Label

Kamis, 27 Maret 2014

TAKUT AKAN KEMATIAN



TAKUT AKAN KEMATIAN



LATAR BELAKANG

Manusia selalu berusaha untuk bebas dari rasa takut. ketakutan manusia beraneka ragam, seperti takut kehilangan uang, takut kehilangan barang, takut kehilangan kedudukan, takut kehilangan muka, takut kehilangan harga diri, takut usia tua dan sebagainya. Namun, dari sejumlah ketakutan manusia tersebut masih ada hal yang paling ditakuti, yaitu kematian. Kematian inilah puncaknya rasa takut manusia (Mintargo, 2005:147).
Menurut Hadi (2000:164), rasa takut terutama sangat menonjol dalam menghadapi kematian. Orang tidak akan tenang menghadapi kematian, baik kematian orang yang dicintai maupun kematiannya sendiri. Kematian begitu riil dan nyata di dalam kehidupan manusia, akan tetapi tetap saja menimbulkan rasa takut dan kesedihan yang mendalam. Kematian merupakan kenyataan yang pasti dan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Namun, kenyataan yang tidak terhindarkan ini, tidak mengakibatkan bahwa kematian merupakan topik yang menarik untuk dibicarakan, diulas, dan direnungkan. Kematian justru merupakan hal yang ingin dihindari dan disingkirkan dari kesadaran kehidupan manusia. Meskipun kematian bersifat imanen dan natural bagi manusia, tidak berarti bahwa kematian merupakan gejala yang bisa dipahami dan diterangkan secara gamblang.
Setiap manusia mengakhiri hidupnya dengan kematian, dan hal itu merupakan sebuah pengalaman. Karena manusia sadar terhadap kematiannya, maka kematian menimbulkan persoalan bagi manusia. Kematian manusia menimbulkan problema tersendiri. Manusia merasa takut dan bingung dalam menghadapi kematian. Sikap manusia terhadap kematian beraneka-ragam, ada yang bersifat budaya, ada yang bersifat keagamaan dan sebagainya. Bagi manusia yang masih hidup, kematian merupakan data empiris (Soelaeman, 2001:109).
Ketakutan terhadap kematian membuat topik ini tidak menarik untuk dibicarakan orang. Menurut Moody (2003:22), bahwa sebagian besar orang sangat sulit untuk diajak membicarakan tentang kematian. Setidaknya ada 2 (dua) alasan, yaitu alasan psikologis dan kebudayaan. Secara psikologis, membicarakan masalah kematian menghadapkan seseorang secara tidak langsung seakan-akan menghadapi kematiannya sendiri. Dengan membicarakannya  pada orang lain, membuat seseorang membayangkan dalam pikirannya, berada dalam situasi berhadapan dengan kematian. Jadi orang lebih suka menghindar dari topik pembicaraan tentang kematian. Alasan kedua, orang sukar membicarakan kematian karena budayanya. Kematian adalah masalah yang rumit. Sebagian besar bahasa manusia didapat dari hubungan pengalaman sensasi fisiknya. Sedangkan kematian sebagai sesuatu di luar jangkauan pengalaman sadar manusia. Orang yang sudah mati tidak bisa dihubungi, tidak dapat berkolerasi sehingga tidak didapat penjelasan yang sebenarnya.
Senada dengan Moody, menurut Lake (1992:1), kebanyakan orang tidak mau memikirkan kematian, meskipun sadar bahwa cepat atau lambat saatnya akan tiba. Meskipun manusia harus menerima kenyataan bahwa hidup akan berakhir, manusia tidak tahu cara kematian itu akan terjadi. Manusia sadar tidak akan dapat memilih macam kematiannya. Padahal kematian itu dapat terjadi secara kejam, sia-sia dan tanpa tujuan. Kenyataan ini paling susah dihadapi. Sebab itu manusia cenderung sedapat mungkin menunda atau menghindari pemikiran tentang kematian.
Gambaran tentang kematian berbeda-beda bagi setiap orang. Selain ketakutan, kesedihan, ada juga yang pasrah dengan menunggu waktunya saja. Gambaran ini seolah-olah tidak menjadi bagian dari perbincangan sehari-hari, tetapi diberi jarak dengan menyerahkan urusan itu kepada Tuhan. Sampai pada zaman sekarang ini, masih sulit membicarakan kematian di kalangan orang sakit atau orang tua bila tidak mau dikatakan kurang ajar.
Kalau seseorang akan berlibur dengan mengadakan perjalanan ke luar negeri misalnya, maka jauh-jauh hari sebelumnya sudah menyiapkan diri mulai dari biaya, pakaian, waktu, tempat-tempat yang akan dikunjungi, sampai mempelajari adat-istiadat setempat. Persiapan pasti dilakukan meskipun hanya untuk perjalanan waktu yang singkat, tetapi untuk ‘perjalanan’ pindah menuju alam kematian orang tidak tertarik melakukan persiapan. Kematian begitu ditakuti, berusaha  dihindari sehingga tidak tertarik untuk memiliki pengetahuan tentang alam kematian.
Ketakutan akan kematian menjadi topik yang menarik bagi para filsuf berusaha memberi solusi, menurut pandangan masing-masing. Pendapat para filsuf ini tidak lepas dari kritik oleh filsuf lainnya. Sutrisno (1993:149-150) merinci para filsuf tersebut. Mereka adalah: Epicurus, Seneca, Agustinus, Spinoza dan lain sebagainya. Spinoza, misalnya memberi solusi, bahwa manusia bisa keluar dari ketakutan akan mati dengan cara tidak terlalu memikirkannya, namun lebih memikirkan kehidupan. Hampir mirip dengan keseharian manusia, di mana mengerti bahwa matahari itu terus bersinar tanpa terlalu memikirkannya. Kritik terhadap solusi di atas adalah: bahwa ketakutan akan kematian bukan hanya ketakutan rasional yang bisa dipecahkan secara rasional tetapi menyangkut soal hati dan rasa.
Dalam upaya menghilangkan ketakutan dalam menghadapi kematian, para filsuf juga berusaha mencari makna kematian itu sendiri. Di sini para filsuf terbagi dua dalam memberikan makna dan kemungkinan akhir kehidupan manusia, yaitu golongan imanentis dan para transendentalis. Para imanentis beranggapan bahwa makna serta kemungkinan akhir kehidupan manusia, terbatas pada dunia ini. Menurut mereka, makna serta kemungkinan akhir itu bisa ditemukan di dalam dunia ini, antara saat lahir dan saat mati. Sedangkan para transendentalis, seperti Wittgenstein berpendapat bahwa makna kehidupan terdapat di luar kehidupan. Kehidupan duniawi ini harus dilampui (ditransendensi) untuk memperoleh jawaban yang memadai (Weij, 1988:174).
Easwaran (2000:70) menyatakan, bahwa dalam hidup ini tidak ada yang lebih mendesak daripada belajar menghadapi kematian. Jika saja manusia diberi hidup seribu tahun, tentu pelajaran ini tidak mendesak. Seratus tahun digunakan untuk bersenang-senang, seratus tahun lagi untuk mengejar kekayaan, seratus tahun kemudian untuk mencari kekuasaan,  dan seterusnya, sisanya seratus tahun terakhir baru mengalihkan perhatian belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.
Tetapi sayangnya, usia manusia tidaklah sedemikian panjang. Waktu untuk  hidup manusia sangatlah pendek. Manusia punya waktu yang sangat singkat. Waktu hidup ini pun dikurangi waktu tidur, waktu sakit, dan waktu lainnya, sehingga semakin sedikitlah waktu manusia untuk belajar mempersiapkan diri menghadapi kematian.
Dalai Lama (dalam Krishna, 2002:vii) menyatakan, bahwa sebagaimana bayi yang baru lahir membutuhkan bantuan dari mereka yang sudah dewasa, begitu pula mereka yang sedang menghadapi saat-saat menjelang kematian dan tidak tahu menahu tentang proses kematian amat membutuhkan bantuan dari mereka yang mengetahuinya. Tidak kalah penting upaya untuk membuat orang lain ikut menyadari proses kematian, sehingga mereka pun terbebas dari rasa takut.
Pada saat menjelang kematian, pikiran terakhir dari seorang manusia sangat menentukan keberadaannya setelah kematian. Sivananda (2005a:58) menyatakan, bahwa pikiran terakhir dari seorang yang suka menyeleweng akan tertuju pada perempuan pasangannya itu. Pikiran terakhir dari seorang yang kecanduan minum-minuman keras akan tertuju pada minuman keras kesukaannya. Pikiran terakhir dari seorang rentenir tamak akan tertuju pada uangnya. Pikiran terakhir dari seorang prajurit akan tertuju pada waktu menembak musuh-musuhnya. Pikiran terakhir dari seorang ibu yang sangat sayang terhadap putranya tunggalnya akan tertuju pada putranya itu.

------------------------------



DEFINISI KEMATIAN

Sebagaimana telah diketahui, sebagian besar umat manusia takut menghadapi kematian, seperti anak-anak takut menghadapi kegelapan. Takut menghadapi kematian inilah yang mendorong manusia untuk mencari tahu, apa kira kira yang terbentang di hadapan manusia setelah mati. Menurut Darmada (2000:i) sejak diterbitkannya buku On Death and Dying yang ditulis oleh Elizabet Kubler-Ross tahun 1969, orang mulai intensif mencari tahu tentang kematian dan hidup setelah mati.
Kematian merupakan misteri bagi manusia yang sampai hari ini belum terpecahkan. Walaupun demikian, usaha manusia untuk terus mencari kebenaran di balik misteri kematian telah berlangsung sejak jaman prasejarah, dan akan berlangsung terus, sampai manusia benar-benar dapat menguak rahasia Yang Mahakuasa, atau hingga manusia punah dari dunia.
Dalam ilmu pengetahuan, usaha penelusuran misteri ini dilakukan dengan cara sistematis dan mengikuti metode-metode tertentu yang baku, agar hasilnya sahih menurut standar ilmu pengetahuan. Dalam hal kematian, karena belum ada metode atau teknologi yang secara empiris bisa memasuki ‘alam kematian’, maka para ilmuwan mencoba meneliti mereka yang mempunyai ‘pengalaman dekat kematian’ (near death experiences), yaitu keadaan hampir mati namun dapat kembali ke kehidupan normal. Tetapi bagaimanana pun juga perlu diperhatikan bahwa ‘pengalaman dekat kematian’ atau mati suri (near death experiences) tidaklah identik dengan pengalaman mati yang sesungguhnya. Di sinilah letak pro dan kontra tentang penelitian terhadap ‘pengalaman dekat kematian’.
Kematian itu adalah sebuah misteri, bukan sesuatu hal yang ‘tidak dapat diketahui’. Sesuatu ‘tidak dapat diketahui’ adalah hal tentang objek yang tidak dapat dipikirkan tanpa suatu kontradiksi. Sedangkan ‘misteri’ adalah hal tentang objek yang secara positif dan deskriftif dapat dipikirkan, di mana objeknya memuat kompleksitas pemahaman yang tidak terbatas, sehingga usaha atau upaya pengungkapannya tidak kunjung selesai.
Dengan demikian kematian sebagai sebuah misteri, bukan sebagai sesuatu hal ‘yang tidak dapat diketahui’. Untuk itu manusia harus menempuh jalan yang sangat panjang untuk dapat mengetahuinya. Mungkin definisi atau pengertian yang utuh tentang kematian tidak akan diperoleh, namun setidak-tidaknya didapat suatu jawaban yang memadai pada tahapan tertentu.
Status misteri tentang kematian justru tercipta karena tabir di balik kematian sampai saat ini, tidak atau belum ada yang mampu mengungkapkannya. Dapat dikatakan, bahwa tidak ada teori umum yang bisa menjelaskan tentang keadaan dan kedudukan orang yang mengalami kematian kecuali dalam dogma-dogma agama yang disampaikan orang-orang suci dengan landasan keyakinan.
Sampai saat ini manusia tidak dapat memberi jawaban atau keterangan yang lengkap tentang kematian, sebab belum pernah ada yang bisa kembali dari alam kematian. Dalam artian, bukan mati sementara atau mati suri yang dapat kembali ke kehidupan normal. Mati suri bukan kematian sesungguhnya, sebab kematian yang sebenarnya manusia tidak dapat hidup lagi. Semua naskah, kitab, dan buku-buku lainnya dari dahulu sampai sekarang ditulis ketika manusia masih hidup dalam arti belum pernah mengalami kematian.

Menurut Biologi
Kematian dijalani secara pasif oleh manusia, karena manusia yang terdiri dari banyak sel yang hidup dan kompleks. Sesudah jangka waktu tertentu tidak mampu memproduksi yang baru lagi, untuk menggantikan sel-sel yang mati. Proses kematian sel-sel berada di luar jangkauan kemampuan manusia dan umumnya sumber kematian lebih banyak datang dari dalam tubuh dari pada di luar tubuh. Peristiwa pembunuhan, hukuman mati, musibah, kecelakaan atau serangan penyakit hanyalah kejadian aksidental yang mempercepat proses kematian (Subagya, 2004:75).

Menurut llmu Kedokteran
Sebenarnya istilah ‘mati’ tidak saja menggambarkan suatu kondisi, tetapi juga menggambarkan suatu proses. Pengertian bahwa mati adalah suatu kondisi, baru terjadi kalau mati sebagai proses sudah berakhir dengan sempurna. Namun kapan detik akhir dari proses mati (saat kematian) itu, sulit ditentukan. Karena itu diagnosis mati pada hakikatnya merupakan penilaian apakah seseorang sudah dalam kondisi mati atau belum. Sudah barang tentu terdapat kesenjangan antara detik akhir dari proses mati itu dengan saat didiagnosis. Jika misalnya pada pk. 10.00 pagi seorang pasien dinyatakan mati, maka sebetulnya pasien tersebut sudah mati sebelum waktu itu (Gunawan, 1992:47).
Menurut Gunawan (1992:46), secara kronologis perubahan definisi ‘mati’ yang diusulkan oleh para ahli kedokteran adalah.
a.       Permanent cessation of life.
b.      Permanent cessation of heart beating and respiration.
c.       Permanent cessation of brain function (brain death).
d.      Permanent cessation of brain stem function (brain stem death).

Dengan banyaknya definisi mati itu, kesan yang tidak terelakkan adalah bahwa seolah-olah mati dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan. Padahal proses mati manusia sejak manusia pertama hingga kini tidak pernah berubah, maka sewajarnya kalau definisi mati pun tidak berubah.
Pada tanggal 23 Maret 1985, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama dengan Perhimpunan Kedokteran Gawat Darurat Indonesia (PKGDI), menyelenggarakan sebuah lokakarya di Jakarta yang bertujuan merumuskan batasan (kriteria) tentang mati, yang sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran serta situasi dan kondisi masyarakat Indonesia.
Lokakarya menetapkan kriteria mati yang kemudian dituangkan dalam Pernyataan IDI Tentang Mati. Dalam pernyataan itu antara lain dinyatakan.

Oleh karena itu, setelah mendengarkan pertimbangan dari para ahli kedokteran, agama, hukum, dan sosiologi. IDI berpendapat bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidak berfungsi lagi ….” (Kartono, 1992:13).

Dasar untuk menetapkan bahwa batang otak seseorang sudah tidak berfungsi lagi adalah.
a.         Pasien tidak lagi bereaksi (unrecceptive and responsive) terhadap stimulus dari luar, termasuk stimulus yang sangat menyakitkan.
b.        Tidak ada tanda-tanda terjadinya pernapasan spontan paling sedikit selama satu jam.
c.         Tidak ada refleks, dan
d.        Elektroensefalogram (EEG)-nya datar

Menurut Ilmu Sosial-Budaya
Pengertian mati dari sudut ilmu kedokteran seperti di atas, hanya menjelaskan kapan seseorang dapat dinyatakan mati, terlepas dari bangaimana sebuah lembaga menetapkan sah tidaknya suatu kematian. Dengan pengertian di atas, kematian akhirnya hanya dipahami sebagai suatu keadaan, di mana seseorang tidak dapat hidup lagi. Pengertian ini belum menjawab makna kematian itu sendiri.
Dari sudut pandang ilmu sosial budaya, menurut Soelaeman (2001:109), kematian adalah terhentinya budi daya manusia secara total, juga merupakan batas akhir seseorang dalam interaksi sosialnya terhadap lingkungannya. Peristiwa kematian merupakan fenomena esensial dan universal dalam kehidupan manusia, tetapi tidak serta merta dapat dipandang dan bisa diterima oleh setiap orang dengan reaksi ekspresi yang sama.
Berbagai kebudayaan memiliki konstruksi berlainan dalam memaknai kematian. Ketakutan semenjak gejala kematian menghampiri seperti sakit sampai berakhirnya ritual-ritual yang dilaksanakan, merefleksikan gagasan mengenai konstruksi sosial dari fenomena kematian itu. Menurut Subagya (2004:7) kematian menjadi paradok kebudayaan, karena hanya orang-orang yang masih hidup, seperti ahli waris, kenalan, pengikut, atau warga komunitasnya yang bisa memperbincangkan.
Mati adalah salah satu pengalaman yang dialami manusia, yaitu pengalaman terakhir, sehingga menjadi batas akhir manusia dalam interaksi sosialnya. Meski demikian berbagai kebudayaan memandang fenomena kematian bukan sebagai titik lenyap kehidupan.
Kematian tidaklah sekedar menciptakan persoalan berkenaan dengan upacara ritual terhadap jenasah semata-mata. Bagi orang-orang dekat yang ditinggalkan mengalami perasaan yang terbentuk oleh putusnya hubungan sosial dan emosional akibat peristiwa kematian. Kegetiran, duka cita, perkabungan, kepasrahan dan ketakutan dalam menghadapi kematian serta ritual yang dilaksanakan tidak terlepas dari proses sosial budaya.
Tidaklah dapat dikatakan bahwa kematian manusia sama dengan kematian hewan atau tumbuhan. Seperti yang dikatakan oleh Drijarkara (1994:18), karena kejasmanian manusia itu adalah jasmani yang dirohanikan. Atau juga dalam jasmani itu rohlah yang menjasmani. Oleh karena itu, daging manusia tidak dapat disamakan dengan daging mahluk lain. Darah manusia tidak sama dengan darah mahluk lain. Pancaindera manusia juga tidak sama dengan pancaindera mahluk lain. Seluruh kejasmanian manusia dalam segala-galanya, kesemuanya itu, jika dilihat dalam kedudukannya dalam keseluruhan manusia.
Kematian manusia harus diterangkan sebagai peristiwa manusiawi secara penuh dan formal. Bagi hewan dan tumbuhan kematiannya hanya  merupakan kematian tersembunyi, atau hanya real dalam ketakutan buta dan instingif, tetapi manusia sadar bahwa ia akan meninggal dengan tidak terelakkan. Keadaan ini harus diperhitungkan dan diekplisitkan (Bakker, 1994:292).

Menurut Filsafat
Dari sudut pandang filsafat, pengertian tentang kematian dapat disimak antara lain menurut Heidegger (dalam Sutrisno, 1993:151), mati adalah satu-satunya tindakan eksistensial manusia yang harus dijalaninya sendiri tanpa seorang pun bisa membantu. Setiap manusia akan mati sendiri. Kematian merupakan peristiwa yang membayang-bayangi eksistensi manusia. Eksistensi manusia terancam berakhir oleh kematian. Oleh sebab itu eksistensi manusia tidak lain adalah ‘ada menuju kematian’ atau Seinzum Tode atau Being –toward.
Kematian justru mampu menjadikan manusia sebagai dirinya sendiri yang solid, menjadi diri sendiri yang otentik. Hal ini dapat tercapai kalau manusia menerima kematian sebagai suatu fakta yang tidak terpisahkan dari eksistensinya. Dengan menerima kematian, manusia terpanggil untuk melepaskan diri dari kuasa atau kontrol orang lain, sehingga muatan eksistensinya diisi oleh dirinya sendiri (Heiddeger via Abidin, 2002:13).
Sartre (dalam Hadi, 2000:176), menolak pandangan Heidegger yang menyatakan bahwa hidup adalah persiapan menuju kematian. Menurut Sartre, kematian adalah melulu kenyataan yang menimpa manusia tanpa kompromi, sehingga manusia tidak pernah mampu memahami dan mengontrolnya. Kematian merupakan peristiwa yang datang tanpa waktu yang pasti dan dengan kejam menggagalkan usaha manusia untuk mencapai dan mewujudkan kemungkinan-kemungkinannya.
Menurut Jaspers, kematian adalah ‘situasi perbatasan’ di dalam pengalaman yang menakutkan dari kenyataan perjuangan, penderitaan dan dosa, yang tidak dapat dihindari. Selanjutnya dikatakan, manusia dapat bertahan di dalam situasi-situasi perbatasan, apabila memiliki iman filosofis. Iman filosofis bukanlah iman yang diterima dari berkat suatu pewahyuan. Bagi iman ini, satu-satunya yang pasti adalah bahwa ada yang transenden, meski tidak dapat didefinisikan apa itu (Hadi, 2000:177).

Tesis (2007)
(Ida Bagus Wirahaji, ST., S.Ag., M.Si., MT)

---------------------------------------



DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2002. Analsis Eksistensial – Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung: Refika Aditama.
Bakker, Anton. 1994. Pustaka Filsafat – Antropologi Metafisik. Yogyakarta: Kanisisus.
Bertens, K. 1980. Memperkenalkan Psikoanalisa – Lima Ceramah. Jakarta: Gramedia.
Darmada, Henricus. 2000. Cahaya Dalam Kegelapan – Pengalaman Kematian Pada Anak-Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Drijarkara S.J., N. 1994. Pustaka Filsafat: Filsafat Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Easwaran, Eknath. 2000. The Undiscovered Country – Menyelami Misteri Kematian. Alih Bahasa: Yowita Hardiwary. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hadi, P. Hardono. 2000. Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.
Kartono, Mohamad. 1992. Teknologi Kedokteran Dan Tantangannya Terhadap Bioetika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kubler-Ross, Elisabeth. 1998. On Death And Dying – Kematian Sebagai Bagian Kehidupan. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Mintargo, Bambang S. 2005. Makna Di Balik Gejala – Memahami hakikat Kehidupan. Jakarta: CED Institute.
Moody Jr., Raymond A. 2003. Hidup Sesudah Mati – Penyeldikan Tentang Suatu Gejala Kelangsungan Hidup Setelah Kematian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Schultz, Duane. 2001. Psikologi Pertumbuhan – Model-Model Kepribadian Sehat. Penerjemah: Yustinus. Yogyakarta: Kanisius.
Schwartz, Morrie. 1996. Cahaya di Ujung Senja – Menyelami Kearifan Tentang Kehidupan dan Kematian. Bandung: Kaifa.
Sivananda, Sri Svami. 1998. Japa Yoga. Alih Bahasa: I Made Aripta Wibawa. Surabaya: Pàramita.
Soeboer, Rubiana. 2005. Mati Suri – Kemanakah Kita Setelah Mati. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Soelaeman, M. Munandar. 2001. Ilmu Budaya Dasar – Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.
Subagya, Y. Tri. 2004. Menemui Ajal – Etnografi Jawa Tentang Kematian. Yogyakarta: Kepel Press.
Sutrisno, FX. Mudji. 1993. Manusia Dalam Pijar-Pijar Kekayaan Dimensinya. Yogyakarta: Kanisius.
Vaswani, J.P. 2004. Life After Death. Penerjemah: Anand Krishna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Weij, P.A. Van der. 1988. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. Diterjemahkan oleh: K. Bertens. Jakarta: Gramedia.
Zoetmulder, P.I. 2004. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Penerjemah: Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. Jakarta: Gramedia.
Pekan XII. 2003. Makna Menyambut Kematian.
            http:/www.hkbu.edu.hk/~ppp/pf/PK12.htm
            Diakses 14 Desember 2006.

1 komentar:

  1. Lha wong bahas kematian saja takut kok disuruh komentar ... ngeriiii hihi...
    Saya usia diatas 70-an, juga ngeri lah, tapi saya punya ketetapan hati yg atas dasar itu bisa menenangkan diri ...yang jelas bagi saya ....
    1. Kematian adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
    2. Umur ditangan kita, tetapi ajal adalah hukum alam yg ditetapkan bersamaaan dengan diciptakanNYA alam semesta
    3. Hukum sebab-akibat adalah universal, perbuatan baik/buruk akan terbalas, tetapi .. DIA adalah ..
    4. Dzat yg Maha Suci, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kasrena itu selalu terbuka kesempatan untuk memperbaiki diri, saat didunia ataupun didunia 'lain'.
    5. DIA tidak mencelakakan manusia, tetapi manusia itu sendiri yg menzalimi dirinya sendiri.
    6. DIA adalah Kasih Sayang

    So .... don't worry at all ....

    BalasHapus