PEREMPUAN
DALAM DUNIA KAKAWIN
ISBN:
978-979-3790-85-5
Penulis:
Helen Creese
Penerbit:
Pustaka Larasan
Tahun
Terbit: Juni 2012
Bahasa:
Indonesia
Penerjemah:
Ida Bagus Putra Yadnya
Penyunting:
I Nyoman Darma Putra
Jumlah
Halaman: xiv + 316 Halaman
Ukuran
: 16 x 24 cm
Perhatian utama
buku ini adalah pengalaman-pengalaman para wanita dalam dunia istana dalam
dunia kakawin. Menjelaskan gaya hidup dan aktifitas keseharian putri-putri
bangsawan. Menelusuri perkembangan hubungan romantik pada masa-masa pacaran sampai
perkawainan dan pemuasan hasrat birahi. Bentuk-bentuk kontrak perkawinan dan
pentingnya sekutu politik dan kekerabatan dalam pemilihan pasangan.
Helen Creese
mendeskripsikan berbagai upacara dan pesta sebagai perayaan umum atas
menyatunya dua insan, serta perkawainan yang sah menurut hukum. Dan yang
terakhir, perkawinan sering berakhir tragis dalam wujud pelaksanaan sati oleh wanita sebagai konsekuensi
wanita terhormat.
Kakawin
merupakan jenis puisi yang memiliki gaya dan bentuk yang sangat khas, merupakan
salah satu tradisi sastra yang paling bertahan hidup di Asia Tenggara. Kakawin
bukanlah dokumen historis yang kering, melainkan sebuah seni sastra, yang
melalui bentuk puisi para pujangga mencoba menangkap kenikmatan hubungan
laki-laki dan perempuan dengan kata-kata yang indah.
Kakawin umumnya
berisi cerita perang, percintaan dan perkawinan. Namun dalam buku ini cerita
tentang perang sedikit mendapat perhatian. Sebagai karya sastra, Kakawin adalah
sebuah dunia yang dihuni oleh para raja, ratu, putra dan putri mahkota, serta
mereka yang mendamping, melayani, seperti para pendeta, petingi istana, militer
dan pelayan wanita dari berbagai level.
Wanita bukanlah
mahluk yang lemah kualitas akalnya dibanding laki-laki sebagaimana yang
diyakini banyak orang. Bahkan sejarah menunjukkan kepada kita bahwa wanita
lebih dulu berpikir dengan akalnya daripada laki-laki. Dialah yang memulai ilmu
pengetahuan di dalam sejarah kemanusiaan.
Ada pandangan
yang mencoba memberi jawaban mengapa laki-laki menguasai perempuan. Pandangan
tersebut didasarkan pada alasan bahwa perempuan zaman dahulu sibuk melahirkan
dan mengasuh anak karena zaman menuntut pertambahan keturunan yang besar untuk
menggantikan jumlah orang yang meninggal dan untuk mencukupi jumlah tenaga
kerja pada lahan pertanian yang baru.
Dalam sudut
pandang lain, perempuan adalah buruh tanpa upah, bekerja untuk menunaikan
tugasnya serta harus menerima pekerja atau perempuan lain yang ikut serta
membantu suaminya dalam meringankan bebannya. Wanita dapat melakukan apa saja
yang dilakukan oleh kaum pria, tetapi tidak semua yang dapat dilakukan oleh
wanita harus mereka lakukan.
Oleh karena
keharusan satu suami bagi wanita tidak bisa memuaskan hasrat seksualnya
sementara suami mempunyai banyak istri yang ikut serta memuaskan nafsu seksual
suaminya, maka jadilah hak perempuan dalam hubungan seksual menjadi lemah yang
tidak lebih dari bagian hak laki-laki. Hal ini bertentangan dimana perempuan
dahulu kala sangat kuat hasrat seksualnya
Pria menciptakan
giwang dan memberikan kepada wanita. Di daun telinga wanita ada satu titik yang
berhubungan dengan seks. Dengan ditusuknya giwang di titik itu, hasrat seks
wanita akan berkurang. Memang pria bisa menjadi pusing kalau hasrat seks wanita
tidak dibendung. Ini merupakan kelicikan kaum pria, giwang yang diciptakannya untuk
mengurangi dan mengimbangi gairah seks wanita.
Dalam satu kali
hubungan seks, wanita minimal membutuhkan tiga kali orgasme, untuk mencapai
kepuasan yang sempurna. Hanya satu kali orgasme saja tidak memuaskan wanita,
namun biasanya mereka tidak mengeluh. Sebaliknya pria, biasanya ia sudah memperoleh
kepuasan dari satu kali orgasme saja. Dan, ‘prosesi’ pun selesai sudah.
Daya tahan tubuh
wanita pun melebihi daya tahan tubuh pria. Hanya mereka yang dapat mengandung
selama berblan-bulan. Dalam bahasa Sanskrit, istilah yang digunakan untuk
wanita adalah Shakti. Shakti berarti kekuatan atau kesaktian. Dibalik
kesuksesan seorang suami ada istri shakti yang mendapingi. Dibalik kesuksesan
anak ada ibu yang membesarkannya.
Kamasutra menganjurkan adanya perbedaan umur
dalam perkawinan. Wanita lebih muda daripada pria. Anjuran ini bukannya tanpa
alasan, wanita lebih cepat mencapai kedewasaan. Pria agak lamban, tidak jarang
pria yang berusia belasan tahun masih kekanak-kanakan. Sebaliknya, wanita yang
berusia sama akan menunjukkan sikap kedewasaan yang lebih tinggi.
Wanita lebih
cocok menjadi jaksa dan hakim. Mereka bekerja berdasarkan rasa dan intuisi.
Dalam hal ini, bidang peradilan sangat penting mencari kebenaran. Para jaksa
dan hakim pria akan selalu bekerja berdasarkan fakta. Dan fakta itu belum tentu
merupakan sebuah kebenaran.
Tokoh-tokoh
wanita dalam kakawin diambil dari naskah-naskah kakawin Jawa dan Bali, antara
lain:
-
Rukmini,
istri Kresna yang ditulis dalam kakawin Hariwangsa
(abad ke-20) dan Kresnayana (abad
ke-13)
-
Ksitisundari,
yang menikah dengan Abimanyu dalam Ghatotkacasraya
(abad ke-12).
-
Uttari,
istri kedua Abimanyu dalam Abhimanyuwiwaha
(abad ke-12).
-
Indumati,
istri Aja dalam Sumanasantaka (abad
ke-13).
-
Candrawati
dalam Sutasoma (abad ke-14).
-
Citraganda
dan Subhadara, kedua istri Arjuna dalam Parthayana,
Subhadrawiwaha, Khandawawanawahana, dan Kalayawanataka,
ditulis pada abad ke-18 dan 19.
-
Sita,
istri Rama yang peristiwa penangkapanya diksahkan dalam kakawin yang paling
tua, Ramayana.
-
Drupadi,
yang perkawinan dan hidupnya dengan Pandawa bersaudara dikisahkan dalam Kresnapancawiwaha.
-
Yajnawati,
istri Samba (putra Kresna) dalam Bhomakawya,
yang merupakan kakawin Jawa tanpa tahun dan kakawin Bali Kresnantaka pada abad ke-18.
Slokantara sebuah naskah Jawa Kuna memberikan
gambaran perjalanan menuju kedewasaan seksualitas wanita didasarkan tingkatan
umur. Disebutkan terdapat empat macam wanita, yaitu:
1.
Kanya, wanita yang belum pernah merasakan cinta pertama.
2.
Yuwati, wanita yang
telah mencapai usia menstruasi.
3.
Kanta, wanita yang
susunya telah tumbuh penuh, tetapi belum pernah melakukan hubungan seksual.
4.
Pramada, wanita yang
sudah terkena panah dewi cinta dan merasakan panah asmara.
Dari perspektif
dinastik dan politik, perkawinan dijodohkan adalah pilihan yang paling disukai
bagi keluarga kerajaan. Perkawinan dijodohkan mempunyai maksud-maksud strategis
antara lain untuk membangun persahabatan, mempererat hubungan, melanggengkan
kekuasaan. Hak yang jarang dilakukan adalah perkawinan Arjuna dengan Subhadra.
Subhadra terpaksa diculik oleh Arjuna karena tidak direstui oleh Baladewa,
kakal tertua Subhadra.
Kesetiaan dan
pengorbanan tertinggi wanita adalah mengikuti jejak suami yang telah meninggal
agar bisa terus mendampingi dengan melakukan sati (mesatya) baik
menceburkan diri ke dalam api maupun menusuk diri dengan keris. Tokoh-tokoh
wanita yang melakukan sati antara
lain:
-
Yajnawati
dalam Bhomakawya memilih mati dengan
menceburkan diri ke dalam api.
-
Wedawati
terjun ke dalam kobaran api untuk meghindari cenkraman Rahwana dalam Arjunawijaya.
-
Ratih
mengikuti kematian Kama yang dibakar Dewa Siwa
-
Citrawati
dalam Ramaparasuwijaya
-
Rukmini
mengikuti kematian Kresna dalam Kresnantaka.
-
Ksitisundari
mengikuti kematian suaminya Abimanyu.
-
Satyawati
dalam Angling Darma.
Kenyatannya
menikam diri sendiri atau menceburkan diri ke dalam api pastilah memerlukan
keberanian dan tekad yang luar biasa. Sementara pilihan untuk menambil
keputusan seperti itu mungkin terletak pada diri wanita itu sendiri, namun
terdapat bukti yang menunjukkan bahwa di samping semakin tinggi motivasi cinta
dan kewajiban, kekecewaan akan masa depan juga memainkan peran. Mengikuti jejak
suami dalam kematian tampaknya lebih disukai dibandingkan menjadi selir dalam
keluarga musuh yang menang. Kematian
mengikuti suami menjadi solusi satu-satunya, untuk menyelamatkan diri dari
nasib menjadi wanita tangkapan dan dibagi-bagi di kalangan petinggi dan tentara
musuh yang menang.
John Crawfurd,
seorang petinggi Inggris ketika Inggris berkuasa secara singkat di Jawa (1811 –
1816) pernah menyaksikan upacara sati
di kerajaan Buleleng, Bali Utara. Putra mahkota melakukan upacara kremasi
ayahnya yang diikuti oleh 70 (tujuh puluh) wanita mengorbankan diri melakukan
sati. Sedangkan selanjutnya pada tahun 1813 ketika upacara kremasi Wayan
Jlantik – anggota lain dari keluarga bangsawan yang sama, sebanyak 20 wanita
melakukan sati.
Alternatif lain
bagi wanita yang telah kehilangan suami adalah pergi ke gunung menjadi pertapa.
Dalam Kresnantaka, misalnya ketika
Kresna meninggal, para istrinya menceburkan diri ke api pembakaran, karena
tidak ada yang lebih luhur daripada bakti terhadap suaminya. Mereka yang
memilih tidak mati dalam sati, jalan
yang terbaik adalah pergi ke hutan gunung menarik diri dari kehidupan duniawi.
Buku ini
menjelaskan integrasi halus antara kepercayaan India dengan adat tradisi lokal
yang membentuk indentitas gender dari wanta-wanita elit. Melalui kombinasi
keahlian mengenai gender, sastra, dan sejarah,
Helen Creese mempresentasikan pengalaman-pengalaman para wanita elit
dalam perkawinan dan seksualitas yang dapat menjadi inspirasi dan sebuah model
untuk para sarjana yang akan melakukan penelitian selanjutnya (IBW).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar