat ini melaporkan bahwa
pemberontak Gusti Agung telah mati terbunuh di Gelgel. Dengan demikian tidaklah
benar bahwa yang mendirikan Kerajaan Mengwi adalah Gusti Agung, mantan patih
yang lari dalam peperangan (Nordholt,
2009).
13
Oktober 1691:
Pembakaran
mayat (ngaben) Pengeran Tawangalun Blambangan 25 hari setelah meninggal.
Valentyn melihat ada 270 wanita mesatya,
masuk ke dalam kobaran api sebagai tanda kesetiaan kepada raja yang dianggap
sebagai wakil Tuhan (Samsubur, 2011)
Th
1697:
Sebuah
ekspedisi dari Kerajaan Buleleng dikirim ke daerah Blambangan Jawa Timur. Agung
Anom (Pangeran Mengwi) yang sedang mengabdi pada ayah mertuanya ikut dikirim ke
Blambangan (Nordholt, 2009).
BALI PADA ABAD XVIII
Th
1704:
Raja
Buleleng Panji Sakti wafat, ia meninggalkan warisan kekuasaan pada
anak-anaknya, yang selanjutnya saling bertikai memperebutkan kekuasaan. Pada
saat yang bersamaan penguasa Blambangan yang baru dikalahkan memberontak (Nordholt, 2009).
Th
1705:
Dewa
Agung Jambe salah seorang anak Dalem Dimade ibu dari Badung, berhasil merebut
kota Gelgel, dan mengusir pengkhianat. Dalam
pertempuran itu kota Gelgel hancur, sehingga Istana dipindahkan ke
Klungkung dengan nama Semarapura, Selama
I Gusti Agung Maruti berkuasa di Gelgel, kerajaan2 di Bali tidak mengakui
wilayahnya merupakan bagian dari kekuasaan Gelgel. Demikian juga ketika Dewa
Agung Jambe berkuasa, kerajaan2 di Bali telah berdiri sendiri dan mengakui Dewa
Agung Klungkung hanya sebatas pemimpin spiritual karena keturunan Sri Kresna
Kepakisan (Agung,
1989).
Th
1710:
Sebuah
sumber VOC menyebutkan seseorang yang beranama “Gusti Hagong van Magoehie’.
Inilah Agung Anom dari Blayu, yang berhasil berkuasa di Mengwi dan berpengaruh
kuat di Blambangan dan Buleleng (Nordholt,
2009).
Th
1713:
Putra
raja Mengwi yang bernama Agung Panji bersama 300 pengikutnya gugur dalam
memberantas pemberontak di daerahnya yang didukung oleh Kerajaan Sukawati.
Sebuah pura didirikan di tempat ia gugur, yaitu di Pura Sada (Nordholt, 2009).
Th.
1715:
Agung
Anom telah berkuasa di dalam dan di sekitar Desa Mengwi, kekuasaannya semakin
meluas. Dinasti Mengwi terbentang di daratan subur antara dua sungai penting,
yaitu Sungai Sungi dan Sungai Ayung (Nordholt,
2009).
Th
1717:
Agung
Anom dari Mengwi memakai gelar Cokorda Gusti Agung. Dan pemerintahannnya
berakhir 1722, ia meninggal karena sakit (Nordholt,
2009).
Th
1729 – 1730:
Raja
Mengwi Agung Alangkajeng bersama 4.000 tentara melakukan perjalanan tirtayatra
ke Majapahit, melewati: Wirasaba, Gunung Semeru (Nordholt, 2009).
Th
1733:
Terjadi
peperangan yang sangat sengit di Banjar Ambengan Buleleng yang melibatkan
12.000 tentara dari Mengwi, Klungkung,
Tabanan, Sibetan Karangasem dan 1.000 tentara Blambangan melawan tentara
dari cucu dari Panji Sakti Buleleng, yang didukung oleh Dewa Anom Sukawati dan
Raja Taman Bali. Menurut cerita peperangan ini dimenangkan oleh pihak Agung
Alangkajeng Mengwi berkat keris bertuah ‘Ki Semeru’ yang diperoleh atas
anugerah Dewa Pasupati Gunung Mahameru/Semeru (Nordholt, 2009).
Th
1736:
Pangeran
Menak Jingga/Pangeran Danuningrat (generasi terakhir dinasti Tawangalun)
diangkat sebagai Raja Blambangan oleh Raja Mengwi. Ki Gusti Lanangjaya dari
Denpasar diutus untuk melantik Raja Blambangan (Samsubur, 2011).
16
April 1736:
Gubernur
Jendral Hindia-Belanda Abraham Patras menulis laporan kepada Ratu Belanda
ke-17, bahwa Pangeran Danureja telah wafat dan jenazahnya dikremasi sesuai
ajaran Hindu, diikuti belapati/mesatya oleh istri dan selirnya. Abu hasil
pembakarannya di sthanakan di Candi Kuta (Bali) diberi gelar Dewa Nyurga. Hal ini kiranya benar,
sebab kala itu Kuta masih dalam kekuasaan Mengwi. Raja Mengwi memandang Raja
Blambangan Pangeran Danureja sebagai orang yang setia (Samsubur, 2011).
Th
1740:
Orang2
Bali mengkonsolidasi kedudukan mereka di Lombok Timur menguasai Praya, seluruh
Lombok Timur dikuasai dipimpin oleh I Gusti Wayan Tegeh (Agung, 1989).
Gusti
Made Kamasan penguasa Puri Sibang membngkar puri lama di Sibang dan membuat persimpangan
jalan pada perbatasan Desa Sibang dan Desa Srijati lama. Puri baru dibangun di
sebelah barat daya persimpangan. Sebagai Bagawanta pertama Puri diangkat Ida
Pedanda dari Geriya Gede Den Kayu dan Bagawanta kedua dari Ida Pedanda dari
Geriya Mambal (Nordholt, 2009),
Th
1770:
Raja
Mengwi yang berpengaruh Cokorda Munggu wafat. Istrinya Gusti Ayu Oka
menggantikan kedudukannya. Pasca kepemimpinannya Cokorda Munggu Mengwi mengalai
krisis (Nordholt, 2009).
Th
1771:
Kerajaan
Mengwi kehilangan daerah kekuasaan Blambangan. Benteng Mengwi terakhir di Jawa
telah hancur (Nordholt, 2009).
Th
1775:
I
Gusti Wayan Tegeh, pemuka orang2 Bali di Lombok Timur wafat, terjadi perpecahan
soal penggantinya, sehingga Lombok terpecah-pecah menjadi 4 kerajaan, yaitu:
Kerajaan Karangasem-Lombok ibukota
Cakranegara, Mataram-Lombok ibukota Mataram, dan dua kerajaan kecil Pagutan dan Pagesangan, terletak di Selatan
Mataram. Kerajaan Karangasem-Lombok yang terbesar (Agung, 1989).
Th
1780:
Raja
Buleleng I Gusti Jelantik Satra wafat, diganti oleh anaknya I Gusti Made
Jelantik. Timbul perpecahan antara I Gusti Made Jelantik dengan sepupunya I
Gusti Nyoman Penarungan atau I Gusti Made Singaraja yang ingin berkuasa. I
Gusti Nyoman Penarungan membangun Istana, 1,5 km Selatan kota Singaraja,
sehingga ada dua raja. Raja Karangasen Gusti Gde Karangasem memanfaatkan
situasi tersebut, dia menyerbu I Gusti Made Jelantik, yang melarikan diri dan
wafat di Tabanan. Demikian juga I Gusti Nyoman Singaraja dipaksa turun. Raja
Karangasem mengangkat Gusti Nengah Bengkel sebagai wakil raja Karangasem dengan
julukan Gusti Nyoman Jelantik. Ia adalah generasi terakhir dinasti Panji
menjadi raja. Karena penggantinya salah seorang pangeran dari Puri Karangasem
yang bernama Gusti Gde Ngurah Karangasem (Agung, 1989).
Th
1794:
Putra
Mahkota Mengwi mangkat, Ratu Patni Ayu Oka mengambil alih kekuasaan. Akan
tetapi tidak lama ia membuat kesalahan fatal, jayuh cinta pada Raja Gianyar
Dewa Manggis Di Madia. Urusan kerajaan diabaikan karena dimabuk asmara.
Kerajaan satelit seperti Blahbatuh dan Kramas dikuasai Kerajaan Gianyar.
Demikian juga Ayu Oka menyerahkan sebuah keris pusaka leluhurnya (Nordholt, 2009).
BALI PADA ABAD XIX
Th
1804:
Kerajaan
mengwi kehilangan kontrol terhadap pelabuhan-pelabuhan di Jembrana. Kerajaan
Badung yang dibantu oleh orang-orang Bugis menguasai pelabuhan-pelabuhan di
Jembrana.
Agung
Ngurah Made Agung baru saja memerintah Kerajaan Mengwi, Puri Sibang diserbu
Badung. Mengwi tidak mampu mempertahankan. Pada zaman perintahan Ayu Oka Mengwi
dapat menghalau sarangan Badung di Padangluah. Satu-satunya rute laut yang
masing dikuasai Mengwi adalah pesisir Pantai Seseh (Nordholt, 2009)
Th
1807:
Ratu
Patni Mengwi Ayu Oka merasa sudah tua menobatkan putra mahkota yang baru
meskipun berasal dari ibu berkasta rendah. Ia menyandang gelar Gusti Agung
Ngurah Made Agung. Dalam dokumen resmi, raja baru ini menggunakan gelar Ida Sang Amawa Bhumi, yang berarti dia
yang mengemban dunia, tertera dalam Paswara Mengwi:13 (Nordholt, 2009).
18
September 1807:
Mads
Johhann Lange seorang warga Denmark, lahir di Pedusunan Rudkobing, Demark. Ia
ke Bali sebagai Pedagang dan beralih kewarganegaraan menjadi warga negara
Belanda. Dalam perkembangan berikutnya ia memainkan peranan yang amat penting (Agung, 1989).
Th
1808:
Suatu
laskar besar Buleleng dipimpin Adipati Agung Gusti Nyoman Jelantik menyerbu
orang2 Bugis yang berjumlah 1.200 Jiwa di Jembrana. Penyerbuan dilakukan
setelah raja Buleleng Gusti Gde Ngurah Karangasem minta ijin kepada raja Badung
Gusti Ngurah Made Pemecutan, karena kekuatiran akan besarnya warga Bugis yang
dapat menyaingi kerajaan Buleleng (Agung, 1989).
Th
1808:
Gunung
Agung yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Bali meletus. Letusan disertai
dengan uap dan abu vulkanik. Letusan ternyata berlanjut sampai tahun 1821 (Bali Post: 07.03.2005).
15
Januari 1808:
Willem
Herman Daendels tiba di Batavia. Ia diangkat oleh raja Louis Napoleon sebagai
Gubenur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda (Agung, 1989).
Pertengahan
tahun 1808:
Gubernur
Jenderal Daendels mengutus Letnan Lisnet ke Bali bertemu dengan Raja Badung I Gusti Ngurah Made Pemecutan.
Maksudnya untuk mencari putera2 Bali dijadikan pasukan Belanda. Letnan Lisnet
hanya berhasil mengumpulkan 37 orang (Agung, 1989).
28
Nopember 1808:
Pertama
kalinya, utusan Belanda Kapten Van der Wahl yang dikirim Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels,
menemui Raja Badung I Gusti Ngurah Made Pemecutan untuk menandatangani Kontrak
Perjanjian. Isi perjanjian mengijinkan pihak Belanda membangun benteng2 dan
pangkalan2 meriam serta mendaratkan pasukan dalam jumlah yang tidak terbatas.
Perjanjian ini ditentang keras oleh raja2 di Bali (Agung, 1989).
Th
1810:
Raja
Badung I Gusti Ngurah Made Pemecutan mengundurkan diri sebagai Raja Badung,
karena merasa bersalah mengadakan perjanjian dengan pihak Belanda (Agung, 1989).
Th
1811:
Residen
Yogyakarta pada masa pendudukan Inggris Crawfurd
mencatat adanya upacara pembakaran hidup-hidup (satya) janda Raja Buleleng dari dinasti Karangasem sebanyak 74 (tujuh
puluh empat) orang (Creese, 2012).
Th
1813:
Pendiri
Kerajaan Badung Gusti Made Pemecutan wafat. Sesuai wasiat, Kerajaan Badung
diperintah oleh 3 Raja :
1. I Gusti Gde Pemecutan
2. I Gusti Made Pemecutan
3. I Gusti Jambe Denpasar
Dalam
perkembangan selanjutnya, I Gusti Made Pemecutan muncul sebagai Raja yang
paling berpengaruh di Badung, dan sejak tahun 1830 dikenal sebagai I Gusti
Ngurah Kesiman. Sementara Raja Denpasar adalah seorang sangat lemah dan
pengisap candu. Sehingga Raja Kesiman berhasil menguasai semua harta Kerajaan Denpasar
(Agung, 1989).
Th
1813:
Pelebon keluarga bangsawan Kerajaan
Buleleng I Gusti Wayan Jelantik, dikuti ritual mesatya 20 wanita. Upacara
mesatya disaksikan oleh Crawfurd Residen Yogyakarta pada masa pendudukan
Inggris pada tahun 1811 – 1816 (Creese, 2012) .
Th
1814:
Raja
Buleleng I Gusti Gde Ngurah Karangasem yang sejak tahun 1808 menguasai
Jembrana, menyerang Banyuwangi, akan tetapi dipukul mundur oleh pasukan
Inggeris. Sebagai balasan satuan eskader AL Inggeris dikirim ke Buleleng untuk
memberi pelajaran dan menduduki kota Beleleng (Agung, 1989).
Th
1815:
Gunung
Tambora di Sumbawa meletus membawa musibah di Bali, karena sawah2 ditimbuni
oleh abu letusan. Raja I Gusti Ngurah Gde Karangasem mengirim utusan ke Batavia
untuk minta bantuan beras.
Residen
Purbolinggo diperintahkan untuk mengirim bantuan berupa 30 koyang (900 pikol)
beras ke Buleleng (Agung,
1989).
Th
1816:
Sesuai
dengan Traktaat Londen, pemerintah Inggeris menyerahkan Kepulauan Indonesia
kepada Belanda (Agung,
1989).
Tahun
1817:
I
Gusti Jambe Denpasar wafat diganti oleh anaknya I Gusti Gde Ngurah Denpasar (Agung Gde: 1989).
15
Oktober 1817:
Keputusan
Komisaris Jenderal Elout dan Barron Van der Capellen menetapkan Komisaris Van
den Broek disertai wakilnya Roos ke Bali untuk membuat perjanjian dengan semua
raja2 di Bali (Agung,
1989).
1
Desember 1817:
Rombongan
Komisaris Van den Broek menumpang kapal perang “Celypso” dari Batavia ke
Banyuwangi, maksudnya untuk menemui dulu raja Buleleng. Dari Gilimanuk dia
menuju ke ibukota Jembrana di kediaman raja I Gusti Gde Ngurah Karangasem (Agung, 1989).
14
Desember 1817:
Setiba
di Banyuwangi Van den Broek jatuh sakit, ia memerintahkan wakilnya Roos menuju
Gilimanuk. Dua hari kemudian Van den Broek menyusul (Agung, 1989).
18
Desember 1817:
Rombongan
Komisaris Van den Broek tiba di pantai desa Pengambengan, terus menuju
Jemberana (Agung,
1989).
24
Desember 1817:
Pertemuan
Komisaris Van den Broek dengan Raja I Gusti Gde Ngurah Karangasem. Ia
menyampaikan kepada raja surat2 dari Komisaris Jenderal dan menjelaskan
tujuannya. I Gusti Gde Ngurah Karangasem tidak bersedia menerima hadiah dari
Van den Broek berupa tekstil karena raja tidak biasa menggunakan pakaian yang
mahal harganya (Agung,
1989).
21
Januari 1818:
Setelah
gagal mengadakan perjanjian dengan raja Buleleng, Van den Broek bertolak dari
desa Loloan yang menumpang perahu sewaan menuju Badung (Agung, 1989).
22
Januari 1818:
Van
Broek mendarat di Kuta, dimana Badung diperintah oleh 3 penguasa. Van Broek
menemui Raja I Gusti Ngurah Gde Pemecutan (Agung, 1989).
23
Januari 1818:
Komisaris
Van den Broek berhasil menghadap raja I Gusti Ngurah Made Pemecutan. Kesan yang
diperoleh raja Badung menunjukkan sikap persahabatan (Agung, 1989).
7
Februari 1818:
Pagi
hari Van den Broek berangkat dari Denpasar menuju Gianyar, perjalanan ditempuh
selama 10 jam karena jalan rusak (Agung, 1989).
8
Februari 1818:
Van
den Broek bertemu dengan Raja Gianyar Dewa Manggis. Kesan yang didapat, Dewa
Manggis seorang yang cerdas, banyak
punya hubungan dengan orang2 Cina, umurnya sekitar 60 tahun, telah bertahta 30
tahun. Raja Badung bila mengambil keputusan penting senantiasa minta nasehat
Dewa Manggis (Agung,
1989).
9
Februari 1818:
Broek
meninggalkan Gianyar kembali ke Badung, karena diberitahu oleh Dewa Manggis bahwa
utusan Raja Mengwi menunggu di Denpasar.
Setiba
di Badung utusan dari Mengwi sudah meninggalkan Badung kemarin. Utusan Mengwi
memberi pesan setuju turut dalam perjanjian dengan Belanda (Agung, 1989).
16
Februari 1818:
Broek
ke Mengwi dan kembali pada hari yang sama. Mengwi diperintah oleh 2 Raja; I
Gusti Agung Made Agung dan I Gusti Agung Ketut Agung.
Nampak
rakyat Mengwi belum pernah melihat orang berkulit putih, mereka bersorak
menertawakan Broek. Broek menanggapi sikap rakyat itu sebagai suatu penghinaan,
oleh karenanya melakukan protes keras kepada Raja Mengwi (Agung, 1989).
Kedua
putera raja sempat menjamu Broek. Broek melihat kedua putera raja berpakaian
tidak layak – betul-betul telanjang. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
keduanya menunjukkan sikap tidak
terhormat, urakan dan serampanan. Hampir semua usulan Broek tidak mendapatkan
jawaban yang berarti. Raja tua mengaku dirinya udah tidak campur tangan lagi
tentang urusan kerajaan. Raja tua membisikkan bahwa dia seorang tukang adu ayam
(Vickers, 2012).
18
Februari 1818:
Perutusan
dari Bali diantar oleh wakil Komisaris Roos terdiri dari 12 orang termasuk
utusan dari Gianyar yaitu Dewa Made Sandat dan dari Mengwi (Agung, 1989).
23
Juni 1818:
Broek
berjumpa dengan Raja Badung I Gusti Ngurah Made Pemecutan yang terakhir kalinya
sebelum pamitan. Malam itu juga Broek ke Pantai Barat Kuta (Agung, 1989).
22
Oktober 1818:
Terjadi
bencana tanah longsor dan banjir bandang. Salah satu dinding di bukit Danau
Buyan dan Danau Tamblingan jebol (Sastrodiwiryo,
2011). Bencana ini menewaskan rakyat dan
beberapa pembesar kerajaan. Seperti: Ki
Gusti Bagus Jelantik Banjar patih yang beristana di Puri Bangkang, Ki Gusti
Wayan Panji, Ki Gusti Wayan Penebel, serta Ki Gusti Nyoman Penarungan,
sama-sama tinggal di Sukasada semuanya tewas terbenam lumpur. Lokasi jebolnya
dinding bukit itu sekarang tepat pada ceking Tamblingan, di tepi jalan menuju
Munduk di tepi Danau Tamblingan. Rakyat
kemudian memohon Ida Pedanda Geriya Gede untuk mengeluarkan keris Pusaka Ki
Embah Pangkung (Sastridiwiryo, 2007).
Th
1821:
I
Gusti Made Pahang, putera dari I Gusti
Gde Karangasem dengan laskar besar menyerbu Jembrana. I Gusti Ngurah Jembrana
gugur. Dengan demikian sejak saat itu Jembrana menjadi wilayak kekuasaan
Kerajaan Buleleng, sampai perang Jagaraga tahun 1849 (Agung, 1989).
30
Desember 1826:
Penandatanganan
Perjanjian rekruting calon-calon prajurit Badung untuk pasukan Belanda, karena
Belanda kehabisan pasukan sewaktu Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran
Diponogoro (Agung,
1989).
Th
1827:
Pierre
Dubois ditugaskan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk merekrut tenaga-tenaga
dari Bali untuk mambatunya pihak Belanda dalam perang melawan Diponogoro (Vickers, 2012).
Th
1829:
Raja
Mengwi Gusti Agung Ngurah Made Agung meninggal. Setelah diaben dilakukan
upacara ngluwer oleh anaknya Agung
Putra (Nordholt, 2009).
Pierre
Dubois sempat menyaksikan upacara pembakaran keluarga raja Denpasar dan
pembakaran hidup-hidup 4 jandanya. Baginya ini perjalanan yang mengerikan,
tidak ada yang lebih biadab daripada lingkaran pemakaman ini
(Vickers,
2012).
20
Mei 1835:
Residen
Banyuwangi Riesz mengirim seorang pengamat bernama Pak Jembrong, seorang
pedagang Banyuwangi menuju Bali untuk melihat aktivitas perdagangan antara
Lombok-Bali-Singapura (Agung, 1989).
18
Agustus 1835:
Pak
Jembrong menuju Badung tiba di Pantai Kuta. Ia melihat Kuta sebagai pelabuhan
yang ramai. Ada 40 perahu yag berlabuh, 16 diantaranya berasal dari Singapura (Agung, 1989).
Th
1837:
Lahir
seorang pejuang dari desa Banjar Buleleng Ida made Rai. Waktu itu yang berkuasa
di Buleleng adalah I Gusti Made Karangasem dan patinya I Gusti Ketut Jelantik (Sastridiwiryo, 2007).
Awal
Th 1838:
Perang
antara Kerajaan Karangasem-Lombok dengan Mataram-Lombok. Raja Mataram-Lombok
Anak Agung Ketut Karangasem gugur tertembak, peperangan dilanjutkan oleh
anaknya I Gusti Gde Ngurah Karangasem (Agung, 1989).
Awal
Juni 1838:
Tiba
bantuan dari Karangasem dipimpin oleh Rajanya sendiri I Gusti Bagus Karang.
Ratu Gusti Ngurah panji dengan keluarga dan pengikutnya berjumlah 300 orang
mengadakan puputan di istana Cakranegara sehingga berakhirlah Perang Lombok I (Agung, 1989).
1
Agustus 1839:
Dibuka
Kantor usaha dagang Belanda secara resmi di Kuta yang disebut Factorij (Agung, 1989).
Akhir
Agustus 1839:
Pedagang
Demark Mads Johhann Lange tiba di Kuta Badung dengan kapal kecil “Venus”,
setelah kalah memihak Kerajaan Karangasem-Lombok melawan Kerajaan
Mataram-Lombok (Agung,
1989).
Akhir
Desember 1839:
Raja
Karangasem-Lombok I Gusti Ngurah Made Karangasem yang mengalami kekalahan
melawan Kerajaan Mataram-Lombok ditangkap dan dibunuh setelah melarikan diri ke
Praya. Kedua anaknya laki dan perempuan yang berumur sekitar 4 tahun berhasil
diselamatkan dan diasuh di istana Dewa Agung klungkung. Dewa Agung sangat marah
atas kejadian ini.
Dua
kerajaan kecil Pagutan dan Pagesangan turut dihancurkan karena membela Kerajaan
Karangasem-Lombok. Muncullah satu2nya kerajaan di Lombok dan diubah namanya
menjadi Kerajaan Seleparang (Agung, 1989).
Tahun
1840:
Seorang
Raja Putri di Badung Ratu Putu Ngurah yang disegani oleh Raja2 di Badung
berhasil mencegah peperangan antara Kerajaan Badung dengan Dewa Agung
Klungkung. Ketegangan ini disebabkan karena kekuatiran Klungkung dengan
kebesaran Raja Kesiman yang tampil sebagai pemimpin di Badung (Agung, 1989).
27
April 1840:
Rombongan
Komisaris Bali-Lombok Huskus Koopman ditemani Pangeran Syarif Hamid dari
Pontianak sebagai juru bahasa tiba di Pantai Barat Kuta (Agung, 1989).
7
Juli 1840:
Raja
I Gusti Made Pemecutan wafat. Diganti oleh putranya yang masih muda, tidak
mempunyai kepribadian yang kuat dan pengisap candu, sehingga tidak dapat
mengatur pemerintahan (Agung, 1989).
1
Mei 1841:
Surat
Perintah Gubernur Jenderal Pieter Merkus mengutus Huskus Koopman yag kedua
kalinya ke Bali Badung. Ia mengadakan pendekatan kepada Raja Kesiman dan
Pemecutan untuk berusaha mengadakan penandatanganan perjanjian persahabatan (Agung, 1989).
29
Juli 1841:
Kapal
dagang Belanda berukuran cukup besar bernama “Overijsel” berlayar dari Plymouth
Inggeris karam di dekat pulau Serangan, dirampas oleh penduduk setempat sesuai
dengan hukum “tawan karang” (Agung, 1989).
11
Nopember 1841:
Komisaris
Pemerintah Huskus Koopman berhasil menandatangani naskah kontrak perjanjian
persahabatan dengan Raja Karangasem (Agung, 1989).
26
Nopember 1841:
Perjanjian
persahabatan antara Pemerintah Hindia-Belanda dengan Raja Buleleng (Agung, 1989).
6
Desember 1841:
Dewa
Agung Susuhunan Bali-Lombok menandatangani Surat Perjanjian Persahabatan dengan
Pemerintah Hindia-Belanda yang diwakili Huskus Koopman (Agung, 1989).
Tahun
1842:
Kerajaan
Badung dan Mengwi berperang. Raja Mengwi Agung Mayun berhasil memenangkan
perang ini. Ini merupakan kemanangan perntama dari dinasti Mengwi dalam kurun
waktu 60 tahun (Nordholt, 2009).
22
September 1842:
Gubernur
Jenderal Pieter Merkus mengeluarkan surat keputusan yang berisi petunjuk baru
kepada Komisaris Huskus Koopman agar dengan jalan bagaimanapun hukum Tawan
Karang dapat dihapuskan (Agung, 1989).
28
Nopember 1842:
Penandatanganan
naskah perjanjian oleh ketiga Raja di Badung dengan Komisaris Pemerintah
Hindia-Belanda Huskus Koopman. Perjanjian antara lain memuat penghapusan hukum
Tawan Karang (Agung,
1989).
Th
1843:
Gunung
Agung meletus, didahului dengan sejumlah gempa bumi. Letusan ini menghasilkan
abu vulkanik, pasir, dan batu apung. (Bali Post: 07.03.2005).
1
Mei 1843:
Penandatanganan
perjanjian penghapusan hukum Tawan Karang oleh Raja Karangasem dengan Komisaris
Huskus Koopman (Agung,
1989).
24
Mei 1843:
Penandatanganan
perjanjian penghapusan hukum Tawan Karang antara Dewa Agung Klungkung dengan
Komisaris Huskus Koopman.
Kerajaan
Bangli, Mengwi, Tabanan tidak diikutsertakan dalam perjanjian ini, karena
kerajaan tersebut tidak memiliki pantai yang bagus (Agung, 1989).
3
Juni 1843:
Pedagang
Denmark Mads Johhann Lange berhasil memperoleh kewarganegaraan Belanda secara
resmi. Permohonannya disetujui tidak terlepas dari jasanya memberi nasehat
kepada Huskus Koopman dalam menghadapi Dewa Agung Klungkung (Agung, 1989).
Th
1844:
Pasukan
Tabanan berhasil menguasai desa Marga, salah satu desa besar di wilayah
Kerajaan Mengwi, yang menyebabkan Mengwi senantiasa waspada menghadapi Tabanan (Agung, 1989).
Mei
1845:
Sebuah
kapal bernama “Atut Rachman” berbendera Belanda kandas dan karam di pantai desa
Karang Anyar di daerah kekuasaan Kerajaan Karangasem, dirampas oleh penduduk.
Pihak Belanda melakukan protes keras, karena merupakan pelanggaran terhadap
perjanjian yang telah disepakati (Agung, 1989).
5
Mei 1845:
Berlabuh
kapal perang Belanda “Bromo” berbobot besar membawa Residen /Komisaris JFT
Mayor dan rombongan di Pabean Buleleng. Sesuai perjanjian maka di darat
dikibarkan bendera Belanda. Rombongan terdiri dari 12 orang, 10 orang Belanda,
seorang Pangeran Syarif Hamid Algaderi dan seorang Bupati Basuki (Agung, 1989).
7
Mei 1845:
Syahbandar
memberitakan bahwa Raja I Gusti Ngurah Made Karangasem bersedia menerima
rombongan esok hari. Perundingan tidak segera diadakan karena menunggu Adipati
Agung I Gusti Ketut Jelantik. Perundingan antara lain bertemakan soal
penghapusan hukum Tawan Karang (Agung, 1989).
8
Mei 1845:
Dalam
perundingan dengan rombongan Komisaris JFT Mayor, Adipati Agung berbicara
lantang dan keras sampai didengar di luar sehingga menimbulkan kegaduhan. Salah
satu kalimat Adipati yang terkenal: “Orang tidak dapat menguasai negeri orang
lain hanya dengan sehelai kertas, hal demikian hanya dapat diputuskan oleh
ujung keris”.
Rombongan
meninggalkan perundingan tanpa pamitan, hampir terjadi insiden di pintu gerbang
tempat keluarnya rombongan karena rakyat berjejal (Agung, 1989).
30
September 1845:
Rochussen
dilantik sebagai Gubernur Jenderal yang baru menggantikan Petrus Merkus yang
sudah habis masa jabatannya. Peristiwa “ I Gusti Ketut Jelantik” menjadi
pendorong bagi Belanda untuk mengadakan tindakan militer yang memang menjadi
tujuannya (Agung,
1989).
6
Februari 1846:
Surat
Keputusan Gubernur Jenderal Rochussen untuk menyiapkan pasukan ekspedisi untuk
menaklukkan Kerajaan Buleleng juga bila perlu Karangasem (Agung, 1989).
17
Februari 1846:
Gubernur
Jenderal Rochussen mengeluarkan Surat Keputusan penting yang memberi petunjuk
terakhir pelaksanaan aksi militer terhadap Kerajaan Buleleng dan Karangasem (Agung, 1989).
23
Februari 1846:
Surat
Keputusan Gubernur Jenderal Rochussen menunjuk Friederich, seorang ilmuwan di
bidang Agama dan Kebudayaan Timur ikut serta dalam ekspedisi militer untuk
mengumpulkan pustaka2 Hindu Jawa Kuno yang termasyur itu (Agung, 1989).
3
April 1846:
Bebarapa
utusan dari Raja Seleparang tiba di Surabaya dalam perjalanannya ke Batavia.
Mereka memberitahu, Raja Seleparang Gusti Ngurah ketut Karangasem akan membantu
dalam penyerbuan ke Buleleng dan Karangasem (Agung, 1989).
13
April 1846:
Pertemuan
Raja2 di Badung, yaitu: Raja Kesiman I Gusti Gde Ngurah Kesiman, Raja Pemecutan
I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, Raja Denpasar IGusti Gde Ngurah Denpasar untuk
membahas dan mengambil sikap terhadap surat yang diberikan Dewa Agung.
Raja
Kesiman mengatakan, apabila Badung tidak menuruti perintah Dewa Agung, sudah
jelas Tabanan bersikap yang serupa.
Mads
J Lange ikut hadir dalam pertemuan ini (Agung, 1989).
15
April 1846:
Laporan
Wakil Pemerintah Hindia-Belanda untuk Bali Mads J Lange, isinya Dewa Agung
Klungkung mengirim surat kepada semua Raja di Bali untuk mengadakan perlawanan
kepada Belanda (Agung,
1989).
21
Juni 1846:
Armada
Belanda yang mengangkut pasukan ekspedisi berkumpul dan berangkat dari Besuki (Agung, 1989).
24
Juni 1846:
Armada
kapal2 Belanda mencapai pantai Buleleng. Komisaris Pemerintah JFT Mayor
disertai Panglima pasukan ekspedisi Letkol G Bakker menyampaikan ultimatum
Gubernur Jenderal JJ Rochussen kepada Syahbandar Buleleng untuk diserahkan
kepada Raja. Isinya selambat-lambatnya 3 x 24 jam harus sudah ada jawaban (Agung, 1989).
26
Juni 1846:
Surat
Raja Buleleng atas ultimatum Belanda. Isinya penangguhan waktu untuk memberikan
jawaban selama 10 hari, karena akan berunding dengan Dewa Agung Klungkung
sebagai Susuhunan Bali-Lombok.
Penangguhan
ini ditolak oleh Belanda (Agung, 1989).
28
Juni 1846:
Dini
hari pasukan ekspedisi militer Belanda didaratkan di sebelah Timur, di sebuah
sawah desa Buleleng sesuai dengan peta yang dibuat oleh Lettu Von Stampa.
Sedangkan meriam2 kapal perang dari tempat berlabuh di pantai memuntahkan
peluru (Agung,
1989).
29
Juni 1846:
Pasukan
ekspedisi Belanda menuju kota Singaraja, ternyata pasukan Bali tidak memberikan
perlawanan. Raja beserta pembesar kerajaan sudah meninggalkan kota dan istana
(Puri). Sesuai instruksi maka istana Singaraja dihancurkan (Agung, 1989).
30
Juni 1846:
Surat
laporan Mads Lange kepada Residen Besuki/Komisaris Pemerintah untuk Bali,
isinya Raja Bangli Dewa Gde Tangkeban mengirim utusan kepadanya, yang
mengatakan Raja Bali menyesalkan Belanda tidak menyertakan pasukan Bangli
menyerang Buleleng. Raja menyiapkan 1000 orang (Agung, 1989).
13
Juli 1846;
Gubernur
Jenderal JJ Rochussen dari Batavia menumpang kapal perang tiba di Pantai
Buleleng menerima penghormatan pasukan ekspedisi yang telah mencapai kemenangan
dan memamerkan kekuatan militernya (Agung, 1989).
9
Agustus 1846:
Surat
Keputusan Gubernur Jenderal yang mengatur soal pampasan perang yang harus
dibayar oleh Raja Buleleng dan Karangasem (Agung, 1989)
30
Juni 1847:
Surat
Wakil Pemerintah Mads J Lange kepada Residen Besuki/Komisaris Pemerintah JFT Mayor,
isinya dia didatangi oleh penasehat utama Dewa Agung Klungkung Ida Wayan
Sidemen. Penasehat tersebut menyampaikan peringatan Dewa Agung kepada Belanda
yang telah melanggar perjanjian tidak akan menguasai Bali (Agung, 1989).
30
Oktober 1847:
Raja
Gianyar Dewa Manggis (VI) wafat. Diganti oleh Dewa Pahang, oleh karena belum
“mabiseka ratu” belum berhak memakai gelar “Manggis”. Kemudian mabiseka ratu
pada tahun 1856, bergelar Dewa Manggis VII (Agung, 1989).
20
Desember 1847:
Pembakaran
jenasah Raja Gianyar Dewa Manggis (VI) diikuti upacara mesatya oleh 3 (tiga) orang wanita selir. Ketiga wanita itu
berpakain putih-putih dengan perasaan bangga meloncat kedalam bara api tanpa
terlebih dahulu menusuk diri dengan keris (Creese, 2012).
7
Maret 1848:
Ultimatum
Gubernur Jenderal JJ Rochussen kepada Raja Buleleng, isinya (Agung, 1989):
1. Ganti rugi atas perampasan
terhadap perahu karam di Pantai Lirang sebuah desa kecil di Buleleng oleh
penduduk setempat yang berlayar dari Pamekasan.
2. Benteng2 dan kubu2
pertahanan yang dibangun sesudah perang 1846 harus dihancurkan.
3. Adipati Gusti Ketut Jelantik
harus diserahkan kepada Panglima Angkatan Perang Belanda.
22
April 1848:
Gubernur
Jenderal JJ Rochussen mengeluarkan pengumuman perang antara Pemerintah
Hindia-Belanda dengan ketiga raja di Bali, yaitu Dewa Agung Klungkung, Raja
Buleleng, dan Raja Karangasem (Agung, 1989).
8
Juni 1848:
Ekspedisi
Militer Belanda II, mendarat di Pantai Sangsit Timur pk 4.00. Siang hari desa
Bungkulan jatuh. Karena hari sudah gelap diputuskan esoknya menuju ke Jagaraga (Agung, 1989)
9
Juni 1848:
Pasukan
ekspedisi Belanda bergerak menuju desa Jagaraga berhadapan dengan 2 kubu
pertahanan Bali yang cukup kuat. Pertempuran berlangsung dari pagi hingga siang hari dengan sengit.
Pasukan Belanda mengundurkan diri menuju Pantai Sangsit Timur (Agung, 1989).
10
Juni 1848:
Panglima
Van der Wijck memerintahkan pasukan untuk naik ke kapal. Pasukan ekspedisi yang
naik ke kapal dikejar oleh rakyat Bali mendapat perlindungan dari meriam2 yang
ditembakkan dari kapal2 yang berlabuh. Hari itu juga pasukan ekspedisi sudah
meninggalkan Pantai Sangsit Timur (Agung Gde: 1989).
Laporan
Letkol Van Swieten korban pasukan Bali 3 pedanda, 35 Brahmana. Angka ini
diperoleh dari Raja Kesiman I Gusti Gde Ngurah Kesiman, dikutip dari surat
Adipati Agung/Panglima Perang Gusti Ketut Jelantik yang disampaikan kepada Dewa
Agung Klungkung (Agung,
1989).
19
Juni 1848:
Kapal
api Onrust tiba di muka pantai Bungkulan membawa surat keputusan dari Gubernur
Jenderal JJ Rochussen, berisi petunjuk mengenai kelanjutan ekpedisi militer
tersebut (Agung,
1989).
20
Juni 1848:
Panglima
Mayor Jenderal Van der Wijck mengadakan rapat dengan semua perwira tinggi untuk
membahas beberapa kemungkinan, yaitu (Agung, 1989):
1. Tindakan militer merebut
benteng Jagaraga
2. Operasi militer terhadap
Dewa Agung Klungkung
3. Penghancuran kampung2 di
pantai Kerajaan Buleleng
4. Pasukan ditarik demi
kepentingan pertahanan di Pulau Jawa.
24
Juni 1848:
Gubernur
Jenderal JJ Rochussen menyampaikan surat kepada Panglima tertinggi Tentara
Kerajaan Belanda di Hindia-Belanda.
Mayor
Jenderal Van der Wijck minta dibebastugaskan ingin kembali ke Belanda. Gubernur
Jenderal menunjuk Mayor Jenderal Michiels sebagai Panglima ekspedisi militer
III yang diberangkatkan ke Bali (Agung, 1989).
28
Maret 1849:
Panglima
Mayjend Michiels tiba di pelabuhan Buleleng menumpang kapal perang “Etna” dan
berpendapat pasukan ekspedisi tidak perlu mengadakan gerak tipu menuju Sangsit,
akan tetapi langsung menuju ke pantai Buleleng (Agung, 1989).
2
April 1849:
Raja
Buleleng dan Karangasem lewat utusan membawa surat, isinya bersedia mengakui
kedaulatan Pemerintah Belanda. Jenderal Michiels tidak mau menerima utusan, dia
hanya ingin bertemu dengan kedua raja tersebut. Suluruh armada invasi Belanda
sudah tiba dan berlabuh di Pantai Buleleng.(Agung, 1989)
4
April 1849:
Semua
pasukan dengan seluruh perlengkapannya sudah didaratkan tanpa mendapat
perlawanan. Kota Singaraja dikosongkan, pasukan Bali menuju desa Jagaraga.
Jenderal Michiels memencarkan pasukannya di sekeliling kota dan memilih Puri
sebagai tempat konsolidasi (Agung, 1989).
7
April 1849:
Tepat
pk 15.00 tiba di Singaraja Raja Karangasem I Gusti Gede Ngurah Karangasem (30
th) dengan Adipati Agung I Gusti Ketut Jelantik dikawal lebih 12.000 orang
pasukan Bali.
Pasukan
Bali semuanya bersenjata tombak terhunus dengan tangkai berwarna merah dan
berpakaian seragam terdiri dari kain putih dengan semacam rompi merah sedang
kepalanya diikat sehelai kain putih. Pertemuan baru dapat berlangsung pada hari
itu karena hujan terus dan banyak jembatan yang hancur (Agung Gde: 1989)
Dalam
pertemuan itu Jenderal Michiels menguraikan syarat2 sbb (Agung, 1989)
1. Pengakuan kedaulatan
terhadap Pemerintah Hindia-Belanda
2. Menyerahkan dan mengosongkan
Benteng Jagaraga
3. Menghancurkan kubu2
pertahanan
11
April 1849:
Kota
Singaraja dan Pelabuhan Buleleng sudah dikosongkan oleh pasukan ekspedisi
Belanda. Mulai saat itu pasukan ekspedisi dipusatkan di Sangsit (Agung, 1989).
13
April 1849:
Raja
dengan Adipati Agung Buleleng, dan Raja Karangasem didampingi pembesar dan
Pedanda kerajaan dikawal ribuan pasukan bertemu dengan Jenderal Michiels di
Sangsit, membicarakan syarat2 yang diajukan oleh pihak Belanda (Agung, 1989).
14
April 1849:
Panglima
Jenderal Michiels mengeluarkan perintah harian kepada seluruh pasukan untuk
mempersiapkan diri, karena serangan terhadap benteng Jagaraga akan
dilangsungkan esok dini hari (Agung, 1989).
15
April 1849:
Pertempuran
di Jagaraga. Pasukan Belanda dipimpin Jenderal Michiels, Letkol Van Swieten,
dan Letkol De Brauw. Pertempuran selama sehari penuh hingga jauh malam (Agung, 1989).
16
April 1849:
Pk
11.00 Benteng Jagaraga jatuh, sebagai tanda pasukan Belanda mengibarkan bendera
Belanda dan meriam ditembakkan dari kapal2 perang Belanda yang berlabuh di
pantai Sangsit. Raja, Adipati Buleleng dan Raja Karangasem mengungsi di daerah
Batur. Batur dulu daerah kekuasaan Kerajaan Bangli yang dikuasai Kerajaan
Buleleng. Raja Bangli Dewa Gde Tangkeban atas ijin Panglima Jenderal Michiels
menyerang kedua raja dan Adipati di Batur, sehingga kedua raja dan Adipati
bersama pasukannya mengungsi ke kota Karangasem.
Setelah
Benteng Jagaraga jatuh, Jenderal Michiels menawarkan kepada raja Bangli, Dewa
Gde Tangkeban untuk menjadi Dewa Agung Susuhunan Bali-Lombok menggantikan Dewa
Agung Klungkung. Akan tetapi Raja Kesiman, Pemecutan dan Tabanan tidak bisa
menerima (Agung,
1989).
26
April 1849:
Raja
Bangli Dewa Gde Tangkeban tiba di Sangsit dikawal 2.000 orang pasukan,
mengadakan pertemuan dengan Jenderal Michiels. Raja Bangli mengajukan
permintaan agar diberi kekuasaan menguasai kembali wilayah2nya yang duduki oleh
Kerajaan Buleleng, Karangasem, Mengwi, dan Gianyar (Agung, 1989).
29
April 1849:
Karena
Benteng Jagaraga jatuh, yang berarti berakhir pula kekuasaan Kerajaan Buleleng di
Jembrana. Belanda mengangkat I Gusti Alit Gentuh sebagai Raja Jembrana (Agung, 1989).
9
Mei 1849:
Armada
Invasi Belanda dengan semua pasukan meninggalkan Pantai Sangsit menuju ke
Labuan Amuk Bali Selatan (Agung, 1989)
12
Mei 1849:
Armada
Invasi Belanda tiba di Labuan Amuk dari Sangsit (Agung, 1989).
13
Mei 1849:
Panglima
Jenderal Michiels memerintahkan Letkol Van Swieten dengan 3 Kompi pasukan
mendarat dan mengadakan penyelidikan di daerah sekitarnya sebelun pasukan
didaratkan (Agung,
1989).
14
Mei 1849:
Pembantu
Komisaris Kapten Ajudan Van Cappellen ke Lombok untuk menemui Raja Seleparang
dengan pemberitahuan bahwa Jenderal Michiels bersedia menerima tawaran Raja
Seleparang yang bersedia mengirim 4000 orang pasukan membantu menyerang
Karangasem dengan imbalan2 (Agung, 1989).
16
Mei 1849:
I
Gusti Made Jungutan Adipati Agung Kerajaan Karangasem yang berselisih paham
dengan Raja, mengirim sepucuk surat lewat salah seorang pembekel di desa Labuan
Amuk, isinya ingin bertemu dengan Panglima Jenderal Michiels, dengan tujuan
menyerah dan membelot. Panglima menerima Adipati Agung ini pada malam harinya,
dan menyerahkan pasukannya bersama pasukan Seleparang untuk membantu Belanda (Agung, 1989).
17,
18, dan 22 Mei 1849:
Kerajaan
Badung menyerang Mengwi, akan tetapi berhasil dipukul mundur oleh pasukan
Mengwi yang mengakibatkan 30 orang korban di pihak Badung. Hal ini dilaporkan
oleh Wakil Pemerintah Hindia-Belanda (Agung, 1989).
18
Mei 1849:
Jenderal
Michiels mengirim 10 kapal pengangkut ke Ampenan untuk mengangkut pasukan
bantuan dari Lombok yang berjumlah 4000 orang (Agung, 1989).
19
Mei 1849:
Pasukan
bantuan Seleparang tiba di Labuan Amuk di bawah pimpinan I Gusti Gde Rai (Agung, 1989).
20
Mei 1849:
Pasukan
Seleparang pimpinan I Gusti Gde Rai dan pasukan Adipati Agung I Gusti Made
Jungutan menguasai desa Ujung di sebelah Selatan kota Karangasem. Raja
Karangasem gugur dalam puputan ini. Sementara pasukan Belanda tidak dapat
didaratkan karena ombak sangat besar.
I
Gusti Ketut Jelantik dan anaknya lari ke daerah Seraya, dikejar dan dibunuh
oleh pasukan Seleparang (Agung, 1989).
24
Mei 1849:
Pasukan
Belanda dibagi dalam 2 koloni, masing2 dipimpin oleh Jenderal Michiels dan
Letkol Van Swieten.
Belanda
menyerbu Goa Lawah terus ke Kusambe dibantu oleh Raja pasukan Seleparang
pimpinan I Gusti Gde Rai. Dewa Agung Klungkung dibantu oleh Dewa Pahang dari
Gianyar.
Goa
Lawah dapat diduduki Belanda, pasukan Bali mengundurkan diri ke Kusambe sekitar
4 Km dari Goa Lawah. Kemudian Panglima Michiels secara cepat menggerakkan
pasukannya ke Kusambe. Belanda menguasai Kusambe pk 15.00, pasukan Bali
mengundurkan diri ke Klungkung (Agung, 1989).
25
Mei 1949:
Pk
03.00 ribuan pasukan Bali berhasil menyusup ke desa Kusambe dan mendadak
menyerang Belanda. Jenderal Michiels tertembak kaki kanannya. Pk 23.00 ia
meninggal.
Seluruh
pasukan Belanda bergerak lagi menuju Padang Bai sementara Kusambe dikosongkan (Agung, 1989)
27
Mei 1849:
Jenazah
Panglima Jenderal Michiels diangkut dengan kapal “Etna” ke Batavia. Dengan
demikian Letkol Van Swieten sebagai perwira senior tertua ditunjuk menjabat
sebagai Panglima (Agung,
1989).
28
Mei 1849:
Pemimpin
pasukan Seleparang I Gusti Gde Rai menyerahkan tiga buah keris kepada Letkol
Van Swieten di Padang Bai. Ketiga keris itu masing-masing milik Raja Buleleng,
Raja Karangasem, dan I Gusti Ketut Jelantik, sebagai bukti ketiga tokoh
tersebut telah gugur (Agung, 1989).
2
Juni 1849:
Pertemuan
di tempat antara Kusambe dan Goa Lawah, dihadiri oleh utusan Dewa Agung, Raja
mengwi, Raja Gianyar dan pemimpin pasukan Seleparang I Gusti Gede Rai, membahas
situasi politik di Bali (Agung, 1989).
Raja
Bangli Dewa Gde Tangkeban tidak ikut dalam pertemuan itu, karena takut
meninggalkan kerajaannya. Dia kuatir saat berada di luar kerajannya akan
diserang oleh Mengwi dan Klungkung (Agung, 1989).
9
Juni 1849:
Pemimpin
pasukan Lombok I Gusti Gde Rai, menerima surat dari Putera Mahkota Kerajaan Klungkung yang bertindak sebagai
Adipati Agung Dewa Agung Ketut Agung, isinya kepada Letkol Van Swieten bahwa
Dewa Agung tidak dapat menghadiri pertemuan 10 Juni 1849. Surat yang sama juga
diterima dari Dewa Pahang Raja Gianyar.
Raja2
Badung I Gusti Gde Ngurah Kesiman dan I Gusti Gde Ngurah Pemecutan dan Raja
Tabanan dengan pasukan 16.000 orang tiba di Klungkung, untuk membantu Dewa
Agung apabila diserang oleh Belanda, peristiwa ini dilaporkan oleh Wakil
Pemerintah Hindi-Belanda untuk Bali Mads Lange (Agung, 1989).
14
Juni 1849:
Pertemuan
di Kusambe dihadiri raja-raja di Bali, Raja Kesiman, Gianyar, Adipati Mengwi,
pembesar2 Kerajaan Klungkung dan Tabanan, dan Pangeran Bernhard Von Saxe
Weimar.
Kusambe
mulai ditinggalkan pasukan Belanda.
Pasukan
Belanda tidak jadi menyerang Dewa Agung Klungkung karena berkat diplomasi dari
Raja Kesiman I Gusti Gde Ngurah Kesiman dibantu oleh Mads Lange. Raja Kesiman
memberi jaminan kepada Belanda bahwa Dewa Agung akan mematuhi segala syarat
perjanjian dan bertanggung jawab atas kejujuran Dewa Agung (Agung, 1989).
15
Juni 1849:
Raja
Bangli Dewa Gde Tangkeban diberi wilayah kekuasaan oleh Belanda untuk
memerintah Buleleng selain Bangli, setelah Buleleng ditaklukkan Belanda.
Upacara berlangsung di Singaraja dan dilantik oleh Letkol Van Swieten, melalui
surat keputusan Pangeran Bernhard Von Saxe Weimar. Demikian juga I Gusti Ngurah
Ketut Karangasem, Raja Seleparang diberi wilayah kekuasaan Karangasem (Agung, 1989).
22
Juni1849:
Pangeran
Bernhard von Saxe Weimar bertemu dengan Raja Bangli Dewa Gde Tangkeban,
menyatakan terimakasih Pemerintah kepada Raja Bangli atas segala bantuan yang
diberikan (Agung,
1989).
25
Juni 1849:
Surat
Keputusan Pangeran Bernhard von Saxe Weimar yang ditetapkan di atas kapal api
“Etna” yang berlabuh di pabean Buleleng, menetapkan (Agung, 1989):
1. I Gusti Putu Ngurah Jembrana
sebagai Raja Jembrana.
(Jembrana adalah bekas wilayah kekuasaan Kerajaan
Buleleng. Setelah benteng Jagaraga jatuh, yang berarti takluknya Kerajaan
Buleleng, maka Jembrana menjadi wilayah yang lepas dari Kerajaan Buleleng.
2. Dewa Gde Tangkeban
dinobatkan sebagai Raja Bangli dan Buleleng.
3. Raja Seleparang I Gusti Ngurah
Ketut Karangasem dinobatkan sebagai Raja Karangasem.
2
Juli 1849:
Letkol
Van Swieten mengunjungi Kerajaan Badung untuk mengadakan tukar pikiran dengan
ketiga Raja di sana, terutama dengan Raja Kesiman, I Gusti Gde Ngurah Kesiman,
yang telah memainkan peranan yang sangat menyolok (Agung, 1989).
13
Juli 1849:
Pertemuan
di rumah Mads Lange di Kuta untuk membahas situasi politik di Bali, dihadiri
oleh Letkol Van Swieten dan Raja2 Bali seperti (Agung, 1989):
1. Dewa Agung di Klungkung,
Dewa Agung Putera karena lanjut usia dan sakit2an diwakili oleh Putra Mahkota
Dewa Agung Ketut Agung
2. Ketiga Raja di Badung (I
Gusti Ngurah Gde Pemecutan, I Gusti Ngurah Made Pemecutan, dan I Gusti Ngurah
Gde Denpasar)
3. Raja Tabanan, Ratu I Gusti
Ngurah Agung
4. Raja Gianyar, Dewa Pahang,
dan
5. Raja Mengwi, I Gusti Agung
Ketut Agung
15
Juli 1849:
Belanda
berhasil mencapai kesepakatan dengan raja-raja Bali yang berisi pengakuan
kedaulatan Pemerintah Hindia-Belanda. Dimana Karangasem dan Buleleng sudah
ditaklukkan Belanda. Tidak kurang dari 30.000 pengikut Raja Bali Selatan hadir
dalam penandatangan yang dilaksanakan di Kuta Badung (Nordholt, 2009).
11
Desember 1849:
Mads
J Lange dianugrahi jasa kehormatan tertinggi berupa bintang, atas jasa2nya
dalam penyelesaian masalah politik di Bali. Kunci kesuksesannya adalah karena
mendapat kepercayaan besar dari Raja2 di Bali. Raja Kesiman I Gusti Gde Ngurah
Kesiman adalah teman karibnya (Agung, 1989).
Th
1850:
Sejak
tahun ini wilayah inti Kerajaan Mengwi sepenuhnya didominasi oleh Puri Mayun,
yang membentang antara desa Sangeh. Sementara wilayah kekuasaan Puri Sibang di
bagian Timur, Puri Kapal Kaleran di bagian selatan, dan kekuasaan Puri Blayu di
daerah barat-laut (Nordholt, 2009).
14
Mei 1850:
Pasukan
Tabanan menyerang Mengwi. Peperangan terjadi di daerah Blayu. Pihak Tabanan
menderika korban banyak, dipukul mundur oleh Mengwi (Agung, 1989).
24
Mei 1850:
Pasukan
Badung menyerang Mengwi, akan tetapi berhasil dipukul mundur oleh Mengwi (Agung, 1989).
18
Agustus 1850:
Pembakaran
jenasah Dewa Agung Putera. Putra mahkotanya Dewa Agung Ketut Agung bergelar
Dewa Agung Putra (Agung,
1989).
1
Desember 1850:
Raja
Kesiman teman akrab Mads Lange diberi hadiah 2 buah Meriam Tembaga (Agung, 1989).
Th
1853:
Kerajaan
Gianyar menyerbu dan menguasai daerah Payangan dan Tampaksiring (Agung, 1989).
Th
1854:
Permulaan
Tahun 1854, dilangsungkan upacara widi wedana terhadap Cokorda Putra (putra
dari Cokorda Rai Raja Payangan) dan Cokorda Oka (putra dari Raja Tampaksiring).
Kedua putera mahkota itu diangkat sebagai anak angkat Bagnda Raja Gianyar (Mahaudiana, 1968).
Ida
Made Rai secara turun-tumurun diangkat sebagai Punggawa Banjar pada usia 17
tahun. Sudah merupakan tradisi dari Brahmana Banjar yang diangkat sebagai
punggawa yang disebut Manca Siwa Agung (Sastrodiwiryo,
2007).
15
Pebruari 1854:
Raja
Bangli Dewa Gde Tangkeban mengembalikan wilayah Buleleng yang diberikan oleh
Belanda, karena merasa tidak mampu memerintah Buleleng (Agung, 1989).
31
Maret 1855:
Mads
J Lange diberhentikan secara hormat sebagai Wakil Pemerintah Hindia-Belanda
untuk Bali, disertai ucapan terimakasih atas jasa2nya. Ia diganti oleh PL van
Bloemen Waanders dan berkedudukan di Buleleng (Agung, 1989).
17
Agustus 1855:
Raja
Jembrana I Gusti Putu Ngurah juga mengembalikan wilayah Jembrana, yang
diberikan oleh Belanda pada tanggal 25 Juni 1849, karena tidak mampu memerintah
rakyat setempat (Agung,
1989).
13 Mei 1856:
Mads lange wafat, makamnya sampai sekarang ada di
Kuta. Usaha dagangnya diteruskan oleh anaknya, tetapi tidak berkembang, karena
semenjak Belanda menguasai Buleleng pusat perdagangan dipindahkan ke Buleleng
dan menjadi pelabuhan yang ramai (Agung, 1989).
Mads Lange bersahabat dengan Raja Kesiman. Lange
datang ke Bali pada saat yang tepat. Hidupnya menjadi makmur karena meningkatnya
aktivitas perdagangan antara Bali dan Singapura. Diduga kuat kematian Lange
karena diracun (Vickers, 2012).
Th 1856:
Penobatan Dewa Pahang, di Gianyar bergelar Dewa
Manggis VII (Agung,
1989).
Serangan hama tikus yang merusak panen di Mengwi,
Tabanan, dan Badung (Nordholt, 2009).
Th 1857:
Belanda mengangkat Gusti Ngurah Ketut Jelantik
sebagai asisten Residen di Singaraja. Pengangkatan ini atas bantuan Ketut
Liarta, yang diangkat juga sebagai patih mengemban raja salah seorang keturunan
Panji Sakti (Sastrodiwiryo, 2007).
10 Desember 1858:
Delapan kapal perang dan kapal pengangkut Belanda
berlabuh di Pabean Buleleng, untuk menyerang rakyat Banjar Jawa yang
memberontak dipimpin oleh Nyoman Gempol. Nyoman Gempol diasingkan ke Jawa (Agung, 1989).
20 Desember 1860:
Belanda melantik I Gusti Ngurah Ketut Jelantik
sebagai Raja Buleleng, yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan dinasti
Panji Sakti cabang Kubu Tambahan (Agung, 1989).
Tahun 1861:
Teman akrab Mads Lange Raja I Gusti Ngurah Gde
Kesiman, yang memegang peranan di Badung
wafat. Ia diganti oleh anaknya yang juga bergelar I Gusti Gde Ngurah
Kesiman (Agung,
1989).
Tahun 1862:
Agung Made Raka pemimpin angkatan perang Kerajaan
Mengwi (yang mendapat anugerah selendang gaib dewa) melancarkan serangan kilat ke Desa Marga.
Penguasa Marga lari ke Kerajaan Tabanan. Agung Made Raka sampai di Pura Gunung,
sebuah pura kerajaan di tepi Danau Beratan, melakukan upacara besar sebagai
penghormatan terhadap leluhurnya. Rupanya kemenangan ini tidak bertahan lama, karena
3 tahun kemudian penguasa Marga kembali ke tempat asalnya, dan Puri Marga tetap
menjadi satelit Kerajaan Tabanan (Nordholt,
2009).
Th 1868:
Tabanan dan Mengwi mengalami gagal panen yang
disebabkan oleh serangan hama tikus. Banyak orang menjadi budak karena terbelit
hutang. Kolera dan disentri yang masuk dari Buleleng. Sedikitnya 2.000 orang
meninggal (Nordholt, 2009).
21 Juli 1868:
Residen Mispelbloem Beijer tiba di Singaraja untuk
melihat perkembangan di Banjar Bulelng. Residen ini bertanggung jawab atas
wilayah Jemberana dan Buleleng. Kedatangannya bukannya membuat suasana menjadi
tenang malah semakin tegang. Di disambut oleh Regent Gusti Ngurah Ketut
Jelantik yang memakai busana Raja Buleleng (Sastrodiwiryo,
2007).
Sep-Okt 1868:
Peristiwa yang sangat sulit dihadapi Belanda karena
di daerah Banjar ini kaum Brahmana berpengaruh di desa ini memberontak,
seperti: desa Kalianget, Dencarik, Tanggawisia, dan Patemon (Agung, 1989).
20 September 1868:
Punggawa Banjar Ida Made Rai tidak muncul. Jam 10.30
pasukan Belanda bergerak dari Temukus menyerang Banjar. Pasukan dipimpin
langsug oleh Mayor Heemskerk, yang bermaksud menikam laskar Banjar melalui
sebuah jurang di Dencarik. Letan Steigman dan Niys bersama 14 serdadu Belanda
tewas. (Sastridiwiryo,
2007).
3 Oktober 1868:
Serangan II Belanda di Banjar dibantu oleh pasukan
Kerajaan Buleleng yang dipimpin oleh Gde Dangin berjumlah 1.600 orang, menyerbu
pembrontak (Agung,
1989).
12 Oktober 1868:
Pk. 05.00 pasukan Belanda bergerak menuju Banjar.
Rakyat Banjar memberikan perlawanan yang sengit. Belanda kalah dalam perang ini
(Agung, 1989).
23 Oktober 1868:
Pasukan Belanda yang dipimpin oleh de Brabant dengan
cepat menguasai Banjar Tegehe dan Yeh Panes, berikutnya Banjar Ambengan dan
Banjar Paras. Pasukan sampai di depan Geriya Gede di Banjar Munduk. Di tempat
ini Belanda menghadapi perlawanan yang berlapis-lapis. Pejuang-pejuang yang
gugur di depan Geriya Gede antara lain: Ida Nyoman Ngurah, Ida Made Kajeng, (Sastrodiwiryo, 2007).
25 Oktober 1868:
Desa Tanggawisia dan Patemon jatuh, dikuasai Belanda
(Agung, 1989).
30 Oktober 1868:
Kolonel Brabant ke Tanggawisia menyaksikan sumpah
kesetiaan rakyat kepada pemerintah Belanda (Agung, 1989).
13 Nopember 1868:
Rakyat di desa Banjar beramai-ramai datang ke
Singaraja bersumpah setia kepada Belanda. Sumpah ini belum memuaskan karena
pemimpn mereka Ida Made Rai lolos (Sastrodiwiryo,
2007).
19 Nopember 1868:
Ida Made Rai yang memimpin gerakan di Banjar yang
melarikan diri, ditemukan dipersembunyiannya di desa Denkayu Mengwi, ditangkap
dan dibuang di Periangan Bandung (Agung, 1989).
Menurut keterangan keluarga Brahmana Banjar, semua
pejuang yang dibuang itu kembali pulang, kecuali Ida Made Rai dan Men Blegug.
Muncul spekulasi bahwa Ida Made Rai dieksekusi mati. Keadaan ini memicu
ketegangan antara Geriya Gede Banjar dengan Geriya Gede Denkayu, karena pihak
Denkayu membuka rahasia persembunyian Ida Made Rai (Sastrodiwiryo, 2007).
2 Maret 1869:
Made Guliang anak buah Ida Made Rai ditemukan
bersembunyi di desa Wongaya Tabanan. Tempat persembunyiannya dikepung oleh
orang-orang Wongaya. Made Guliang tidak menghiraukan perintah untuk menyerah.
Akhirnya ia dikeroyok beramai-ramai, sekujur tubuhnya dipenuhi tusukan tombak.
Mayatnya diarak di sekeliling desa Wongaya (Sastrodiwiryo,
2007).
Th 1870:
Raja Seleparang A
A Ngurah Ketut Karangasem wafat. Diganti oleh saudaranya yang terkenal
dengan nama Ratu Agung Agung (2x) Gde Ngurah Karangasem. Raja inilah yang
menghadapi Belanda tahun 1894. Sedangkan untuk memerintah di Karangasem diangkat
2 Raja, yaitu : I Gusti Gde Putu dan I Gusti Gde Jelantik (Agung, 1989).
Th 1871:
Raja Mengwi Agung Mayun meninggal, bertepatan dengan
hari raya Galungan. Pemerintahan seorang pemimpin terkemuka berakhir pada hari
yang luar biasa. Ketiga anaknya telah membagi kerajaan. Yang paling bungsu
membangun Puri Grana. Sementara raja di Puri Gede, tapi ketagihan candu hingga
melunpuhkan kedua kakinya. Kakak tertua Agung Made Raka (Nordholt, 2009).
Th 1872:
Regent Buleleng Gusti Ngurah Ketut Jelantik
dicurigai berkhianat oleh Belanda dibuang ke Padang Sumatera (Sastrodiwiryo, 2007).
April 1874:
Pendukung I Gusti Putu Bebed berdemontrasi di kota
Singaraja dan di Pabean Buleleng, menuntut kepada Belanda agar I Guti Putu
Bebed di jadikan regent/raja (Agung, 1989).
Th 1880:
Dewa Agung Klungkung mengirim diplomatnya Ida
Pedanda Gede Ketut Pidada mampu memulihkan perdamaian antara Puri Sibang dengan
Mengwi, dan menjadikan Puri Sibang sebagai persekutuan Klungkung. Dalam
kesepakatan ini Puri Klungkung memberikan Puri Sibang sebuah pura yang bernama
Pura Dalem Dasar (Nordholt, 2009).
Th 1881:
Raja
Bangli Dewa Gde Tangkeban wafat. Sebelum wafat anak-anaknya dikumpulkan dan
disuruh bersumpah agar tidak pernah mengadakan perjanjian apapun dengan Raja
Gianyar selama daerah-daerah Bangli yang direbut Gianyar tidak dikembalikan.
Seperti: Payangan, Tampaksiring, dan lain-lain (Agung, 1989).
Julius Jacobs seorang Belanda berkunjung ke Gianyar
diterima raja Gianyar yang sakit karena pecandu berat opium. Jacobs didampingi
oleh prebekel Ketut Pasek yang
bertugas sebagai penterjemah (Vickers,
2012).
16 Agustus 1881:
Penobatan Raja Bangli bergelar I Dewa Gde Tangkeban (Agung, 1989).
1 Juli 1882:
Dibentuk
Keresidenan Bali-Lombok yang berkedudukan di Singaraja, dengan Residen Tuan
Hoos, yang membawahkan seorang Kontrolir yang bernama E. Schalk (Agung, 1989).
3
September 1883:
Surat
Keputusan Pemeritah Hindia-Belanda No. 3 tentang pengakuan Pemerintah
Hindia-Belanda terhadap penggabungan Kerajaan Gianyar dengan Kerajaan Klungkung
(Mahaudiana, 1968).
4
April 1884:
Rakyat
Apuan mengadakan rapat, memutuskan kesetiaan kepada Raja Gianyar, beralih
kepada Raja Bangli. Sebab rakyat tidak senang dengan anak Dewa Manggis VII;
Dewa Ngurah Ratna Kania yang mengadakan hunbungan gelap dengan istri pembekel
desa I Gangsar. Raja Bangli menerima permintaan rakyat Apuan dengan syarat
membuat kubu-kubu pertahanan terhadap serangan Gianyar (Agung, 1989).
Th
1884:
Jatuhnya
Kerajaan Gianyar akibat perang dengan Kerajaan Klungkung. Dewa Agung membangun
fron di Selatan secara bertahap. Raja Gianyar yang sudah tua dan didesak oleh
gundik mudanya untuk menyingkirkan dua penasihatnya yang paling penting, yakni
dua bersaudara Made dan Ketut Pasek yang sangat dikenal dengan pemimpin perang
dan administrator pemerintahan. Setelah mereka dicopot dari lingkaran pengiring
raja, keuasaan kerajaan semakin lemah (Nordholt,
2009).
Maret
1884:
Pertengahan
Maret 1884 angkatan perang Kerajaan Gianyar dibawah pimpinan I Ketut Sara
menyerang Desa Apuan. Serangan ini gagal karena pasukan Kerajaan Bangli
membalas dengan tembakan-tembakan dalam jumlah yang lebih banyak, dibawah
pimpinan Dewa Made Raka. Seluruh pasukuan Kerajaan Gianyar ditarik mundur (Mahaudiana, 1968).
1
Agustus 1884:
Kembali
pasukan Kerajaan Giayar menyerang Desa Apuan yang dipimpin oleh I Ketut Sara.
Pasukan dari Pejeng menyerang dari barat-laut, pasung dari Sukawati menyerang
dari barat-daya, namun masih jauh dari benteng musuh. Kedua pasukan tersebut
bertemu di satu area dan tidak saling mengenal, akhirnya mereka saling bunuh
dengan sesama teman sendiri. Pasukan Bangli merasa geli menonton peristiwa ini.
Korban meninggal pasukan Gianyar diberitakan sebanyak 300 orang (Mahaudiana, 1968).
Th
1885:
Negara
(wilayah Gianyar), menyatakan melepaskan diri dari Kerajaan Gianyar, dan
menyatakan Negara bagian dari Kerajaan Dewa Agung Klungkung (Agung, 1989).
Mantan
panglima perang Mengwi yang terkenal Agung Made Raka meninggal di kedaiaman
besannya di Badung. Agung Kerug meminta agar Raja Badung agar bersedia
memberikan mayat ayahnya. Meskipun terjadi perselisihan dengan ayahnya, Agung
Kerug berharap dapat menyelenggarakan pelebon
ayahnya. Ini akan meningkatkan haknya untuk bisa menjadi penerus ayahnya dan
dia akan kembali memperoleh dua pusaka hebat yang telah dibawa oleh ayahnya ke
Badung. permintaan ini ditolak Raja Badung, dan pengabenen dilaksanakan di
kuburan Badung. Agung Kerug merasa kehormatannya dipertaruhkan, dia menutup
persediaan air irigasi ke Badung, diperbatasan di desa Sempidi. Air yang
mengalir dicemari dengan daun-daun yang menimbulkan gatal-gatal dan pingsan,
sehingga penduduk di Badung tidak bisa meminum atau memakainya untuk mandi.
Pemblokiran ini menjadi senjata yang ampuh, sejumlah sawah-sawah di Badung
gagal panen. Inilah yang memicu perang antara Badung dengan Mengwi(Nordholt, 2009) .
Januari
1885:
Permulaan
bulan, Punggawa Negara Cokorda Oka
memberontak terhadap Kerajaan Gianyar atas dukungan Dewa Agung Klungkung. Dewa
Agung berpendapat, lebh baik Kerajaan Gianyar dilenyapkan daripada Kerajaan
Bangli, meskipun Bangli menolak menyerahkan Desa Apuan kepada Ganyar. Kerajaan
Bangli yang sudah berserikat dengan Pemerintah Hindia-Belanda di Buleleng
menjadi pertimbangan Dewa Agung Klungkung untuk tidak bermusuhan dengan
Kerajaan Bangli (Mahaudiana, 1968).
3
Pebruari 1885:
Laskar
Bangli dipimpin Dewa Made Raka menyerang kerajaan Gianyar dan menduduki 10
desa, di Selatan Bukit Jati, dan Samplangan. Raja Gianyar Dewa Manggis VII lari
ke Banjarangkan di tempat saudaranya Dewa Ngurah Banjarangkan yang menjabat
sebagai Punggawa (Agung,
1989).
4
Pebruari 1885:
Utusan
Dewa Agung Klungkung menuju Banjarangkan, meminta Raja Gianyar Dewa Manggis VII
untuk melepas senjata dan mambatasi jumlah pengiring untuk menghadap Dewa Agung
Klungkung. Raja Gianyar menyerahan pusaka leluhurnya seperti keris Ki Baru
Kama, Raksasa Bedak dan sepasang tombak Ki Baru Alis dan Ki Sadeg. Sesampai di
Klungkung, ternyata Raja Gianyar tidak diperkenankan menghadap Dewa Agung,
disuruh ke Puri Satriya di kediaman Cokorda Rai, dan diasingkan bertahun-tahun
di sini. I Ketut Sara dijadikan hamba sayaha di Puri Klungkung, sedangkan I
Ketut Pasek yang setia mengiring Raja Gianyar dibunuh dengan kejam di Desa
Takmung. Sisa keluarga layng lain diberi hukuman selong ke Pulau Nusa Penida (Mahaudianan, 1968).
Th
1886:
Hubungan
Mengwi dan Klungkung memburuk, karena Agung Kerug memberi suaka kepada tiga
penguasa Gianyar yang berperang dengan Dewa Agung (Nordholt, 2009).
30
Agustus 1890:
Laskar
gabungan Ketewel, Batuyang, Batubulan. Singapadu, Sukawati, Celuk, batuan,
Lodtunduh, dan Selakarang dipimpin Cokorda Oka menyerang Ubud dan Peliatan.
Penyerangan dimulai dari Desa Katiklantang dan Jukutpaku, sedangkan penyerangan
ke Peliatan dimulai dari Desa Sakah. Desa Katiklantang dan Jukutpaku menjadi
lautan api. Pemimpin pasukan Cokorda Oka mengalami patah tulang paha sehingga
tidak dapat berlari, ia dikeroyok hingga tewas di tengah sawah Subak Penambeng.
Mayatnya dibawa ke Puri Mas, atas pemohonan putrinya Dewa Ayu Muter akhirnya
mayat dibawa ke Negara. Akhirnya seluruh kekuasaan Negara menyatakan takluk
kepada tiga serangkai Peliatan, Ubud dan Tegalalang (Mahaudiana, 1968).
Th
1891:
Suku
Sasak di Lombok mulai memberontak terhadap kekuasaan Raja Ratu Agung Agung Gde
Ngurah Karangasem. Belanda mengirim pasukan dalam jumlah yang besar ke Lombok
dengan alasan menolong suku Sasak (Agung, 1989).
24
April 1891:
Raja
Gianyar Dewa Manggis VII yang diasingkan di Puri Satrya akhirnya wafat.
Permaisuri Dewa Manggis VII meminta pendeta bhagawanta Kerajaan Gianyar Ida Pedanda
Ketut Pidada untuk menyelidiki lebih jauh. Putera mahkota Dewa Ngurah Pahang
dan adiknya Dewa Gde Raka melaksanakan pelebon raja (Mahaudiana, 1968).
Mei
1891:
Penyerangan
terhadap Puri Negara oleh Ubud dan Mengwi. Puri Negara dibakar habis dan perlawanan
Klungkung terlihat pecah. Namun, sebeuah serangan balik mendadak dilancarkan
dan dalam suasana kacau dan panik sejumlah pejuang Mengwi menyerah, sedangkan
sejumlah besar lainnya tewas terbunuh (Nordholt,
2009).
Awal
Juni 1891:
Dewa
Agung Klungkung menyebarkan surat kontar ke seluruh kerajaan di Bali yang
mengabarkan serangan akhir ke Mengwi dan memberhentikan Raja Mengwi. Badung dan
Tabanan mengikuti perintah Dewa Agung, dengan cepat menuju Mengwi. Badung
mempunyai alasan yang cukup kuat untuk membuat perhitungan dengan Mengwi,
karena sejak tahun 1885 sebagian besar sistem irigasi telah diblokir sehingga
selama 6 tahun sebagian besar sawah-sawah di barat Badung gagal panen (Nordholt, 2009).
16
Juni 1891:
Tiga
punggawa Kerajaan Gianyar, yaitu Punggawa Sukawati, Blahbatuh, dan Abianbase
yang minta suaka di Kerajaan Karangasem diijinkan pulang melalui Bangli. Raja
Karangasem bermusuhan dengan Dewa Agung Klungkung soal Kerajaan Mengwi, juga
banyak perhiasan-perhiasan emas raja lombok yang hilang di Pura Besakih (Mahaudiana, 1968).
20
Juni 1891:
Hancur
dan tamatnya Kerajaan Mengwi. Raja Mengwi tewas, setelah pasukan Badung
menyerang Sibang, terus menyerang Mengwi dan meguasai Mengwi Selatan termasuk
Mengwi Tani. Badung bersama Tabanan didukung Dewa Agung Klungkung mengalahkan
Mengwi. Sebagaimana diketahui dalam abad ke 18 Badung masih merupakan bagian
dari Kerajaan Mengwi, dan pada abad 19 Badung di bawah Raja I Gusti Ngurah Made
Pemecutan melepaskan diri dari Kerajaan Mengwi (Agung, 1989).
Ketika
Badung memulai serangan, pada saat yang bersamaan rakyat Sibang menyerang
pertahanan Mengwi dari belakang. Badung kemudian melakukan serangan ke daerah
pertahanan kedua, seluruh rangkaian desa direbut, yakni Sempidi, Sading, Buduk,
Pererenan, Abianbase, dan Kapal. Sawah-sawah jatuh ke tangan musuh termasuk
bendungan berharga di Mambal. Tabanan bergerak ke Blayu, dimanan penguasa Puri
Blayu bunuh diri, sementara penguasa Puri Kaba-Kaba mengasingkan diri ke
Tabanan. Bangli menyerang Puri Carangsari dan Puri Petang, kedua puri ini
langsung mengakui Raja Bangli. Agung Kerug dan Agung Pekel menyatakan diri akan
bertempur sampai titik darah penghabisan, sementara raja ragu tidak tahu apa
yang harus dilakukan. Di lain pihak, Badung dengan penembak jitu dari Bugis
telah mencapai desa tepat di selatan Mengwi. Kulkul bulus Puri Gede dibunyikan
dan prajurit yang tersisa berkumpul di Puri Gede dipimpin oleh Ida Pedanda Made
Bang. Agung Kerug dan Agung Pekel melarikan diri dalam pertempuran, dan kini
raja sendirian. Raja Mengwi yang lagi pincang memerintahkan bawahannya untuk
ditandu dan segera keluar dari puri, karena akan sangat memalukan apabila raja
mati terbunuh di dalam puri. Tepat di selatan Mengwi, bertemu dengan laskar
Badung. Para penandunya ditembak, kemudian seorang jaba dari Badung melumpuhkan Raja Mengwi dengan tusukan tombak yang
mematikan. Seiring dengan kematiannya, Kerajaan Mengwi – yang pernah jaya itu –
pun sirna (Nordholt, 2009).
