MELASPAS DAN
MUPUK PEDAGINGAN
DI PURA SARI TEGAL BADUNG
Upacara mlaspas dan mupuk pedagingan di
Pura Sari Tegal Badung telah dilaksanakan pada hari Minggu 28 September 2014
bertepatan dengan Rahina Kajeng Kliwon Watugunung Runtuh. Upacara nyatur
mapedudus alit ini dilaksanakan, setelah selesainya pembangunan Bale Kulkul,
renovasi kori agung, bale pegat, dan beberapa pelinggih. Upacara dihadiri oleh
Penglingsir Puri Tegal Badung, Puri Ageng Tabanan, Puri Tegal Tamu Gianyar, dan
Pemecutan.
Rangkaian upacara diawali dengan matur piuning, akan melakukan
pembangunan dan renovasi, kemudian dilanjutkan dengan nedunang daksina linggih untuk disthanakan sementara pada sangar
agung selama masa kegiatan pembangunan dan renovasi. Pembangunan dan renovasi
memakan waktu selama kurang lebih 6 bulan. Pada tanggal 25 September 2014,
Wrhaspati Kliwon Dukut dilakukan upacara nuntun
daksina sore harinya. Esok harinya Sukra Umanis-Dukut, upacara nunas tirta pekuluh dan maturan pejati ke pura-pura, seperti:
Pura Tri Kahyangan Tiga di Denpasar, Pura Dang Kahyangan, seperti Pura Sakenan
dan Pura Uluwatu, dan pura-pura yang berlokasi di lingkungan Tegal, seperti
Pura Batur, Pura Mayun, Pura Majapahit, Pura Pasek, dan Pelinggih Ratu Niang.
Puncak karya dilaksanakan pada hari
Minggu, 28 September 2014, Kajeng Kliwon Watugunung Runtuh pada sore harinya
pk. 15.00 wita dipuput oleh Ida Pedanda Agung Putra Kemenuh dari Geriya Jero
Agung Tegal Badung. Tingkatan upacara yang dilaksanakan adalah nyatur mapedudus alit disertai mecaru Rsi Gana. Upacara diramaikan
dengan topeng sidakarya dari Puri Tegal Tamu dan diiringi oleh sekehe gong dari
Banjar Monang Maning. Namun sebelumnya, pada pagi harinya pk. 09.00
dilaksanakan upacara Ngias Bhatara, Ngias
Daksina, dan Ngias Pratima. Esok
harinya tanggal 29 September 2014 Soma Umanis Watugunung dilaksanakan upacara mepandes nyurud ayu yang diikuti oleh 13
orang dengan 4 orang sangging geriya.
Pura Sari terletak Jl. Imam Bonjol No.
103-105 Br. Tegal Gede, Desa Pemecutan Kelod, Kecamatan Denpasar Barat. Lokasi
pura berada dalam areal Jero Agung. Pura seluas 8 are ini sekarang diempon
secara turun-tumurun oleh warga Geriya Jero Agung, yang mana lokasi Geriya ini
berada di dalam lingkungan Jero Agung.
Sejarah Pura Sari Tegal, tidak dapat
dipisahkan dengan dua nama tokoh sejarah, yaitu Kyai Tegeh Kori dan Danghyang
Nirartha. Kyai Tegeh Kori adalah penguasa pertama Badung. Kerajaan Badung
didirikan oleh Kyai Tegeh Kori sekitar abad ke-15. Kyai Tegeh Kori yang berasal
dari Puri Buwahan Tabanan dari dinasti Arya Kenceng. Puri Tegal Kyai Tegeh Kori
berlokasi di bagian Timur Jalan Imam Bonjol sekarang, yaitu dari batas utara
simpang empat Banjar Tegal Gede sampai ke batas selatan simpang empat Pura
Majapahit. Dinasti Arya Tegeh Kori cukup lama berkuasa, yaitu selama sekitar
3,5 abad, sebelum akhir jatuh dan lenyap pada tahun 1750 M, akibat konflik
internal di kerajaan. Selama Kyai Tegeh Kori berkuasa, tampaknya Kerajaan
Badung masih dibawah pengaruh Kerajaan Mengwi yang sedang mengalami kejayaan
dengan laskarnya yang kuat dan menguasai sepenuhnya wilayah Kaba-Kaba sampai
Blambangan.
Kyai Tegeh Kori berkuasa di Badung
secara turun tumurun melalui beberapa generasi. Tidak diketahui pada generasi
keberapa raja mendirikan Pura Sari, Pura Batur, Pura Mayun, dan Pura Majapahit.
Dan juga tidak ketahui pada generasi keberapa, Raja mendatangkan dan
menempatkan bagawanta (brahmana) kerajaan yang berasal dari Sibang Srijati
(sekarang Desa Sibang Gede Kecamatan Abiansemal), mengingat hubungan Kerajaan
Mengwi dan Kerajaan Badung sangat baik. Desa Sibang Srijati pada masa itu
termasuk dalam kekuasaaan Kerajaan Mengwi dengan Punggawanya beristana di Puri Sibang Srijati. Yang jelas Pura Sari
sudah ada sebelum kedatangan Brahmana Keniten dari Sibang.
Jauh sebelum Penguasa Badung menempatkan
Brahmana di lingkungan kerajaan, Puri Tegal sempat dikunjungi oleh Danghyang
Nirartha atau di Bali dijuluki Ida Pedanda Sakti Bawu Rawuh. Raja mendengar
kabar bahwa ada seorang pendeta yang sedang melakukan tirtayatra, dan sedang berada di daerah Tuban (Kuta). Raja mengirim
utusan kerajaan agar menjemput Ida Pedanda. Utusan bertemu Ida Pedanda dan
mendaulat untuk berkunjung ke Puri Tegal. Sebelum sampai di Puri Tegal,
perjalanan terganggu akibat adanya air bah (banjir) pada sungai di Dusun
Buagan. Masyarakat di Dusun Buagan percaya akan kesiddhian Ida Pedanda dan memohon agar bencana banjir dapat segera
diatasi. Ida Pedanda menancapkan tongkatnya yang di-rajah Sanghyang Klar,
seperti yang dituturkan dalam Kitab Dwijendra Tattwa. Bencana banjir dapat
diatasi, perjalanan dilanjutkan hingga sampai di Puri Tegal.
Tidak disebutkan, entah berapa lama Ida
Pedanda tinggal di Puri Tegal, yang jelas selama itu Kyai Tegeh Kori
menggunakan kesempatan untuk berguru kepada beliau, sebelum melanjutkan
perjalanan rangkaian tirtayatra ke
Desa Mas. Selama berada di Kediaman Kyai Tegeh Kori, diyakini Ida Pedanda
melaksanakan rutinitas Nyurya Sewana
di Pura Sari. Hal ini diperkuat dengan adanya Pelinggih Padmasana sebagai ciri adanya pemujaan terhadap Siwa.
Sementara Pelinggih Meru Tumpang Tiga menurut Informasi turun tumurun
khususnya pada warga Geriya Jero Agung, adalah untuk memuja Ida Bhatara yang moksa di Pura Luwur Uluwatu.
Pada tahun 1750 M terjadi pergeseran
kekuasaan di Badung. Tahun itu merupakan akhir masa kekuasaan Dinasti Tegeh
Kori. Ada dua kubu yang berseteru, kubu yang pro Kerajaan Mengwi dan kubu yang
menginginkan Kerajaan Badung berdaulat sepenuhnya. Raja Badung masih segan dan
kuatir terhadap kekuatan tentara Kerajaan Mengwi yang sudah terbukti punya
reputasi dalam berbagai arena peperangan. Itu sebabnya, putri raja Gst Ayu
Mimba yang sedianya dijanjikan untuk dikawinkan dengan keluarga di Kerajaan
Badung, tiba-tiba secara diam-diam dilarikan ke Kerajaan Mengwi untuk
dikawinkan dengan Penguasa Mengwi, atas permintaan pihak Mengwi. Tindakan ini
menimbulkan kemarahan di dalam keluarga Kerajaan Badung, dipandang sebagai
penghinaan dan melecehkan harga diri kerajaan. Konflik tidak dapat dihindarkan,
kubu Tegeh Kori kalah, bantuan yang diharapkan dari Kerajaan Mengwi ternyata
dalam jumlah yang sedikit, hanya untuk melindungi raja dalam menuju tempat
pengungsian. Keluarga Tegeh Kori cerai berai mencari tempat pengungsian di
berbagai daerah, seperti Tabanan, Jembrana, Gianyar, dan Buleleng. Termasuk
diantaranya ke daerah Gianyar, yang sekarang dikenal dengan nama Tegal Tamu,
yang berarti ‘ada tamu dari Tegal’. Kemudian warih ini membangun istana di sana yang disebut Puri Tegal Tamu.
Keluarga Tegeh Kori yang masih menetap di Tegal, yang tidak mengungsi keluar
harus ngandap, dengan nyineb wangsa.
Sepeninggal Arya Tegeh Kori, Puri Tegal
dan lingkungan sekitar puri menjadi kosong. Karena penguasa baru Badung tidak
menggunakan Puri Tegal sebagai pusat dalam mengendalikan pemerintahan. Kekosongan
ini kemudian diisi atau ditempati oleh Kyai Lanang Pahang dari Dinasti Jambe.
Semenjak itu Puri Tegal lebih dikenal dengan nama Jero Agung. Demikian juga
lokasi geriya yang berada dalam areal Jero Agung lebih dikenal dengan nama
Geriya Jero Agung.
Kyai Lanang Pahang yang menempati daerah
Jero Agung, mempunyai kewajiban untuk memelihara pura-pura peninggalan Tegeh
Kori. Tidak diketahui dalam generasi keberapa dari Kyai Lanang Pahang
menyerahkan tanggung-jawab pemeliharaan Pura Sari kepada keluarga Geriya Jero
Agung.
Di Geriya Jero Agung sendiri terjadi
perkembangan lain. Brahamana yang didatangkan dari Sibang tersebut dalam
beberapa generasi tidak lagi menurunkan parati
sentana (putung). Kemudian, sekitar
awal abad ke 19 Ida Gede Kembar dari Geriya Gede Tegal kawin ke Geriya Jero Agung
sebagai pradana, hingga dapat
melanjutkan dan menurunkan parati santana.
Hingga sekarang keluarga Geriya Jero Agung menerima dan memelihara Pura Sari,
yang mana pujawali dilaksanakan setiap Tahun Sasih Kasa.
Pura sari dalam
bentuknya sekarang merupakan hasil dari penambahan beberapa bangunan. Sebelum
tahun 1985, komplek pura hanya terdiri dari: Pelinggih Padmasana, Pelinggih
Meru, Gunung Agung, Apit Tengen, Apit Kiwa, Pregina, Bale Pegat, Gedong Majapahit,
dan Sember. Sekarang ditambah dengan Bale Pias, Gedong, Bale Gong, Kori Agung,
Bale Kulkul, Pelinggih Ratu Nyoman Sakti Pengadang-ngadang, Jineng, Pesandekan
dan Bale Pemereman Ida Pedanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar