AWAL BERDIRINYA KERAJAAN KARANGASEM
Asal-Usul Kata ‘Karangasem’
Gunung Lempuyang yang berada
di sebelah Timur Laut kota Amlapura, pada mulanya bernama Adri Karang,
yang berarti ‘Gunung Karang’. Pandita Agnijaya datang ke Bali tahun 1150 M
mengemban bhisama:
Gumawyeana dharma rikang
Adri Karang
maka kerahayuaning jagat
Bangsul.
Bhisama di atas termuat dalam
prasasti Sading C yang terdapat di Griya Mandara, Munggu Badung. Pandita
Agnijaya kemudian membuat tempat suci di puncak Gunung Lempuyang yang sekarang
bernama Pura Luhur Lempuyang, sebagai tempat bersemadi. Tempat bersemadi ini
disebut Karang Semadhi. Dari kata ‘Karang Semadhi’ inilah yang menjadi
‘Karangasem’.
Sementara itu kata Lempuyang
berasal dari kata lampu + hyang. Kata lampu berarti
‘terpilih’, ‘disukai’, dan hyang berarti ‘dewa’. Jadi Lempuyang berarti
tempat suci yang dipilih atau disukai oleh para dewa.
Sedangkan nama Amlapura
tidak ada prasasti yang menyebutkan kata itu. Kemungkinan kata Amlapura
tercipta pada jaman Dalem Watur Enggong di Gelgel (1480 – 1550 M), karena pada
masa itu merupakan masa keemasan di mana seluruh Bali merupakan kesatuan yang
bulat di bawah Gelgel. Sejak masa itu kesusastraan Bali berkembang pesat,
banyak pengarang/pujangga/sastrawan bermunculan. Kerajaan Samprangan disebut Linggarsapura,
kerajaan Gelgel disebut Swecapura, Klungkung disebut Smarapura,
Badung dengan Bandanapura, dan Mengwi dengan Monghopura atau Kawyapura.
Kata ‘amlapura’ secara resmi ditetapkan sebagai Ibukota Daerah Kabupaten
Karangasem oleh Bupati Karangasem Anak Agung Gde Karang.
Pemberontakan Patih Agung I Gusti Arya Batanjeruk
Dhalem Waturenggong wafat
pada tahun Isaka 1472 (1550 M), dinyatakan dalam candrasengkala: sapengerenga
sang pandita muang catur jadma. Ia digantikan oleh putera sulungnya Ida I
Dewa Pemahyun dengan abhiseka Dhalem Pemahyun. Dhalem Pemahyun tidak
mempunyai putera sehingga diberi abhiseka Dhalem Bekung. Dhalem Bekung
memerintah dalam usia yang terlalu muda, sehingga urusan sehari-hari kerajaan
dilaksanakan oleh patih agung Kyai Batanjeruk. Di kalangan istana muncul
intrik-intrik yang mengetahui gelagat Kyai Batanjeruk akan merebut kekuasaan.
Kyai Batanjeruk bersama I
Dewa Anggungan, Kryan Tohjiwa, dan Kryan Pandhe Basa memberontak dan menyandera
Dhalem Bekung dan adiknya Ida I Dewa Anom Segening dengan abhiseka
Dhalem Segening. Kyai Kebon Tubuh dan I Dewa Gedong Artha dibantu oleh laskar
Kryan Manginte dari desa Kapal. Terjadi pertempuran yang hebat di depan istana.
Kyai Kebon Tubuh berhasil menerobos masuk istana menyelamatkan Dhalem Bekung
dan Dhalem Segening. Dalam keadaan terdesak Kryan Pandhe Basa menghancurkan
gerbang istana, tetapi ia akhirnya diampuni berkat warang-nya Ki Lurah
Sidhemen. Kryan Tohjiwa dibunuh oleh Kryan Manginte. Sedangkan I Dewa Anggungan
menyerah minta ampun. Ia diampuni dengan disurutkan derajat wangsa-nya.
Kyai Batanjeruk lari berusaha menyelamatkan diri
dari istana bersama isteri, saudara-saudaranya dan seorang anak angkat, yang
bernama I Gusti Oka, putera dari I Gusti Bebengan (adik Kyai Batanjeruk).
Mereka terkejar sampai di desa Jungutan (sekarang Bungaya). Di desa ini patih
agung Kyai Batanjeruk dibunuh oleh Kryan Manginte dengan tombaknya yang bernama
Ki Baru Gudug. Hari wafatnya ditandai dengan candrasengkala brahamana
nyarita wang ana wani, yang berarti pada Isaka 1478 (1556 M).
Dewa Karangamla, Raja I
Karangasem
Janda Kyai Batanjeruk dan anak angkatnya I Gusti
Oka, beserta saudaranya berhasil menyelamatkan diri. Mereka terlunta-lunta
hingga sampai di desa Budakeling, berjumpa dengan Danghyang Astapaka.. I Gusti
Oka akhirnya berguru kepada Danghyang Astapaka, yang mempunyai pesraman
di Bukit Mangun, di desa Toya Anyar.
Janda Kyai Batanjeruk ini kemudian dinikahi oleh I
Dewa Karangamla, Raja pertama Karangasem yang berkedudukan di desa Selegumi
(Balepunduk). Waktu itu Karangasem masih
merupakan bagian dari Kerajaan Gelgel. Atas nasihat Danghyang Astapaka, I Dewa Karangamla menerima I Gusti Oka
sebagai anak angkat.
DINASTI BATANJERUK
MEMERINTAH KARANGASEM
I Gusti Oka, Raja II
Karangasem
I Dewa Karangamla kemudian membuat kediaman baru di
desa Batu Aya. Di desa ini lahir seorang putera dari isteri yang lain bernama I
Dewa Gde Batu Aya. Sementara kekuasaan diserahkan kepada I Gusti Oka sebagai
Raja ke-2 Karangasem. Penyerahan ini menandai kekuasaan Karangsem mulai
dipegang oleh dinasti Batanjeruk.
I Gusti Oka mempunyai 3 isteri, 2 orang dari prebali,
seorang lagi dari treh I Gusti Akah. Dari isteri prebali lahir: I
Gusti Wayahan Teruna, I Gusti Nengah Bebeg, I Gusti Ktut Landung, I Gusti Marga
Wayahan, dan I Gusti Wayahan Bantas. Dari isteri treh I Gusti Akah lahir
I Gusti Nyoman Karang.
I Gusti Nyoman Karang,
Raja III Karangasem 1611 – 1661 M
I Gusti Oka setelah tua, meninggalkan Batu Aya pergi
bertapa di Bukit Mangun mengikuti jejak Danghyang Astapaka, sampai wafat di
sana. Kekuasaan diserahkan kepada puteranya I Gusti Nyoman Karang, sebagai Raja
ke-3 Karangasem. I Gusti Nyoman Karang menetap di Batu Aya.
I Gusti Anglurah Ketut
Karang, Raja IV Karangasem 1661 – 1680 M
I Gusti Nyoman Karang menurunkan seorang putera
bernama I Gusti Ketut Karang, lahir dari seorang ibu treh I Gusti Tusan.
I Gusti Ketut Karang kemudian menggantikan ayahnya menjadi Raja ke-4
Karangasem, dengan abhiseka I Gusti Anglurah Ketut Karang.
I Gusti Anglurah Ketut Karang membangun sebuah
istana bernama Puri Amlarajja (sekarang Puri Kelodan) pada Isaka 1583 (1661 M).
Puri Amlarajja dan Pemerajan Pajenengan dibangun di sebelah Utara Batu Aya di
pisahkan oleh tukad Telabah.
Sejak saat itu kekuasaannya semakin berkembang
dengan batas wilayah, sebelah Utara: desa Taru Kunyit hingga Tauka, sebelah
Timur: desa Bukit, sebelah Selatan: Rurung Sumpek Padasan Desa Segarakaton,
sebelah Barat: Telabah Jasri, bagian dari Tukad Jerengga.
Tri Tunggal I, Raja V Karangasem 1680 – 1705 M
I Gusti Anglurah Ketut Karang menurunkan 3 orang dan
seorang puteri. Ketiga putera-puteri tersebut adalah: I Gusti Anglurah Wayan
Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Ayu Nyoman Rai
Ratna Inten, dan yang bungsu I Gusti Anglurah Ketut Karangasem. Ketiga
puteranya inilah yang kemudian menggantikan ayahnya, memimpin secara kolektif
kerajaan Karangasem. I Gusti Anglurah Nengah Karangasem menjalankan
pemerintahan sehari-hari, didampingi kakaknya dan adiknya.
I Gusti Anglurah Ketut Karangasem menjabat sebagai
senepati. Ia memimpin laskar Karangasem menyerang dan menguasai Lombok,
mengalahkan kerajaan Seleparang dan Pejanggi pada tahun 1692 M.
I Gusti Anglurah Made Karang, Raja VI Karangasem 1705 – 1738 M
I Gusti Anglurah Wayan Karangasem
berputera I Gusti Banyu Anyar. I Gusti Banyu Anyar berputera I Gusti Wayan Gelumpang. I Gusti Wayan
Gelumpang berputera I Gusti Made Gelumpang, dan seterusnya menurunkan keluarga
di Gelumpang Karangasem dan di Gubug Batu Mataram Lombok.
I Gusti Anglurah Nengah
Karangasem berputera seorang bernama I Gusti Anglurah Made Karang. I Gusti Anglurah Made Karang kemudian
mengantikan Tri Tunggal I, menjadi Raja ke-6 Karangasem.
I Gusti Ayu Nyoman Rai Ratna
Inten suaminya bergelar Ida Bhatara Gde Gunung Agung, menurunkan putera
yang bergelar Ida Bhatara Alit Sakti. Ida Bhatara Alit Sakti diistanakan
di Pura Bukit, 11 Km Timur Laut Amlapura.
I Gusti Anglurah Ketut
Karangasem, yang bungsu menaklukkan lombok pada tahun 1692 M, menurunkan 9
putera-puteri. Putera tertua bernama I Gusti Gde Karangasem, tetap tinggal di
Karangasem. Putera-puteri yang lain tinggal di beberapa tempat Lombok, seperti:
di Pegesangan, Pagutan, Kediri, dan Sengkongo.
I Gusti Anglurah Made Karang berputera 6 orang, 4
putera, dan 2 puteri, yaitu I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti, I Gusti
Tegeh, I Gusti Nyoman Rai, I Gusti Ktut Kaba-kaba (menurunkan keluarga di Puri
Kawan Amlapura sekarang), I Gusti Ayu Karang, dan yang bungsu I Gusti Luh
Kirna.
Putra sulung lahir dari prami bernama I Gusti
Anglurah Made Karangasem Sakti, bergelar Sang Atapa Rare karena
bertingkah laku seperti anak kecil. Disebut sakti karena berbudi luhur,
menekuni ajaran Danghyang Astapaka dan mempunyai kemampuan untuk melihat
kejadian yang akan datang. Kelakuannya seperti anak kecil ini mendatangkan maut
baginya. Ia tidak berambisi menjadi raja. Ia pernah pergi dan menyepi di desa
Sangeh, wilayah kekuasaan kerajaan Mengwi. Atas ijin raja Mengwi, ia membangun
sebuah parahyangan yang sekarang bernama Pura Bukit Sari.
I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti juga
membangun komplek istana baru yang bernama Puri Kaleran, karena letaknya di
sebelah Utara dari Puri Amlarajja. Puri ini dibangun sekitar tahun 1750 M,
kemudian disebut Puri Ageng, karena menjadi tempat tinggal yang memegang
pemerintahan berikutnya. Sedangkan Puri Amlarajja kemudian disebut sebagai Puri
Kelodan, karena terletak di Selatan Puri Ageng, menjadi Karang Kepatihan.
Pada suatu hari I Gusti Anglurah Made Karangasem
Sakti pergi ke istana Gelgel. Pada saat menghadap Cokorda Jambe, ia tidak mampu
menahan kencingnya. Kejadian ini dipandang sebagai penghinaan. Cokorda Jambe
memerintahkan untuk membunuh Sang Atapa Rare. Peristiwa pembunuhan
terjadi di Bulatri, sebelah Timur desa Kusamba, sejak itu ia bergelar Raja
Dewata Bulatri.
Adik I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti, I Gusti
Ayu Karang diperisteri oleh Ida I Dewa Agung dari Puri Semarapura, Raja II
Klungkung, bergelar Ida I Dewa Agung Isteri Karang Di Dalem. Upacara
pernikahan berlangsung di Karangasem. Bulan madu juga di Karangsem, mereka
bertempat tinggal di suatu komplek yang disebut Puri Dalem (sebelah Utara Pasar
Karangasem sekarang). I Gusti Ayu Karang ini tidak menurunkan putra, karena itu
ia mengangkat anak dari suaminya yang beribu dari Pegambuhan bernama Ida I Dewa
Agung Gede, beristana di Puri Denpasar Klungkung.
I Gusti Luh Kirna dikawinkan dengan I Gusti Wayan
Abian, yang dijuluki I Gusti Mantu Silit Mategil, karena kesaktiannya,
berkuasa di daerah Kuncaragiri (sekarang Sebetan) dan sekitarnya. Sang menantu
tidak mau tunduk kepada kekuasaan Karangasem. Untuk itu I Gusti Anglurah Made
Karang tangkil ke Pura Bakak, dekat Sebetan. Ia mohon petunjuk agar
dapat menundukkan menantunya dan menguasai daerah Sebetan. Dari petunjuk itu,
ia disuruh datang ke Gerya Jungutan (Bungaya). Di sana ada Pendeta sakti
keturunan Ida Pedanda Sakti Abah, yaitu Ida Pedanda Gde Wayan Tamu. Ida Pedanda
Gde Wayan Tamu adalah nabe dari Ida Pedanda Wayan Penatih Sakti dari
Sebetan, sehingga ada nama Gerya Jungutan di Sebetan. Sang nabe menunjuk
nanak-nya untuk mengadu kesaktian dengan I Gusti Mantu beserta
laskarnya. Terjadi pertempuran di sebelah barat tukad Buwu. Laskar I
Gusti Mantu dipukul mundur sampai di Banjar Kreteg Kangin di Sebetan. Di sini
terjadi perang habis-habisan tiga hari tiga malam. I Gusti Mantu akhirnya
tewas.
Diceritakan kembali riwayat Dewata Ring Bulatri.
Ia seperti Bhagawan Bhisma menunggu saatnya tepat untuk meninggalkan jasadnya,
setelah ditikam oleh beberapa orang suruhan Dewa Agung Jambe, sambil menunggu putera-puteranya
datang. I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem kemudian datang menemui ayahnya yang
sekarat. Ia sempat menerima pesan-pesan kediatmikan (pewisik),
sebelum menghembuskan napas terakhir.
Peristiwa ini memicu perang (pepet) antara
Karangsem dengan Klungkung pada tahun 1705 M. I Gusti Anglurah Ketut Karangsem
putera bungsu, menggiatkan persiapan perang. Sebagai panglima perang ditunjuk I
Gusti Nengah Sibetan memimpin laskar Karangsem. Pertempuran sengit terjadi di
desa Tangkas. Cokorda Jambe dan Panglima laskar Klungkung dipimpin oleh Ida
Ktut Batulepang gugur dalam pertempuran ini. Dengan gugurnya Cokorda Jambe,
ketegangan kedua belah pihak menjadi reda.
Tri Tunggal II, Raja VII Karangasem 1738 – 1801 M
I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti menurunkan 3
putera terkemuka, yaitu: I Gusti Anglurah Made Karangasem, I Gusti Anglurah
Nyoman Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Ketiga putera inilah
yang menjadi Raja ke-7 Karangsem menggantikan kakeknya, I Gusti Anglurah Made
Karang.
Salah satu puterinya I Gusti Nyoman Rai alias I
Gusti Ayu Nyoman Dharma tidak menikah. Ia mengikuti jejak ayahnya bertapa di
lereng Gunung Lempuyang. Tempat pertapaannya penuh dengan macam-macam kembang
berbunga rancak. Tempat pertapaan tersebut kemudian bernama Pura Hyang Sari.
Pada masa pemerintahan tiga saudara ini, terjadi
konsolidasi pemerintahan yang mantap. Wilayah kekuasaan menjadi berkembang, di
Lombok, Buleleng, Jembrana, dan Taman Bali (Bangli). Beberapa punggawa
ditempatkan di Selat, Bebandem, dan Rendang.
Peranan punggawa Selat, I Gusti Nengah
Sebetan sangat berarti dalam perluasan kekuasan kerajaan Karangasem. Ia
berhasil mengalahkan laskar dan membunuh I Gusti Anglurah Sidemen yang terkenal
sakti. I Gusti Anglurah Sidemen sendiri pernah dikutuk oleh Ida Pedanda Pidada
karena perbuatannya yang berani. Dalam pertempuran itu semua anggota laskar I
Gusti Anglurah Sidemen dapat dibunuh, sehingga ia merasa sudah waktunya mrelina
angga sarira, kemudian ia wafat. Ia
dibuatkan lubang kuburan, tetapi ketika hendak dikubur, mayatnya menghilang.
Itulah sebabnya tempat itu diberi nama bang bang buwung (sekarang
Bangbang Biaung).
Raja pada waktu itu banyak mengeluarkan paswara.
Dalam mengeluarkan paswara raja meminta pertimbangan kepada 6 pendeta,
yaitu 4 Pedanda Siwa, disebut Dyaksa Paksa, dan 2 Pedanda
Buddha yang disebut Buddha Paksa. Pedanda Siwa itu adalah Ida
Pedanda Wayan Wanasari, Ida Pedanda Ktut Jelantik, Ida Pedanda Made Anom, dan
Ida Pedanda Wayan Sukahet. Pedanda Buddha adalah Ida Pedanda Made Jelantik dan
Ida Pedanda Wayan Demung.
Paswara tersebut antara lain tentang larangan
Gamya Gamana, yang dijadikan undang-undang (paswara) dengan nama Sarasamucaya
Gama, diresmikan berlakunya pada Isaka 1723 (1801 M).
Setelah tua tiga sadara ini wafat. Mereka masing-masing
wafat di tempat yang berbeda, yaitu:
·
I Gusti Anglurah Made Karangasem wafat di
Pesaren Anyar Puri Ageng Amlapura, bergelar Dewata Pesaren Anyar.
·
I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem wafat di Bale
Ukiran Subagan Amlapura, bergelar Dewata Bale Ukiran Subagan.
·
I Gusti Anglurah Ktut Karangasem wafat di
Petandakan Puri Ageng Amlapura, bergelar Dewata Petandakan.
I Gusti Gde Karangasem,
Raja VIII Karangasem 1801 – 1806 M
Setelah Raja Tri Tunggal II semuanya wafat, I Gusti
Gde Karangasem menggantikan kedudukan mereka sebagai Raja ke-8 Karangasem. Pada
jamannya wilayah kekuasaan semakin meluas. Setelah wafat ia bergelar Dewata
Tohpati.
I Gusti Lanang
Peguyangan, Raja IX Karangasem 1806 – 1827 M
Putera Dewata Tohpati, yang bernama I Gusti
Lanang Peguyangan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja ke-9 Karangasem.
I Gusti Lanang Karangasem nama lainnya. Ia sempat menyingkir meninggalkan
istana sewaktu diserang oleh Raja Buleleng I Gusti Agung Pahang. Namun ia dapat
merebut kembali kekuasaannya.
I Gusti Bagus Karang,
Raja X Karangasem 1827 - 1840 M
Perkembangan selanjutnya, pemberontakan Punggawa pada tahun 1827 M, menamatkan kekuasaan I
Gusti Lanang Peguyangan. I Gusti Lanang Peguyangan melarikan diri ke Lombok. I
Gusti Bagus Karang menempati tahta kerajaan sebagai Raja ke-10 Karangasem.
I Gusti Gde Cotong, Raja
XI Karangasem 1840 – 1845 M
I Gusti Bagus Karang selanjutnya tewas dalam perang
di Lombok. Pada waktu itu Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem berhasil
menguasai Karangasem. Raja Buleleng ini menempatkan menantunya I Gusti Gde
Cotong sebagai Raja ke-11 Karangasem.
I Gusti Ngurah Gde
Karangasem, Raja XII Karangasem 1845 – 1849 M
Terjadi peristiwa perebutan kekuasaan. I Gusti Gde
Cotong tewas dalam mempertahankan kedudukannya. Tahta kerajaan kemudian
dilanjutkan oleh saudara sepupu Raja Buleleng, bernama I Gusti Ngurah Gde
Karangasem, sebagai Raja ke-12 Karangasem.
Pada Tanggal 20 Mei 1849, sesudah Raja Buleleng
beserta senepatinya gugur menyusul jatuhnya benteng induk Jagaraga, Raja
Karangasem yang waktu itu sedang berada di desa Sesana (Bebandem), diserang
oleh gerombolan yang pro Belanda hingga wafat. Ia kemudian bergelar Dewata
Sesana. Seorang permasurinya yang berasal dari Puri Mengwi mengikuti jejak
suaminya dengan melakukan satya patibrata di desa Jungsri, tidak jauh
dari desa Bebandem.
Dengan wafatnya Raja Karangasem ini, berarti seluruh
kekuasaan kerajaan Karangasem menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia –
Belanda.
I GUSTI ANGLURAH KETUT KARANGASEM
MENAKLUKKAN LOMBOK
Anugerah Ida Bhatara Alit Sakti
Sejarah kerajaan
Karangasem-Bali tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Karangasem-Lombok.
Membicarakan riwayat kerajaan Karangasem-Bali sampai jatuh ke tangan Pemerintah
Hindia-Belanda ditentukan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
kerajaan-kerajaan Karangasem-Lombok. Penguasa kerajaan-kerajaan
Karangasem-Lombok adalah putera-putera dari kerajaan Karangasem-Bali.
Keberhasilan kerajaan
Karangasem menaklukkan Lombok tidak lepas dari lahirnya seorang bayi yang
menjadi dewa, bernama Ida Bhatara Alit Sakti, beristhana di Pura Bukit (sekitar
11 km ke Timur dari Amlapura). Laskar karangasem dipimpin oleh I Gusti Anglurah
Ketut Karangasem (salah seorang dari Tri Tunggal I). sebelum berangkat ke
Lombok ia tangkil minta restu ke Pura
Bukit, pada Ida Bhatara Alit Sakti, yang tidak lain adalah kemenakannya
sendiri.
Laskar Karangasem
berangkat pada pagi hari dengan 4 (empat) perahu pada tahun 1692 M, dari Pantai
Jasri. Perahu yang lain dari desa Seraya lengkap dengan persenjataan, dipimpin
oleh Ki Bendesa Seraya. Seluruh anggota rombongan merasa heran karena angkasa
dipenuhi oleh ribuan kupu-kupu kuning yang mengantar mereka. Kupu-kupu kuning
ini, diyakini sebagai anugerah dari Ida Bhatara Alit Sakti dari Pura Bukit,
menunjukkan jalan dan arah tujuan laskar Karangasem ini.
Turut serta dalam
rombongan ini beberapa orang kepercayaan antara lain adalah Pedanda Siwa
bernama Ida Pedanda Gde Wayahan Sebali dari Geriya Pendem, yang menurunkan parati sentana di Geriya Pegesangan,
Lombok. Turut juga dalam rombongan Dane Poleng, menurunkan parati sentana di Tragtag, Lombok Barat. Selama perjalanan berlayar
mengarungi selat Lombok, mereka mengeluarkan bhisama, bahwa diantara mereka dalam rombongan tersebut tidak
saling melupakan sampai seterusnya pada keturunan selanjutnya.
Rombongan pertama kali
sampai di Tanjung Rubeh, kemudian berbelok meneruskan perjalanan hingga
berlabih di Pantai Pasoan Padang Rea, Lombok-Barat. Saat akan berlabuh
rombongan kemudian melishat laskar penuh sesak berjejal susuk bersila menanti.
Orang banyak duduk bersila ini kemudian lenyap dari pandangan mata bersamaan
lenyapnya kupu-kupu kuning. Rombongan yakin mereka i tu tidak lain adalah bala samar yang siap tempur.
Kerajaan Seleparang dan Pejanggi Ditaklukkan
Setiba di tanah Lombok,
I Gusti Anglurah Ketut Karangasem (yang dijuluki juga I Gusti Anglurah Ketut
Seleparang) mengadakan pertemuan dengan Arya Banjar Getas, untuk mengatur
strategi penyerangan. Arya Banjar Getas tidak lain adalah seorang pembesar di
kerajaan Seleparang, yang terkena fitnah sehingga dimusuhi Raja (Datuk)
Seleparang. Ia membantu laskar Karangasem untuk membalas dendam. Tempat
pertemuan kedua belah pihak kemudian disebut desa Pagutan (dari asal kata pagut yan berarti ‘berikrar bersama
adanya suatu kehendak’).
Laskar Karangasem
mula-mula menuju ke sebuah gunung memohon restu dan keselamatan. Gunung
tersebut kemudian disebut Gunung Pangsung (yang berasal dari kata pang asung, artinya ‘agar diberkahi’).
Sekarang tempat ini disebut gunung Pengsong. Pemimpin laskar I Gusti Anglurah
Ketut Agung membuat peraturan makan bersama untuk anggota laskarnya. Dari
sinilah mula-mula adanya tradisi magibung.
Sesuai rencana,
mula-mula laskar Karangasem menggempur Kerajaan Pejanggi. Perang ini
berlangsung 111 hari memakan korban sebanyak 81 orang dari pegkit pihak Arya
Banjar Getas. Laskar Karangasem meneruskan menyerang kerajaan parwa, dalam
beberapa hari saja. Penyerangan diteruskan ke kerajaan yang paling besar, yakni
Seleparang. Penyerangan dilakukan pada malam hari, berlangsung selama 117 hari.
Atas kemanangan ini laskar Karangasem merayakan pesta kemenangan. Di sinilah
tercipta cakepung, yang berasal dari
kata jag kepung, artinya ‘kejar
terus’.
Setelah berahasil meraih
kemenangan pada tahun 1692 M, I Gusti Anglurah Ketut Karangasem dan Arya Banjar
getas membagi wilayah Lombok. Lombok Timur menjadi wilayah kekuasaan Arya
Banjar Getas sebagai vasal dari kerajaan Karangasem, sedangkan bagian barat
seluruhnya dikuasai oleh kerajaan Karangasem. Kedua belah pihak melakukan
pasobhaya (perjanjian tidak tertulis). Pihak Karangasem memberikan leluputan sarin tahun (tidak kena pajak
apapun) keada pihak Arya Banjar Getas, dan sebaliknya Arya Banjar Getas akan
setia turun tumurun kepada Raja Karangasem.
I Gusti Anglurah Ketut
Karangasem (Seleparang) dengan kemenangannya pulang kembali membawa benda-benda
rampasan sebagai bukti atas keberhasilannya menaklukkan Lombok. Benda-benda
tersebut antara lain: Bende (semacam
Gong, genderang perang Kerajaan Seleparang), lelancangan (tempat sirih) Datuk Pejanggi. Semua benda-benda
tersebut dipersembahkan di Pura Bukit, selanjutnya disimpan di sana. Sebanyak
11 keluarga Sasak ikut dibawa ke Karangasem. Mereka keluarga dari Datuk Bayan,
diberi tempat di kampung Anyar, sebelah timur Pura Bukit. Mereka beranak pinak
sampai sekarang, diberi tugas menjaga kebersihan Pura Bukit. Pada saat pujawali Ida Bhatara Alit Sakti mereka
punya kewajiban sebagai pemukul Bende
dari Seleparang itu.
Migrasi Bangsawan Karangasem ke Lombok.
Untuk mengukuhkan
kekuasaannya, I Gusti Anglurah Ketut Karangasem menempatkan pada parati sentananya sejak tahun 1720
sebagai berikut:
1.
Kerajaan
Pegesangan, di bawah I Gusti Nyoman Anglurah Karang ( I Gusti Nyoman
Agung), putera dari I Gusti Anglurah Ketut Karangasem (Seleparang), yang beribu
dari treh Anglurah Sidemen.
2.
Kerajaan Kediri,
dibawah I Gusti Ketut Rai, juga putera dari I Gusti Anglurah Ketut Karangasem
(Seleparang).
3.
Kerajaan Pagutan,
dibawah I Gusti Wayan Sidemen, putra dari I Gusti Putu Lebah di Pegesangan.
4.
Kerajaan
Sengkongo, di bawah I Gusti Ketut Sidemen, juga putera dari I Gusti Putu
Lebah.
5.
Kerajaan
Singasari, dipimpin I Gusti Anglurah Made Karangasem, cucu dari raja
Karangasem Bali (Dewata Pesaren Anyar) dari Tri Tunggal II.
6.
Kerajaan Metaram,
dipimpin I Gusti Anglurah Ketut Karangasem
(Dewata Pesaren Anyar Mataram).
Ia didampingi adiknya I Gusti Made Jelantik (Dewata Puri Kanginan Mataram). Mereka adalah putera dari I Gusti
Anglurah Ketut Karangasem (Dewata
Petandakan) dari Tri Tunggal II.
Pada waktu Puri Kanginan
selesai dibangun pada tahun 1744, I Gusti Anglurah Ketut karangasem sudah
wafat, tidak meninggalkan putera. Ia digantikan oleh kemenakannya putera dari I
Gusti Made Jelantik yang bernama abhiseka I Gusti Anglurah Ketut Karangasem,
yang dalam perang saudara pada tahun 1838 tewas di Rumak Padasan desa Perapuan.
Perahyangan yang Dibanguan dan Dipugar
Selama Lombok dikuasai
oleh keluarga bangsawan Karangasem, mereka membangun parahyangan yang baru dan memugar parahyangan yang sudah ada.
Adapun parahyangan tersebut adalah:
1.
Pura Meru di
Kerajaan Singasari. Pura ini dibangun untuk memperkuat rasa persatuan keluarga
bangsawan Karangasem, pada tahun 1744. Pura ini dipuja oleh seluruh keluarga
bangsawan Karangasem dan umat Hindu umumnya di Lombok sampai sekarang.
2.
Pura
Suranadi di Kerajaan Pegesangan. Pura ini pertama dibangun pada zaman
Danghyang Nirartha, sekitar tahun 1530 M. kemudian atas prakarsa I Nyoman
Karang (I Gusti Nyoman Agung) dipugar tahun 1708 M. Upacaranya dipuput oleh Ida
Pedanda Sakti Abah (salah seorang cucu dari Danghyang Nirartha, konon khusus
didatangkan dari Bali. Upacara dilakukan di tiap mata air yang konon diciptakan
oleh Danghyang Nirartha dengan menancapkan teteken
(tongkat), seperti: Tirta Pebersihan,
Tirta Pengentas, Tirta Pengenteg, dan Tirta Penawar.
Selanjutnya pada zaman Metaram dibuat tempat peristirahatan raja
terpisah dari tempat suci.
3.
Pura Gunung Sari
di Kerajaan Singasari. Pura ini dibangun pada masa jayanya Kerajaan Singasari,
didirikan oleh saudara raja Mataram I Gusti Made Jelantik. Sewaktu perang
saudara dengan Mataram, tempat ini sering dipakai bersemadi oleh I Gusti
Anglurah Ketut Karangasem (Dewata Rumak).
Menjelang
hancurnya Puri Metaram pada perang melawan kolonial, September 1894, putera
mahkota Anak Agung Ketut Karangasem, pada senja hari pergi meninggalkan perang
dengan menaiki kuda putih yang bernama I Gedong Besi. Setelah perang selesai
orang-orang megumpulkan jenazah-jenazah bangsawan kerajaan. Namun satu yang
tidak ditemukan jenazah putera mahkota. Masyarakat di sana meyakini putera
mahkota moksah di Pura Gunung Sari. Pada zaman Belanda masyarakat di sana
sering mendengar ringkikan suara dan derap kaki kuda putera mahkota. Puter
mahkota diberi julukan Dewata Moksah.
4.
Pura Taman
Mayura di Kerajaan Singasari, dibangun bersamaan dengan Pura Meru pada
tahun 1744. Lokasi pura berada dalam komplek Pura Singasari, waktu itubernama
Taman Kelepung.
Sewaktu
Puri Singasari habis terbakar pada tahun 1838, taman i ni penuh dengan semak
belukar. Pada tahun 1866 taman ini selesai dipugar oleh Raja Metaram, namanya
diganti dengan Taman Mayura. Pada taman ini dibuatkan kandang untuk memelihara
burang Merak, yang digunakan raja untuk memangsa ular-ular berbisa.
5.
Pura Kelasa di
Taman Narmada. Di areal ini sebuah mata air sebagai tempat pemandaian
dewata yang semula dijaga oleh ular-ular berbisa. Setelah diupacarai ular-ular
itu menghilang. Nama Narmada diambil
dari salah satu sungai di India yang disucikan. Di komplek inilah dibangun Pura
Kelasa yang berkiblat ke Gunung Rinjani. Nama kelasa juga mengambil nama salah satu gunung di India sebagai
tempat kediaman Bhatara Siwa.
Raja Metaram
memugar tempat ini, kemudian menyelenggarakan pujawali dan pekelem. Pujawali ditujukan kepada puncak Gunung
Rinjani, dan Pekelem untuk dilakukan
di Segara Anakan.
6.
Pura Lingsar.
Pura ini berkaitan dengan ekspedisi Laskar Karangasem ke Lombok. Pemimpin
laskar I Gusti Anglurah Karangasem (Seleparang) mendapat petunjuk di Gunung
Pangsung pada hari Anggara-Kliwon-Prangbakat.
Dari petunjuk ini ia menemukan sebuah mata air, waktu itu dinakan Atis Toya
Hengsar, di desa Punitan sekarang. Di tempat ini ia bersemadi dan bertemu
dengan seorang wanita berpakaian serba kuning, yang memberi restu dengan
memberi bantuan laskar Bala Samar,
semuanya berpakaian serba kuning.
Di tempat
ini kemudian dibangun Pura Lingsar oleh I Gusti Anglurah Made Karangasem (Dewata balekapal Mataram) pada tahun
1847, kemudian dipugar oleh I Gusti Anglurah Ketut Karangasem (Dewata Rum Mataram) pada tahun 1860.
Sebelah
pura ini ada benda suci yang bernama Kemali
Lingsar, yang dimuliakan oleh umat Islam
Waktu Telu. Pada saat pujawali sasih kenem, diadakan upacara perang ketupat antara umah Hindu dan
umat Islam Waktu Telu, dengan
keyakinan setelah upacara ini segala yang ditanam akan subur. Tempat ini juga
diyakini sebagai tempat lenyapnya Datu Seleparang sewaktu kalah perang.
7.
Pura Batu Bolong.
Pura ini dibangun oleh I Gusti Made Jelantik pada tahun 1746. Tempat ini sering
digunakan untuk menyepi, bersemadi semalam suntuk oleh I Gusti Anglurah Ketut
Karangasem (Dewata Rum).
PERANG SAUDARA DI LOMBOK
Sejak tahun 1720
Kerajaan Singasari mengkoordinir 5 (lima) kerajaan, yaitu: Pegesangan (dari
kata kegesangan = kehuripan), Pagutan, Metaram, dan Sengkongo. Pada masa itu
para bangsawan Karangasemmasih mempunyai rasa persatuan, rasa kekeluargaan dan
persaudaraan yang kuat. Namun dalam perkembangan generasi selanjutnya rasa
persatuan, persaudaraan yang dimiliki itu makin lama makin terkikis oleh sifat
mementingkan diri sendiri.
Perang saudara antara
bangsawan Karangasem justru memicu bangkitnya rakyat Sasak untuk memberontak
terhadap kekuasaan bangsawan Karangasem untuk merebut kembali
wilayah-wilayahnya. Terlebih lagi peran dari Pemerintah Hindia-Belanda yang
memberi dukungan pada rakyat Sasak.
Ada beberapa peristiwa
alam yang menjadi tanda danmemberi alamat akan adanya perang antara Singasari
dengan Metaram. Kejadian alam tersebut adalah:
1.
Meletusnya Gunung Tambora di Pulau Sumbawa pada tahun
1815. Bencana alam ini memakan korban
jiwa lebih dari 1.000 penduduk Sasak. Material letusan ini sampai ke Bali.
Sawah-sawah di Bali ditutupi pasir letusan sehingga mengalami gagal panen.
2.
Meletusnya Gunung Rinjani pada tahun 1818, juga memakan
korban jiwa, selain harta benda dan tanah pertanian.
3.
Musim paceklik yang panjang di daerah-daerah pertanian
dari Lombok Barat hingga Lombok Timur.
4.
Terjadi epidemi wabah penyakit yang banyak memakan
korban jiwa.
5.
Di tiap perempatan, baik siang maupun malam anjing
melolong panjang saling bersahutan, tiada henti. Anjing gila bertambah banyak
di desa-desa.
6.
Pohon-pohon beringin besar di Ampenan banyak tumbang,
tidak diketahui penyebabnya.
7.
Suasana sepi sering datang mencekam penduduk, dan
sebagainya.
Singasari Lenyapkan Sengkongo
Setelah Raja Singasari
wafat, I Gusti Anglurah Made Karangasem (Dewata
Singasari), ia digantikan oleh puteranya dengan abhiseka sama I Gusti Anglurah Made Karangasem (Dewata Loji). Rasa ini sangat berambisi
memperluas wilayahnya. Ia mengeluarkan fitnah dengan tuduhan Raja Sengkongo I
Gusti Nengah Perasi telah berani melakukan semara
dudu dengan seorang puteri Singasari. Raja Sengkongo dibunuh 1803.
Sengkongo adalah
kerajaan yang paling kecil di Lombok Barat, namun geografisnya sangat
strategis. Sengkongo memiliki pantai yang menjadi pelabuhan tempat terjadinya
transaksi hasil-hasil bumi. Ini menjadi incaran Singasari. Dengan dibunuhnya i
Gusti Nengah Perasi tidak ada lagi yang menjadi raja di Sengkongo. Sengkongo
kemudian menjadi bagian dari Pagutan. Kekayaan dan pusaka-pusaka Sengkongo
diserahkan ke Kerajaan Pagutan, karena secara geneologis paling dekat sama-sama
parati sentana I Gusti Anglurah Ketut Karangasem (Seleparang).
Singasari Lenyapkan Kediri
Ambisi penguasa Kerajaan
Singasari untuk memperluas wilayahnya mendapat perlawanan dari Kediri, yang
terang-terangan melakukan pemberontakan. Berbeda dengan Pegesangan dan Pagutan
yang merasa enggan karena masih ada tali perkawinan. Peretempuran
Singasari-Kediri terjadi di sungai babk, pada tahun 1804.
Mula-mula laskar
Singasari dapat dipukul mundur, namun setgelah mendapat bantuan dari Metaram, Pegesangan, dan Pagutan laskar
Kediri dapat ditaklukkan. Semetara Raja Kediri I Gusti Nyoman Rai tewas. Dengan
kemenangan ini semakin meningkatkan ambisi Singasari untuk meluaskan
kekuasaannya. Terlebih lagi pada paman Raja Kediri di Karangasem-Bali, I Gusti
Ngurah Gede Karangasem (Dewata Tohpati)
telah menguasai Buleleng sejak tahun 1801.
Singasari Lenyapkan Pegesangan
Bermula dari masalah
dalam negeri Pegesangan sendiri. Ketika itu ada seorang janda calonarang Ni Gusti Mungkreng, yang menggelar
ilmu hitam membunuh Raja I Gusti Lanang Tegeh. Setelah itu dalam waktu yang
cukup lama tidak ada yang berani menggantikan kedudukan menjadi raja. Seorang
wanita yang lanjut usia bernama Ni Gusti Ketut Putu (ibu tiri) dari I Gusti
Lanang Tegeh berkehendak menjadi raja. Wanita ini memiliki pengaruh yang kuat
disenangi oleh rakyat Pegesangan.
Peristiwa ini dipakai
kesempatgan oleh Singasari untuk menolak seorang wanita menjadi raja. Singasari
membujuk agar Ni gusti Ketut Putu menyerahkan diri ke Singasari. Dibawah
tekanan Singasari, Ni Gusti Ketut Putu menyerahkan diri ke Singasari, dengan
membawa sejumlah pusaka-pusaka penting pegesangan. Dengan diboyongnya
pusaka-pusaka Pegesangan, melemahkan semangat para pembesar untuk memberontak.
Akhirnya sebagian pembesar Pegesangan menyerahkan diri ke Singasari, sebagian
lagi pindah ke Metaram. Pegesangan akhirnya jatuh ke tangan Singasari.
Sikap Singasari menekan
Ni Gsuti Ketut Putu untuk menyerahkan diri dan tinggal di Singasari mendapat
kecaman dari Kerajaan Metaram dan Pagutan. Seharusnya wanita itu diserahkan ke Pagutan,
karena memiliki hubungan saudara yang terdekat secara geneologi. Peristiwa ini
menjadi bibit permusuhan antara putera-putera Karangasem di Lombok.
Metaram Lenyapkan Pagutan
Pada tahun 1840 terjadi
perang antara dua kerajaan. Masalahnya soal harga diri. Raja Metaram I Gusti
Anglurah Ketut Karangasem (dewata rum) bermaksud meminang puteri kerajaan
pagutan i gusti ayu bulan, sebuah kerajaan kedil. Pinangan sebenarnya diterima
oleh ayahanda sang puteri. Namun seorang tokoh yang bernama Aki batu dari
Kahuripan menghasut. Pinangan dibatalkan. Metaram murka.
Terjadi perang di Taker,
sebelah timur Pagutan. Raja pagutan I Gusti Ketut Karang Dan I Gusti Nengah
Intaran beserta Patih Ketut Patra tewas. I Gusti Ayu Bulan kemudian dibawa ke
Metaram. Aki batu yang menjanjikan memberi bantuan kepada Kerajaan Pagutan –
sampai Raja Pagutan tewas hingga perang berakhir – belum juga datang memberi
bantuan.
Metaram Lenyapkan Singasari
Perang Metaram-Singasari
terjadi pada tahun 1838. Perang ini adalah perang saudara yang paling hebat
diantaa perang saudara lainnya. Perang ini melibatkan 2 (dua) kutub kekuatan
besar putera-putera Karangasem beserta rakyatnya. Perang ini menguntungkan
Belanda, dengan membantu rakyat Sasak melakukan pemberontaskan terhadap
kekuasaan-kekuasaan Karangasem, Belanda berhasil melenyapkan kekuasaan Karangasem
di Lombok Barat.
Benih-benih perang
Metaram-Singasari dimulai semenjak adanya intrik-intrik dan friksi-friksi
diantara kerajaan-kerajaan Karangasem di Lombok Barat, akibat ambisi dari
Singasari. Puncaknya pada peristiwa perebutan Tanah Kateng, tanah tempat
berburu, sebagai lahan yang kaya dengan binatang buruan. Daerah Kateng
berbatasan dengan desa Penujak, bagian dari Singasari. Rakyat desa Penujak
menghendaki tanah Kateng. Menurut prasasti
pitemes: Raja Singasari sebelumnya, Dewata Loji menyatakan tanah Kateng
merupakan bagian dari kerajaan Metaram. Raja Singasari mengakui prasasti itu,
akan tetapi adik-adiknya menolak prasasti tersebut.
Perang tidak dapat
dihindarkan. Metaram dapat simpati dari Karangasem-Bali dengan menerima bantuan
laskar Karangasem. Wiraniaga asing seperti Mads J. Lange dan George Peacock
King juga memasok Metaram dengan bantuan amunisi dan menawarkan kapal-kapalnya untuk
mengangkut laskar Karangasem ke Lombok. Raja Singasari I Gusti Anglurah Made
Karangasem merasa kecil hati mengetahui pamannya Raja Karangasem-Bali I Gusti
Bagus Karang membantu musuhnya.
Raja Metaram I Gusti
Anglurah Ketut Karangasem gugur di Rumak suatu padasan di Desa Perapuan,
sebutir peluru menembus dadanya. Raja Metaram yakin memenangkan perang ini
dengan jalan prelina. Raja wafat
dengan candra sangkala wang ing gunung
rasa sunia, budha-umanis-julungwangi,
Isaka 1760 atau 22 juni 1838.
Sementara itu Raja
Singasari I Gusti Anglurah Made Karangasem menjadi panik setelah mengetahui banyaknya laskar Singasari yang
tewas, menyerah, dan berbalik haluan. Ia lalu memanggil Bhagawanta-nya Ida Pedanda Gde Nyoman Pidada. Raja memohon doa
restu dan pejaya-jaya untuk keluar
dari medan laga, berharap dapat melebur dosa-dosanya. Setelah Ida Pedanda selesai
memuja, raja yang berpakaian serba putih dipasang karowista. Raja kemudian menyerahkan pusaka-pusaka dan kekayaan
kerajaan lainnya kepada Ida Pedanda yang hadir serta saudara-saudara tuanya. Raja
kemudian meninggalkan Puri Singasari diiringi oleh orang-orang kesetiaan. Atas perintah
raja, Puri Singasari kemudian dibakar.
Rombongan Raja Singasari
ini sampai di Desa Sweta, dicegat oleh laskar Singasari sendiri yang berpihak
pada Metaram. Terjadi puputan di Desa
Sweta. Raja Singasari I Gusti Anglurah Made Karangasem gugur ditangan
prajuritnya sendiri. Ia dibergelar Dewata
Sweta. Raja meninggal bertepatan saat terbitnya matahari, pada budha-pahing-kuningan, 13 Juli 1938, 19
hari setelah gugurnya Raja Metaram.
Sementara itu Raja
Karangasem I Gusti Bagus Karang, yang membantu Metaram, masih tinggal di Lombok.
Kesempatan ini digunakan oleh pembesar kerajaan Karangasem untuk menggulingkan
kekuasannya. Mereka menghadap raja Buleleng. Raja Buleleng setuju untuk menolak
kedatangan I Gusti Bagus Karang, dan memerintahkan agar sepupunya I Gusti Gede
Karang diangkat sebagai Raja Karangasem XI.
Raja Karangangasem Xi juga mengirim surat kepada Metaram
agar membunuh I Gusti Bagus Karang karena telah melakukan gamya gamana dengan adiknya I
Gusti Ayu Karang. Raja Metaram bersikap tegas, sekalipun I Gusti Bagus Karang membantu
memenangkan Metaram melawan Singasari, ia harus dibnuh. I Gusti Bagus Karang menemui
ajalnya di Puri Singasari pada pebruari 1839 dalam pertempuran yang memakan
waktu 10 (sepuluh) hari. Pusaka-pusaka dan harta kekayaan I Gusti Bagus Karang yang
tertinggal di Lombok dibawa ke Bali.KARANGASEM PADA JAMAN
KOLONIAL BELANDA
Anak Agung Anglurah Ketut
Karangasem, Raja XIII Karangasem
Sejarah kerajaan Karangasem setelah masuknya Belanda
di Nusantara, sangat ditentukan oleh perkembangan yang terjadi di Lombok.
Beberapa daerah Lombok sejak keberangkatan I Gusti Anglurah Ketut Karangasem
(dari Tri Tunggal I) menjadi bagian dari kekuasaan Karangasem. Perang saudara
yang terjadi di Lombok sangat melemahkan kekuasaan kerajaan Karangasem di
Lombok. Pemberontakan akibat bangkitnya suku Sasak, dibantu oleh Belanda
akhirnya berhasil menjatuhkan kerajaan Karangasem-Mataram. Jatuhnya kerajaan
Karangasem-Mataram secara otomatis berarti pula jatuhnya kerajaan Karangasem di
Bali.
Setelah kerajaan Karangasem dapat dikalahkan pada
tanggal 20 Mei 1849 M, maka terjadi kekosongan (vacum) pada kerajaan
Karangasem. Pemerintah Kolonial Hindia – Belanda kemudian mengangkat Raja
Mataram Lombok yang bernama Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem, sebagai Raja
ke-13 Karangasem. Setelah wafat ia bergelar Dewata Rum Mataram.
Pengangkatan ini ditentukan oleh Hertog Van Saksen
Weimar dalam Acte van Aanstelling, tertanggal 25 Juni 1949. Bagi Anak
Agung Anglurah Ketut Karangasem, pengangkatan ini tidak berarti apa-apa, oleh
karena kerajaan Singasari di Lombok dalam perang saudara telah kalah dari
kerajaan Mataram Lombok pada tahun 1838 M. itu berarti secara politis
Karangasem sudah menjadi bagian dari kerajaan Mataram.
Setelah berkuasanya Belanda di Bali, terjadi
perubahan sistem pemerintahan. Pada tahun 1908 M terdapat 3 (tiga) bentuk
pemerintahan, yaitu:
·
Rechtstreeks Bestuurd Gebied (pemerintahan
langsung), meliputi: Buleleng, Jembrana, dan Lombok.
·
Zelfbesturend Landschappen (pemerintahan
sendiri), meliputi: Badung, Tabanan, Klungkung, dan Bangli.
·
Stedehouder (wakil Pemerintah Belanda),
meliputi: Gianyar dan Karangasem.
Tri Tunggal III, Raja XIV
(Terakhir) Karangasem
Tidak lama berselang Raja Anak Agung Anglurah Ketut
Karangasem menugaskan dan menempatkan 3 orang kemenakannya. Tiga kemenakannya
ini adalah putera dari I Gusti Anglurah Made Karangasem (Dewata Balekapal
Mataram). Dengan dikirimnya 3 orang kemenakannya ini sekaligus mengakhiri
spekulasi Klungkung yang hendak menguasai tahta kerajaan Karangasem.
Karangasem dipimpin secara kolektif oleh tiga
saudara, yang disebut Tri Tunggal III. Tri Tunggal III ini diangkat melalui
sebuah Pitemes (dekrit) pada akhir tahun 1849 M.Mereka itu adalah:
·
Anak Agung Gde Putu (Raja Jumeneng),
menempati pelebahan puri di tengah-tengah (dulu bernama Pesaren Anyar),
dengan gedungnya yang bernama Rangki. Setelah wafat dijuluki Dewata
Rangki.
·
Anak Agung Gede Oka, menempati pelebahan
puri di bagian Utara, yang disebut Kertasura. Setelah wafat dijuluki Dewata
Kertasura.
·
Anak Agung Gde Jelantik, menempati pelebahan
puri di bagian Selatan yang disebut Kawisunya. Setelah wafat dijuluki Dewata
Maskerdam.
Dengan ditempatinya Puri Kaleran oleh Tri Tunggal
III ini, maka Puri Kaleran berubah nama menjadi Puri Ageng, yang dibangun
sekitar tahun 1850 M. Anak Agung Gede Oka wafat pada tahun 1866 M. Pemerintahan
kemudian dijalankan oleh Anak Agung Gde Putu sebagai saudara tertua, didampingi
oleh adiknya yang paling bungsu. Pemerintahan dijalankan sesuai dengan tata
cara pemerintahan yang berlaku di Lombok.
Anak Agung Gde Jelantik,
Stedehouder I Karangasem 1869 – 1908 M
Setelah Raja Tri Tunggal III, Belanda pada tahun 1896
–1908 M menunjuk Anak Agung Gde Jelantik menjadi Wakil Pemerintah Hindia –
Belanda (Stedehouder) I Karangasem. Ia wafat di Maskerdam, sehingga
bergelar Dewata Maskerdam.
Anak Agung Bagus
Jelantik, Stedehouder II Karangasem 1908 – 1941 M
Dengan politik memecah belah Belanda kemudian
mengangkat Anak Agung Bagus Jelantik – kemenakan dari Anak Agung Gde Jelantik (Stedehouder
I) –sebagai Stedehouder II, pada tahun 1908 – 1941 M. Anak Agung Bagus
Jelantik pulang ke Bali dari Lombok meninggalkan perang, pada tanggal 26
Agustus 1894 M. Pada tahun itu kerajaan Karangasem-Mataram jatuh. Pada
tahun-tahun permulaan terdapat intrik-intrik di kalangan keluarga istana,
maupun para punggawa.
Ia seorang yang penuh idealis, arsitek, dan
sastrawan. Ia membangun Taman Sukasada, yang lebih dikenal dengan Taman Ujung,
di tepi pantai selatan Amlapura. Taman ini dibangun sekitar tahun 1919 M. Pada
tahun 1955 M, ia membangun Taman Tirtagangga, yang memanfaatkan mata air yang
besar, sekaligus sebagai waduk untuk mengairi ribuan hektar sawah di selatan
Amlapura.
Setelah perubahan tata pemerintahan di Bali
berdasarkan zelfbetuursregelen tahun 1938, di mana seluruh kepala
swapraja diberi kedudukan sebagai Pamong Praja. Dengan demikian Anak
Agung Bagus Jelantik diangkat sebagai regent dengan mengganti nama
menjadi Ida Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem. Nama ini adalah anama
abhiseka yang ke-5 dalam sub dinasti I Gusti Anglurah Ketut Karangasem (dari
Tri Tunggal I). Ida Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem juga wafat di
Maskerdam, sehingga dijuluki juga Dewata Maskerdam.
Om Swastyastu, Terima kasih untuk info yang Bp tulis tentang Raja Karangasem di Lombok. Saya ingin diskusi lebih lanjut tentang hal tsb. Kalau tidak keberatan Bp dapat memberikan contact person Bp dan dapat di email ke : agungaryamataram@gmail.com Om Shanti Shanti Shanti Om.
BalasHapusOm Swastiastu
BalasHapusTerimakasih atas infonya, bila berkenan Bapak dapat memberikan contact person juga kpada saya di email ke : putudodisry@gmail.com
Suksma
BalasHapusOm Santi Santi Santi Om
Sukseme atur titiang.yening dados lungsur titiang pemargin IGst Ngurah Jelantik Silit Metegil.
BalasHapusmenyedihkan sekali. saling serang, saling bunuh antara semeton bali
BalasHapussama dengan sekarang di era modren. pejabat eksekutif dan yudikatif di bali pro reklamasi, pro investor dan pendatang. laut diurug, pendatang makin banyak datang ke bali. tanah bali akhirnya makin banyak menjadi lahan kuburan, pemukiman, cafe, bungalow esek-esek, tempat judi dan maksiat. lahan pertanian menjadi pemukiman. pulau kecil ini daya dukungnya terbatas tapi akhhirnya rakyat bali dijajah oleh saudaranya sendiri yang duduk di pemerintahan dengan pro reklamasi. hancur sudah pulau kecil yang indah dan menawan ini menjadi neraka
BalasHapusTulisannya menarik. Saya jadi tau tenta ng sejarah kerajaan Karangasem.
BalasHapusTulisannya menarik. Saya jadi tau tenta ng sejarah kerajaan Karangasem.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusOm swastiastu saya dari Lombok .di rumah saya menemukan lontar peninggalan leluhur saya atas nama IGUSTI Nyoman Dangin Pengsong ,yg merupakan salah satu dari pasukan kupu2 kuning Dan merupakan punggawa ratu agung (tertulis di lontar peninggalan beliau) namun saya masih bingung untuk mencari lebih banyak info tentang beliau saya mohon pencerahannya.
BalasHapusHatur suksma info Ratu .. refrensi yg tak terduga .. rahayu rahayu ๐ท๐ท๐๐๐ฎ๐ฉ๐ฎ๐ฉ
BalasHapusmatur suksma
BalasHapusAmpura itu sejarah gusti mantu silit metegil agak sdkit kliru ..kekliruan sejarah diatas ialah sbnarnya bukan ide wayan penatih yg berprang dngn gusti mantu..ide bagus pnatih adalh panglima trsaktinya gusti mantu bliau di diksa supya tdk bsa berprang..stlah di diksa oleh ide pedande jungutan mnjdi pedande tdk mungkin lg bisa berperang...jdi pprngan igusti mantu ialh dngn krajaan puri krngsem sendri slaku mertuanya...
BalasHapus