Label

Senin, 29 September 2014

PURA SARI



MELASPAS DAN MUPUK PEDAGINGAN 
DI PURA SARI TEGAL BADUNG

Upacara mlaspas dan mupuk pedagingan di Pura Sari Tegal Badung telah dilaksanakan pada hari Minggu 28 September 2014 bertepatan dengan Rahina Kajeng Kliwon Watugunung Runtuh. Upacara nyatur mapedudus alit ini dilaksanakan, setelah selesainya pembangunan Bale Kulkul, renovasi kori agung, bale pegat, dan beberapa pelinggih. Upacara dihadiri oleh Penglingsir Puri Tegal Badung, Puri Ageng Tabanan, Puri Tegal Tamu Gianyar, dan Pemecutan.
Rangkaian upacara diawali dengan matur piuning, akan melakukan pembangunan dan renovasi, kemudian dilanjutkan dengan nedunang daksina linggih untuk disthanakan sementara pada sangar agung selama masa kegiatan pembangunan dan renovasi. Pembangunan dan renovasi memakan waktu selama kurang lebih 6 bulan. Pada tanggal 25 September 2014, Wrhaspati Kliwon Dukut dilakukan upacara nuntun daksina sore harinya. Esok harinya Sukra Umanis-Dukut, upacara nunas tirta pekuluh dan maturan pejati ke pura-pura, seperti: Pura Tri Kahyangan Tiga di Denpasar, Pura Dang Kahyangan, seperti Pura Sakenan dan Pura Uluwatu, dan pura-pura yang berlokasi di lingkungan Tegal, seperti Pura Batur, Pura Mayun, Pura Majapahit, Pura Pasek, dan Pelinggih Ratu Niang.
Puncak karya dilaksanakan pada hari Minggu, 28 September 2014, Kajeng Kliwon Watugunung Runtuh pada sore harinya pk. 15.00 wita dipuput oleh Ida Pedanda Agung Putra Kemenuh dari Geriya Jero Agung Tegal Badung. Tingkatan upacara yang dilaksanakan adalah nyatur mapedudus alit disertai mecaru Rsi Gana. Upacara diramaikan dengan topeng sidakarya dari Puri Tegal Tamu dan diiringi oleh sekehe gong dari Banjar Monang Maning. Namun sebelumnya, pada pagi harinya pk. 09.00 dilaksanakan upacara Ngias Bhatara, Ngias Daksina, dan Ngias Pratima. Esok harinya tanggal 29 September 2014 Soma Umanis Watugunung dilaksanakan upacara mepandes nyurud ayu yang diikuti oleh 13 orang dengan 4 orang sangging geriya.
Pura Sari terletak Jl. Imam Bonjol No. 103-105 Br. Tegal Gede, Desa Pemecutan Kelod, Kecamatan Denpasar Barat. Lokasi pura berada dalam areal Jero Agung. Pura seluas 8 are ini sekarang diempon secara turun-tumurun oleh warga Geriya Jero Agung, yang mana lokasi Geriya ini berada di dalam lingkungan Jero Agung.
Sejarah Pura Sari Tegal, tidak dapat dipisahkan dengan dua nama tokoh sejarah, yaitu Kyai Tegeh Kori dan Danghyang Nirartha. Kyai Tegeh Kori adalah penguasa pertama Badung. Kerajaan Badung didirikan oleh Kyai Tegeh Kori sekitar abad ke-15. Kyai Tegeh Kori yang berasal dari Puri Buwahan Tabanan dari dinasti Arya Kenceng. Puri Tegal Kyai Tegeh Kori berlokasi di bagian Timur Jalan Imam Bonjol sekarang, yaitu dari batas utara simpang empat Banjar Tegal Gede sampai ke batas selatan simpang empat Pura Majapahit. Dinasti Arya Tegeh Kori cukup lama berkuasa, yaitu selama sekitar 3,5 abad, sebelum akhir jatuh dan lenyap pada tahun 1750 M, akibat konflik internal di kerajaan. Selama Kyai Tegeh Kori berkuasa, tampaknya Kerajaan Badung masih dibawah pengaruh Kerajaan Mengwi yang sedang mengalami kejayaan dengan laskarnya yang kuat dan menguasai sepenuhnya wilayah Kaba-Kaba sampai Blambangan.
Kyai Tegeh Kori berkuasa di Badung secara turun tumurun melalui beberapa generasi. Tidak diketahui pada generasi keberapa raja mendirikan Pura Sari, Pura Batur, Pura Mayun, dan Pura Majapahit. Dan juga tidak ketahui pada generasi keberapa, Raja mendatangkan dan menempatkan bagawanta (brahmana) kerajaan yang berasal dari Sibang Srijati (sekarang Desa Sibang Gede Kecamatan Abiansemal), mengingat hubungan Kerajaan Mengwi dan Kerajaan Badung sangat baik. Desa Sibang Srijati pada masa itu termasuk dalam kekuasaaan Kerajaan Mengwi dengan Punggawanya beristana  di Puri Sibang Srijati. Yang jelas Pura Sari sudah ada sebelum kedatangan Brahmana Keniten dari Sibang.
Jauh sebelum Penguasa Badung menempatkan Brahmana di lingkungan kerajaan, Puri Tegal sempat dikunjungi oleh Danghyang Nirartha atau di Bali dijuluki Ida Pedanda Sakti Bawu Rawuh. Raja mendengar kabar bahwa ada seorang pendeta yang sedang melakukan tirtayatra, dan sedang berada di daerah Tuban (Kuta). Raja mengirim utusan kerajaan agar menjemput Ida Pedanda. Utusan bertemu Ida Pedanda dan mendaulat untuk berkunjung ke Puri Tegal. Sebelum sampai di Puri Tegal, perjalanan terganggu akibat adanya air bah (banjir) pada sungai di Dusun Buagan. Masyarakat di Dusun Buagan percaya akan kesiddhian Ida Pedanda dan memohon agar bencana banjir dapat segera diatasi. Ida Pedanda menancapkan tongkatnya yang di-rajah Sanghyang Klar, seperti yang dituturkan dalam Kitab Dwijendra Tattwa. Bencana banjir dapat diatasi, perjalanan dilanjutkan hingga sampai di Puri Tegal.
Tidak disebutkan, entah berapa lama Ida Pedanda tinggal di Puri Tegal, yang jelas selama itu Kyai Tegeh Kori menggunakan kesempatan untuk berguru kepada beliau, sebelum melanjutkan perjalanan rangkaian tirtayatra ke Desa Mas. Selama berada di Kediaman Kyai Tegeh Kori, diyakini Ida Pedanda melaksanakan rutinitas Nyurya Sewana di Pura Sari. Hal ini diperkuat dengan adanya Pelinggih Padmasana sebagai ciri adanya pemujaan terhadap Siwa. Sementara  Pelinggih Meru Tumpang Tiga menurut Informasi turun tumurun khususnya pada warga Geriya Jero Agung, adalah untuk memuja Ida Bhatara yang moksa di Pura Luwur Uluwatu.
Pada tahun 1750 M terjadi pergeseran kekuasaan di Badung. Tahun itu merupakan akhir masa kekuasaan Dinasti Tegeh Kori. Ada dua kubu yang berseteru, kubu yang pro Kerajaan Mengwi dan kubu yang menginginkan Kerajaan Badung berdaulat sepenuhnya. Raja Badung masih segan dan kuatir terhadap kekuatan tentara Kerajaan Mengwi yang sudah terbukti punya reputasi dalam berbagai arena peperangan. Itu sebabnya, putri raja Gst Ayu Mimba yang sedianya dijanjikan untuk dikawinkan dengan keluarga di Kerajaan Badung, tiba-tiba secara diam-diam dilarikan ke Kerajaan Mengwi untuk dikawinkan dengan Penguasa Mengwi, atas permintaan pihak Mengwi. Tindakan ini menimbulkan kemarahan di dalam keluarga Kerajaan Badung, dipandang sebagai penghinaan dan melecehkan harga diri kerajaan. Konflik tidak dapat dihindarkan, kubu Tegeh Kori kalah, bantuan yang diharapkan dari Kerajaan Mengwi ternyata dalam jumlah yang sedikit, hanya untuk melindungi raja dalam menuju tempat pengungsian. Keluarga Tegeh Kori cerai berai mencari tempat pengungsian di berbagai daerah, seperti Tabanan, Jembrana, Gianyar, dan Buleleng. Termasuk diantaranya ke daerah Gianyar, yang sekarang dikenal dengan nama Tegal Tamu, yang berarti ‘ada tamu dari Tegal’. Kemudian warih ini membangun istana di sana yang disebut Puri Tegal Tamu. Keluarga Tegeh Kori yang masih menetap di Tegal, yang tidak mengungsi keluar harus ngandap, dengan nyineb wangsa.
Sepeninggal Arya Tegeh Kori, Puri Tegal dan lingkungan sekitar puri menjadi kosong. Karena penguasa baru Badung tidak menggunakan Puri Tegal sebagai pusat dalam mengendalikan pemerintahan. Kekosongan ini kemudian diisi atau ditempati oleh Kyai Lanang Pahang dari Dinasti Jambe. Semenjak itu Puri Tegal lebih dikenal dengan nama Jero Agung. Demikian juga lokasi geriya yang berada dalam areal Jero Agung lebih dikenal dengan nama Geriya Jero Agung.
Kyai Lanang Pahang yang menempati daerah Jero Agung, mempunyai kewajiban untuk memelihara pura-pura peninggalan Tegeh Kori. Tidak diketahui dalam generasi keberapa dari Kyai Lanang Pahang menyerahkan tanggung-jawab pemeliharaan Pura Sari kepada keluarga Geriya Jero Agung.
Di Geriya Jero Agung sendiri terjadi perkembangan lain. Brahamana yang didatangkan dari Sibang tersebut dalam beberapa generasi tidak lagi menurunkan parati sentana (putung). Kemudian, sekitar awal abad ke 19 Ida Gede Kembar dari Geriya Gede Tegal kawin ke Geriya Jero Agung sebagai pradana, hingga dapat melanjutkan dan menurunkan parati santana. Hingga sekarang keluarga Geriya Jero Agung menerima dan memelihara Pura Sari, yang mana pujawali dilaksanakan setiap Tahun Sasih Kasa.
Pura sari dalam bentuknya sekarang merupakan hasil dari penambahan beberapa bangunan. Sebelum tahun 1985, komplek pura hanya terdiri dari: Pelinggih Padmasana, Pelinggih Meru, Gunung Agung, Apit Tengen, Apit Kiwa, Pregina, Bale Pegat, Gedong Majapahit, dan Sember. Sekarang ditambah dengan Bale Pias, Gedong, Bale Gong, Kori Agung, Bale Kulkul, Pelinggih Ratu Nyoman Sakti Pengadang-ngadang, Jineng, Pesandekan dan Bale Pemereman Ida Pedanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar