TAKUT
AKAN KEMATIAN
LATAR
BELAKANG
Manusia
selalu berusaha untuk bebas dari rasa takut. ketakutan manusia beraneka ragam,
seperti takut kehilangan uang, takut kehilangan barang, takut kehilangan
kedudukan, takut kehilangan muka, takut kehilangan harga diri, takut usia tua dan
sebagainya. Namun, dari sejumlah ketakutan manusia tersebut masih ada hal yang
paling ditakuti, yaitu kematian. Kematian inilah puncaknya rasa takut manusia
(Mintargo, 2005:147).
Menurut
Hadi (2000:164), rasa takut terutama sangat menonjol dalam menghadapi kematian.
Orang tidak akan tenang menghadapi kematian, baik kematian orang yang dicintai
maupun kematiannya sendiri. Kematian begitu riil dan nyata di dalam kehidupan
manusia, akan tetapi tetap saja menimbulkan rasa takut dan kesedihan yang mendalam.
Kematian merupakan kenyataan yang pasti dan merupakan bagian integral dari
kehidupan manusia. Namun, kenyataan yang tidak terhindarkan ini, tidak
mengakibatkan bahwa kematian merupakan topik yang menarik untuk dibicarakan,
diulas, dan direnungkan. Kematian justru merupakan hal yang ingin dihindari dan
disingkirkan dari kesadaran kehidupan manusia. Meskipun kematian bersifat
imanen dan natural bagi manusia, tidak berarti bahwa kematian merupakan gejala
yang bisa dipahami dan diterangkan secara gamblang.
Setiap manusia
mengakhiri hidupnya dengan kematian, dan hal itu merupakan sebuah pengalaman.
Karena manusia sadar terhadap kematiannya, maka kematian menimbulkan persoalan
bagi manusia. Kematian manusia menimbulkan problema tersendiri. Manusia merasa
takut dan bingung dalam menghadapi kematian. Sikap manusia terhadap kematian
beraneka-ragam, ada yang bersifat budaya, ada yang bersifat keagamaan dan
sebagainya. Bagi manusia yang masih hidup, kematian merupakan data empiris
(Soelaeman, 2001:109).
Ketakutan
terhadap kematian membuat topik ini tidak menarik untuk dibicarakan orang.
Menurut Moody (2003:22), bahwa sebagian besar orang sangat sulit untuk diajak
membicarakan tentang kematian. Setidaknya ada 2 (dua) alasan, yaitu alasan psikologis dan kebudayaan. Secara psikologis,
membicarakan masalah kematian menghadapkan seseorang secara tidak langsung
seakan-akan menghadapi kematiannya sendiri. Dengan membicarakannya pada orang lain, membuat seseorang
membayangkan dalam pikirannya, berada dalam situasi berhadapan dengan kematian.
Jadi orang lebih suka menghindar dari topik pembicaraan tentang kematian.
Alasan kedua, orang sukar membicarakan kematian karena budayanya. Kematian
adalah masalah yang rumit. Sebagian besar bahasa manusia didapat dari hubungan
pengalaman sensasi fisiknya. Sedangkan kematian sebagai sesuatu di luar
jangkauan pengalaman sadar manusia. Orang yang sudah mati tidak bisa dihubungi,
tidak dapat berkolerasi sehingga tidak didapat penjelasan yang sebenarnya.
Senada dengan
Moody, menurut Lake (1992:1), kebanyakan orang tidak mau memikirkan kematian,
meskipun sadar bahwa cepat atau lambat saatnya akan tiba. Meskipun manusia
harus menerima kenyataan bahwa hidup akan berakhir, manusia tidak tahu cara
kematian itu akan terjadi. Manusia sadar tidak akan dapat memilih macam
kematiannya. Padahal kematian itu dapat terjadi secara kejam, sia-sia dan tanpa
tujuan. Kenyataan ini paling susah dihadapi. Sebab itu manusia cenderung
sedapat mungkin menunda atau menghindari pemikiran tentang kematian.
Gambaran tentang
kematian berbeda-beda bagi setiap orang. Selain ketakutan, kesedihan, ada juga
yang pasrah dengan menunggu waktunya saja. Gambaran ini seolah-olah tidak
menjadi bagian dari perbincangan sehari-hari, tetapi diberi jarak dengan
menyerahkan urusan itu kepada Tuhan. Sampai pada zaman sekarang ini, masih
sulit membicarakan kematian di kalangan orang sakit atau orang tua bila tidak
mau dikatakan kurang ajar.
Kalau seseorang
akan berlibur dengan mengadakan perjalanan ke luar negeri misalnya, maka
jauh-jauh hari sebelumnya sudah menyiapkan diri mulai dari biaya, pakaian,
waktu, tempat-tempat yang akan dikunjungi, sampai mempelajari adat-istiadat
setempat. Persiapan pasti dilakukan meskipun hanya untuk perjalanan waktu yang
singkat, tetapi untuk ‘perjalanan’ pindah menuju alam kematian orang tidak
tertarik melakukan persiapan. Kematian begitu ditakuti, berusaha dihindari sehingga tidak tertarik untuk
memiliki pengetahuan tentang alam kematian.
Ketakutan akan
kematian menjadi topik yang menarik bagi para filsuf berusaha memberi solusi,
menurut pandangan masing-masing. Pendapat para filsuf ini tidak lepas dari
kritik oleh filsuf lainnya. Sutrisno (1993:149-150) merinci para filsuf
tersebut. Mereka adalah: Epicurus, Seneca, Agustinus, Spinoza dan lain
sebagainya. Spinoza, misalnya memberi solusi, bahwa manusia bisa keluar dari
ketakutan akan mati dengan cara tidak terlalu memikirkannya, namun lebih
memikirkan kehidupan. Hampir mirip dengan keseharian manusia, di mana mengerti
bahwa matahari itu terus bersinar tanpa terlalu memikirkannya. Kritik terhadap
solusi di atas adalah: bahwa ketakutan akan kematian bukan hanya ketakutan
rasional yang bisa dipecahkan secara rasional tetapi menyangkut soal hati dan
rasa.
Dalam
upaya menghilangkan ketakutan dalam menghadapi kematian, para filsuf juga
berusaha mencari makna kematian itu sendiri. Di sini para filsuf terbagi dua
dalam memberikan makna dan kemungkinan akhir kehidupan manusia, yaitu golongan imanentis dan para transendentalis. Para imanentis beranggapan bahwa makna serta
kemungkinan akhir kehidupan manusia, terbatas pada dunia ini. Menurut mereka,
makna serta kemungkinan akhir itu bisa ditemukan di dalam dunia ini, antara
saat lahir dan saat mati. Sedangkan para transendentalis, seperti Wittgenstein
berpendapat bahwa makna kehidupan terdapat di luar kehidupan. Kehidupan duniawi
ini harus dilampui (ditransendensi) untuk memperoleh jawaban yang memadai
(Weij, 1988:174).
Easwaran
(2000:70) menyatakan, bahwa dalam hidup ini tidak ada yang lebih mendesak
daripada belajar menghadapi kematian. Jika saja manusia diberi hidup seribu
tahun, tentu pelajaran ini tidak mendesak. Seratus tahun digunakan untuk
bersenang-senang, seratus tahun lagi untuk mengejar kekayaan, seratus tahun
kemudian untuk mencari kekuasaan, dan
seterusnya, sisanya seratus tahun terakhir baru mengalihkan perhatian belajar
untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.
Tetapi
sayangnya, usia manusia tidaklah sedemikian panjang. Waktu untuk hidup manusia sangatlah pendek. Manusia punya
waktu yang sangat singkat. Waktu hidup ini pun dikurangi waktu tidur, waktu
sakit, dan waktu lainnya, sehingga semakin sedikitlah waktu manusia untuk
belajar mempersiapkan diri menghadapi kematian.
Dalai
Lama (dalam Krishna, 2002:vii) menyatakan, bahwa sebagaimana bayi yang baru
lahir membutuhkan bantuan dari mereka yang sudah dewasa, begitu pula mereka
yang sedang menghadapi saat-saat menjelang kematian dan tidak tahu menahu
tentang proses kematian amat membutuhkan bantuan dari mereka yang
mengetahuinya. Tidak kalah penting upaya untuk membuat orang lain ikut
menyadari proses kematian, sehingga mereka pun terbebas dari rasa takut.
Pada
saat menjelang kematian, pikiran terakhir dari seorang manusia sangat
menentukan keberadaannya setelah kematian. Sivananda (2005a:58) menyatakan, bahwa
pikiran terakhir dari seorang yang suka menyeleweng akan tertuju pada perempuan
pasangannya itu. Pikiran terakhir dari seorang yang kecanduan minum-minuman
keras akan tertuju pada minuman keras kesukaannya. Pikiran terakhir dari
seorang rentenir tamak akan tertuju pada uangnya. Pikiran terakhir dari seorang
prajurit akan tertuju pada waktu menembak musuh-musuhnya. Pikiran terakhir dari
seorang ibu yang sangat sayang terhadap putranya tunggalnya akan tertuju pada
putranya itu.
------------------------------
DEFINISI
KEMATIAN
Sebagaimana
telah diketahui, sebagian besar umat manusia takut menghadapi kematian, seperti
anak-anak takut menghadapi kegelapan. Takut menghadapi kematian inilah yang
mendorong manusia untuk mencari tahu, apa kira kira yang terbentang di hadapan
manusia setelah mati. Menurut Darmada (2000:i) sejak diterbitkannya buku On Death and Dying yang ditulis oleh
Elizabet Kubler-Ross tahun 1969, orang mulai intensif mencari tahu tentang
kematian dan hidup setelah mati.
Kematian
merupakan misteri bagi manusia yang sampai hari ini belum terpecahkan. Walaupun
demikian, usaha manusia untuk terus mencari kebenaran di balik misteri kematian
telah berlangsung sejak jaman prasejarah, dan akan berlangsung terus, sampai
manusia benar-benar dapat menguak rahasia Yang Mahakuasa, atau hingga manusia
punah dari dunia.
Dalam ilmu
pengetahuan, usaha penelusuran misteri ini dilakukan dengan cara sistematis dan
mengikuti metode-metode tertentu yang baku, agar hasilnya sahih menurut standar
ilmu pengetahuan. Dalam hal kematian, karena belum ada metode atau teknologi
yang secara empiris bisa memasuki ‘alam kematian’, maka para ilmuwan mencoba
meneliti mereka yang mempunyai ‘pengalaman dekat kematian’ (near death experiences), yaitu keadaan
hampir mati namun dapat kembali ke kehidupan normal. Tetapi bagaimanana pun
juga perlu diperhatikan bahwa ‘pengalaman dekat kematian’ atau mati suri (near death experiences) tidaklah identik
dengan pengalaman mati yang sesungguhnya. Di sinilah letak pro dan kontra
tentang penelitian terhadap ‘pengalaman dekat kematian’.
Kematian
itu adalah sebuah misteri, bukan sesuatu hal yang ‘tidak dapat diketahui’.
Sesuatu ‘tidak dapat diketahui’ adalah hal tentang objek yang tidak dapat
dipikirkan tanpa suatu kontradiksi. Sedangkan ‘misteri’ adalah hal tentang
objek yang secara positif dan deskriftif dapat dipikirkan, di mana objeknya
memuat kompleksitas pemahaman yang tidak terbatas, sehingga usaha atau upaya
pengungkapannya tidak kunjung selesai.
Dengan
demikian kematian sebagai sebuah misteri, bukan sebagai sesuatu hal ‘yang tidak
dapat diketahui’. Untuk itu manusia harus menempuh jalan yang sangat panjang
untuk dapat mengetahuinya. Mungkin definisi atau pengertian yang utuh tentang
kematian tidak akan diperoleh, namun setidak-tidaknya didapat suatu jawaban
yang memadai pada tahapan tertentu.
Status
misteri tentang kematian justru tercipta karena tabir di balik kematian sampai
saat ini, tidak atau belum ada yang mampu mengungkapkannya. Dapat dikatakan,
bahwa tidak ada teori umum yang bisa menjelaskan tentang keadaan dan kedudukan
orang yang mengalami kematian kecuali dalam dogma-dogma agama yang disampaikan
orang-orang suci dengan landasan keyakinan.
Sampai
saat ini manusia tidak dapat memberi jawaban atau keterangan yang lengkap
tentang kematian, sebab belum pernah ada yang bisa kembali dari alam kematian.
Dalam artian, bukan mati sementara atau mati suri yang dapat kembali ke
kehidupan normal. Mati suri bukan kematian sesungguhnya, sebab kematian yang
sebenarnya manusia tidak dapat hidup lagi. Semua naskah, kitab, dan buku-buku
lainnya dari dahulu sampai sekarang ditulis ketika manusia masih hidup dalam
arti belum pernah mengalami kematian.
Menurut
Biologi
Kematian
dijalani secara pasif oleh manusia, karena manusia yang terdiri dari banyak sel
yang hidup dan kompleks. Sesudah jangka waktu tertentu tidak mampu memproduksi
yang baru lagi, untuk menggantikan sel-sel yang mati. Proses kematian sel-sel
berada di luar jangkauan kemampuan manusia dan umumnya sumber kematian lebih
banyak datang dari dalam tubuh dari pada di luar tubuh. Peristiwa pembunuhan,
hukuman mati, musibah, kecelakaan atau serangan penyakit hanyalah kejadian
aksidental yang mempercepat proses kematian (Subagya, 2004:75).
Menurut
llmu Kedokteran
Sebenarnya
istilah ‘mati’ tidak saja menggambarkan suatu kondisi, tetapi juga
menggambarkan suatu proses. Pengertian bahwa mati adalah suatu kondisi, baru
terjadi kalau mati sebagai proses sudah berakhir dengan sempurna. Namun kapan
detik akhir dari proses mati (saat kematian) itu, sulit ditentukan. Karena itu
diagnosis mati pada hakikatnya merupakan penilaian apakah seseorang sudah dalam
kondisi mati atau belum. Sudah barang tentu terdapat kesenjangan antara detik
akhir dari proses mati itu dengan saat didiagnosis. Jika misalnya pada pk.
10.00 pagi seorang pasien dinyatakan mati, maka sebetulnya pasien tersebut
sudah mati sebelum waktu itu (Gunawan, 1992:47).
Menurut Gunawan
(1992:46), secara kronologis perubahan definisi ‘mati’ yang diusulkan oleh para
ahli kedokteran adalah.
a. Permanent cessation of life.
b. Permanent cessation of heart beating and respiration.
c. Permanent cessation of brain function (brain death).
d.
Permanent
cessation of brain stem function (brain stem death).
Dengan banyaknya
definisi mati itu, kesan yang tidak terelakkan adalah bahwa seolah-olah mati
dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan. Padahal proses mati manusia
sejak manusia pertama hingga kini tidak pernah berubah, maka sewajarnya kalau
definisi mati pun tidak berubah.
Pada tanggal 23
Maret 1985, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama dengan Perhimpunan Kedokteran
Gawat Darurat Indonesia (PKGDI), menyelenggarakan sebuah lokakarya di Jakarta
yang bertujuan merumuskan batasan (kriteria) tentang mati, yang sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran serta situasi dan kondisi masyarakat
Indonesia.
Lokakarya
menetapkan kriteria mati yang kemudian dituangkan dalam Pernyataan IDI Tentang
Mati. Dalam pernyataan itu antara lain dinyatakan.
“Oleh
karena itu, setelah mendengarkan pertimbangan dari para ahli kedokteran, agama,
hukum, dan sosiologi. IDI berpendapat bahwa manusia dinyatakan mati jika batang
otaknya tidak berfungsi lagi ….” (Kartono, 1992:13).
Dasar untuk menetapkan
bahwa batang otak seseorang sudah tidak berfungsi lagi adalah.
a.
Pasien
tidak lagi bereaksi (unrecceptive and
responsive) terhadap stimulus dari luar, termasuk stimulus yang sangat
menyakitkan.
b.
Tidak
ada tanda-tanda terjadinya pernapasan spontan paling sedikit selama satu jam.
c.
Tidak
ada refleks, dan
d.
Elektroensefalogram
(EEG)-nya datar
Menurut
Ilmu Sosial-Budaya
Pengertian mati
dari sudut ilmu kedokteran seperti di atas, hanya menjelaskan kapan seseorang
dapat dinyatakan mati, terlepas dari bangaimana sebuah lembaga menetapkan sah
tidaknya suatu kematian. Dengan pengertian di atas, kematian akhirnya hanya
dipahami sebagai suatu keadaan, di mana seseorang tidak dapat hidup lagi.
Pengertian ini belum menjawab makna kematian itu sendiri.
Dari
sudut pandang ilmu sosial budaya, menurut Soelaeman (2001:109), kematian adalah
terhentinya budi daya manusia secara total, juga merupakan batas akhir
seseorang dalam interaksi sosialnya terhadap lingkungannya. Peristiwa kematian
merupakan fenomena esensial dan universal dalam kehidupan manusia, tetapi tidak
serta merta dapat dipandang dan bisa diterima oleh setiap orang dengan reaksi
ekspresi yang sama.
Berbagai
kebudayaan memiliki konstruksi berlainan dalam memaknai kematian. Ketakutan
semenjak gejala kematian menghampiri seperti sakit sampai berakhirnya
ritual-ritual yang dilaksanakan, merefleksikan gagasan mengenai konstruksi
sosial dari fenomena kematian itu. Menurut Subagya (2004:7) kematian menjadi
paradok kebudayaan, karena hanya orang-orang yang masih hidup, seperti ahli
waris, kenalan, pengikut, atau warga komunitasnya yang bisa memperbincangkan.
Mati
adalah salah satu pengalaman yang dialami manusia, yaitu pengalaman terakhir,
sehingga menjadi batas akhir manusia dalam interaksi sosialnya. Meski demikian
berbagai kebudayaan memandang fenomena kematian bukan sebagai titik lenyap
kehidupan.
Kematian
tidaklah sekedar menciptakan persoalan berkenaan dengan upacara ritual terhadap
jenasah semata-mata. Bagi orang-orang dekat yang ditinggalkan mengalami
perasaan yang terbentuk oleh putusnya hubungan sosial dan emosional akibat
peristiwa kematian. Kegetiran, duka cita, perkabungan, kepasrahan dan ketakutan
dalam menghadapi kematian serta ritual yang dilaksanakan tidak terlepas dari
proses sosial budaya.
Tidaklah
dapat dikatakan bahwa kematian manusia sama dengan kematian hewan atau
tumbuhan. Seperti yang dikatakan oleh Drijarkara (1994:18), karena kejasmanian
manusia itu adalah jasmani yang dirohanikan. Atau juga dalam jasmani itu rohlah
yang menjasmani. Oleh karena itu, daging manusia tidak dapat disamakan dengan
daging mahluk lain. Darah manusia tidak sama dengan darah mahluk lain.
Pancaindera manusia juga tidak sama dengan pancaindera mahluk lain. Seluruh
kejasmanian manusia dalam segala-galanya, kesemuanya itu, jika dilihat dalam
kedudukannya dalam keseluruhan manusia.
Kematian
manusia harus diterangkan sebagai peristiwa manusiawi secara penuh dan formal.
Bagi hewan dan tumbuhan kematiannya hanya
merupakan kematian tersembunyi, atau hanya real dalam ketakutan buta dan
instingif, tetapi manusia sadar bahwa ia akan meninggal dengan tidak
terelakkan. Keadaan ini harus diperhitungkan dan diekplisitkan (Bakker,
1994:292).
Menurut
Filsafat
Dari sudut
pandang filsafat, pengertian tentang kematian dapat disimak antara lain menurut
Heidegger (dalam Sutrisno, 1993:151), mati adalah satu-satunya tindakan
eksistensial manusia yang harus dijalaninya sendiri tanpa seorang pun bisa
membantu. Setiap manusia akan mati sendiri. Kematian merupakan peristiwa yang
membayang-bayangi eksistensi manusia. Eksistensi manusia terancam berakhir oleh
kematian. Oleh sebab itu eksistensi manusia tidak lain adalah ‘ada menuju
kematian’ atau Seinzum Tode atau Being –toward.
Kematian justru
mampu menjadikan manusia sebagai dirinya sendiri yang solid, menjadi diri
sendiri yang otentik. Hal ini dapat tercapai kalau manusia menerima kematian
sebagai suatu fakta yang tidak terpisahkan dari eksistensinya. Dengan menerima
kematian, manusia terpanggil untuk melepaskan diri dari kuasa atau kontrol
orang lain, sehingga muatan eksistensinya diisi oleh dirinya sendiri (Heiddeger
via Abidin, 2002:13).
Sartre (dalam
Hadi, 2000:176), menolak pandangan Heidegger yang menyatakan bahwa hidup adalah
persiapan menuju kematian. Menurut Sartre, kematian adalah melulu kenyataan
yang menimpa manusia tanpa kompromi, sehingga manusia tidak pernah mampu
memahami dan mengontrolnya. Kematian merupakan peristiwa yang datang tanpa
waktu yang pasti dan dengan kejam menggagalkan usaha manusia untuk mencapai dan
mewujudkan kemungkinan-kemungkinannya.
Menurut Jaspers,
kematian adalah ‘situasi perbatasan’ di dalam pengalaman yang menakutkan dari
kenyataan perjuangan, penderitaan dan dosa, yang tidak dapat dihindari.
Selanjutnya dikatakan, manusia dapat bertahan di dalam situasi-situasi perbatasan,
apabila memiliki iman filosofis. Iman filosofis bukanlah iman yang diterima
dari berkat suatu pewahyuan. Bagi iman ini, satu-satunya yang pasti adalah
bahwa ada yang transenden, meski tidak dapat didefinisikan apa itu (Hadi,
2000:177).
Tesis (2007)
(Ida Bagus Wirahaji, ST., S.Ag., M.Si.,
MT)
---------------------------------------
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin,
Zainal. 2002. Analsis Eksistensial – Untuk Psikologi dan Psikiatri.
Bandung: Refika Aditama.
Bakker,
Anton. 1994. Pustaka Filsafat –
Antropologi Metafisik. Yogyakarta: Kanisisus.
Bertens,
K. 1980. Memperkenalkan Psikoanalisa –
Lima Ceramah. Jakarta: Gramedia.
Darmada,
Henricus. 2000. Cahaya Dalam Kegelapan –
Pengalaman Kematian Pada Anak-Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Drijarkara
S.J., N. 1994. Pustaka Filsafat: Filsafat
Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Easwaran,
Eknath. 2000. The Undiscovered Country –
Menyelami Misteri Kematian. Alih Bahasa: Yowita Hardiwary. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hadi,
P. Hardono. 2000. Jati Diri Manusia
Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.
Kartono,
Mohamad. 1992. Teknologi Kedokteran Dan
Tantangannya Terhadap Bioetika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kubler-Ross,
Elisabeth. 1998. On Death And Dying –
Kematian Sebagai Bagian Kehidupan. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Mintargo,
Bambang S. 2005. Makna Di Balik Gejala –
Memahami hakikat Kehidupan. Jakarta: CED Institute.
Moody
Jr., Raymond A. 2003. Hidup Sesudah Mati
– Penyeldikan Tentang Suatu Gejala Kelangsungan Hidup Setelah Kematian.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Schultz,
Duane. 2001. Psikologi Pertumbuhan – Model-Model Kepribadian Sehat.
Penerjemah: Yustinus. Yogyakarta: Kanisius.
Schwartz,
Morrie. 1996. Cahaya di Ujung Senja – Menyelami Kearifan Tentang Kehidupan
dan Kematian. Bandung: Kaifa.
Sivananda,
Sri Svami. 1998. Japa Yoga. Alih Bahasa: I Made Aripta Wibawa. Surabaya:
Pàramita.
Soeboer,
Rubiana. 2005. Mati Suri – Kemanakah Kita
Setelah Mati. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Soelaeman,
M. Munandar. 2001. Ilmu Budaya Dasar –
Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.
Subagya,
Y. Tri. 2004. Menemui Ajal – Etnografi
Jawa Tentang Kematian. Yogyakarta: Kepel Press.
Sutrisno,
FX. Mudji. 1993. Manusia Dalam
Pijar-Pijar Kekayaan Dimensinya. Yogyakarta: Kanisius.
Vaswani,
J.P. 2004. Life After Death.
Penerjemah: Anand Krishna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Weij,
P.A. Van der. 1988. Filsuf-Filsuf Besar
Tentang Manusia. Diterjemahkan oleh: K. Bertens. Jakarta: Gramedia.
Zoetmulder,
P.I. 2004. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Penerjemah: Darusuprapta dan
Sumarti Suprayitna. Jakarta: Gramedia.
Pekan
XII. 2003. Makna Menyambut Kematian.
http:/www.hkbu.edu.hk/~ppp/pf/PK12.htm
Diakses 14 Desember 2006.
Lha wong bahas kematian saja takut kok disuruh komentar ... ngeriiii hihi...
BalasHapusSaya usia diatas 70-an, juga ngeri lah, tapi saya punya ketetapan hati yg atas dasar itu bisa menenangkan diri ...yang jelas bagi saya ....
1. Kematian adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
2. Umur ditangan kita, tetapi ajal adalah hukum alam yg ditetapkan bersamaaan dengan diciptakanNYA alam semesta
3. Hukum sebab-akibat adalah universal, perbuatan baik/buruk akan terbalas, tetapi .. DIA adalah ..
4. Dzat yg Maha Suci, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kasrena itu selalu terbuka kesempatan untuk memperbaiki diri, saat didunia ataupun didunia 'lain'.
5. DIA tidak mencelakakan manusia, tetapi manusia itu sendiri yg menzalimi dirinya sendiri.
6. DIA adalah Kasih Sayang
So .... don't worry at all ....