AIR MANI, AIR SUCI, DAN AIR SUNGAI DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT BALI
Latar Belakang
Menurut
Nordholt (2009), ada tiga jenis aliran ‘air’ yang penting di Kerajaan Mengwi.
Ketiga jenis air itu adalah: air mani (kama
petak), air suci (tirtha) dan air
sungai (yeh). Ketiga aliran air ini memberi bentuk pada
hirarki. Air mani mengatur hirarki sosial masyarakat dalam negara (kerajaan).
Air suci memegang peranan penting dalam berbagai ritual. Sementara air sungai (yeh) sebagai sumber kebutuhan sehari-hari.
Ketiga jenis aliran air tersebut mengikuti pola alaminya, yakni mengalir ke
tempat yang lebih rendah.
Meskipun
penggambaran Nordholt tentang tiga aliran ‘air’ ini hanya meliputi wilayah
kajian Kerajaan Mengwi dari penembentukan, kejayaan, hingga masa surut
kerajaan, tetapi tampaknya dapat merepresentasikan pada kondisi Bali pada masa
itu bahkan sampai masa kini. Setidaknya berlaku pada masyarakat Hindu tradisi
etnis Bali, terutama mengenai aliran ‘air’ pertama (air mani) dan aliran air
kedua (air suci).
Realitas
pada masyarakat Bali yang dimulai pada masa kerajaan terdiri dari berbagai
macam soroh atau klan, yang berawal
dari air mani. Ada soroh Pande, Senggu, Pasek, Arya, Brahmana, Dalem, Bali Aga,
dan sebagainya. ‘Soroh’ dapat diterjemahkan sebagai group of related families, yakni peguyuban orang-orang garis
keturunan tertentu (Stitidharma, 2011). Setiap soroh memiliki sejarah turun
tumurun yang berbeda, dan merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur.
Aliran
‘air’ kedua yaitu air suci (tirtha). Tidak
dapat dipungkiri, bahwa Sumatera, Jawa, dan Bali sejak abad-abad pertama Masehi
telah mengalami pengaruh kebudayaan India yang kuat (Bosch, 1983). Kebudayaan
India dibawa oleh pedagang-pedagang India, yang melakukan aktifitas perdagangan
di Kepulauan Nusantara. Unsur-unsur kebudayaan yang menonjol yang mereka bawa
adalah sistem religi dan upacara keagamaan, yaitu agama Hindu. Sebagaimana
Hindu di India yang melibatkan air dalam berbagai ritual, hampir semua kegiatan
upacara di Bali melibatkan dan berujung pada penyucian dengan menggunakan air
suci (tirtha). C. Hooykas menyebut
praktek beragama di Bali dengan sebutan Agama
Tirtha (Gedeprama, 2010). Agama
Tirtha meletakkan air suci sebagai unsur utama. Laut, danau, sungai, dan
sumber mata air dipandang penting sehingga harus dijaga dan dilestarikan.
Keberadaan
sungai sebagai salah satu prasarana yang membawakan aliran ‘air’ ketiga menjadi
amat penting. Tidak mengherankan sepanjang aliran sungai terdapat peradaban
manusia. Mulyanto (2007) menyebutkan bahwa sungai sejak zaman purba menjadi
suatu unsur alam yang sangat berperan dalam membentuk corak kebudayaan suatu
bangsa. Ketersediaan airnya, lembahnya yang subur, dan potensi lainnya menarik
manusia untuk bermukim di sekitarnya.
Dalam
sejarah Bali Kuna, poros pemerintahan kerajaan terdapat pada jalur Desa Bedulu,
Pejeng dan Tampaksiring. Munculnya pusat pemerintahan didaerah tersebut diduga
ada kaitannya dengan adanya aliran sungai. Ada dua sungai yang mengalir di
dekat ketiga desa ini, yaitu Tukad Pakerisan dan Tukad Petanu. Daerah ini tidak
hentinya menerima aliran air dari sungai yang bersumber pada pegunungan
Kintamani (Astawa. 2009). Kampers (1956), menyebutkan tebing-tebing dari Tukad
Perkerisan penuh dengan peninggalan-peningalan purbakala dan merupakan batas
timur dari daerah kepurbakalaan itu. Peninggalan purbakala antara lain: Pura
Tirtha Mpul, Pura Mangening, Pura Gunung Kawi, dan sebagainya. Sementara, Tukad
Petanu dalam babad disebutkan pernah mengalirkan darah dari Maya Danawa,
menjadi sungai ‘terkutuk’ dan tidak ada peninggalan tempat suci di
tebing-tebing sungai tersebut..
Rumusan Masalah
Dari uraian sekilas mengenai tiga jenis aliran ‘air’ di atas, maka perlu
dilakukan kajian yang lebih mendalam mengenai 3 (tiga) hal, yaitu:
1.
Peranan
air mani (kama petak) pada kehidupan
sosial masyarakat Bali.
2.
Peranan
air suci (tirtha) pada kehidupan keagamaan
masyarakat Bali
3.
Peranan
atau arti penting air sungai (yeh) yang
menimbulkan adanya perdaban air.
Batasan Kajian
Kajian
ini membahas sebuah metafora Nordholt (2009) dalam bukunya “The Spell of Power” yang mengikuti
pemikiran sarjana terkemuka seperti Geertz (1973). Tiga jenis ‘air’ yang
mengalir pada sebuah negara, dimana jalan dan sifatnya dikontrol oleh raja.
Kajian
mengenai peranan air mani dalam kehidupan sosial masyarakat terkait dengan
adanya soroh atau klan di Bali.
Setiap perkawinan umumnya menghasilkan keturunan, dimana keturunan ini
mengikuti garis keturunan ayahnya (purusa).
Dikecualikan, pada perkawinan nyentana
dimana status sebagai purusa dipegang
oleh perempuan.
Kajian
peranan air suci (tirtha) dalam aspek
kehidupan keagamaan masyarakat Bali meliputi sumber-sumber air suci, dan fungsi
air suci dalam berbagai ritual. Sedangkan, mengenai peranan dan arti penting air
sungai (yeh), justru lebih banyak
membicarakan tentang peradaban masyarakat Bali pada zaman dulu (kerajaan) mengenai
pembangunan bangunan irigasi dan perkumpulan pengelola aliran air.
Air Mani (Kama
Petak)
Air
Mani (kama petak) di Bali dipandang
sebagai sejenis air. Sebagaimana halnya sifat alami air, selalu mengalir ke
tempat yang lebih rendah, demikian juga air mani. Dengan kata lain, laki-laki
hanya boleh menikahi wanita dengan status yang sama atau lebih rendah, sehingga
aliran ini mengatur hirarki sosial dalam kerajaan. Itu sebabnya, bila ada
wanita yang lebih tinggi status wangsanya kawin dengan lelaki yang lebih
rendah, ia harus diturunkan derajatnya agar sama dengan suaminya, agar air mani
itu bisa mengalir (Nordholt, 2009).
Aturan
perkawinan mengacu pada sistem kekerabatan di Bali. Sistem kekerabatan
masyarakat Bali umumnya berlandaskan prinsip patrilinear (Geria, 2000). Dalam
prinsip patrilinear, sel telur (kama bang)
dari pihak wanita sekalipun tidak dapat diabaikan dalam peranannya membentuk
manusia baru, akan tetapi air manilah yang menjadi penentu soroh atau klan anak yang dilahirkan. Setiap paratisentana di Bali disebut sebagai warih (air kencing/mani) dari pihak purusa.
Air
mani (kama petak) laki-laki dipandang
suci sementara kama bang dari wanita
dipandang leteh. Itulah sebabnya,
wanita yang sedang haid atau datang bulan tidak diijinkan masuk ke tempat suci.
Pada anak perempuan yang baru pertamakali mengalami menstruasi harus diupacarai
yang disebut menek deha. Upacara ini
dilengkapi dengan eteh-eteh pebersihan.
Betapa
pentingnya peranan air mani ini. Babad Mengwi misalnya, pada halaman awal
mengisahkan tentang kegelisahan raja Mengwi tentang asal usul leluhurnya. Raja
memanggil pendeta kerajaan untuk diajak berdialog. Pendeta menjelaskan bahwa
dinasti Mengwi berasal langsung dari keturunan kerajaan kuno Jawa Timur yang
bergabung dengan Kerajaan Majapahit. Raja Mengwi selanjutnya menelusuri garis
keturunannya ke klan Arya Kepakisan. Dalam hal ini, Majapahit menurut Nordolt
(2009) adalah tempat keramat dan suci sebagai tempat lahirnya kaum ksatria Bali
dan dipandang sebagai sumber legitimasi bagi hirarki orang Bali.
Air
manilah yang membentuk soroh atau
klan di Bali. Soroh atau klan
merupakan ikatan persaudaraan dalam satu wit
atau asal leluluhur yang sama dimana tujuan utamanya adalah terbinanya
kekerabatan yang baik sebagai wujud bhakti kepada leluhur. Eksistensi ikatan soroh ini bila dipelihara dengan baik,
sebagaimana ibarat memelihara bunga yang berwarna warni di taman, sehingga yang
tampak adalah keindahan.
Berbeda
dengan zaman dulu sewaktu zaman kerajaan, soroh sepenuhnya dikontrol oleh raja.
Dalam perkembangan sekarang ini soroh
ini menjadi kekuatiran banyak pihak, karena berpotensi membuat umat Hindu di
Bali menjadi terkotak-kotak. Babad sebagai sumber informasi tentang asal atau
leluhur suatu soroh sebenarnya tidak akurat dipakai sebagai sumber sejarah.
Banyak keberatan-keberatan yang dirasakan oleh ahli sejarah apabila babad
dipakai sebagai sumber satu-satunya untuk memutuskan kawitan atau soroh dari suatu kelompok masyarakat.
Tiap
soroh di Bali memiliki bhisama leluhur. Bhisama leluhur adalah kesepakatan yang pernah dilakukan oleh
leluhur suatu soroh pada zaman dulu,
yang sekarang dipakai untuk mengikat soroh
tersebut. Bhisama leluhur dinilai
oleh beberapa kalangan dapat memunculkan fanatisme masing-masing soroh.
Fanatisme terhadap masing-masing soroh
dapat memicu terjadinya konflik antar soroh.
Konflik-konflik yang sering terjadi di Bali yang dilatarbelakangi oleh
kepentingan soroh misalnya perebutan tapal
batas, perebutan laba pura, perebutan
status Pura Dalem, Setra, dan Pura
Prajapati (Kompas, 2011).
Air Suci (Tirtha)
Air
suci (tirtha) adalah aliran air kedua
yang mengalir dalam masyarakat Hindu Bali. Aliran air juga mengikuti
sifat-sifat alami air, yaitu hanya diizinkan mengalir ke bawah. Ini berarti
seseorang bisa menerima air suci ini hanya dari yang sederajat atau lebih
tinggi. Dalam hirarki kerajaan sumber tertinggi dari aliran ini adalah
purohita. Idealnya, air suci mengalir turun dari purohita kerajaan menuju masyarakat, karena tidak hanya pusat
kerajaan tapi garis keturunannya juga menerima darinya. Akhirnya, pengikut dari
berbagai puri merupakan sisya dari
pendeta brahmana terkait dengan puri setempat, darimana mereka menerima air
suci dalam pelaksanaan ritual-ritual khusus. Seperti halnya aliran air mani (kama petak), aliran air suci (tirtha) juga memberi bentuk tatanan hirarki
dalam kerajaan (Nordholt, 2009).
Pengertian
tirtha di Bali berbeda dengan
pengertian dalam beberapa kitab suci. Menurut Titib (2001), Tirtha adalah nama atau tempat melakukan
tirthayatra, berupa mata air, tepi
sungai, tepi pantai atau tepi danau. Arti kata Tirtha adalah tempat menyeberang, jalan melintas. Sementara air
adalah sarana menyucikan, unsur yang memberikan kemakmuran. Kata tirtha juga dapat berarti air, sungai,
danau, air suci, atau tempat untuk memperoleh air suci. Tempat-tempat untuk
memperoleh air suci disebut juga dengan istilah Patirthan.
Titib
(2010) menyebutkan kitab-kitab Maha
Purana dan Upa Purana memberi
penjelasan yang panjang lebar tentang perjalanan mencari air suci (tirthayatra). Kitab-kitab Purana seperti Skanda, Padma, Bhagavata, Garuda secara khusus memuat topik tempat-tempat tirthayatra di India dan bagaimana
seharusnya sikap umat Hindu di dalam melaksanakan tirthayatra. Kitab-kitab di Indonesia, penjelasan tentang tirthayatra dapat dijumpai dalam kitab Sarasmuccaya berbahasa Jawa Kuno karya
Maharsi Vararuci. Sloka-sloka dalam Sarasamuccaya merupakan kutipan-kutipan sloka tertentu Mahabharata
karya Maharsi Vyasa yang aslinya berbahasa Sansekerta..
Di
Bali, tempat-tempat yang diyakini suci oleh umat Hindu diantaranya adalah mata
air, seperti Tirtha Mpul dan Mangening di Tampaksiring, Tirthagangga di desa
Ababi, mata air arca di desa Menanga, tirtha
Petung dan Yeh Sah di desa Muncan Karangasem, Tirtha Pesucian Ida Bhatara di kawasan Pura Batukaru, dan lain
sebagainya (Titib, 2010). Sementara Stuart-Fox (2002) menyebut sumber mata air
yang dipandang suci di kawasan Pura Besakih, yaitu Tirtha Girikusuma. Tirtha
Luhur/Amreta/Pingit, Tirtha Putra, Tirtha Padiksan, Tirtha Tunggang/Sindu,
Tirtha Lateng, Tirtha Sangku, Tirtha Mpul/Penglukatan, Tirtha Sudamala, dan
lain sebagainya.
Dalam
konsep agama Hindu Bali ada bermacam-macam jenis air suci (tirtha). Berbagai jenis tirtha
ini memiliki fungsi masing-masing pada ritual tertentu. Menurut Stuart-Fox
(2002), terdapat 2 (dua) kategori air suci, yang pertama air suci yang
melambangkan dewata, dan kedua air suci yang disiapkan oleh pendeta yang
memimpin suatu ritual.
Kategori
pertama, tirtha sebagai simbol dewata
disebut Bhatara Tirtha, yaitu
perwujudan dari dewata sebagai air suci. Dalam konteks ini, dewata diundang
untuk menghadiri sebuah ritual dalam kapasitas sebagai saksi. Dewata yang
diundang umumnya berasal dari pura-pura besar. Air suci ini ditempatkan dalam
sepotong bambu yang disebut sujang,
yang dihiasi dengan daun-daun yang dipandang suci, diikat dengan 200 uang
logam. Tirtha ini diusung
diperlakukan dengan penghormatan sebagai dewa. Ketika, sudah dekat dengan
lokasi upacara dilaksanakan, Bhatara
Tirtha disambut dengan ritual yang disebut mendak tirtha.
Kategori
kedua tirtha sebagai air suci yang
dipersiapkan oleh pendeta yang didaulat melalui pelaksanaan upacara dan
ucapan-ucapan puja mantra. Untuk jenis tirtha
yang kedua ini, sumber air tidak begitu penting, asalkan air tersebut baru (anyar). Dalam tradisi Hindu di Bali,
yang berwenang membuat tirtha jenis ini
hanya pendeta (sulinggih).
Menurut
Wiana (2000), arti dan fungsi tirtha
khususnya dalam agama Hindu Bali adalah sebagai berikut:
1.
Penyucian/Pembersihan/Penglukatan
2.
Pengurip/Penciptaan
3.
Pemelihara
Tirtha yang
difungsikan sebagai penyucian atau pembersihan dibuat oleh pendeta (sulinggih). Tirtha ini diperciki pada bebanten dalam Panca Yajna sebelum
dipersembahkan. Tirtha penglukatan
juga diperciki pada umat yang akan melaksanakan kramaning sembah. Jenis tirtha
juga ditempat di depan pintu masuk pura atau pemerajan. Setiap pemedek yang hendak masuk ke dalam
pura/pemerajan, akan memerciki dirinya dengan tirtha tersebut. Dengan memerciki
tirtha ini umat merasa ‘nyaman’
setidak sudah memenuhi peraturan masuk ke areal suci.
Tirtha pengurip-urip berfungsi untuk ‘menghidupkan’ bebanten atau upakara
tersebut, sehingga tidak hanya sekedar berupa rangkaian bunga-bungaan,
buah-buahan, daun-daunan, jajan dan benda-benda lainnya. Setelah diperciki tirtha, banten sudah menjadi sarana
agama yang berstatus sakral. Pemercikan tirtha
diperlukan karena bahan-bahan banten tersebut setelah dipetik dari asalnya (pohon)
dia telah dinyatakan mati kemudian dirangkai sedemikian rupa sehingga berbentuk
dan bernama banten tertentu.
Tirtha jenis ini lebih
sering digunakan oleh para undagi, sewaktu melaspas
bangunan yang baru selesai dikerjakan. Penggunaan tirtha ini pada bangunan karena ketika menggunakan bahan bangunan,
bahan-bahan tersebut dianggap berstatus ‘mati’, adalah pantang bagi umat hindu
untuk mesulub. Untuk itu bahan-bahan
bangunan yang sudah ditata, dikerjakan sehingga menjadi bangunan tempat tinggal
atau bangunan lainnya menjadi ‘hidup’ setelah diperciki air suci pengurip-urip.
Tirtha pemelihara
selain berfungsi sebagai pemelihara, juga sebagai simbol berkah suci atau
anugerah dari Ida Sanghyang Widhi Wasa. Dalam prakteknya dapat dilihat dalam pujawali maupun piodalan di pura. Setelah dilaksanakan persembahyangan dan terakhir
diikuti dengan pemercikan tirtha,
diminum dan diraup ke wajah. Dalam hal ini tirtha
dijiwai oleh Dewa Wisnu sebagai stithi
dan Dewa Indra sebagai dewa hujan sumber kemakmuran
Di
dalam sebuah pemerajan atau sanggah milik keluarga inilah aliran air
mani dan air suci menyatu, yaitu tempat dimana leluhur dipuja dan tempat dimana
air suci dari pendeta brahmana dibagikan. Bila ritual tersebut di pemerajan puri, tidak hanya anggota dinasti yang terlibat di dalam ritual
tersebut, banyak pengikut atau rakyat (sisya)
yang berpartisipasi dalam upacara tersebut, dimana secara bersamaan
mengungkapkan potensi mobilisasi fisik dari puri
Air Sungai
Air
sungai adalah aliran air ke tiga. Air turun dari pegunungan mengalir pada
sungai menyebar di sawah-sawah dan terus mengalir ke laut. Air ini memberi
kehidupan kepada manusia dan mahluk hidup lainnya. Air dimuliakan dalam Kitab
Canakya Niti Sastra pada Bab XIII Sloka 21, bahwa air termasuk salah satu dari
tiga ratna permata di bumi selain makanan dan kata-kata yang baik (Anonim,
1995).
Air
sebagai pemberi kehidupan membuat manusia harus mengelolanya dengan baik. Sunaryo
(2007) menyebutkan dari berbagai legenda maupun prasasti yang ditinggalkan peradaban
masa lampau, diyakini bahwa pekerjaan pembuatan infrastruktur pengelolaan air
sudah dikenal di Nusantara jauh sebelum kedatangan peradaban dari India maupun
Cina. Terdapat 2 (dua) unsur budaya yang penting, yaitu pertama kemampuan
mengolah sawah secara basah. Kedua, suatu sistem pemeritnahan yang teratur.
Pembangunan dan pemeliharan infrastruktur memerlukan kestabilan pemerintahan.
Gany
(2012), menyatakan ada beberapa bukti yang menunjukkan pengelolaan air untuk
irigasi telah ada di Bali sejak tahun 600 M. Sejak masa itu, para petani di
Bali sudah punya ketrampilan dalam menggali dan membangun saluran irigasi baik
di pegunungan maupun di dataran tinggi. Seriarsa (1997) menyebutkan adanya
pengelolaan air irigasi, yaitu pada tahun Saka 944 Raja Marakata telah memberi
ijin kepada masyarakat di Desa Baturan (Batuan) untuk membuka hutan untuk lahan
persawahan di Tapesan, Batu Aji, Batu Hyang, Gwang, Nangka dan Rbun. Mereka
berbagai air (atembuku) di Sakah
bergabung dengan Subak Air Gajah (di Bedulu sekarang) yang telah memiliki
bendungan di Pujung Aji (Pejeng Aji sekarang). Dimana, bangunan tradisonal
untuk irigasi pada saat itu menggunakan teknik yang sangat sederhana.
Peradaban
air pada masyarakat Bali yang tinggal di dataran adalah memuja dewa dalam
konteks organisasi pengairan. Semua wilayah di Bali yang mendapat air irigasi
dibagi-bagi kedalam wilayah irigasi besar yang dibagi lagi ke dalam distrik
bendungan dan selanjutnya ke dalam perkumpulan irigasi. Menurut Goris (2012),
masing-masing dari pembagian wilayah ini mempunyai puranya sendiri, walaupun
namanya pura bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.
Pura dari wilayah irigasi yang berasal dari satu danau disebut Pura Bedugul. Di tempat lain di wilayah
irigasi yang lebih luas di sebut Pura
Ulun Siwi. Pura-pura bendungan dinamai Pura
Empelan. Nama yang lumrah di tempat pemujaan perkumpulan irigasi adalah Pura Subak. Di Gianyar pura irigasi yang
terkenal adalah Pura Mas-cheti.
Bendungan
atau dam adalah istilah sekarang. Pada zaman dulu ada dua istilah yang
digunakan untuk menyebut bangunan air yang dapat disamakan dengan istilah
bendungan (dam) adalah tamwak dan dawuhan.
Sementara saluran distribusi air dapat dibangun di permukaan tanah
maupun di bawah tanah berupa suatu terowongan air. Mengenai saluran bawah tanah
di Bali dikenal dengan istilah arung
atau aungan (Rahardjo, 2011).
Pada
zaman dulu, pusat kerajaan berperan aktif dalam pembangunan dan perawatan
dam-dam utama, saluran-saluran air serta dalam upacara-upacara terkait dengan
irigasi. Seperti yang terjadi Kerajaan Mengwi. Menurut Nordholt (2009), kaum
bangsawan khususnya dinasti Mengwi secara langsung terlibat dalam pembuatan
sisem irigasi yang lebih besar. Bahkan disebutkan berdirinya dinasti Mengwi
berkaitan erat dengan terjadinya perluasan sawah-sawah yang diairi melalui
saluran irigasi di kawasan ini. Keterlibatan penguasa dalam pengelolaan sumber
air mengingat air sebagai bagian dari suber daya alam yang menentukan
keberlangsungan kehidupan manusia dan kerajaan itu sendiri.
Pembangunan
dam dan saluran irigasi yang lebih besar sudah barang tentu harus didukung oleh
puri yang kuat untuk merawatnya. Perawatan bangunan irigasi tersebut memerlukan
sumber daya manusia yang sama besarnya dengan pembangunannya, karena dam lumpur
yang besar mudah terkikis pada sungai-sungai yang airnya deras dan kemungkinan
bisa dihanyutkan secara tiba-tiba pada awal musim hujan karena serangan banjir
bandang. Selain itu, bangunan utama seperti saluran primer dan saluran sekunder
serta terowongan membutuhkan pemeriksaan dan perbaikan secara periodik. Satu
hal lagi penting adalah bangunan irigasi tersebut perlu dijaga dan dilindungi
dari sabotase, sebagai akibat dari intrik-intrik politik.
Ceger
(1973) menyebutkan bahwa raja pertama Mengwi dengan penguasa Blayu membangun
sebuah bendungan di sungai Sungai Sungi, sebelah barat Blayu, dan mereka
memperluas area sawah sekitar Mengwi. Perluasan ini menempatkan desa ini di
tengah persawahan yang luas dan subur, berada sekitar 200 meter di atas
permukaan laut. Di sinilah padi ditanam untuk memenuhi sebagain besar kebutuhan
pusat kerajaan. Untuk menjaga keamanan terhadap pengerusakan dari pihak musuh,
bendungan ini dibawah pengawasan sekutu penguasa Blayu. Dengan adanya bendungan
ini, yang berfungsi dengan baik dan lancar, memungkinkan penguasa Mengwi
mempengaruhi irigasi sawah yang berada di hilir yaitu di daerah Kaba-Kaba.
Penguasa Mengwi menjadi penentu, sewaktu-waktu dapat mengalihkan aliran sungai,
dan bahkan bila perlu memberhentikan pasokan ke kawasan Kaba-Kaba.
Pembangunan
bendungan atau dam juga dilakukan oleh negara tetangga di selatan Kerajaan
Mengwi. Darmanuraga (2011) menyebutkan pada jaman Kerajaan Badung, yaitu
sewaktu Kyai Anglurah Jambe Ketewel menjadi raja dan beristana di Puri Alang
Badung, juga telah dibuat bangunan irigasi yang monumental. Bangunan ini
kemudian lebih dikenal dengan Dam Oongan. Pembangunan dam ini diawali dari ide
dari Ki Sawunggaling. Sawunggaling adalah jabatan yang bertugas melaksanakan
perintah raja, yang diemban oleh tokoh masyarakat yang berpengaruh.
Pembangunan
Dam ini melibatkan ratusan pekerja dengan membendung Sungai Sagsag. Setelah
beberapa pembangunan dilaksanakan tidak memberikan hasil, sampai akhirnya Ki
Sawungguling menerima pewisik, bahwa
harus ada korban manusia sebagai dasar bendungan itu. Merasa bertanggungjawab
akan keberhasilan pembangunan dam ini, Ki Sawunggaling menyata siap menjadi
korban bersama istrinya. Tempat upacara pengorbanan tersebut diperkirakan
sejauh 75 meter utara Dam sekarang. Sehingga Dam tersebut diberi nama Dam
Oongan (Agung, 1994).
Selain
membangun dan memelihara bangunan infrastruktur pengelola air, tidak kalah
pentingnya juga adalah manajemen pengelolaan air. Kodoatie dan Sjarif (2008),
menyebutkan bahwa air harus dikelola secara bijak, dengan pendekatan terpadu
dan menyeluruh. Masyarakat Bali membuat perkumpulan yang disebut subak, untuk mengatur aliran distribusi
air. Covarrubias (2014), menyebutkan seperti halnya perkumpulan desa dan dusun,
subak dipimpin oleh kepala-kepala
yang dipilih klian dan penyarikan subak, bersama para
pembantunya (pangliman). Setiap orang
yang memiliki sawah diwajibkan untuk bergabung dalam subak dan menjalan
perintah. Rapat biasanya diadakan sebelum sekali dan digelar di Pura Subak. Perkembangan dalam
masyarakat majemuk sekarang, Atmaja (2010) menyebutkan subak bisa pula beranggotakan umat islam seperti terdapat pada
Subak Pancoran, Desa Panji, Buleleng.
Berbeda
dengan dua aliran air sebelumnya yang disebut di atas, aliran air ini mengalir
turun sampai titik terendah yaitu sampai ke laut, tetapi tidak terhenti di
sana, air ini mengalami siklus. Air laut mengalami penguapan (evaporasi)
terangkat naik lagi ke pegunungan, kemudian turun lagi ke bumi dan dibagi-bagi
melalui dam-dam utama. Khiatuddin (2003) menyebutkan dalam proses daur ulang
air, keberadaan air di tanah dalam waktu relatif lama sebelum kembali ke laut
sangat penting bagi kehidupan di darat
termasuk manusia. Di Bali, ritual-ritual dilakukan di pura gunung dan
pura segara yang dipimpin oleh pusat kerajaan dengan harapan dapat menjamin
keberlangsungan siklus ini.
Simpulan
Dari
uraian di atas, dapat ditarik beberapa simpulan antara lain sebagai berikut:
1.
Metafora
Nordholt (2009) tentang adanya 3 (tiga) aliran ‘air’ yang membentuk hirarki
sosio-religius merupakan suatu realita pada masyarakat Bali.
2.
Air
mani (kama petak) yang dimiliki oleh
pihak purusa menjadi penentu soroh atau klan manusia yang dilahirkan.
Kama petak dipandang suci sedangkan kama bang dipandang leteh.
3.
Air
suci (tirtha) yang merupakan ciri
agama Hindu sebagai agama tirtha di
Bali, mutlak dibutuhkan oleh seluruh umat dari berbagai lapisan dan dari
berbagai soroh. Air suci mengalir
dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Itulah sebabnya,
hanya mereka yang berstatus sulinggih
yang berwenang membuat air suci.
4.
Air
sungai (yeh) memegang peranan penting
dalam pemenuhan kebutuhan air pertanian. Pentingnya air untuk pertanian ini
menyebabkan timbulnya berbagai bentuk bangunan air untuk mengelola aliran air
tersebut. Raja berperan aktif dalam pembangunan atau pemeliharaan bangunan
irigasi. Karena infrastruktur air irgasi menentukan keberlangsungan
penyelenggaraan pemerintahan. Munculnya perkumpulan subak di Bali menandakan penting air irigasi dikelola secara
kolektif.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Agung, Ida
Cokorda Ngurah. 1994. Cikal Bakal
Raja-Raja Badung. Denpasar: Puri Agung Denpasar.
Anonim. 1995. Canakia Niti Sastra. Alih Bahasa:
Darmayasa. Denpasar: Yayasan Dharma Narada.
Astawa, AA Gde
Oka. 2009. Menyingkap Peradaban Bali di
antara Tukad Pakerisan dan Tukad Petanu. Denpasar: Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata.
Atmaja, Nengah
Bawa. 2010. Geneologi Keruntuhan
Majapahit. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bosch, FDK.
1983. Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu
di Kepulauan Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Ceger, Gusti
Ngurah. 1973. Monografi Subak Tinjak
Manjakan. Mengwi:-
Covarrubias, M.
2014. Pulau Bali-Temuan Yang Menakjubkan.
Editor: Jiwa Atmaja. Denpasar: Udayana University Press.
Darmanuraga, AAN
Putra. 2011. Perjalanan Arya Damar dan
Arya Kenceng di Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.
Goris, R. 2012. Sifat Religius Masyarakat Pedesaan di Bali.
Alih bahasa: Sunaryo Basuki. Editor: Jiwa Atmaja. Denpasar: Udayana University
Press.
Gany, Hafied A.
2012. Irigation Tunneling In Anchient
Indonesia. Jakarta: The Indonesian National Commitee of International
Commision on Irrigation and Drainage, in Collaboration with Balai Irigasi
Balitbang P.U.
Geria, I Wayan.
2000. Transformasi Kebudayaan Bali
Memasuki Abad XXI. Denpasar: Percetakan Bali.
Kempers, A.J.
Bernet. 1956. Bali Purbakala-Petunjuk
Tentang Peninggalan Purbakala. Jakarta: Balai Buku Indonesia.
Khiatuddin, M.
2003. Melestarikan Sumber Daya Air. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kodoatie, Robert
dan Sjarif, Rustam. 2008. Pengelolaan
Suber Daya Air. Edisi 2. Yogyakarta: ANDI.
Kompas. 2011. Fanatisme Soroh Picu Konflik Adat di Bali.
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Mulyanto, H R.
2007. Sungai-Fungsi dan Sifat-Sifatnya.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nordholt, HS.
2009. The Spell Of Power-Sejarah Politik
Bali 1650-1940. Alih Bahasa: Ida Bagus Putrayadnya. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Rahardjo,
Supratikno. 2011. Peradaban Jawa Dari
Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu.
Seriarsa. 1997. Pura Taman Ayun-Misteri dan Sejarah Mengwi.
Editor: I Wy Ardika dan I Md Sutaba. Denpasar: Upada Sastra.
Stuart-Fox,
David J. 2002. Pura Besakih-Pura, Agama,
dan Masyarakat Bali. Alih Bahasa: Ida Bagus Putra Yadnya. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Sunaryo, TM.
2007. Pengelolaan Sumber Daya Air-Konsep
dan Penerapannya. Malang: Bayumedia Publishing.
Titib, I Md.
2001. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam
Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Titib, I Md.
2010. Purana-Sumber Ajaran Hindu
Komprehensif. Surabaya: Paramita.
Wiana, I Ketut.
2000. Arti dan Fungsi Sarana
Persembahyangan. Surabaya: Paramita.
Sumber Internet:
Gedeprama. 2010.
Merenda Agama Tirtha. http://gedeprama.blogdetik.com
/2010/02/18/merenda-agama-tirtha/.
Diakses 25 Pebruari 2015.
Diakses 25 Pebruari 2015.
Swastyastu pak, tiang sangat tertarik dengan artikelnya ini, apakah ada file pdf atau word nggih? untuk saya jadikan refrensi, khususnya tentang air di Bali dan DAM Oongan. suksma
BalasHapus