Th
1892:
Raja
Dewa Manggis (VII) wafat di pengasingan di Satria. Dari Banjarangkan Dewa
Manggis VII menuju Klungkung untuk menghadap Dewa Agung Klungkung, tetapi
setelah sampai di kota Klungkung, rombongan diperintahkan oleh Dewa Agung untuk
meneruskan perjalanan ke Timur (ke Satria) kira-kira 2 km dari kota,
pengikutnya dibuang di Nusa Penida (Agung, 1989).
Agung
Kerug dan Agung Pekel adalah orang pertama yang tiba di Ubud. Mereka bergabung
dengan orang-orang Mengwi penting lainnya yang mampu meloloskan diri dari
peperangan melawan Badung. salah satunya adalah putera mahkota Agung Gede Agung
(Nordholt, 2009).
Agustus
1892:
Dinasti
Mengwi yang mengungsi di Ubud berusaha menyusup ke desa Mengwi, namun mereka dapat disingkarkan tatkala
pasuka Badung dan Tabanan datang menyerang (Nordholt,
2009).
Th
1893:
Akibat
jangka panjang pembakaran dan pemusnahan yang dilakukan badung dan Tabanan,
berjangkitlah epidemi kolera di dekat Kapal, membunuh 2/3 jumlah penduduk (Nordholt, 2009).
Puri
Kaleran dan puri Muncan di Kapal diratakan dengan tanah. Penguasa baru kapal
adalah pemimpin perang dari Badung I Gusti Alit Raka Debot memilih tinggal di
Muncan. Sedangkan, salah satu keluarganya memilih tinggal di Abianbase, sebelah
selatan Kapal (Nordholt, 2009).
Puri
Carang Sari dan Petang memilih bergabung dengan Ubud dari pada Bangli. Kekuatan
Ubud berkembang pesat
19
Januari 1893:
Putra
Dewa Manggis VII, Dewa Ngurah Agung disebut juga Dewa Pahang, tiba di Gianyar
setelah berhasil meloloskan diri dari pengasingan di Satria (Agung, 1989).
Sekitar
75 orang dikirim untk membebaskan kedua putera mahkota Kerajaan Gianyar. Mereka
dipimpin oleh beberapa orang dari Desa taro Tegalalang yang dengan mahrnya
enggnakan ilmu sihir, sehingga tiada seorang pun tahu pembebasan tersebut (Mahaudiana, 1968).
21
Januari 1893:
Penobatan
Dewa Ngurah Pahang sebagai Raja Gianyar. Penobatan ini diakui oleh Pemerintah
Hindia-Belanda di Buleleng denga suratnya yangtertanggal 27 Pebruari 1893,
kemudian dikuatkan oleh Akte Van Erkening tertanggal 20 Nopember 1893,
selanjutnya diperkuat lagi oleh Pemerintah Hindia-Belanda di Batavia tertanggal
19 Maret 1894 (Mahaudiana, 1968).
Akhir
Maret 1893:
Cokorda
Suda Punggawa Pejeng memberontak kepada Raja Gianyar. Sikapnya ini membuat
Cokorda Gde Sukawati marah besar. Pejeng digempur dari 4 arah. Dari utara
pasukan Tegalalang, dari barat pasukan Ubud, dari selatan Pasukan Blahbatuh,
dan dari timur pasukan Siangan. Dalam sekejap pejeg menjadi latan api. Cokorda
Suda sempat melarikan diri dan minta suaka kepada Raja Bangli (Mahaudiana, 1968).
1
April 1893:
Residen
Bali-Lombok mengangkat Kontrolir kelas II JH Liefrinck untuk bertugas mengamati
situasi politik di Gianyar dan Bali Selatan (Agung, 1989).
11
April 1893:
Kontrolir
Liefrinck tiba di Ujung Karangasem, diterima oleh Raja Karangasem yang pada
saat itu diperintah oleh dua Raja, I Gusti Gde Putu dan I Gusti Gde Jelantik. I
Gusti Gde Jelantik pada waktu itu ke Seleparang berhubung ada pembrontakkan di
sana (Agung,
1989).
16
April 1893:
Putra
Dewa Manggis VII, Dewa Ngurah Agung yang meloloskan diri dari pengasingan,
membangun kekuasaan dengan menguasai Pejeng (Agung, 1989).
17
April 1893:
Kontrolir
Liefrinck tiba di Klungkung dan diterima oleh Dewa Agung, didampingi oleh Putra
mahkota Dewa Agung Gde, dan Adipati Klungkung Dewa Agung Rai (Agung, 1989).
21
April 1893:
Liefrinck
tiba di Bangli diterima oleh Raja Bangli Dewa Gde Anom (Agung, 1989).
30
April 1893:
Malam
hari Kontrolir Liefrinck berkunjung ke Badung, diterima oleh Raja Denpasar, I
Gusti Gde Ngurah Denpasar, Raja Pemecutan tidak hadir karena sakit, Raja
Kesiman Adipati Kerajaan Badung menjadi juru bicara (Agung, 1989).
30
April 1893:
I
Gusti Gde Putu - salah satu dari dua Raja Karangasem – wafat, sehingga mulai
saat itu hanya I Gusti Gde Jelantik yang berkuasa di Karangasem mewakili
Kerajaan Seleparang (Agung, 1989).
2
Mei 1893:
Kontrolir
Liefrinck tiba di Tabanan petang hari. Ia melihat desa2 hancur, akibat
peperangan Badung dengan Mengwi. Ratusan hektar sawah kering, rumah2 kosong
dibumihanguskan (Agung,
1989).
3
Mei 1893:
Pembicaraan
Kontrolir Liefrinck dengan Raja Tabanan, didampingi I Gusti Ngurah Alit
Kaleran, anak Adipati Agung yang terbunuh oleh seorang Punggawa I Gusti Ngurah
Beng sewaktu bertugas di Badung (Agung Gde: 1989).
Adipati
Agung yang terbunuh itu kemudian disebut Ida Betara Keruek ring Badung.
Sebagai balasannya warga di Jro Beng Kawan dibunuh atau kena Watu Gumulung
(Babad: 1996)..
8
Mei 1893:
Kontrolir
Liefrinck tiba di Gianyar, diterima oleh Dewa Ngurah Agung, dihadiri oleh
seluruh punggawa dan Manca Kerajaan. Juga hadir I Gusti Gde Agung anak Raja
Mengwi yang gugur dalam perang dengan Kerajaan Badung (Agung, 1989).
20
Nopember 1893:
Belanda
mengakui Kerajaan Gianyar dengan Raja Dewa Ngurah Agung bergelar Dewa Pahang (Agung, 1989).
Th
1894:
Belanda
menyerang Kerajaan Seleparang Lombok. Setelah 2 kali Pasukan Belanda dapat
dipukul mundur, akhirnya berhasil menguasai Ibukota Mataram dan Cakranegara.
Istana Raja dihancurkan, kekayaan Kerajaan dirampas. Putra Mahkota I Gusti
Ngurah Ketut Karangasem dan Jenderal Van Ham tewas. Raja ditangkap diasingkan
di Batavia. Beliau wafat di pengasingan Th 1896 (Agung, 1989).
Th
1895:
Pewaris
Kerajaan Mengwi I Gusti Gde Agung memberontak kepada Raja Badung, tetapi
digagalkan oleh pasukan Badung. Pertempuran di Penarungan, pasukan Badung
dipimpin oleh orang yang terkenal Gusti Alit Raka Debot (Agung, 1989).
Karangasem
diberlakukan sebagai Gouvernementslandschap
(protektorat), dan Raja Karangasem ditetapkan sebagai Stedehoulder mewakili pemerintah kolonial (Nordholt, 2009).
31
Agustus 1895:
Gubernur
Jenderal Van der Wijck mengeluarkan maklumat, bahwa keturunan Seleparang tidak
berhak atas Kerajaan Seleparang. Belanda membagi 3 Lombok, masing-masing
dipimpin oleh seorang Kontrolir. Demikian juga Karangasem dipimpin oleh seorang
Kontrolir (Agung,
1989).
10
Juni 1896:
I
Gusti Gde Jelantik diangkat Belanda menjadi wakil Pemerintah untuk Karangasem (Agung, 1989).
22
Juni 1896:
Penandatanganan
kontrak bahwa Belanda mengakui Dewa Gde Raka sebagai Raja Gianyar, yang
ditandatangani oleh Residen Bali-Lombok yang baru FA Liefrinck dengan Dewa Gede
Raka (Agung,
1989).
23
Juni 1896:
Raja
Gianyar Dewa Ngurah Pahang meninggal secara mendadak. Diperkirakan kecepekan
mengurus konsolidasi kerajaan. Dewa Ngurah Pahang tidak sempat diabiseka,
sehingga tidak berhak menyandang gelar Dewa Manggis VIII. Adiknya Dewa Gde Raka
menggantikan sebagai Raja Gianyar yang kemudian bergelar Dewa Manggis VIII (Mahaudiana, 1968).
18 September 1896:
Upacara pelebon Raja Gianyar ke-8 Dewa Ngurah
Pahang. Ngurah pahang tidak berhak menyandang Dewa Manggis VIII karena tidak
sempat diabiseka, keburu meninggal (Mahaudiana,
1968).
22 Desember 1896:
Pemerintah Hindia-Belanda melalui suratnya mengakui
penobatan Dewa Gde Raka sebagai Raja Gianyar berikutnya dengan gelar Dewa
Manggis VIII. Surat ini diperkuat dengan besluit
Gubernur Jenderal di Batavia tertanggal 18 Mei 1897. Dewa Manggis VIII digambar
sebagai raja yang lemah, selalu ragu-ragu dalam menghadapi permasalahan. (Mahaudiana, 1968).
14 Agustus 1897:
Kerajaan Bangli merebut bekas wilayahnya
Tampaksiring, dari kekuasaan Gianyar (Agung, 1989).
Punggawa Tampaksiring membelot dari Kerajaan
Gianyar, daerah Tampaksiring diserahkan kepada Raja Bangli atas hasutan Dewa
Agung Klungkung (Mahaudiana, 1968).
16 Agustus 1897:
Laskar Klungkung dalam jumlah yang besar menyerang desa
Lebih di Pantai Selatan Gianyar. Rakyat Gianyar memberikan perlawanan yang
gigih, dan berhasil memukul mundur pasukan Klungkung (Agung, 1989).
Th 1898:
Agung Gede Agung, penerus kerajaan Mengwi bersama
pengikutnya sekitar 300 orang membangun Puri di Abiansemal setelah usahanya
gagal merebut Puri Gede Mengwi (Nordholt, 2009).
Sisa-sisa pasukan Mengwi – setelah bersembahyang di
Pura Gunung Tinggan – melakukan penyerangan merebut kembali Pura Taman Ayun
Pura Taman ayun bukan hanya menjadi simbol negara Mengwi, tetapi inti negara
mengwi. Siapa pun yang menguasai pura berarti menguasai keseluruhan kerajaan
lagi. Tetapi, pendudukan ini tidak lama bertahan, mereka melarikan diri setelah pasukan Badung datang
(Nordholt, 2009).
April-Mei 1898:
Residen Liefrinck berkunjung ke Klungkung, Bangli,
dan Karangasem untuk memberi pertimbangan agar mengekang diri dan menghentikan
sikap bermusuhan. Dewa Agung menolak karena Kerajaannya membawahi wilayah Bali
dan Lombok. Demikian juga Raja Bangli, telah bersumpah kepada ayahnya tidak
akan berdamai selama wilayah Bangli dikuasai Gianyar (Agung, 1989).
Juni 1898:
Pasukan Badung tiba-tiba menyerang Ubud. Akan tetapi
dapat dipukul mundur oleh Punggawa Cokorde Gde Sukawati, di Abiansemal. Dalam
serangan kedua pasukan Badung berjumlah 1.000 (Seribu) orang juga dipukul
mundur oleh Cok Gde Sukawati, di desa Penarungan (Agung, 1989).
12 April 1899:
Bangli menyerang desa Mancawarna dekat Tampaksiring,
dapat dipatahkan oleh punggawa Cokorde Gde Sukawati (Agung, 1989).
15 Juni 1899:
Bangli menyerang desa Pejeng, juga dapat dipatahkan
oleh Cokorde Gde Sukawati (Agung, 1989).
30 Juni 1899:
Cokorde Gde Sukawati juga mematahkan serangan
Pasukan Bangli di desa Sloli (Agung, 1989).
Juli-Agustus 1899:
Residen Liefrinck ke Badung. Raja Kesiman bertindak
sebagai juru bicara dalam kedudukannya sebagai Adipati Agung Kerajaan Badung.
Ia menjelaskan, bahwa Badung menyerang Gianyar atas perintah Dewa Agung (Agung, 1989).
BALI PADA ABAD
XX
Th 1900:
Gusti Made Ringkus salah seorang dinasti Mengwi dari
Puri Mayun, yang selamat dalam perang melawan Badung tiba dan tinggal di
Blahkiuh. Ia bersumpah untuk merebut kembali Pura Taman Ayun untuk Puri Mayun. Gusti
Made Ringkus mendekati Pemerintah Hindia – Belanda untuk minta bantuan (Nordholt, 2009).
Langkah Gusti Made Ringkus ini membuat Dewa Agung
Klungkung mengirim utusan ke Puri Anyar Abiansemal untuk meyakinkan kesetiaan
Puri Anyar terhadap Dewa Agung. Terjadilah ketegangan antara dua puri yang
bersaudara: Puri Mayun di Blahkiuh dan Puri Anyar di Abiansemal. Sehingga
dinasti Mengwi terbagi dalam dua kelompok pro Belanda dan pro Klungkung.
Terjadi perang antara Puri Mayun dan Puri Anyar, tanaman-tanaman dihancurkan,
penjaja barang dari satu kubu dicegat oleh kubu yang lain (Nordholt, 2009).
Gianyar ditetapkan sebagai protektorat kedua setelah
Karangasem. Orang yang ditetapkan sebagai wali negara adalah putra raja Gianyar
(Nordholt, 2009).
2 Januari 1900:
Kerajaan Bangli kembali menyerang Kerajaan Gianyar
dan menduduki 6 desa, yaitu Petak, Mantering, Padpadan, Panyembahan, Melayang,
dan Pemaisan. Namun panglima besar Cokorda Gde Sukawati dengan didampingi
Punggawa Bitera dan Siangan memimpin pasukan untuk mengusir kembali pendudukan
Bangli. Keenam desa itu berhasil direbut kembali. Di pihak Gianyar tercatat 24
orang mati, 26 luka-luka dan 80 rumah hangus dibakar pasukan Bangli (Mahaudiana, 1968).
10 Januari 1900:
Raja Bangli yang kesal atas kekalahannya, menyerang
lagi Kerajaan Gianyar, berhasil menduduki desa Semita, Bonnyuh, dan Madangan.
Serangan ini pun dapat dipukul balik oleh pasukan Gianyar (Mahaudiana, 1968).
14 Januari 1900:
Untuk ketiga kalinya Raja Gianyar Dewa Gde Raka
(bergelar Dewa Pahang) mengirim surat kepada Residen Liefrinck, agar
Kerajaannya mendapat perlindungan dari pemerintah Hindia Belanda, dari serangan
Kerajaan Klungkung, Bangli dan Badung (Agung, 1989).
26 Januari 1900:
Upacara sumpah perdamaian antara Dewa Agung dengan
Raja Gianyar di Pura Kentelgumi dekat desa Banjarangkan (Agung, 1989).
5 Maret 1900:
Resident Liefrinck, disertai Kontrolir urusan
Politik & Agraria Schwartz (fasih berbahasa Bali) dan 2 punggawa dari
Buleleng berlabuh di Pantai Lebih, Gianyar. Diterima oleh Raja Gianyar.
Kedatangannya untuk memberi tanggapan atas permintaan Raja mohon perlindungan
kepada Pemerintah Belanda (Agung, 1989).
7 Maret 1900:
Pertemuan antara pihak Belanda dengan Raja Gianyar,
yang didampingi oleh para Punggawa dan Manca. Pemerintah Hindia Belanda
menyetujui untuk memberi perlindungan kepada Kerajaan Gianyar (Agung, 1989).
8 Maret 1900:
Hari Kamis, dilanjutkan pembicaraan antara Raja
Gianyar dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda. Dimana Liefrinck memerintah
Schwartz untuk membuat konsep naskah Berita Acara (proses verbaal), yang
mencantumkan tentang penyerahan Kerajaan Gianyar kepada pemerintah Hindia
Belanda. Dengan demikian Dewa Gde Raka menjadi Stedehouder (wakil)
pemerintah Hindia Belanda. Malam harinya naskah tersebut ditandatangani (Agung, 1989).
17 Maret 1900:
Surat Raja Gianyar Dewa Gde Raka kepada Dewa Agung
Klungkung, yang isinya menolak menyerahkan dokumen kontrak antara Pemerintah
Hindia Belanda dengan Kerajaan Gianyar.
Dewa Agung tidak setuju dengan penandatangan
tersebut, karena pada tahun 1883 sudah ada kesepakatan antara Raja Gianyar
dengan Dewa Agung pada waktu itu, yang menyatakan Gianyar merupakan bagian dari
kekuasaan Klungkung. Dan juga telah adanya upacara sumpah di Pura Kentelgumi 26
Januari 1900 (Agung,
1989).
20 Maret 1900:
Surat tanggapan Liefrinck yang memperingatkan Dewa
Agung bahwa, terlepas dari kesepakatan tahun 1883 (antara Dewa Agung dengan
Dewa Manggis), semenjak di pengasingan di Satria (Klungkung), Putra Mahkota
mendapat dukungan dari para Punggawa di Gianyar (Agung, 1989).
24 Maret 1900:
Raja Badung menyatakan pendiriannya tentang
penandatangan kontrak antara pemerintah Hindia-Belanda dengan Raja Gianyar.
Belanda diminta berhati-hati dan menghormati kontrak-kontrak yang sudah
ditandatangani dengan Raja2 di Bali. Demikian juga Kerajaan Tabanan mengirim
surat yang isinya senada (Agung, 1989).
28 April 1900:
Kontrolir Schwartz bertolak dari Gianyar. Dia
mendampingi Raja Gianyar dalam usaha mengkonsoli dari Kerajaan Gianyar (Agung, 1989).
29 Nopember 1900:
Surat Keputusan Gubernur Jenderal, mengukuhkan Dewa
Gde Raka sebagai Wakil atau Stedehouder Pemerintah Hindia Belanda (Agung, 1989).
6 Desember 1900:
Utusan Pemerintah Hindia-Belanda datang dari
Buleleng ke Kerajaan Gianyar. Utusan ini mengumumkam kepada seluruh raja-raja
di Bali, bahwa Kerajaan Gianyar bernaung di bawah kibaran bendera Belanda. Dewa
Manggis VIII (Dewa Gde Raka) diakui sebagai Raja Ganyar hingga wafat pada tahun
1912 (Mahaudiana, 1968).
Th 1901:
Akhir dari jabatan Liefrinck sebagai Residen
Bali-Lombok, yang dijabat sejak tahun 1896 (Agung, 1989).
2 Januari 1901:
Pelantikan Dewa Gde Raka sebagai Stedehouder
Pemerintah Hindia Belanda dalam suatu upacara, dihadiri semua Punggawa Kerajaan
Gianyar.
Th 1902:
Raja Denpasar I Gusti Gede Ngurah Denpasar (Cokorda
Agung Ngurah Pemecutan) wafat. Karena puteranya masih kecil, Beliau diganti oleh
saudaranya Cokorda Ngurah Made Agung yang dikenal sebagai I Gusti Gede Ngurah
Denpasar (Agung,
1989).
Henry van Kol mengunjungi sepanjang desa Mengwi, dia
tidak menemukan apa-apa kecuali gndukan puing-puing pada tempat dimana puri
pernah berdiri, dan diantara reruntuhan itu telah tumbuh pohon-pohon pisang.
Para pendeta dan beberapa saudara dekat raja terakhir dipindahkan ke Badung.
Pelebon jenazah Raja Mengwi dilaksanakan di setra Badung (Nordholt, 2009).
Pebruari 1902:
Gusti Made Ringkus mengirim surat kepada Pemerintah
Hindia – Belanda. Ia menawarkan daerah yang dikuasai Mengwi kepada Belanda.
Pertimbanganya adalah (Nordholt, 2009):
1. Kerajaan sementara
Abiansemal terancam Badung dan Tabanan, sementara kekuatan Ubud tidak bisa lagi
diandalkan, maka harus datang bantuan dari luar.
2. Aneksasi Pemerintah Hindia –
Belanda terhadap Bali Selatan hanya masalah waktu saja. Dengan demikian bantuan
Klungkung hanyalah ilusi, sehingga lebih baik mengorbankan kesetiaan pada
Klungkung.
3. Tanggapan atas surat akan
memperkuat posisi dirinya dalam dinasti mengwi secara signifikan.
Maret 1902:
Residen Belanda mengumumkan bersedia melindungi
Mengwi bagian Timur. Pada waktu yang sama celah di dalam dinasti Mengwi muncul
dan terbuka. Dewa Agung menentang intervensi Belanda ini. Belanda tetap
bersikukuh melindungi Gusti Made Ringkus dari Puri Mayun (Nordholt, 2009).
24 – 26 Maret 1902:
Seorang Controleur
Belanda membuat peta batas wilayah Puri Mayun Blahkiuh. Akibanya beratus-ratus
keluarga dipindahkan. Penduduk yang berada di ujung Desa Grana dan Desa Tegal
Selat dipindahkan, sebab mereka adalah pendukung Puri Anyar Abiansemal,
sedangkan desa tersebut termasuk di wilayah kekuasaan Puri Mayun Blahkiuh (Nordholt, 2009).
Th 1903:
Dewa Agung Putra, Raja Klungkung wafat. Beliau
memegang tampuk pimpinan semenjak th 1850. Beliau diganti oleh Putra Mahkota
Dewa Agung Gde (Agung,
1989) .
6 Maret 1903:
Raja tua Tabanan I Gusti Ngurah Agung wafat (Agung, 1989).
15 Juni 1903:
Dewa Gde Raka Mabiseka Ratu dengan gelar I
Dewa Manggis. Ia menyandang gelar Dewa Manggis yang ke-8. Dewa Agung tidak
menyetujui penobatan ini. Sedangkan Raja Bangli, Badung dan Tabanan, sudah
enggan dengan saran dari Dewa Agung untuk berpetualang bermusuhan dengan
Gianyar (Agung,
1989).
25 Oktober 1903:
Pembakaran Jenasah Raja Tabanan. Hampir menimbulkan
insiden dengan pihak Belanda. Belanda tidak setujui dengan upacara masatia
yang akan dilakukan oleh 2 istri Raja, karena tidak sesuai dengan pri
kemanusiaan dan sudah tidak jamannya lagi. Belanda berusaha menghalang halangi,
dua kapal perangnya merapat di Pantai Yeh Gangga memamerkan kekuatan, untuk
memaksakan kehendaknya. Karena tidak tercantum dalam kontrak perjanjian,
upacara tersebut dilaksanakan. Kemudian Belanda memasukkan Upacara Masatia
dalam perjanjian itu.
Raja Denpasar, Cokorda Ngurah Made Agung (I Gusti
Ngurah Denpasar) menghadiri upacara ini sebagai tanda dukungannya kepada
Tabanan (Agung,
1989).
Th 1904:
Pemerintah Hindia Belanda mengangkat JB Van Heutz
sebagai Gubernur Jenderal yang baru. Van Heutz bercita-cita agar Pax
Nerlandica dapat diwujudkan. Pax
Nerlandica maksudnya: disemua daerah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda
harus diakui secara mutlak kekuasaan tertinggi Pemerintah Belanda dengan segala
peraturan dan perundang-undangan. Sementara kontrak perjanjian antara
Pemerintah Hindia-Belanda dengan Raja2 di Bali Selatan tidak sesuai dengan
tujuan Pax Neerlandica (Agung, 1989).
Pembangunan Pura Desa di bagian tenggara
persimpangan Puri Abiansemal yang baru dibangun. Ikatan antara desa dan dinasti
Mengwi ditegaskan melalui pembangunan empat pelinggih, dua diantaranya untuk
mensthanakan Raja Mengwi yang gugur dalam perang melawan Badung dan saudaranya
Agung Made Raka pemimpin perang Mengwi. Putera mahkota Agung Gede Agung
mengambil alih kepemilikan Abiansemal (Nordholt,
2009).
20 Januari 1904:
Raja Tabanan yang baru dan Residen Eschbach
menandatangani surat perjanjian yang menghapus upacara Masatia di
Tabanan. Demikian juga dengan Dewa Agung Klungkung 23 September 1904, Raja
Badung 22 Oktober 1904 dan Raja Bangli 19 Januari 1905 (Agung, 1989).
25 Mei 1904:
Jumat, Wage, Landep, pagi hari di Sanur sebelah
Selatan Kerajaan Badung, sebuah perahu wangkang bernama Sri Kumala karam
karena gelombang besar dan sulit diberi pertolongan. Pemiliknya orang Cina
seorang kawula Belanda bernama Kwee Tek Tjiang dari Banjarmasin. Perahu
berukuran 90.27 register ton mempunyai pas laut Hindia-Belanda tanggal 18 Maret
1904, berlayar di bawah kibaran bendera Belanda.
Beberapa Minggu setelah kejadian itu, pemiliknya
melaporkan kepada Residen Eschbach di Singaraja, bahwa uang kepeng senilai f
7.500 atau 3.000 Ringgit dirampas oleh penduduk setempat (Agung, 1989).
16 Juni 1904:
Residen Eschbach mengutus kontrolir Schwartz ke
Badung mengadakan pembicaraan dengan Punggawa Sanur untuk mendapatkan
keterangan yang lebih lanjut. Schwartz tidak menemui Raja Badung.
Yang sangat aneh dalam laporan pemilik perahu
wangkang, uang sejumlah 3.000 Ringgit dirampas penduduk, sedang dia berhasil
menyelamatkan barang2 muatannya, seperti minyak tanah dan terasi. Secara logis
mestinya peti uang itu yang diselamatkan terlebih dahulu (Agung, 1989).
14 Agustus 1904:
Raja Kesiman I Gusti Gde Ngurah Kesiman dalam usia
lebih dari 70 tahun wafat. Diganti oleh anaknya yang tidak mempunyai
kepribadian yang kuat dan kewibawaan seperti ayahnya, sehingga kedudukannya
hanya sebagai Punggawa belaka.
Dengan demikian pimpinan politik di Badung beralih
ke tangan Raja Denpasar, karena Raja Pemecutan sudah lanjut usia dan sakit2an.
Kerajaan Badung sesuai surat wasiat dari pendirinya
yang wafat th 1813, diperintah secara kolektif oleh tiga Raja, yaitu Raja
Pemecutan, Raja Denpasar, dan Raja Kesiman (Agung, 1989).
18 Agustus 1904:
Berdasarkan hasil penyelidikan Kontrolir Schwartz,
Residen Eschbach melaporkan kepada Gubernur Jenderal. Kerajaan Badung melanggar
pasal 11 perjanjian 13 Juli 1949, yang menghapus hukum Tawan Karang (Agung, 1989).
23 September 1904:
Penandatangan kontrak pengukuhan dan pengakuan
kedaulatan antara pemerintah Hindia Belanda yang diwakili Residen Bali-Lombok J
Escbach dengan Dewa Agung Gde Klungkung dengan gelar Ida I Dewa Agung Putra (Agung, 1989).
Nopember 1904:
Dewa Agung Gde Mabiseka Ratu dengan gelar Ida
Dewa Agung Putra sebagai Dewa Agung Klungkung (Agung, 1989).
1 Nopember 1904:
Dewa Agung Rai, Adipati Kerajaan Klungkung wafat.
Klungkung kehilangan seorang pembesar Kerajaan yang sangat dihormati. Ia
diganti oleh saudara Dewa Agung Putra yang bernama Dewa Agung Semarabawa (Agung, 1989)
26 Nopember 1904:
Sekretaris Gubernurmen Paulus mengirim instruksi
kepada Residen Bali Lombok atas nama Gubernur Jenderal Van Heutz, bahwa
pembayaran ganti rugi dibebankan kepada Raja Badung (Agung, 1989).
19 Desember 1904:
Residen Eschbach ke Badung berunding dengan Raja
Denpasar, I Gusti Gde Ngurah Denpasar, dalam suatu pertemuan yang dihadiri
punggawa2 dan pembesar2 Kerajaan. Raja I Gusti Gde Kesiman dengan tegas menolak
ganti rugi, karena telah memerintahkan menjaga perahu karam itu. Selain itu
2.800 penduduk desa Sanur telah bersumpah bahwa mereka tidak melakukan
perampasan (Agung,
1989).
23 Desember 1904:
Residen Eschbach meninggalkan Badung dan
menyampaikan sepucuk surat kepada Raja Badung yang berisi ultimatum,
selambat-lambatnya tanggal 5 Januari 1905 Raja Badung harus sudah melunasi
ganti rugi sebesar f 7.500 atau 3.000 Ringgit. Jika tidak dipenuhi maka pihak
Belanda akan memblokade perdagangan Kerajaan Badung (Agung, 1989).
25 Desember 1904:
Residen Eschbach melaporkan hasil pertemuannya
dengan Raja Badung melalui kawat, dengan permintaan agar segera dikirim kapal
perang dan pengangkut ke perairan Badung. Gubernur Jenderal Van Heutz setuju (Agung, 1989).
6 Januari 1905:
Di perairan Badung muncul 2 kapal pengangkut
“Zwaluw” dan “Spits” milik Angkatan Laut Belanda bersama Kontrolir Schwartz
dengan tujuan memblokade perdagangan dan melarang penangkapan ikan (Agung, 1989).
14 Januari 1905:
Residen Eschbach mengadakan kunjungan dengan kapal
“Reiger” di perairan Badung untuk memeriksa pelaksanaan blokade itu. Kesempatan
ini digunakan untuk mendekati Raja Karangasem, Dewa Agung Klungkung, Bangli dan
Tabanan, untuk minta bantuan blokade terhadap Badung. Kecuali Tabanan semua
Raja2 di Bali menyetujui (Agung, 1989).
10 Januari 1905:
Raja I Gusti Gde Ngurah Denpasar minta agar Belanda
menghentikan blokade, karena pihaknya tidak dapat disalahkan dalam peristiwa
itu. Ia menganjurkan pemilik perahu itu mengajukan masalahnya ke Majelis
Kerta. Raja berjanji akan patuh terhadap keputusan Majelis Kerta.
Beberapa pemuka masyarakat di Badung juga sudah
menyampaikan kepada Raja, mereka sanggup mengumpulkan uang sejumlah f 7.500
sebagai ganti rugi agar terpelihara perdamaian. Raja tegas menolak. Rombongan
pedagang Cina dan Bugis yang bermukim di Kuta dan di Pulau Serangan juga
mengajukan permohonan yang sama (Agung, 1989).
17 Februari 1905:
Ribuan rakyat Badung bersenjata tombak berkumpul di
ibukota Denpasar, diberi penjelasan untuk waspada dalam krisis Badung-Belanda
ini. Pada hari ini juga diadakan pemberkatan senjata2, dengan pengertian kalau
dipakai akan memenangkan perang (Agung, 1989).
Maret 1905:
Gunung Batur di Kintamani, wilayah kekuasaan
Kerajaan Bangli meletus. Rakyat percaya sebagai pertanda buruk, datangnya
malapetaka di Bali (Agung, 1989).
7 April 1905:
Gubernur Jenderal Van Heutz menunjuk Liefrinck
sebagai komisaris Pemerintah Hindia Belanda untuk ke Badung berunding dengan
Residen Eschbach dan Raja Badung (Agung, 1989).
15 April 1905:
Liefrinck tiba di Bali, merapat di Buleleng bertemu
dengan Residen membahas krisis perahu Sri Komala (Agung, 1989).
21 April 1905:
Komisaris Liefrinck bersama Reside Eschbach,
Kontrolir Schwartz, beberapa Pedanda, dan anggota Majelis Kerta di Singaraja
berangkat ke Bali Selatan dengan kapal “Kwartel”.
Namun Liefrinck terlebih dulu ke Tabanan bertemu
dengan Raja untuk mengetahui sikap Raja Tabanan (Agung, 1989).
2 Mei 1905:
Rombongan Liefrinck tiba di Buleleng dan mengirim
kawat kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Dalam laporannya dikatakan, bahwa
pendekatan dengan Raja Badung tidak membawa hasil, mohon blokade dilanjutkan (Agung, 1989).
14 sd 19 Mei 1905:
Raja I Gusti Gde Ngurah Denpasar mengadakan
kunjungan ke Tabanan untuk minta bantuan dalam menghadapi krisis perahu
wangkang Sri Komala.
Di Pemerajan Agung Puri Tabanan dilakukan upacara
sumpah kedua Raja untuk senantiasa saling membantu satu sama lain (Agung, 1989).
23 sd 30 Juni 1905:
Kunjungan balasan Raja Tabanan ke Puri Denpasar
untuk membahas krisis perahu Sri Komala, yang menghasilkan kesepakatan tidak
membayar ganti rugi (Agung, 1989).
27 Juni 1905:
Sembahyang bersama antara Raja Badung dengan Raja
Tabanan di Pura Sakenan, diikuti ribuan rakyat untuk membuktikan solidaritas
antara mereka (Agung,
1989).
28 Juni 1905:
Upacara sumpah di Pura Taman Ayun, dimana Raja
Denpasar, Tabanan, dan Raja Pemecutan yang sudah tua dan sakit2an untuk acara
penting ini menyempatkan hadir. Mereka bersumpah bersatu padu menghadapi aksi
militer Belanda (Agung,
1989).
5 Juli 1905:
Surat Raja Tabanan kepada Residen Eschbach, isinya
menolak memblokade Kerajaan Badung (Agung, 1989).
Akhir Th 1905:
Sebagian tanah tebing di Pura Uluwatu rubuh dan
jatuh ke Laut. Pura ini sangat keramat dan menjadi tempat pemujaan Raja2.
Rakyat yang pada waktu itu sangat percaya bahwa kejadian di Uluwatu merupakan
pertanda buruk bagi Kerajaan Badung.
Pada waktu itu juga rakyat melihat bintang berekor
besar sekali dan bercahaya di langit, sebagai pertanda buruk datangnya
malapetaka (Agung,
1989).
Akhir Desember 1905:
Residen Eschbach meninggalkan Bali karena pensiun.
Dia diganti oleh Bruyn Kops, yang masih asing dengan Bali, sehingga menyulitkan
baginya untuk menjalankan tugas (Agung, 1989).
20 Januari 1906:
Dewan Hindia dalam rapatnya menyarankan kepada
Gubernur Jenderal, bahwa untuk memblokade Badung tidak cukup hanya dengan
tenaga Polisi, juga harus dengan pasukan militer karena akan menghadapi dua
Kerajaan, Badung dan Tabanan. Pemerintah Hindia-Belanda memikirkan hal itu
karena di Bone, Sulawesi terjadi
pemberontakan terhadap Belanda (Agung, 1989).
April 1906:
Dalam rangka persiapan aksi militer, di kantor
Keresidenan di Singaraja telah ditugaskan seorang perwira staf umum Angkatan
Darat, Kapten Van Woudenberg. Dia diberi tugas membuat peta wilayah Kerajaan
Badung, dan mencari informasi kekuatan yang dapat dikumpulkan oleh Raja Badung
dan Tabanan (Agung,
1989).
7 Juni 1906:
Untuk pertama kalinya perundingan antara Gubernur
Jenderal Van Heutz dengan Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal Van der Wijck
untuk mengadakan persiapan Ekspedisi Militer sebagai alternatif terakhir
menyelesaikan krisis perahu Sri Komala (Agung, 1989).
17 Juli 1906:
Ultimatum dari pihak Belanda kepada Raja Badung.
Perkembangan politik di Badung ini sangat memprihatinkan seluruh Bali dan
diamati oleh semua Raja2 dan tokoh2 di Bali (Agung, 1989).
22 Juli 1906:
Surat Gubernur Jenderal Van Heutz dari Batavia
kepada Raja Badung dan Tabanan, isinya memberi peringatan akan konsekuensi2
sebagai akibat pembangkangan Raja2 tersebut (Agung, 1989).
4 September 1906:
Surat Keputusan (Resolusi) Gubernur Jenderal Van
Heutz untuk mengadakan tindakan militer terhadap Kerajaan Badung dan Tabanan,
dengan mengirim ekspedisi militer, terdiri dari Angkatan Darat, dan Laut guna
menghentikan pembangkangan kedua Raja tersebut. Mayor Jenderal Van Tonningen
diangkat sebagai pimpinan Ekspedisi Militer ini (Agung, 1989).
10 September 1906:
Kapal-kapal perang dari armada invasi Belanda
berangkat dari Tanjung Priok menuju perairan Sanur (Agung, 1989).
12 September 1906:
Semua kapal perang dan pengangkut sudah tiba di
perairaan Sanur dan menduduki tempatnya masing masing. Komisaris Liefrinck
beserta Residen Bruyn Kops, asisten Residen Schwartz – yang dinaikkan
pangkatnya sebagai asisten Residen karena jasanya menangani krisis Sri Kumala –
tiba di perairan Sanur. Mereka mengadakan pertemuan dihadiri oleh Panglima dengan
Staf Umum dan Komandan Armada pk 16.30 di kapal “Koningin Wilhelmina der
Nederlanden”.
Pk. 17.00 sebuah delegasi diturunkan dari kapal
untuk menyampaikan surat kepada Raja Badung dan Tabanan, isinya agar ultimatum
selambat-lambatnya dijawab oleh Raja Badung 24 jam dan Raja Tabanan 48 jam (Agung, 1989).
13 September 1906:
Surat Raja Badung menolak ultimatum Belanda (Agung, 1989).
14 September 1906:
Pk 7.00 pendaratan pasukan ekspedisi militer Belanda
akibat penolakan ultimatum oleh Raja Badung dan Tabanan.
Belanda merencanakan 3 alternatif sasaran
penyerangan ke kota Denpasar:
1. Dari arah Timur melalui desa
Tanjung Bungkak dan Kelandis:
Dianggap berbahaya, karena
melewati rumah-rumah penduduk yang pekarangannya dikelilingi tembok2.
2. Dari arah Selatan melalui
Panjer dan Sesetan:
Dianggap tidak memberi
perlindungan kepada pasukan Belanda karena melewati persawahan.
3. Dari arah Utara melalui Puri
Kesiman dan desa Sumerta
Berarti langsung berhadapan
dengan rakyat Kesiman.
Dari ketiga alternatif di atas, Belanda memilih
menyerang dari Utara.
Sangat disayangkan pasukan Badung tidak menyerang
Belanda sebelum mereka dapat menyiapkan dan mendaratkan meriam-meriamnya (Agung, 1989).
15 September 1906:
Ribuan pasukan Badung dari Kuta dan Denpasar
menyerang bivak pasukan Belanda di Pabean Sanur. Pertempuran terjadi sd pk
12.00, dikedua belah pihak jatuh banyak korban. Pasukan Badung 33 tewas, 12
luka2, di desa Renon 6 tewas karena tembakan dari kapal2 Belanda (Agung, 1989).
16 September 1906:
Penembakan2 dari kapal perang yang berada di
perairan Sanur terhadap Puri Denpasar dan Pemecutan. Gerak tipu Jenderal
Tonningen mengadakan patroli di Denpasar Selatan, di Panjer dan Sesetan
berhasil, karena meriam2 pasukan Badung ditempatkan di sana, sementara Belanda
menyerang dari arah Utara, Kesiman.
Panglima Jenderal Van Tonningen menerima surat Raja
Tabanan, yang menolak ultimatum (Agung, 1989).
17 dan 18 September 1906:
Tidak ada operasi lagi oleh pasukan Belanda, akan
tetapi penembakan2 melalui kapal2 yang merapat di Pabean Sanur diteruskan,
dengan sasaran Puri Denpasar dan Pemecutan (Agung, 1989).
18 September 1906:
Asisten Residen Schwartz mendapat informasi dari
mata-mata, bahwa Punggawa Kesiman yang masih muda I Gusti Gde Ngurah Kesiman
tewas. Sesuai perintah Raja Denpasar, Punggawa Kesiman ini memerintahkan
rakyatnya untuk melawan Belanda. Ada golongan yang tidak mau dengan perintah
ini, sehingga hartanya disita oleh Punggawa Kesiman. Golongan ini menghadap
Punggawa di Puri Kesiman, dalam pertemuan itu seorang lanngsung menikam I Gusti
Gde Ngurah Kesiman (Agung, 1989).
19 September 1906:
Mendengar tewasnya Punggawa Kesiman, Jenderal Van
Tonningen menggerakkan pasukannya menyerang Puri Denpasar dan Puri Pemecutan
melalui Kesiman dan Desa Sumerta. Pasukan Badung menyerang dari kebun-kebun
kelapa di Tukad Ayung, dengan menggunakan meriam-meriam kuno yang disebut
“Lilla”. Pasukan Belanda berhasil menduduki Puri Kesiman yang ternyata telah
dikosongkan (Agung,
1989).
Raja Denpasar memerintahkan suatu upacara pembakaran
jenasah Cokorda Alit Ngurah Pemecutan (ayah dari I Gusti Alit Ngurah), yang
meninggal pada tahun 1902. Pada pembakaran ini, sebagai tantangan kepada
Pemerintah Hindia-Belanda dilakukan upacara masatya
oleh seorang wanita Brahmana bernama Ida Ayu Supi. Cokorda Ngurah Made Agung
mengambil abu pembakaran jenasah dan menaruh di destarnya dengan maksud agar
leluhurnya merestui langkahnya melakukan puputan esok hari (Pitana, 1994).
20 September 1906:
Pk 7.00 pasukan Belanda bergerak dari Kesiman menuju
Denpasar. Setelah tiba di desa Sumerta, ditembaki oleh pasukan Badung.
Sementara kapal-kapal perang Belanda di Pabean Sanur terus menembaki dengan
meriam2 dengan frekuensi yang lebih hebat.Sebelum pergi ke medan perang rakyat
Badung diperciki air suci kematian Tirta Pangentas, sehingga bila
mereka gugur jiwanya masuk Sorga (Agung, 1989).
Pk 11.00 pada ruas jalan Denpasar – Tanguntiti
terlihat rombongan warga Badung bergerak ke arah Timut. Pasukan artileri
menembaki, akan tetapi rombongan terus maju. Banyak wanita dan anak-anak tewas.
Maka dimulailah puputan Badung.
Raja
Denpasar bersama rakyatnya berpakaian lengkap dan indah bergerak dari halaman
Puri dengan Raja di depan. Setelah sampai di persimpangan dekat Puri Belaluan,
Raja dan rakyat pengiringnya meneruskan perjalanan sampai pada tikungan jalan
dekat Jero Tainsiat. Disini mereka dihadang pasukan Belanda. Kapten Schutstal
memerintahkan agar rombongan berhenti, tapi tidak dihiraukan bahkan rombongan
terus maju, sehingga sampai jarak 100 meter, pasukan Belanda menembaki menyebabkan
banyak yang tewas (Agung,
1989).
Raja
pertama kali gugur. Wanita2 melemparkan uang emas kepada pasukan Belanda
sebagai upah atas kematiannya yang diinginkan oleh Belanda. Ada juga yang bunuh
diri menikam dadanya. Ada juga yang berdiri menunjuk jantungnya sendiri
menantang pasukan Belanda agar segera menembaki. Inilah puputan Badung di
Tainsiat (Agung,
1989).
Kemudian pasukan Belanda bergerak menuju Puri
Denpasar. Terlihat Puri terbakar oleh tembakan2 meriam kalapa2 di Sanur.
Panglima Van Tonningen memerintahkan memeriksa seluruh isi Puri. Ditemukan
jenasah saudara perempuan Raja Denpasar. Nampaknya bunuh diri setelah mendengar
Raja tewas di Tainsiat. Jenasah berpakaian sangat indah (Agung, 1989).
Pk 15.00 Panglima memerintahkan pasukan Belanda bergerak
ke Puri Pemecutan. Setibanya di Puri Suci pasukan Belanda membelok ke Barat
menuju Puri Pemecutan. Puri terbakar, asap mengepul ke atas (Agung, 1989).
Pk 17.30 pasukan Belanda berada sekitar 400 meter
dari Puri Pemecutan. Rakyat Bali dengan sikap menantang minta agar ditembak,
nampak mereka haus kematian. Setelah persenjataan rakyat Bali dapat dibungkam,
Raja beserta pengikutnya keluar dari Istana, dan melakukan bunuh diri masal.
Kaulanya bunuh diri di atas mayat Raja dan menumpukinya sebagai perlambang
membela dan melindungi Raja (Agung, 1989).
Para petani di Blahkiuh dan Abiansemal menuda panen
karena mereka takut oleh gntur pemboman di Badung. tidak lama setelah Badung
jatuh Puei Aynyar Abiansemal dan Puri Sibang – yang sebelumnya pro Klungkung –
telah menyerah kepada Belanda (Nordholt,
2009).
Segera setelah Badung jatuh, Puri Mayun – di
Blahkiuh – mengambil alih Pura Taman Ayun, ini berarti sumpah Gusti Made
Ringkus yang diucapkan di Blakiuh terpenuhi (Nordholt,
2009).
22 September 1906:
Komisaris Liefrinck mengirim telegram kepada Menteri
Jajahan Belanda, untuk memberitahu Denpasar sudah dikuasai. Puri2 di Badung
sudah dikuasai dan kedua Raja tewas dalam suatu puputan, beserta punggawa2
mereka, wanita2 dan anak2 yang berjumlah sekitar 400 orang. Jumlah ini jelas
lebih kecil dari jumlah sebenarnya.
Politikus Belanda dalam bukunya mengatakan, seorang
Pedanda di Denpasar memberitahunya, bahwa di Denpasar saja 800 mayat telah
ditemukan. Memang se-kurang2nya 2.000 rakyat Bali tewas dalam puputan Badung (Agung, 1989).
27 September 1906:
Pk. 07.00 pasukan ekspedisi Belanda bergerak ke
Tabanan sampai di desa Beringkit, Panglima Tonningen memutuskan pasukannya
beristirahat satu malam, sebelum menerus operasi ke Tabanan. Panglima mendengar
berita Raja Tabanan, I Gusti Ngurah Agung, disertai Putra Mahkota, I Gusti
Ngurah Anom, dan pembesar2 kerajaan seperti Adipati, Punggawa2, dan Pedanda2
ingin berjumpa Panglima (Agung, 1989).
28 September 1906:
Pk 08.00 Raja Tabanan I Gusti Ngurah Agung tiba di
Beringkit dari desa Abiantuwung, mengadakan pertemuan dengan Panglima Van
Tonningen yang didampingi Kepala Staf pasukan ekspedisi dan Asisten Residen
Schwartz di halaman Pura Kahyangan Beringkit. Raja Tabanan menyatakan maksudnya
agar diperlakukan seperti Kerajaan Gianyar dan Karangasem, sebagai Stedehouder
Pemerintah Hindia-Belanda. Van Tonningen tidak menanggapi karena masalah
politik di luar kapasitasnya sebagai Panglima, dan menyarankan agar Raja
menyerah tanpa syarat dulu, kemudian akan dibawa ke Puri Denpasar untuk
menghadap Komisaris Liefrinck. Raja minta waktu 2 hari untuk mengatur urusan
keluarga, tapi ditolak oleh Van Tonningen (Agung, 1989).
Pk 09.30 Raja beserta Putra Mahkota dan beberapa Punggawa
berangkat ke Puri Denpasar disertai Asisten Residen Schwartz dikawal oleh satu
peleton pasukan Belanda. Adipati Agung diberitahu agar memberi perintah kepada
rakyat untuk menyerahkan senjata api (Agung, 1989).
Kommisaris Liefrinck menerima kedatangan Raja,
menolak memberi satus Tabanan seperti Kerajaan Gianyar dan Karangasem.
Komisaris memerintahkan besok Raja dan Putra Mahkota diasingkan ke Majora
Lombok tempat Raja Seleparang dulu. Sementara Raja dan Putra Mahkota
ditempatkan dulu di salah satu bagian di Puri Denpasar (Agung, 1989).
29 September 1906:
Saat pasukan Belanda akan menjemput Raja Tabanan dan
Putra Mahkota di Puri Denpasar untuk di antar ke Sanur, didapatkan keduanya
sudah tidak bernyawa lagi. Raja memotong urat nadinya dengan pisau kecil pengutik
dan Putra Mahkota minum racun (Agung, 1989).
Di Tabanan Asisten Residen Schwartz mengadakan
pertemuan dengan para punggawa Tabanan di Puri Tabanan, Schwartz memberitakan
Raja dan Putra Mahkota sudah wafat (Agung, 1989).
Keluarga terpenting Raja Badung dan Tabanan yang
masih hidup diasingkan ke Lombok dengan kapal laut bernama “Zeeland” (Agung, 1989).
Jenazah Raja Tabanan dan Putera Mahkota
dibakar/diaben disetra Badung, abunya dihanyutkan di Segara Kuta.
30 September 1906:
Komisaris Liefrinck tiba di Tabanan berunding dengan
Panglima Van Tonningen, membahas pengurangan kekuasaan Dewa Agung Klungkung dan
Bangli sesuai dengan cita-cita Pax Nederlandica (Agung, 1989).
.
12 dan 13 Oktober 1906:
Pasukan ekspedisi bergerak Utara, melalui desa
Kabetan sampai di perbatasan Bangli dan Gianyar, terus ke Timur di desa Sidan
untuk memeriksa kubu2 di pertahanan Guliang (Agung, 1989).
13 Oktober 1906:
Nampaknya akibat gerakan militer ini, utusan Raja
bangli tiba untuk menemui Komisaris Liefrinck, mengatakan Raja Bangli Dewa Gde
Tangkeban menerima semua tuntutan Belanda tetapi tidak hadir ke Gianyar karena
sakit. Utusan dipimpin Putra Mahkota. Belanda meminta penasehat Kerajaan Bangli
Dewa Putu Kandel dan Ida Made Daud (Agung, 1989).
14 Oktober 1906:
Penasehat Kerajaan bangli Dewa Putu Kandel dan Ida
Made Daud beserta keluarga diberangkatkan ke Denpasar dan diasingkan ke
Banyuwangi (Agung,
1989).
Komisaris Liefrinck menolak alasan kedua Raja tidak
hadir ke Gianyar. Diartikan oleh komisaris sebagai tanda belum bersedia
menyerah. Komisaris mengeluarkan ultimatum, kedua Raja harus datang, jika tidak
akan dilakukan operasi militer. Kedua Raja memenuhi datang ke Gianyar (Agung, 1989).
17 Oktober 1906:
Dewa Agung dan pengiringnya meninggalkan Klungkung
lewat pantai dan tiba di Pantai Lebih siang hari pk 13.00, diterima di bivak
pasukan ekspedisi militer Belanda.
Pk 14.00 Raja Bangli Dewa Gde Tangkeban dikawal
pasukan bertombak tiba di Gianyar dari arah Timur. Sehingga kota Gianyar penuh
berjejal manusia.
Pembicaraan diadakan di kediaman sementara Komisaris
Liefrinck dan Panglima Tonningen, keduanya berpakaian kebesaran, dikelilingi
oleh Residen Bruyn Kops dan Asistennya Schwartz. Dewa Agung dan Dewa Gde
Tangkeban menandatangani kontrak perjanjian ini (Agung, 1989).
18 Oktober 1906:
Pasukan ekspedisi Belanda bergerak dari Gianyar menuju
Bangli melalui desa Gitgit, Bunutin, Belalang dan tiba di kota Bangli, dipimpin
langsung oleh Panglima Tonningen (Agung, 1989).
22 Oktober 1906:
Belanda menerima penyerahan senjata api oleh semua
Kerajaan di Gianyar. Komisaris Liefrinck berkunjung ke Karangasem bertemu
dengan Stedehouder I Gusti Ngurah Jelantik, sekaligus menerima
penyerahan semua jenis senjata api (Agung, 1989).
24 Oktober 1906:
Pasukan ekspedisi Belanda bergerak dari Bangli ke
Klungkung melalui desa Pateluan, Banjarangkan, Takmung. Setiba di sana disambut
oleh Cokorde Gde Raka dengan segala upacara kehormatan (Agung, 1989).
28 Oktober 1906:
Setelah berhasil menaklukkan Bali pasukan ekspedisi
Belanda mulai meninggalkan Bali diberangkan dari Pabean Sanur (Agung, 1989).
30 Oktober 1906:
Pk 10.00 Panglima Van Tonningen naik ke salah salah
satu kapal di Pabean Sanur meninggalkan Bali menuju ke Batavia. Dia mengucapkan
terima kasih kepada semua anggota pasukan ekspedisi yang menyelsaikan tugasnya
dengan baik (Agung,
1989).
Th 1907:
Gusti Agung kerug diangkat sebagai kepala distrik di
Sedang. Namun tidak beberapa lama menjabat ia dipecat, karena suatu keberatan
dilayangkan kepadanya. Agung Kerug memeras penduduk untuk memperbaiki purinya.
Pemerintah Hindia – Belanda menilai tindakan itu tidak terpuji bagi seorang
pejabat pemerintah (Nordholt, 2009).
27 Februari 1907:
Dewa Agung dan pembesar Kerajaan bersumpah di sebuah
Pura di Klungkung, setia pada kontrak perjanjian dengan Pemerintah Hindia –
Belanda (Agung,
1989).
2 Maret 1907:
Raja Bangli Dewa Gde Tangkeban dan pembesar Kerajaan
juga bersumpah di salah satu Pura di Bangli untuk setia dan taat terhadap
kontrak yang telah ditandatangani (Agung, 1989).
31 Agustus 1907:
Hari lahir Ratu Wilhelmina dirayakan di daerah
kolonial baru di Badung untuk pertamakalinya. Pada kesempatan ini penguasa
lokal yang paling penting di daerah Mengwi ditetapkan sebagai pejabat
pemerintah distrik (Nordholt, 2009).
1 April 1908:
Pengumuman Pemerintah Hindia-Belanda, bahwa
perdagangan candu akan dimonopoli oleh Belanda. Belanda membuka 120 buah kantor
penjualan candu di seluruh Bali diketuai oleh seorang petugas2
Kebijaksanaan Belanda ini ditentang oleh rakyat dan
Raja2 di Bali (Agung,
1989).
16 April 1908:
Di Gelgel terjadi peristiwa penyerangan kantor
penjualan candu oleh rakyat di bawah pimpinan bekas Punggawa Cokorde Gelgel,
seorang petugas tewas.
Di ibukota Klungkung orang2 Belanda diusir oleh
rakyat dan kantornya ditutup (Agung, 1989).
17 April 1908:
Sorenya pembalasan pasukan Belanda di Gelgel menimbulkan
banyak korban antara penduduk dan pasukan Belanda. Puri Cokorde Gelgel dapat
diduduki, menewaskan 100 penduduk. Cokorde Gelgel lari ke Klungkung menghadap
Dewa Agung. Dewa Agung tidak dapat berbuat banyak, menerima desakan pamannya
itu. Sehingga mulai saat itu di Puri Klungkung dibuat kubu2 pertahanan (Agung, 1989).
19 April 1908:
Residen Bali-Lombok Bruyn Kops dan Gubernur Jenderal
Van Heutz mengirim kawat kepada Menteri Jajahan melaporkan terjadinya
pemberontakkan di Klungkung (Agung, 1989).
28 April 1908:
Pagi2 pasukan bantuan Belanda yang segera
didatangkan mendekati Klungkung. Kapal2 perang melakukan penembakan ke arah
Kota Klungkung dari Pantai Kusambe, menimbulkan kerusakan dan kepanikan rakyat.
Dewa Agung dengan tombak ditangan kanan dengan pengikutnya 200 orang maju,
ditembak dengan meriam dan senapan. Dewa Agung gugur. Inilah yang disebut Puputan
Klungkung. Sebelum ditembak, dalam jarak 200 meter dari meriam2 Belanda,
atas nasehat pamannya Cokorde Gelgel, Dewa Agung menancapkan keris pusakanya ke
tanah dengan kepercayaan agar muncul suatu lubang besar yang akan menelan
korban dari musuh2nya (Agung, 1989).
Peluru meriam mengenai lutut Dewa Agung, akan tetapi
dengan gagah perkasa ia bangun hingga rubuh tertembak mati. Kepala Dewa Agung
hancur, otaknya berceceran (Agung, 1989).
Tempat kediaman Dewa Agung bernama Inem
Semarapura dirobohkan. Dewa Agung Putera yang gugur dalam puputan ini
merupakan generasi penerus terakhir yang berkuasa dengan menyandang gelar Susuhunan
Bali-Lombok (Agung,
1989).
Sementara Puri Klungkung diruntuhkan, di tempat lain
Gusti Made ringkus sedang mendirikan sebuah pelinggih di pekarangan Pura Taman
Ayun untuk memperingati kembalinya Mengwi. pelinggih tersebut sebagai simbol
ambisi garis keturunan Puri Mayun untuk memperoleh kembali kekuasaan atas
Badung, sekalipun berada di bawah Pemerintah Kolonial Hindia – Belanda (Nordholt, 2009).
2 Oktober 1908:
Mengingat kejadian di Badung dan di Klungkung, Raja
Bangli Dewa Gde Tangkeban mengajukan permohonan kepada Residen Bali-Lombok
Bruyn Kops agar Kerajaan nya diubah statusnya, seperti Kerajaan Gianyar dan
Karangasem (Agung,
1989).
28 Januari 1909:
Permohonan Raja Bangli Dewa Gde Tangkeban
dikabulkan, Kerajaan Bangli diubah statusnya menjadi kerajaan yang langsung
dipimpin oleh Pemerintah Hindia-Belanda.
Dengan demikian seluruh Bali langsung di bawah
kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda (Agung, 1989).
Jadi Kerajaan Karangasem, Bangli dan Gianyar
dipimpin oleh seorang Raja, sedangkan di Buleleng, Jemberana, Tabanan, Badung
dan Klungkung dipimpin oleh Kontrolir dengan Punggawa-pungawanya bumiputera (Agung, 1989).
Th 1910:
Kekuasaan dinastik Puri Mayun dan ambisi punggawa
diwujudkan dalam sebuah pusat pemerintahan baru di desa Blahkiuh yang
diciptakan oleh I Gusti Putu Mayun. Inti dari pusat pemerintahan ini berupa
persimpangan jalan yang baru dibangun. Di timur laut persimpangan punggawa
tersebut membangun purinya, seperti di Abiansemal. Diseberang puri tersebut,
terdapat tanah yang diberikan kepada keluarga pengikut penting dalam jajaran
Gusti Putu Mayun. Keluarga ini adalah Brahmana Manuaba yang diberikan hak
membangun sebuah geriya di bagian
barat daya persimpangan (Nordholt, 2009).
Th 1911:
Seorang politikus independen, anggota Parlemen
Belanda Van Kol mengunjungi Bali. Dia mengakui Gubernur Jenderal tidak jujur
dengan diri sendiri, sengketa perahu Sri Kumala terlalu di cari-cari, sebagai
alasan melakukan ekspedisi militer (Agung, 1989).
I Gusti Agung Gede Agung putera mahkota Abiansemal
diberhentikan sebagai punggawa oleh Pemerintah Hindia – Belanda. Agung Gede
Agung diberhentikan karena tidak mematuhi kerangka kerja pemerintah kolonial (Nordholt, 2009).
9 September 1911:
Henry van Kol menghentikan perjalanan di pantai Goa
Lawah setelah melewati bukit berpasir hitam Koesambe.
Ia menyaksikan sebuah goa gelap yang berisi kelelawar yang bergelantungan
menghempaskan sayapnya. Sepasang ular berwarna hijau muda berkepala ratu muncul
sekali-sekali dari sarangnya yang misterius (Vickers,
2012).
Th 1912:
Raja Bangli Dewa Gde Tangkeban wafat. Belanda tidak
mengangkat Raja baru. Anaknya Dewa Gde Tangkeban hanya diangkat sebagai Regent
setingkat Bupati (Agung,
1989).
23 Mei 1912:
Raja Gianyar Dewa Gde Raka yang bergelar Dewa
Manggis VIII mengajukan permohonan pengunduran diri kepada Pemerintah
Hindia-Belanda dari jabatannya sebagai Stedehouder (Agung, 1989).
11 Januari 1913:
Surat Gubernur Jenderal Van Heutz memberhentikan
Dewa Manggis VIII dengan hormat. Anaknya Dewa Ngurah Agung yang menggantikan
ayahnya diangkat sebagai Regent atau Bupati (Agung, 1989).
Th 1915:
Gusti Made Ringkus mencapai hasil yang maksimal,
keturunannya telah menguasai sebagian besar bekas Kerajaan Mengwi termasuk
pusat kerajaan yang lama. Keturunan Puri Mayun telah sepakat untuk mendukung
Pemerintah Hindia – Belanda (Nordholt,
2009).
Th 1917:
Kerajaan Gianyar dan Bangli kehilangan status
sebagai protektorat dan secara formal digabung ke dalam Pemerintahan Hindia –
Belanda. Keputusan ini membuat Kerajaan Gianyar dan Bangli sangat terpukul (Nordholt, 2009).
21 Januari 1917:
Bali selatan diguncang oleh gempa bumi yang hebat.
Walaupun berlangsung kuran dari 50 detik tertapi cukup menumbulkan kehancuran.
Lebih dari 1.350 orang meninggal. Harga beras di Badung naik 400% (Nordholt, 2009).
Akibat gempa tersebut, menurut statisitik resmi tida
kurang dari 2.431 pura yang hancur. Daerah gempa yang terbesar adalah daerah di
sekitar Danau Batur (Goris, 2012).
4 Pebruari 1917:
Bali kembali diguncang gempa yang kurang dahsyatnya
dari gempa 21 Januari 1917. Gempa terjadi pada pk. 5.05 sore selama 20 detik,
serta disusul gempa-gempa berikutnya. Puri Gianyar hancur lebur, Puri Bangli
rusak berat (Goris, 2012).
2 Mei 1917:
Sebuah telegram Pemerintah Hindia-Belanda memberikan
angka 1.358 orang meninggal atau hilang dan 1.060 orang luka di Bali selatan
(termasuk daerah sekitar danau Batur) dan 14 orang meninggal, 11 orang
luka-luka di Bali utara. Kerusakan material termasuk rusaknya 64.000 tempat
tinggal dan 10.000 gudang padi (Goris,
2012).
Th 1918:
Gusti Made Ringkus wafat. Wilayah Mengwi merasakan
dampak perubahan yang menjadi bagian rejim kolonial. Pengganti yang ditunjuk
tidak sesuai harapan. Rejim kolonial mengangkat Ketut Sandi, seorang jaba dari Buleleng yang tidak dikenal (Nordholt, 2009).
Wabah influenza melanda seluruh Bali, diperkirakan
22.300 orang meninggal karena ‘flu spanyol’ ini. Keadaan pada waktu itu
dipenuhi rasa takut dan keputuasasaan; kematian menghantui pekarangan dan tidak
mau berakhir (Nordholt, 2009).
Th 1919:
Pucak dari semua musibah. Bali selatan diserang oleh
hama tikus yang mengakibatkan panen kembali gagal (Nordholt, 2009).
Th 1920:
I Gusti Agung Gede Agung putera mahkota Abiansemal
wafat. Sebagai putera raja ia ‘mengganggur’ tidak mendapat jabatan, dengan
sedih hati manyaksikan kehancuran purinya. Puteranya I Gusti Ketut Agung pindah
dari Puri Abiansemal ke Puri Mengwi dengan membawa sejumlah keris pusaka dan
kulkul. Gusti Ketut Agung adalah seorang penari berbakat dan dia mendirikan
kelompok penari dan pemusik yang mengingatkan kepada kesenian kerajaan yang
lama (Nordholt, 2009).
Th 1921:
Punggawa jaba
Ketut Sandi dipindahkan. Dinasti Mengwi tidak mampu menunjukkan calon
pengganti. Belanda menempatkan I Ketut Widjanegara dari Buleleng sebagai
pengganti. Seperti pendahulunya, Widjanegara tidak mampu mengatasi situasi di
Mengwi. ada dua faktor penyebabnya (Nordholt,
2009):
1. Dukungan Belanda telah
menyusut dengan cepat, karena merancang tokoh-tokoh bangsawan seluruh Bali.
2. Dia berhadapan dengan
perlawanan kuat yang dipimpin oleh Gusti Ketut Agung, putera mahlota Kerajaan
Mengwi
Th 1927:
Berkat perlawanan putera mahkota Kerajaan Mengwi,
punggawa I Ketut Widjanegara diturunkan dari jabatannya. Ia tidak bisa
mempertahankan wilayahnya dan karena kurang mampu menjadi juru tulis.
Penggantinya adalah Gusti Rai Kepakisan adik dari gusti putu Mayun (Nordholt, 2009).
Th 1928:
Gusti Putu Mayun penguasa Puri Mayun Blahkiuh
mendirikan Pura Giri Kusuma, di seberang puri, sebelah barat daya perempatan.
Persembahyangan kepada Dang Hyang Nirartha memiliki aspek yang luar biasa. Sebuah
pelinggih didirikan pada pura itu
adalah pesimpangan Pura batu Ngaus,
sebuah pura pesisir pantai yang berfungsi untuk mencegah gagal panen (Nordholt, 2009).
2 Juni 1928:
Gedong Kirtya Singaraja didirikan. Awalnya bernama Stichting
Liefrinck Van der Tuuk, untuk menghormati Liefrinck dan Vander Tuuk yang
memelopori penelitian Budaya (Bali Post, 2005).
Th 1929:
Di Bali berkuasa Residen Bali-Lombok baru bernama J
Caron. Dialah yang membagi Bali menjadi 8 resort/daerah, yaitu Buleleng,
Jemberana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli dan Karangasem (Agung, 1989).
Awal tahun 1930:
Pemugaran Pura Taman Ayun dimulai dibawah
kepemimpinan punggawa Mengwi Gusti Rai Kepakisan. Sejak jatuhnya Mengwi,
pura-pura peninggalan Mengwi ditelantarkan dan menjadi reruntuhan (Nordholt, 2009).
15 Juni 1931:
Seorang Kontrolir Belanda mengeritik keputusan
Residen Caron, yang tidak memasukkan Mengwi sebagai salah satu Resort/Daerah,
padahal Mengwi adalah bekas kerajaan besar (Agung, 1989).
Th 1932:
Argumentasi yang disampaikan Goris mempengaruhi
keputusan Gubernur Jenderal untuk melarang misionaris Kristiani yang hanya akan
merusak budaya Bali (Nordholt, 2009).
12 Pebruari 1934:
Upacara kremasi di Puri Jro Kuta. Upacara diadakan
setelah 28 tahun terjadi bunuh diri massal tahun 1906, saat itu mayat dibakar
dengan buru-buru dan nyaris tanpa upacara. Akhirnya para keturunannya mampu menyelenggarakan
upacara kremasi besar sesuai dengan peringkatnya. Berhak menggunakan Naga Banda
(naga besar) dengan keputusan khusus dari Dewa Agung Klungkung. Seluruh kota
bangkit, lebih dari 30 naga banda, dengan lebih dari seratus jenazah
(Covarrubias, 2014).
11 April 1935:
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Jhr Mr BC de Jonge
melakukan kunjungan ke Puri Gianyar. Dalam memoarnya Jonge mengkritik keras
Raja Gianyar dengan kata-kata yang tidak simpatik: “Raja Ngurah Agung tidak
menunjukkan penampilan yang menarik. Dia seorang yang kasar dan gemuk, yang
tidak mengesankan kepercayaan (apabila) dilihat dari gerak geriknya”(Manafe, 2007).
Oktober 1936:
Gusti Putu Mayun dari Puri Mayun Blahkiuh dan Gusti
Ketut Agung dari Puri Gede Mengwi saling bersaing, sama mengajukan diri untuk
menjadi pemimpin pemerintahan Mengwi yang otonom. Sementara itu, Gusti Ketut
Agung menyadari dirinya tidak masuk hitungan sebagai calon, karena tidak
mengenyam pendidikan barat dan suka sabung ayam (Nordholt, 2009).
13 Desember 1937:
Gusti Gede Raka pewaris Puri Lambing, adik sepupu
dari Gusti Putu Mayun memuat permohonan pada harian berbahasa Jawa Darmokondo, yang menggugah restorasi
Mengwi. ini adalah upaya pihak Puri Mayun untuk memenangkan persaingan dengan
Puri Gede (Nordholt, 2009).
7 April 1938:
Tak disangka, Gusti Ketut Agung meninggal. Lawannya,
Puri Mayun segera mempergunakan kesempatan tersebut dengan mengambil langkah
akhir dan penting (Nordholt, 2009).
Juni 1938:
Gusti Gede Raka membuat petisi yang disampaikan
kepada Gubernur Jenderal, Volksraad, parlemen Belanda, dan Ratu Wilhelmina. Inti
petisi ini menuntut keberadaan Mengwi sebagai negara yang independen secara
sah, berdasarkan terminologi dan arugumentasi yang diambil dari Binnenlandsch Bestuur (BB). Petisi ini
mendapat tanda-tangan sebanyak 40 orang. Pihak Puri Gede menolak menandatangani
petisi tersebut. Penolakan ini memicu perpecahan terbuka dengan Puri Mayun.
Dengan kemarahan yang luar biasa Gusti Gede Raka mendeklarasikan sumpah bahwa
keturunannya tidak akan lagi mengakui Puri Gede sebagai puri melainkan tidak
lebih sebagai tempat orang jaba.
Namun demikian, Gusti Gede Raka tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa Puri
Mayun dikucilkan secara perlahan-lahan (Nordholt,
2009).
29 Juni 1938:
Pada Hari Raya Galungan dilangsungkan Upacara Sumpah
Jabatan kepada kedelapan Kepala Pemerintahan Swapraja secara khidmat di Pura
Besakih. Pura yang dianggap keramat oleh seluruh umat di Bali (Agung, 1989).
Dinasti Mengwi tidak hadir dalam upacara pengukuhan
tersebut. Mengwi tidak diizinkan berdiri sendiri. Sebagaimana dari sudut
Belanda, tidak ada yang harus direstorasi, karena negara Mengwi sudah jatuh
sebelum kedatangan Belanda. Alasan itu tercatat pada tahun 1928 daan masih
berlaku. Para pemimpin Puri Mayun melanjutkan usaha-usahanya untuk mengubah
pendirian pemerintah kolonial sampai bersurat kepada Ratu Wilhelmina (Nordholt, 2009).
Ke-8 raja mengucapkan sumpah jabatan sebagai
Selfbestuurders disaksikan para pamong Belanda di Bali, pegawai sipil dan
militer, serta direktur pemerintahan Dalam Negeri (Binnenlands Bestuur) Dr. W.
Hoven. Selesai upacara sumpah, semua tamu mampir bersantap siang di Puri Agung
Gianyar (Manafe, 2007).
1 Juli 1938:
Bali dibagi menjadi 8 Distrik (sejajar dengan
keberadaan kerajaan-kerajaan sebelumnya), yaitu: Buleleng, Jemberana, Tabanan,
Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung dan Karangasem (Agung, 1989).
Agustus 1939:
Upacara pelebon
Gusti Ketut Agung. Suatu upacara besar yang pernah dilaksanakan jauh berbeda
dengan upacara yang ada di Blahkiuh. Upacara ini mendapat sambutan yang meriah
dari masyarakat Mengwi. Gusti Ngurah
Ketut Sangka dari Puri Gede Kurambitan datang menghadiri upacara tersebut, dan
masih ingat jelas. Wadah – yang berupa meru
tmpang solas – yang membawa jenazah
Gusti Ketut Agung ke tempat pengabenan dipersembahkan oleh penduduk Mengwi.
Puri ubud menyumbang lembu, Puri Sibang memberikan Nagabanda. Ini berarti
puri-puri lain tidak melupakan Puri Gede sebagai pusat kerajaan. Rakyat Mengwi
menunjukkan kesetiaany dengan mesatya rambut (menggunduli rambutnya).
Penghormatan ini sangat jarang terjadi, suatu rasa hormat yang hanya
ditunjukkan pada penguasa yang benar-benar memiliki nama besar. Gusti Ketut
Agung setelah ndewata bergelar Bhatara ring Thirta. Peristiwa pengabenan ini benar-benar menjatuhkan
harga diri keturunan Puri Mayun di Blahkiuh (Nordholt, 2009).
3 Mei 1940:
Ratu Belanda Wilhelmina memutuskan menolak
menandatangani permohonan Mengwi menjadi negara otonom. Sebuah peraturan baru,
bahwa lemari arsip keresidenan tetap terkunci sejak saat itu. Pejabat Bali yang
ingin tahu harus dijauhkan. Puri Gede menjadi pemenang dalam perseteruan ini.
Sementara Puri mayun mengalami kemunduran yang definitif (Nordholt, 2009).
19 Februari 1942:
Tentara Nippon mendarat di Bali, tanpa perlawanan
dari pasukan Belanda, berhasil menduduki Bali. Sehingga susunan pemerintahan
Swapraja tidak berlaku lagi. Bali kemudian menjadi lingkungan kekuasaan
Angkatan Laut Nippon (Agung, 1989)
Th 1950:
Cokorda Gede Oka, Putera Gusti Ketut Agung dari Puri
gede mengwi berhenti menjadi punggawa setelah Belanda angkat kaki. Ia menjadi
penanggung jawab Pura Taman Ayun. Cokorda menggangur seperti ayahnya walaupun
sudah mencoba usaha kecil-kecilan. Namun ia tetap menikmati ketenaran, karena
kenangan dinasti lama masih jelas melekat di Mengwi (Nordholt, 2009).
16 Februari 1963:
Gunung Agung Meletus. Saat letusan terjadi beberapa
bongkahan batu kecil jatuh di Besakih
yang letaknya 6 Km sebelah Barat daya dari lokasi kejadian. Hujan abu
diberitakan terjadi di desa Rendang dan di desa Selat di Selatan gunung. Aliran
lava sepanjang 7 Km mulai terjadi dan turun ke sungai Daya dan sungai Barak.
Letusan juga diikuti oleh hujan lahar yang menghancurkan jalan-jalan utama di
desa Kubu dan desa Tianyar.
17 Maret 1963:
Letusan berlanjut dengan frekuensi yang meningkat.
Bongkahan batu yang bercahaya di kegelapan berdiameter sekitar 5 – 8 Cm
disembur ke berbagai arah sejauh 6 Km dari kawah gunung. Keluaran berupa pasir
dan abu yang menyelimuti gunung Agung tebalnya 10 – 40 Cm. Keluaran tersebut
sebagain besar didistribusikan ke arah Barat, karena angin berhembus dari Timur
dan Tenggara.
16 Mei 1963:
Meletus lagi selama 4 jam. Bebatuan membara
berdiameter 10 – 15 Cm disemburkan ke berbagai arah dari kawah gunung sejauh 6
Km. Ketebalan abu menutupi gunung Agung mencapai tebal 1 Meter.
Akibat letusan gunung Agung, sedikitnya 1.148 orang
tewas, 296 luka-luka, dengan rincian: 820 orang tewas karena terkena aliran
lava, 163 orang tewas terkena semburan bebatuan, dan 165 orang tewas akibat
lahar. Juga merusak ratusan hektar lahan pertanian dan hutan (Kusumadinata, 1979).
Th 1965-1966:
Mayoritas keluarga puri-puri di Mengwi memihak PNI,
sehingga sedikit korban yang terjadi akibat pembantaian. Kecuali, Puri
Abiansemal pemimpinnya penganut aktif PKI. Pada saat pembantaian terjadi ia
menghilang dan purinya dibakar menjadi abu (Nordholt,
2009).
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Ide
Anak Agung Gede. 1989. Bali Pada Abad XIX
– Perjuangan Rakyat dan raja-Raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808 – 1908.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Covarrubias,
Miguel. 2014. Pulau Bali – Temuan Yang
Menakjubkan. Denpasar: Udayana University Press.
Creese,
Helen. 2012. Perempuan Dalam Dunia
Kekawin – Perkawinan dan Seksualitas di Istana Indic Jawa dan Bali. Denpasar:
Pustaka Larasan.
Goris, R.
2012. Sifat Religius Masyarakat Pedesaan
di Bali. Alih Bahasa: Sunaryono Basuki KS. Denpasar: Udayana Uiversity
Press.
Mahaudiana.
1968. Babad Manggis Gianyar. Gianyar: Thaman.
Manafe, Aco.
2007. DR Ide Anak Agung Gde Agung –
Keunggulan Diplomasinya Membela Republik. Jakarta: Lopo Indah.
Nordholt,
H.S. 2009. The Spell Of Power – sejarah
Politik Bali 1650 – 1940. Penerjemah: Ida Bagus Putradnyana. Edisi II.
Denpasar: Pustaka Larasan.
Samsubur.
2011. Sejarah Kerajaan Blambangan.
Surabaya: Paramita:
Sastrodiwiryo,
S. 2007. Perang Banjar (1868).
Cetakan pertama. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Sastrodiwiryo,
S. 2011. I Gusti Anglurah Panji Sakti –
Raja Buleleng 1599 – 1680. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Vickers, Adrian. 2012. Bali Tempo Doeloe. Penerjemah: Tim Komunitas Bambu. Cetakan
Pertama. Jakarta: Komunitas Bambu.
catatan luar biasa,.....salam
BalasHapuswww.hotelpuriayu.com www.pondokpuriayu.com
Betul sekali, catatan luar biasa, sekaligus benar-benar bikin miris. Peristiwa perangnya kerab sekali.
BalasHapusns276@ums.ac.id