Label

Kamis, 18 Juni 2015

AIR

AIR MANI, AIR SUCI, DAN AIR SUNGAI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT BALI



Latar Belakang
Menurut Nordholt (2009), ada tiga jenis aliran ‘air’ yang penting di Kerajaan Mengwi. Ketiga jenis air itu adalah: air mani (kama petak), air suci (tirtha) dan air sungai (yeh).  Ketiga aliran air ini memberi bentuk pada hirarki. Air mani mengatur hirarki sosial masyarakat dalam negara (kerajaan). Air suci memegang peranan penting dalam berbagai ritual. Sementara air sungai (yeh) sebagai sumber kebutuhan sehari-hari. Ketiga jenis aliran air tersebut mengikuti pola alaminya, yakni mengalir ke tempat yang lebih rendah.
Meskipun penggambaran Nordholt tentang tiga aliran ‘air’ ini hanya meliputi wilayah kajian Kerajaan Mengwi dari penembentukan, kejayaan, hingga masa surut kerajaan, tetapi tampaknya dapat merepresentasikan pada kondisi Bali pada masa itu bahkan sampai masa kini. Setidaknya berlaku pada masyarakat Hindu tradisi etnis Bali, terutama mengenai aliran ‘air’ pertama (air mani) dan aliran air kedua (air suci).
Realitas pada masyarakat Bali yang dimulai pada masa kerajaan terdiri dari berbagai macam soroh atau klan, yang berawal dari air mani. Ada soroh Pande, Senggu, Pasek, Arya, Brahmana, Dalem, Bali Aga, dan sebagainya. ‘Soroh’ dapat diterjemahkan sebagai group of related families, yakni peguyuban orang-orang garis keturunan tertentu (Stitidharma, 2011). Setiap soroh memiliki sejarah turun tumurun yang berbeda, dan merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur.
Aliran ‘air’ kedua yaitu air suci (tirtha). Tidak dapat dipungkiri, bahwa Sumatera, Jawa, dan Bali sejak abad-abad pertama Masehi telah mengalami pengaruh kebudayaan India yang kuat (Bosch, 1983). Kebudayaan India dibawa oleh pedagang-pedagang India, yang melakukan aktifitas perdagangan di Kepulauan Nusantara. Unsur-unsur kebudayaan yang menonjol yang mereka bawa adalah sistem religi dan upacara keagamaan, yaitu agama Hindu. Sebagaimana Hindu di India yang melibatkan air dalam berbagai ritual, hampir semua kegiatan upacara di Bali melibatkan dan berujung pada penyucian dengan menggunakan air suci (tirtha). C. Hooykas menyebut praktek beragama di Bali dengan sebutan Agama Tirtha (Gedeprama, 2010). Agama Tirtha meletakkan air suci sebagai unsur utama. Laut, danau, sungai, dan sumber mata air dipandang penting sehingga harus dijaga dan dilestarikan.
Keberadaan sungai sebagai salah satu prasarana yang membawakan aliran ‘air’ ketiga menjadi amat penting. Tidak mengherankan sepanjang aliran sungai terdapat peradaban manusia. Mulyanto (2007) menyebutkan bahwa sungai sejak zaman purba menjadi suatu unsur alam yang sangat berperan dalam membentuk corak kebudayaan suatu bangsa. Ketersediaan airnya, lembahnya yang subur, dan potensi lainnya menarik manusia untuk bermukim di sekitarnya.
Dalam sejarah Bali Kuna, poros pemerintahan kerajaan terdapat pada jalur Desa Bedulu, Pejeng dan Tampaksiring. Munculnya pusat pemerintahan didaerah tersebut diduga ada kaitannya dengan adanya aliran sungai. Ada dua sungai yang mengalir di dekat ketiga desa ini, yaitu Tukad Pakerisan dan Tukad Petanu. Daerah ini tidak hentinya menerima aliran air dari sungai yang bersumber pada pegunungan Kintamani (Astawa. 2009). Kampers (1956), menyebutkan tebing-tebing dari Tukad Perkerisan penuh dengan peninggalan-peningalan purbakala dan merupakan batas timur dari daerah kepurbakalaan itu. Peninggalan purbakala antara lain: Pura Tirtha Mpul, Pura Mangening, Pura Gunung Kawi, dan sebagainya. Sementara, Tukad Petanu dalam babad disebutkan pernah mengalirkan darah dari Maya Danawa, menjadi sungai ‘terkutuk’ dan tidak ada peninggalan tempat suci di tebing-tebing sungai tersebut..


Rumusan Masalah
 Dari uraian sekilas mengenai  tiga jenis aliran ‘air’ di atas, maka perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam mengenai 3 (tiga) hal, yaitu:
1.        Peranan air mani (kama petak) pada kehidupan sosial masyarakat Bali.
2.        Peranan air suci (tirtha) pada kehidupan keagamaan masyarakat Bali
3.        Peranan atau arti penting air sungai (yeh) yang menimbulkan adanya perdaban air.

Batasan Kajian
Kajian ini membahas sebuah metafora Nordholt (2009) dalam bukunya “The Spell of Power” yang mengikuti pemikiran sarjana terkemuka seperti Geertz (1973). Tiga jenis ‘air’ yang mengalir pada sebuah negara, dimana jalan dan sifatnya dikontrol oleh raja.
Kajian mengenai peranan air mani dalam kehidupan sosial masyarakat terkait dengan adanya soroh atau klan di Bali. Setiap perkawinan umumnya menghasilkan keturunan, dimana keturunan ini mengikuti garis keturunan ayahnya (purusa). Dikecualikan, pada perkawinan nyentana dimana status sebagai purusa dipegang oleh perempuan.
Kajian peranan air suci (tirtha) dalam aspek kehidupan keagamaan masyarakat Bali meliputi sumber-sumber air suci, dan fungsi air suci dalam berbagai ritual. Sedangkan, mengenai peranan dan arti penting air sungai (yeh), justru lebih banyak membicarakan tentang peradaban masyarakat Bali pada zaman dulu (kerajaan) mengenai pembangunan bangunan irigasi dan perkumpulan pengelola aliran air.


Air Mani (Kama Petak)
Air Mani (kama petak) di Bali dipandang sebagai sejenis air. Sebagaimana halnya sifat alami air, selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, demikian juga air mani. Dengan kata lain, laki-laki hanya boleh menikahi wanita dengan status yang sama atau lebih rendah, sehingga aliran ini mengatur hirarki sosial dalam kerajaan. Itu sebabnya, bila ada wanita yang lebih tinggi status wangsanya kawin dengan lelaki yang lebih rendah, ia harus diturunkan derajatnya agar sama dengan suaminya, agar air mani itu bisa mengalir (Nordholt, 2009).
Aturan perkawinan mengacu pada sistem kekerabatan di Bali. Sistem kekerabatan masyarakat Bali umumnya berlandaskan prinsip patrilinear (Geria, 2000). Dalam prinsip patrilinear, sel telur (kama bang) dari pihak wanita sekalipun tidak dapat diabaikan dalam peranannya membentuk manusia baru, akan tetapi air manilah yang menjadi penentu soroh atau klan anak yang dilahirkan. Setiap paratisentana di Bali disebut sebagai warih (air kencing/mani) dari pihak purusa.
Air mani (kama petak) laki-laki dipandang suci sementara kama bang dari wanita dipandang leteh. Itulah sebabnya, wanita yang sedang haid atau datang bulan tidak diijinkan masuk ke tempat suci. Pada anak perempuan yang baru pertamakali mengalami menstruasi harus diupacarai yang disebut menek deha. Upacara ini dilengkapi dengan eteh-eteh pebersihan.
Betapa pentingnya peranan air mani ini. Babad Mengwi misalnya, pada halaman awal mengisahkan tentang kegelisahan raja Mengwi tentang asal usul leluhurnya. Raja memanggil pendeta kerajaan untuk diajak berdialog. Pendeta menjelaskan bahwa dinasti Mengwi berasal langsung dari keturunan kerajaan kuno Jawa Timur yang bergabung dengan Kerajaan Majapahit. Raja Mengwi selanjutnya menelusuri garis keturunannya ke klan Arya Kepakisan. Dalam hal ini, Majapahit menurut Nordolt (2009) adalah tempat keramat dan suci sebagai tempat lahirnya kaum ksatria Bali dan dipandang sebagai sumber legitimasi bagi hirarki orang Bali.
Air manilah yang membentuk soroh atau klan di Bali. Soroh atau klan merupakan ikatan persaudaraan dalam satu wit atau asal leluluhur yang sama dimana tujuan utamanya adalah terbinanya kekerabatan yang baik sebagai wujud bhakti kepada leluhur. Eksistensi ikatan soroh ini bila dipelihara dengan baik, sebagaimana ibarat memelihara bunga yang berwarna warni di taman, sehingga yang tampak adalah keindahan.
Berbeda dengan zaman dulu sewaktu zaman kerajaan, soroh sepenuhnya dikontrol oleh raja. Dalam perkembangan sekarang ini soroh ini menjadi kekuatiran banyak pihak, karena berpotensi membuat umat Hindu di Bali menjadi terkotak-kotak. Babad sebagai sumber informasi tentang asal atau leluhur suatu soroh sebenarnya tidak akurat dipakai sebagai sumber sejarah. Banyak keberatan-keberatan yang dirasakan oleh ahli sejarah apabila babad dipakai sebagai sumber satu-satunya untuk memutuskan kawitan atau soroh dari suatu kelompok masyarakat.
Tiap soroh di Bali memiliki bhisama leluhur. Bhisama leluhur adalah kesepakatan yang pernah dilakukan oleh leluhur suatu soroh pada zaman dulu, yang sekarang dipakai untuk mengikat soroh tersebut. Bhisama leluhur dinilai oleh beberapa kalangan dapat memunculkan fanatisme masing-masing soroh. Fanatisme terhadap masing-masing soroh dapat memicu terjadinya konflik antar soroh. Konflik-konflik yang sering terjadi di Bali yang dilatarbelakangi oleh kepentingan soroh misalnya perebutan tapal batas, perebutan laba pura, perebutan status Pura Dalem, Setra, dan Pura Prajapati (Kompas, 2011).

Air Suci (Tirtha)
Air suci (tirtha) adalah aliran air kedua yang mengalir dalam masyarakat Hindu Bali. Aliran air juga mengikuti sifat-sifat alami air, yaitu hanya diizinkan mengalir ke bawah. Ini berarti seseorang bisa menerima air suci ini hanya dari yang sederajat atau lebih tinggi. Dalam hirarki kerajaan sumber tertinggi dari aliran ini adalah purohita. Idealnya, air suci mengalir turun dari purohita kerajaan menuju masyarakat, karena tidak hanya pusat kerajaan tapi garis keturunannya juga menerima darinya. Akhirnya, pengikut dari berbagai puri merupakan sisya dari pendeta brahmana terkait dengan puri setempat, darimana mereka menerima air suci dalam pelaksanaan ritual-ritual khusus. Seperti halnya aliran air mani (kama petak), aliran air suci (tirtha) juga memberi bentuk tatanan hirarki dalam kerajaan (Nordholt, 2009).
Pengertian tirtha di Bali berbeda dengan pengertian dalam beberapa kitab suci. Menurut Titib (2001), Tirtha adalah nama atau tempat melakukan tirthayatra, berupa mata air, tepi sungai, tepi pantai atau tepi danau. Arti kata Tirtha adalah tempat menyeberang, jalan melintas. Sementara air adalah sarana menyucikan, unsur yang memberikan kemakmuran. Kata tirtha juga dapat berarti air, sungai, danau, air suci, atau tempat untuk memperoleh air suci. Tempat-tempat untuk memperoleh air suci disebut juga dengan istilah Patirthan.
Titib (2010) menyebutkan kitab-kitab Maha Purana dan Upa Purana memberi penjelasan yang panjang lebar tentang perjalanan mencari air suci (tirthayatra). Kitab-kitab Purana seperti Skanda, Padma, Bhagavata, Garuda secara khusus memuat topik tempat-tempat tirthayatra di India dan bagaimana seharusnya sikap umat Hindu di dalam melaksanakan tirthayatra. Kitab-kitab di Indonesia, penjelasan tentang tirthayatra dapat dijumpai dalam kitab Sarasmuccaya berbahasa Jawa Kuno karya Maharsi Vararuci. Sloka-sloka dalam Sarasamuccaya merupakan kutipan-kutipan sloka tertentu Mahabharata karya Maharsi Vyasa yang aslinya berbahasa Sansekerta..
Di Bali, tempat-tempat yang diyakini suci oleh umat Hindu diantaranya adalah mata air, seperti Tirtha Mpul dan Mangening di Tampaksiring, Tirthagangga di desa Ababi, mata air arca di desa Menanga, tirtha Petung dan Yeh Sah di desa Muncan Karangasem, Tirtha Pesucian Ida Bhatara di kawasan Pura Batukaru, dan lain sebagainya (Titib, 2010). Sementara Stuart-Fox (2002) menyebut sumber mata air yang dipandang suci di kawasan Pura Besakih, yaitu Tirtha Girikusuma. Tirtha Luhur/Amreta/Pingit, Tirtha Putra, Tirtha Padiksan, Tirtha Tunggang/Sindu, Tirtha Lateng, Tirtha Sangku, Tirtha Mpul/Penglukatan, Tirtha Sudamala, dan lain sebagainya.
Dalam konsep agama Hindu Bali ada bermacam-macam jenis air suci (tirtha). Berbagai jenis tirtha ini memiliki fungsi masing-masing pada ritual tertentu. Menurut Stuart-Fox (2002), terdapat 2 (dua) kategori air suci, yang pertama air suci yang melambangkan dewata, dan kedua air suci yang disiapkan oleh pendeta yang memimpin suatu ritual.
Kategori pertama, tirtha sebagai simbol dewata disebut Bhatara Tirtha, yaitu perwujudan dari dewata sebagai air suci. Dalam konteks ini, dewata diundang untuk menghadiri sebuah ritual dalam kapasitas sebagai saksi. Dewata yang diundang umumnya berasal dari pura-pura besar. Air suci ini ditempatkan dalam sepotong bambu yang disebut sujang, yang dihiasi dengan daun-daun yang dipandang suci, diikat dengan 200 uang logam. Tirtha ini diusung diperlakukan dengan penghormatan sebagai dewa. Ketika, sudah dekat dengan lokasi upacara dilaksanakan, Bhatara Tirtha disambut dengan ritual yang disebut mendak tirtha.
Kategori kedua tirtha sebagai air suci yang dipersiapkan oleh pendeta yang didaulat melalui pelaksanaan upacara dan ucapan-ucapan puja mantra. Untuk jenis tirtha yang kedua ini, sumber air tidak begitu penting, asalkan air tersebut baru (anyar). Dalam tradisi Hindu di Bali, yang berwenang membuat tirtha jenis ini hanya pendeta (sulinggih).
Menurut Wiana (2000), arti dan fungsi tirtha khususnya dalam agama Hindu Bali adalah sebagai berikut:
1.      Penyucian/Pembersihan/Penglukatan
2.      Pengurip/Penciptaan
3.      Pemelihara

Tirtha yang difungsikan sebagai penyucian atau pembersihan dibuat oleh pendeta (sulinggih). Tirtha ini diperciki pada bebanten dalam Panca Yajna sebelum dipersembahkan. Tirtha penglukatan juga diperciki pada umat yang akan melaksanakan kramaning sembah. Jenis tirtha juga ditempat di depan pintu masuk pura atau pemerajan. Setiap pemedek yang hendak masuk ke dalam pura/pemerajan, akan memerciki dirinya dengan tirtha tersebut. Dengan memerciki tirtha ini umat merasa ‘nyaman’ setidak sudah memenuhi peraturan masuk ke areal suci.
Tirtha pengurip-urip berfungsi untuk ‘menghidupkan’ bebanten atau upakara tersebut, sehingga tidak hanya sekedar berupa rangkaian bunga-bungaan, buah-buahan, daun-daunan, jajan dan benda-benda lainnya. Setelah diperciki tirtha, banten sudah menjadi sarana agama yang berstatus sakral. Pemercikan tirtha diperlukan karena bahan-bahan banten tersebut setelah dipetik dari asalnya (pohon) dia telah dinyatakan mati kemudian dirangkai sedemikian rupa sehingga berbentuk dan bernama banten tertentu.
Tirtha jenis ini lebih sering digunakan oleh para undagi, sewaktu melaspas bangunan yang baru selesai dikerjakan. Penggunaan tirtha ini pada bangunan karena ketika menggunakan bahan bangunan, bahan-bahan tersebut dianggap berstatus ‘mati’, adalah pantang bagi umat hindu untuk mesulub. Untuk itu bahan-bahan bangunan yang sudah ditata, dikerjakan sehingga menjadi bangunan tempat tinggal atau bangunan lainnya menjadi ‘hidup’ setelah diperciki air suci pengurip-urip.
Tirtha pemelihara selain berfungsi sebagai pemelihara, juga sebagai simbol berkah suci atau anugerah dari Ida Sanghyang Widhi Wasa. Dalam prakteknya dapat dilihat dalam pujawali maupun piodalan di pura. Setelah dilaksanakan persembahyangan dan terakhir diikuti dengan pemercikan tirtha, diminum dan diraup ke wajah. Dalam hal ini tirtha dijiwai oleh Dewa Wisnu sebagai stithi dan Dewa Indra sebagai dewa hujan sumber kemakmuran
Di dalam sebuah pemerajan atau sanggah milik keluarga inilah aliran air mani dan air suci menyatu, yaitu tempat dimana leluhur dipuja dan tempat dimana air suci dari pendeta brahmana dibagikan. Bila ritual tersebut di pemerajan puri, tidak hanya anggota dinasti yang terlibat di dalam ritual tersebut, banyak pengikut atau rakyat (sisya) yang berpartisipasi dalam upacara tersebut, dimana secara bersamaan mengungkapkan potensi mobilisasi fisik dari puri

Air Sungai
Air sungai adalah aliran air ke tiga. Air turun dari pegunungan mengalir pada sungai menyebar di sawah-sawah dan terus mengalir ke laut. Air ini memberi kehidupan kepada manusia dan mahluk hidup lainnya. Air dimuliakan dalam Kitab Canakya Niti Sastra pada Bab XIII Sloka 21, bahwa air termasuk salah satu dari tiga ratna permata di bumi selain makanan dan kata-kata yang baik (Anonim, 1995).
Air sebagai pemberi kehidupan membuat manusia harus mengelolanya dengan baik. Sunaryo (2007) menyebutkan dari berbagai legenda maupun prasasti yang ditinggalkan peradaban masa lampau, diyakini bahwa pekerjaan pembuatan infrastruktur pengelolaan air sudah dikenal di Nusantara jauh sebelum kedatangan peradaban dari India maupun Cina. Terdapat 2 (dua) unsur budaya yang penting, yaitu pertama kemampuan mengolah sawah secara basah. Kedua, suatu sistem pemeritnahan yang teratur. Pembangunan dan pemeliharan infrastruktur memerlukan kestabilan pemerintahan.
Gany (2012), menyatakan ada beberapa bukti yang menunjukkan pengelolaan air untuk irigasi telah ada di Bali sejak tahun 600 M. Sejak masa itu, para petani di Bali sudah punya ketrampilan dalam menggali dan membangun saluran irigasi baik di pegunungan maupun di dataran tinggi. Seriarsa (1997) menyebutkan adanya pengelolaan air irigasi, yaitu pada tahun Saka 944 Raja Marakata telah memberi ijin kepada masyarakat di Desa Baturan (Batuan) untuk membuka hutan untuk lahan persawahan di Tapesan, Batu Aji, Batu Hyang, Gwang, Nangka dan Rbun. Mereka berbagai air (atembuku) di Sakah bergabung dengan Subak Air Gajah (di Bedulu sekarang) yang telah memiliki bendungan di Pujung Aji (Pejeng Aji sekarang). Dimana, bangunan tradisonal untuk irigasi pada saat itu menggunakan teknik yang sangat sederhana.
Peradaban air pada masyarakat Bali yang tinggal di dataran adalah memuja dewa dalam konteks organisasi pengairan. Semua wilayah di Bali yang mendapat air irigasi dibagi-bagi kedalam wilayah irigasi besar yang dibagi lagi ke dalam distrik bendungan dan selanjutnya ke dalam perkumpulan irigasi. Menurut Goris (2012), masing-masing dari pembagian wilayah ini mempunyai puranya sendiri, walaupun namanya pura bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Pura dari wilayah irigasi yang berasal dari satu danau disebut Pura Bedugul. Di tempat lain di wilayah irigasi yang lebih luas di sebut Pura Ulun Siwi. Pura-pura bendungan dinamai Pura Empelan. Nama yang lumrah di tempat pemujaan perkumpulan irigasi adalah Pura Subak. Di Gianyar pura irigasi yang terkenal adalah Pura Mas-cheti.
Bendungan atau dam adalah istilah sekarang. Pada zaman dulu ada dua istilah yang digunakan untuk menyebut bangunan air yang dapat disamakan dengan istilah bendungan (dam) adalah tamwak dan dawuhan.  Sementara saluran distribusi air dapat dibangun di permukaan tanah maupun di bawah tanah berupa suatu terowongan air. Mengenai saluran bawah tanah di Bali dikenal dengan istilah arung atau aungan (Rahardjo, 2011).
Pada zaman dulu, pusat kerajaan berperan aktif dalam pembangunan dan perawatan dam-dam utama, saluran-saluran air serta dalam upacara-upacara terkait dengan irigasi. Seperti yang terjadi Kerajaan Mengwi. Menurut Nordholt (2009), kaum bangsawan khususnya dinasti Mengwi secara langsung terlibat dalam pembuatan sisem irigasi yang lebih besar. Bahkan disebutkan berdirinya dinasti Mengwi berkaitan erat dengan terjadinya perluasan sawah-sawah yang diairi melalui saluran irigasi di kawasan ini. Keterlibatan penguasa dalam pengelolaan sumber air mengingat air sebagai bagian dari suber daya alam yang menentukan keberlangsungan kehidupan manusia dan kerajaan itu sendiri.
Pembangunan dam dan saluran irigasi yang lebih besar sudah barang tentu harus didukung oleh puri yang kuat untuk merawatnya. Perawatan bangunan irigasi tersebut memerlukan sumber daya manusia yang sama besarnya dengan pembangunannya, karena dam lumpur yang besar mudah terkikis pada sungai-sungai yang airnya deras dan kemungkinan bisa dihanyutkan secara tiba-tiba pada awal musim hujan karena serangan banjir bandang. Selain itu, bangunan utama seperti saluran primer dan saluran sekunder serta terowongan membutuhkan pemeriksaan dan perbaikan secara periodik. Satu hal lagi penting adalah bangunan irigasi tersebut perlu dijaga dan dilindungi dari sabotase, sebagai akibat dari intrik-intrik politik.
Ceger (1973) menyebutkan bahwa raja pertama Mengwi dengan penguasa Blayu membangun sebuah bendungan di sungai Sungai Sungi, sebelah barat Blayu, dan mereka memperluas area sawah sekitar Mengwi. Perluasan ini menempatkan desa ini di tengah persawahan yang luas dan subur, berada sekitar 200 meter di atas permukaan laut. Di sinilah padi ditanam untuk memenuhi sebagain besar kebutuhan pusat kerajaan. Untuk menjaga keamanan terhadap pengerusakan dari pihak musuh, bendungan ini dibawah pengawasan sekutu penguasa Blayu. Dengan adanya bendungan ini, yang berfungsi dengan baik dan lancar, memungkinkan penguasa Mengwi mempengaruhi irigasi sawah yang berada di hilir yaitu di daerah Kaba-Kaba. Penguasa Mengwi menjadi penentu, sewaktu-waktu dapat mengalihkan aliran sungai, dan bahkan bila perlu memberhentikan pasokan ke kawasan Kaba-Kaba.
Pembangunan bendungan atau dam juga dilakukan oleh negara tetangga di selatan Kerajaan Mengwi. Darmanuraga (2011) menyebutkan pada jaman Kerajaan Badung, yaitu sewaktu Kyai Anglurah Jambe Ketewel menjadi raja dan beristana di Puri Alang Badung, juga telah dibuat bangunan irigasi yang monumental. Bangunan ini kemudian lebih dikenal dengan Dam Oongan. Pembangunan dam ini diawali dari ide dari Ki Sawunggaling. Sawunggaling adalah jabatan yang bertugas melaksanakan perintah raja, yang diemban oleh tokoh masyarakat yang berpengaruh.
Pembangunan Dam ini melibatkan ratusan pekerja dengan membendung Sungai Sagsag. Setelah beberapa pembangunan dilaksanakan tidak memberikan hasil, sampai akhirnya Ki Sawungguling menerima pewisik, bahwa harus ada korban manusia sebagai dasar bendungan itu. Merasa bertanggungjawab akan keberhasilan pembangunan dam ini, Ki Sawunggaling menyata siap menjadi korban bersama istrinya. Tempat upacara pengorbanan tersebut diperkirakan sejauh 75 meter utara Dam sekarang. Sehingga Dam tersebut diberi nama Dam Oongan (Agung, 1994).
Selain membangun dan memelihara bangunan infrastruktur pengelola air, tidak kalah pentingnya juga adalah manajemen pengelolaan air. Kodoatie dan Sjarif (2008), menyebutkan bahwa air harus dikelola secara bijak, dengan pendekatan terpadu dan menyeluruh. Masyarakat Bali membuat perkumpulan yang disebut subak, untuk mengatur aliran distribusi air. Covarrubias (2014), menyebutkan seperti halnya perkumpulan desa dan dusun, subak dipimpin oleh kepala-kepala yang dipilih klian dan penyarikan subak, bersama para pembantunya (pangliman). Setiap orang yang memiliki sawah diwajibkan untuk bergabung dalam subak dan menjalan perintah. Rapat biasanya diadakan sebelum sekali dan digelar di Pura Subak. Perkembangan dalam masyarakat majemuk sekarang, Atmaja (2010) menyebutkan subak bisa pula beranggotakan umat islam seperti terdapat pada Subak Pancoran, Desa Panji, Buleleng.
Berbeda dengan dua aliran air sebelumnya yang disebut di atas, aliran air ini mengalir turun sampai titik terendah yaitu sampai ke laut, tetapi tidak terhenti di sana, air ini mengalami siklus. Air laut mengalami penguapan (evaporasi) terangkat naik lagi ke pegunungan, kemudian turun lagi ke bumi dan dibagi-bagi melalui dam-dam utama. Khiatuddin (2003) menyebutkan dalam proses daur ulang air, keberadaan air di tanah dalam waktu relatif lama sebelum kembali ke laut sangat penting bagi kehidupan di darat  termasuk manusia. Di Bali, ritual-ritual dilakukan di pura gunung dan pura segara yang dipimpin oleh pusat kerajaan dengan harapan dapat menjamin keberlangsungan siklus ini.

Simpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa simpulan antara lain sebagai berikut:
1.        Metafora Nordholt (2009) tentang adanya 3 (tiga) aliran ‘air’ yang membentuk hirarki sosio-religius merupakan suatu realita pada masyarakat Bali.
2.        Air mani (kama petak) yang dimiliki oleh pihak purusa menjadi penentu soroh atau klan manusia yang dilahirkan. Kama petak dipandang suci sedangkan kama bang dipandang leteh.
3.        Air suci (tirtha) yang merupakan ciri agama Hindu sebagai agama tirtha di Bali, mutlak dibutuhkan oleh seluruh umat dari berbagai lapisan dan dari berbagai soroh. Air suci mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Itulah sebabnya, hanya mereka yang berstatus sulinggih yang berwenang membuat air suci.
4.        Air sungai (yeh) memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan air pertanian. Pentingnya air untuk pertanian ini menyebabkan timbulnya berbagai bentuk bangunan air untuk mengelola aliran air tersebut. Raja berperan aktif dalam pembangunan atau pemeliharaan bangunan irigasi. Karena infrastruktur air irgasi menentukan keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan. Munculnya perkumpulan subak di Bali menandakan penting air irigasi dikelola secara kolektif.



DAFTAR PUSTAKA



Sumber Buku:
Agung, Ida Cokorda Ngurah. 1994. Cikal Bakal Raja-Raja Badung. Denpasar: Puri Agung Denpasar.
Anonim. 1995. Canakia Niti Sastra. Alih Bahasa: Darmayasa. Denpasar: Yayasan Dharma Narada.
Astawa, AA Gde Oka. 2009. Menyingkap Peradaban Bali di antara Tukad Pakerisan dan Tukad Petanu. Denpasar: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Atmaja, Nengah Bawa. 2010. Geneologi Keruntuhan Majapahit. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bosch, FDK. 1983. Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Ceger, Gusti Ngurah. 1973. Monografi Subak Tinjak Manjakan. Mengwi:-
Covarrubias, M. 2014. Pulau Bali-Temuan Yang Menakjubkan. Editor: Jiwa Atmaja. Denpasar: Udayana University Press.
Darmanuraga, AAN Putra. 2011. Perjalanan Arya Damar dan Arya Kenceng di Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.
Goris, R. 2012. Sifat Religius Masyarakat Pedesaan di Bali. Alih bahasa: Sunaryo Basuki. Editor: Jiwa Atmaja. Denpasar: Udayana University Press.
Gany, Hafied A. 2012. Irigation Tunneling In Anchient Indonesia. Jakarta: The Indonesian National Commitee of International Commision on Irrigation and Drainage, in Collaboration with Balai Irigasi Balitbang P.U.
Geria, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar: Percetakan Bali.
Kempers, A.J. Bernet. 1956. Bali Purbakala-Petunjuk Tentang Peninggalan Purbakala. Jakarta: Balai Buku Indonesia.
Khiatuddin, M. 2003. Melestarikan Sumber Daya Air. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kodoatie, Robert dan Sjarif, Rustam. 2008. Pengelolaan Suber Daya Air. Edisi 2. Yogyakarta: ANDI.
Kompas. 2011. Fanatisme Soroh Picu Konflik Adat di Bali. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Mulyanto, H R. 2007. Sungai-Fungsi dan Sifat-Sifatnya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nordholt, HS. 2009. The Spell Of Power-Sejarah Politik Bali 1650-1940. Alih Bahasa: Ida Bagus Putrayadnya. Denpasar: Pustaka Larasan.
Rahardjo, Supratikno. 2011. Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu.
Seriarsa. 1997. Pura Taman Ayun-Misteri dan Sejarah Mengwi. Editor: I Wy Ardika dan I Md Sutaba. Denpasar: Upada Sastra.
Stuart-Fox, David J. 2002. Pura Besakih-Pura, Agama, dan Masyarakat Bali. Alih Bahasa: Ida Bagus Putra Yadnya. Denpasar: Pustaka Larasan.
Sunaryo, TM. 2007. Pengelolaan Sumber Daya Air-Konsep dan Penerapannya. Malang: Bayumedia Publishing.
Titib, I Md. 2001. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Titib, I Md. 2010. Purana-Sumber Ajaran Hindu Komprehensif. Surabaya: Paramita.
Wiana, I Ketut. 2000. Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Surabaya: Paramita.

Sumber Internet:
Gedeprama. 2010. Merenda Agama Tirtha. http://gedeprama.blogdetik.com /2010/02/18/merenda-agama-tirtha/.
            Diakses 25 Pebruari 2015.
Stitidharma. 2011. Soroh. http://stitidharma.org/soroh/.
Diakses 25 Pebruari 2015.

1 komentar:

  1. Swastyastu pak, tiang sangat tertarik dengan artikelnya ini, apakah ada file pdf atau word nggih? untuk saya jadikan refrensi, khususnya tentang air di Bali dan DAM Oongan. suksma

    BalasHapus