PERJALANAN RAJA KERTANAGARA
Raja
Kertanagara naik tahta sebagai raja ke-5 Kerajaan Singasari pada tahun 1254 M, menggantikan
ayahnya Ranggawuni. Kertanagara lahir dari rahim seorang ibu yang bernama
Waning Hyun (Jayawardhani). Kitab Nagarakretagama
pupuh 61-2 menceritakan bahwa saat penobatan Kertanagara segenap rakyat
Janggala dan Panjalu datang ke Tumapel untuk menghadiri upacara tersebut.
Ibukota Kutaraja berganti nama menjadi Singasari. Nama Singasari yang merupakan
nama ibukota, kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel, maka
Kerajaan Tumapel pun lebih dikenal dengan nama Kerajaan Singasari.
Menurut
Kitab Pararaton, Ranggawuni yang
bergelar Sri Jaya Wisnuwardana, mangkat
tahun 1270 M. Ranggawuni mencatat prestasi, yakni melakukan penyatuan
Kediri-Singasari, dengan menempatkan puteranya Kertanagara sebagai raja bawahan
(yuwaraja)
di Kediri, dan diberi gelar Nararya
Murdhaya. Ini berarti, ketika Kertanagara dinobatkan menjadi raja, ayahnya
Wisnuwardana masih hidup. Lokasi Kerajaan Singasari diperkirakan berada di
daerah Singosari, Malang.
Kertanagara
seorang raja yang mempunyai cita-cita besar. Ia merupakan satu-satunya Raja
Singasari yang ditunjuk sebagai putra mahkota sebelum menjadi raja dan menggantikan
ayahnya dalam keadaan damai. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Singasari
mencapai puncak kemakmuran dan mulai mencanangkan pandangan politik luar negeri
Cakrawala Mandala, yang berarti
persatuan dwipantara yang meliputi
Jawa dan Sumatra. Politik ini menjadikan karakter pemerintahan Kertanagara
sebagai pemimpin ekspansionis.
Sedikitnya
ada 3 prasasti yang mengungkapkan gelar dari Kertanagara. Dalam Prasasti Mula
Malurung (1255), Kertanagara bergelar Sri
Maharaja Sri Lokawijaya Purushottama Wira Asta Basudewadhipa
Aniwarriwiryanindita Parakrama Murddhaja Namotunggadewa. Prasasti Padang
Roco (1286) tertulis Sri Maharajadhiraja Kertanagara Wikrama Dharmotungga.
Prasasti Tumpang tertulis Sri
Jnaneswarabajra.
Selama
masa kekuasaan Raja Kertanagara, tercatat paling banyak mengalami peristiwa
pertumpahan darah, bila dibandingkan dengan 4 raja sebelumnya. Namun, meskipun
diwarnai dengan berbagai konflik internal, justru Raja Kartanagara memegang
rekor terlama berkuasa di Singasari, yaitu selama 38 tahun (1254-1292). Hal ini
membuktikan bahwa, panjang pendeknya masa pemerintahan, tidak berkaitan
langsung dengan tingkat kestabilan pemerintahan. Seorang raja dapat memerintah
dalam waktu relatif lama meski situasi kerajaan tidak stabil, sering bergolak.
Sebaliknya, ada raja yang memerintah dalam kurun waktu sangat pendek, meski
situasi kerajaan tenang. Hal ini menjadi indikasi bahwa Kertanagara seorang
raja yang kuat berhasil mengendalikan situasi kerajaan.
Menurut
Kitab Pararaton, Raja Kertanagara dalam
memantapkan kekuasaan menyingkirkan
orang-orang yang dicurigai tidak mempunyai loyalitas penuh. Orang-orang yang
disingkirkan antara lain: Banyak Wide, diberi kekuasaan di daerah yang jauh di
Sumenep, Madura Timur. Banyak Wide diangkat sebagai Adipati bergelar Arya
Wiraraja. Kertanagara membunuh seorang kelana yang bernama Bhaya (Cayaraja), sebelum memerintahkan
pasukannya menyerang Melayu. Pemberontakan Kelana Bhaya atau Cayaraja terjadi
sekitar tahun 1271. Mahisa Rangkah
menyusul memberontak pada tahun 1280. Kedua pemberontakan ini dapat dipadamkan
karena Kertanagara belum mengirim pasukan ke Swarnabhumi.
Bahkan
patih utama Mpu Raganata yang selalu setia mendampingi Kertanagara meletakkan
jabatan. Mpu Raganata merasa keberadaannya sudah tidak berarti lagi karena
nasihat-nasihat sebagai Mpu sering tidak dihiraukan.Namun, dalam Kitab Kidung Panji Wijayakrama pupuh 1 dan Kitab
Kidung Harsawijaya pupuh 1-28b,
disebutkan Mpu Raganata dipecat oleh Kertanagara. Mpu Raganata adalah orang
bijak, jujur dan pemberani. Tanpa ragu-ragu, Raganata mengemukakan keberatannya
terhadap kepemimpinan sang prabu. Namun, Raja Kertanagara yang merasa punya
kekuatan, menolak mentah-mentah pendapat Mpu Raganata, bahkan menjadi murka,
dengan serta merta memecat Raganata dari jabatannya. Demikian juga Tumenggung
Wirakreti disurutkan jabatannya menjadi mantri
angabhaya (menteri pembantu).
Tahun
1289 M Singasari kedatangan utusan khusus dari Raja Mongol Kubilai Khan. Duta tersebut
bernama Meng Chi membawa surat yang maksudnya adalah agar Raja Kertanagara
tunduk pada kekuasaan Mongolia, Kerajaan Singasari merupakan bagian dari
kekuasaan Kubilai Khan. Kertanagara membaca isi surat tersebut marah besar, dan
seketika itu juga melukai hidung Meng Chi serta mengusirnya secara tidak
terhormat. Meng Chi balik pulang ke negaranya, melaporkan pengalamannya
menjalankan tugas sebagai utusan. Raja Kubilai Khan menjadi berang, tindakan
Kertanagara menyalahi etika perlakuan terhadap seorang utusan. Kubilai Khan
mengirim pasukan untuk menyerang Singasari. Menyadari akan adanya tindakan
balasan dari Kubilai Khan, Kertanagara memperkuat pasukannya di Sumatera.
Wangsa Rajasa
dan Wangsa Sinelir
Dalam
penyelenggaraan pemerintahannya, Kertanagara membentuk 3 orang Mahamantri,
yaitu: rakryan i hino, rakryan i sirikan, dan rakryan i halu. Mereka meneruskan dan
mengatur perintah-perintah raja melalui menteri pelaksana, seperti: rakryan apatih, rakryan demung, dan rakryan
kanuruhan. Sistem ini kemudian dikembangkan pada masa Kerajaan Majapahit. Jabatan
Ratu Angbhaya dihapus yang selama ini
dijabat oleh Narasinghamurti yang berasal dari Wangsa Rajasa, sehingga Lembu Tal (putera Narasinghamurti) tidak
menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Singasari. Pemangkasan terhadap
pengaruh Wangsa Rajasa terus
dilakukan dengan mencopot Tumenggung Wirakerti dan Pendeta Santasmerti.
Sebaliknya, Wangsa Sinelir
dipromosikan menduduki jabatan penting, seperti Patih Mahesa Anengah
Anggragani, Kebo Anabrang dan Jayakatwang sendiri.
Ada
2 kelompok besar pewaris yang berseteru di Kerajaan Singasari. Kedua kelompok
itu adalah Wangsa Rajasa dan Wangsa Sinelir. Wangsa Rajasa maksudnya adalah keturunan yang lahir dari Ken Arok-Ken Dedes yang diwakili Mahesa Wonga
Teleng. Wangsa Sinelir adalah yang
diidentifikasi sebagai keturunan Tunggul Ametung-Ken Dedes yang diwakili oleh
Anusapati. Sedangkan trah Ken
Arok-Ken Umang diwakili Panji Tojaya kurang mendapat legitimasi. Masing-masing
wangsa punya pendukung sendiri-sendiri. Pendukung Wangsa Rajasa antara lain: Lembu Tal, Arya Wiraraja, Mpu Raganata
dan lain sebagainya. Pendukung Wangsa
Sinelir antara lain: Kebo Anengah, Panji Aragani, dan lain sebagainya.
Kepercayaan
Kertanagara terhadap Jayakatwang begitu besar, sehingga diangkat menjadi pucuk
pimpinan di Kediri, yang sebelumnya menjadi penguasa Glang-glang. Pada masa itu
Kediri adalah daerah utama bagi Singasari, sehingga seorang yang diangkat
menjadi Bhre Kediri (Penguasa Kediri)
merupakan putra mahkota atau yuwaraja.
Demikian juga dahulu Kertanagara sewaktu muda bergelar Nararya Murdhaya menjadi
Bhre Kediri sebelum dinobatkan menjadi raja Singasari. Hal yang sama nantinya,
sebelum Jayanegara dinobatkan menjadi Raja Majapahit, pernah menjabat Bhre
Kediri.
Penyatuan
Nusantara
Kertanagara
menganut pola politik baru, yaitu penguasaan seluruh Nusantara di bawah kontrol
Singasari. Ia dipandang sebagai raja pertama yang mempunyai gagasan penyatuan
nusantara. Sedangkan, pejabat-pejabat lama seperti Banyak Wide adalah pejabat senior
di bawah Raja Seminingrat/Wisnuwardana/Ranggawuni ayah Kertanagara, masih menganut
pola politik lama (intern Jawa) sewaktu ayahnya berkuasa. Merasa tidak cocok
dengan pola politik yang lama, yang dianut oleh pejabat-pejabat senior,
Kertanagara melakukan revitalisasi pejabat. Pejabat-pejabat lama yang tidak
mampu menyesuaikan diri dengan pola politiknya dan juga pejabat yang dianggap tidak loyal dipindahkan,
disurutkan dan bahkan diberhentikan. Namun, perombakan ini menimbulkan dendam
dan menjadi benih kejatuhannya kelak.
Ekspedisi
Pamalayu merupakan prestasi tersendiri bagi Kertanagara. Ekspansi ini dilakukan
pada tahun 1275 M dengan menyerang Melayu di Sumatera. Dalam sastra sejarah
Jawa Kuno, ekspedisi ke Melayu ini disebut Pamalayu
yang artinya perang melawan Melayu. Ekspedisi ini juga bermaksud strategis,
yaitu menghadang perluasaan ekspansi kerajaan Mongol, dimana kerajaan Mongo
sudah hampir menguasai sebagian besar daratan Asia. Ekspedisi berhasil dengan
gemilang. Pasukan Singasari pulang dengan kemenangan. Mereka berhasil
menundukkan Raja Melayu Tribhuwana Mauliwarmadewa di Dharmasraya yang berpusat
di Jambi sekarang. Sebagai bukti tanda kemenangannya Kertanagara mengirim
patung Amoghapasa dari Jawa ke Swarnabhumi. Kertanagara memerintahkan kepada 4
orang untuk mengirm arca tersebut. Keempat orang tersebut adalah: Rakryan
Mahamantri Dyah Adwayabrahma. Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payanan Hyang
Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Wira. Pengiriman Arca ini diperkirakan pada
Agustus-September 1286 M.
Perluasan
kekuasaan kerajaan Singasari berlangsung terus. Upaya mewujudkan ekspansi
kekuasaan Kertanagara dapat dikatakan berhasil. Pengaruh kekuasaannya meluas ke
negeri Champa, yang dibuktikan dengan ikatan perkawinan adik Kertanagara dengan
raja Champa. Daerah-daerah yang dikuasai semasa pemerintahan Kertanagara
adalah: Swarnabhumi (Sumatera), Bakulapura (Kalimantan Barat), Sunda (Jawa
Barat), Madura, Bali dan Gurun (Maluku).
Bali
ditaklukkan oleh tentara Singasari pada tahun 1284 M. Raja Bali ditawan dibawa
ke Singasari. Penaklukan terhadap Bali sangat penting, karena dengan menguasai
daerah ini, selain menguntungkan secara ekonomi dimana upeti dan perdagangan
hasil bumi akan mengalir ke pusat kerajaan dan juga secara militer kerajaan
Singasari akan mendapatkan banyak sekutu dan pasukan untuk mengantispasi perang
terbuka dengan Kerajaan Mongol.
Penaklukan
terhadap Bali berjalan baik, mungkin karena sejak lama Bali secara tradisional
merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Jawa. Mulai sejak itu Bali berada di
bawah pengaruh kerajaan Singasari. Pengaruh Singasari jelas tampak di Bali
khususnya pada jalur jalan Desa Bedulu-Tampaksiring. Unsur-unsur Bhairawa
tampak dominan di situs-situs purbakala pada jalur jalan ini. Diantaranya: Pura
Samuan Tiga, Pura Kebo Edan, Pura Pusering Jagat, Pura Penataran Sasih, Pura
Gunung Kawi, Pura Tirtha Empul, Pura Mangening, dan lain sebagainya.
Pemberontakan
Jayakatwang
Kertanagara
yang sibuk mengirim pasukan perangnya ke luar Jawa, akhirnya mengalami krisis
kekuatan tentara di dalam negeri. Situasi ini dimanfaat oleh Jayakatwang.
Kemudian pada tahun 1292 terjadi pemberontakan pasukan Kediri yang dipimpin
oleh yuwaraja, Jayakatwang. Tragis,
sebenarnya hubungan Kertanagara dengan Jayakatwang sendiri adalah sepupu,
sekaligus ipar, dan juga besan.
Kemungkinan
akan memberontaknya Bhre Kediri sudah diantisipasi oleh Mpu Raganatha. Hal tersebut
sudah disampaikan kepada raja Kertanagara, namun ditolak, dengan alasan bahwa
Jayakatwang banyak berhutang budinya. Jayakatwang pernah diberi kedudukan
sebagai pegawai keraton (pengalasan) Singasari, sebelum diberi kedudukan
sebagai yuwaraja menjadi Bhre Kediri.
Pengiriman
pasukan keluar daerah dalam rangka pemenuhan ambisi Kertanagara ini, sangat
menguras logistik dalam negeri. Situasi ini diketahui oleh Arya Wiraraja dan
mengirim pesan rahasia kepada Bhre Kediri Jayakatwang. Kitab Nagara Kertagama
pupuh 41/4 menceritakan kalimat-kalimat yang tertulis dalam pesan rahasia
tersebut. Kota Singasari digambarkan sebagai tegalan yang tandus. Tidak ada
rumput, tidak ilalang, daun-daun sedang rontok, gugur berhamburan, kering
kerontang. Tidak ada kerbau, rusa, sapi, yang ada hanya harimau tua. Bukitnya
kecil-kecil, jurangnya tidak berbahaya, dan seterusnya.
Harimau
tua adalah perumpamaan dari Arya Wiraraja kepada Mpu Raganatha yang memang
usianya sudah tua renta tidak mampu berbuat apa lagi. Ini merupakan kesempatan
yang baik bagi Jayakatwang untuk berburu (memberontak), menggulingkan dan
merebut kekuasaan kerajaan Singasari terhadap Kertanagara. Pembawa surat Arya
Wiraraja adalah Wirondaya, sempat ditanya oleh Jayakatwang tentang bagaimana
situasi Kota Singasari. Wirondaya menjawab bahwa Raja Kertanagara banyak
melakukan tindakan pembersihan terhadap para pendampingnya. Adanya yang
dipindahkan jauh, ada yang disurutkan dan bahkan dipecat, diberhentikan.
Selain
itu, Jayaktwang juga mendengar petuah dari Patih Mahisa Mundarang. Mundarang
menuturkan bahwa, moyang Jayakatwang Prabu Dandang Gendis (Kertajaya) dibunuh
oleh Ken Arok, bersamaan dengan itu lenyaplah kekuasaan kerajaan Kediri, diganti dengan kerajaan baru
Singasari. Ken Aroklah sebagai raja pertama Singasari bergelar Raja Rajasa.
Dari peristiwa itu, Mundarang menyarankan Jayakatwang agar membalas dendam
sebagai suatu kewajiban seorang anak, dan menegakkan kembali kejayaan kerajaan
Kediri.
Setelah
mendapat petunjuk dari pesan yang diberikan Arya Wiraraja dan nasihat dari
Mundarang, Jayakatwang segera mengkoordinasikan penyerangan ke Kota Singasari.
Orang-orang yang diperintahkan Jayakatwang membantu penyerangan adalah: Jaran
Guyang, Patih Mahisa Mundarang, dan Ardharaja. Ardharaja adalah putera
Jayakatwang sekaligus menantu Kertanagara. Rupanya Ardharaja lebih memilih
berbakti pada orang tuanya daripada mertuanya.
Kematian
Kertanagara
Tidak
seperti pemberontakan sebelumnya, pemberontakan Jayakatwang merupakan
kesempatan yang baik, sehingga menuai hasil yang gemilang. Kesempatan baik,
karena kekuatan pasukan Singasari lebih terpusat di Swarnabhumi, menyisakan
kekuatan pasukan yang lemah di negeri sendiri. Serangan Jayakatwang bersifat
mendadak, tidak dapat diduga oleh pihak keraton.
Kertanagara
yang berada di ruang keputerian sedang melakukan dan menikmati pesta, tidak
menduga akan bahaya yang datang. Patih Angragani sempat menghadap, kemudian terdengar
sorak-sorak bala tentara Kediri di Manguntur. Mpu Raganatha dan Mantri
Angabhaya Wirakerti bergegas masuk ke ruang keputerian dan menasihati, bahwa
adalah tabu bagi seorang raja terbunuh di dalam ruangan. Raja Kertanagara keluar
ruangan dan terbunuh ditangan Jayakatwang sendiri. Mpu Raganatha, Panji
Angragani, dan Wirakerti juga terbunuh dalam serangan yang tiba-tiba tersebut. Sementara
Dyah Wijaya melarikan diri ke Sumenep. Jayakatwang menjadi penguasa Singasari
dengan menggunakan Daha sebagai ibukotanya.
Sejarah
Singasari berakhir dan lenyap dengan gugurnya Raja Kertanagara pada tahun 1292.
Arwahnya dicandikan bersama arwah istrinya di Sagala sebagai Wairocana dan Locana dengan lambang arca tunggal Ardhanareswari. Kitab Nagara Kertagama mencatat Raja Kertanagara
pulang ke Jinalaya dan diberi gelar “Yang Mulia di Alam Siwa-Buddha”, dalam Kitab Pararaton disebut Bhatara Siwa-Buddha. Patung perwujudan Kertanagara
yang berada di Taman Apsari Surabaya berasal dari Trowulan. Patung lebih
dikenal dengan nama Joko Dolog.
(Ida Bagus Wirahaji)
DAFTAR PUSTAKA
Adji, K.B dan
Sri W Achmad. 2014. Sejarah Raja-Raja Jawa – Dari Mataram Kuno Hingga Mataram
Islam. Yogyakarta: Araska.
Atmaja, N.B.
2010. Geneologi Keruntuhan Majapahit. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayat, M.
2013. Arya Wiraraja dan Lumajang Tigang Juru. Denpasar: Pustaka Larasan.
Muljana, S. 2006.
Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Edisi Pertama. Yogyakarta: LkiS.
Rahardjo, S.
2011. Peradaban Jawa – Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir. Jakarta:
Komunitas Bambu
Samsubur. 2011.
Sejarah Kerajaan Blambangan. Cetakan Pertama. Surabaya: Paramita.
Soekmono, R.
1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid Kedua. Jakarta: Yayasan Kanisius