BABAD BLAMBANGAN
PANGERAN TAWANGALUN RAJA TERMASYUR
Silih
berganti dinasti menguasai Blambangan. Tapi yang termasyur adalah Dinasti
Tawangalun, yang mendirikan Kota
Macanputih berdasarkan petunjuk dari seekor Macanputih. Generasi terakhir
Tawangalun adalah Pangeran Menak Jingga atau dikenal juga dengan Raden Mas
Sepuh. Mas Sepuh dibunuh di Pantai Seseh, sebelum menghembus napas terakhir,
Mas Sepuh mengutuk Raja Mengwi kekuasaannya akan surut. Kutukan ini sungguh sidhi, menggema dalam sejarah Kerajaan
Mengwi sampai akhir abad-19 dan menandai lenyapnya kekuasaan Dinasti Mengwi.
Nama
‘Blambangan’sekarang ternyata melalui proses yang berganti-ganti. Mulai dari
nama ‘Lamajang’ (prasasti Mula Malurung), dengan raja Nararya Kirana dibawah
kekuasaan Tumapel (1248-1254). Kemudian diperhalus menjadi ‘lumajang’, dengan
kata dasar ‘laja’ yang artinya laos (sejenis bumbu). Dalam Prasasti Lamongan
(1316) namaya berubah menjadi ‘Marlambangan’ dibawah kekuasaan Banyak Wide.
Selanjutnya muncul nama ‘Balumbung’ tertera dalam Kekawin Negara Kertagama
karya Mpu Prapanca tahun 1365. Sementara dalam berbaga catatan VOC menyebut
Blambangan sebagai ‘Balamboangan’ yang berasal dari ucapan lidah Belanda/Eropa
‘Baliboang’ atau ‘Baliboan’. Menurut Vriesman sebagai Assisten Resident di
Banyuwangi tahun 1885, Blambangan dengan kata dasar ‘lambang’ berarti
‘pinggir’, sedangkan dalam bahasa Madura ‘lambang’ berubah menjadi ‘lembang;
yang artinya ‘sayap’.
Sebagai
wilayah pinggiran Pulau Jawa, Blambangan pernah dikuasai oleh beberapa
penguasa, antara lain: Nararya Kirana sebagai raja bawahan dari Raja Wisnu
Wardhana dari Tumapel/Singosari (1255-1294 M); Arya Wiraraja/Banyak Wide (1294-1311
M); Mpu Nambi (1311-1316); Bhre Wirabhumi (1361-1406 M); Rajasa Wardana
(1447-1478); Kerajaan Penarukan (1528-1601 M); Mas Kryan Raja Kedhawung
(1596-1633); Pangeran Singasari/Tanpahuna (1633-1639); Pengeran Mancapura
(1691-1697); Prabhu Danureja (1697-1736); Pangeran Menak Jingga (1736-1763); Ki
Gusti Ngurah Kaba-Kaba (1764-1767); VOC (1767-1800); Inggris (1811-1816); dan Hindia-Belanda
(1816-1942).
Prosesi Mesatya 270 Wanita
Ada
sebuah peristiwa yang luar biasa yang terjadi di Blambangan, yaitu pembakaran
jenazah Pangeran Tawangalun yang meninggal 18 September 1691. Menurut catatan
seorang aparat VOC Valentijn, Dua puluh lima hari setelah meninggal, yaitu pada
tanggal 13 Oktober 1691 dilaksanakan upacara kremasi (ngaben) yang disertai dengan prosesi belapati atau mesatya
oleh 270 (Dua Ratus Tujuh Puluh) orang wanita. Wanita-wanita itu adalah
istrinya dan pengikut/pendukung fanatiknya menceburkan diri ke dalam kobaran
api suci. Wanita pengikut/pendukung fanatik/isterinya seluruhnya ada 400 orang.
Dengan demikian tinggal 130 orang yang masih hidup. Kemudian abu Pangeran
Tawangalun ditempatkan/dicandikan di hutan Malecutan.
Nama
Pangeran Tawangalun – pendiri Kota Macan Putih – memang harum bagi orang
Blambangan karena membawa rakyatnya ke dalam kemakmuran dan kesejahteraan.
Tahun 1676 Pangeran Tawangalun berhasil membebaskan diri sebagai raja bawahan (vasal) dari kekuasan Kerajaan
Mataram. Karena itu rakyat Blambangan,
khususnya masyarakat Banyuwangi masih tetap mengenangnya. Beberapa nama
diabadikan sebagai nama kelembagaan,
seperti nama terminal bus di Desa Jubung-Jember, Radio Tawangalun, pemancar di
Kota Genteng, nama tempat suci Pura Tawangalun di Pancer – Pesanggaran
Banyuwangi.
Blambangan di bawah Kerajaan Mengwi (1736 – 1767).
Wilayah
Blambangan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mengwi sejak tahun 1736, dan
menempatkan Pangeran Menak Jingga/Pangeran Danuningrat sebagai raja bawahan.
Menak Jingga adalah putera Pangeran Danureja dari permaisuri dan menjadi raja
terakhir Blambangan yang berdarah Tawangalun. Adiknya Mas Sirna menjabat
sebagai patih dengan nama Wong Agung Wilis (gelar Jawa, setara dengan Anak
Agung di Bali). Gusti Gede Lanangjaya dari Denpasar diutus oleh Raja Mengwi
untuk melantik Pangeran Menak Jingga dan Mas Sirna.
Nordholt
H.S, seorang Guru Besar ahli sejarah Asia Tenggara dalam bukunya berjudul The Spell of Power: A History Balinese
Politics mengatakan Raja Mengwi yang berkuasa pada waktu itu adalah I Gusti
Agung Ngurah Made Agung. Raja Mengwi sangat kuat dan ditakuti banyak orang,
namun ia mempunyai masalah tidak mengetahui siapa sebenarnya leluhurnya. Setelah
mengundang salah seorang pendeta Brahmana, raja-raja Mengwi selanjutnya
menelusuri garis keturunannya ke dalam klan Arya Kepakisan.
Samsubur
mencerita selanjutnya, bahwa hubungan Pangeran Menak Jingga dengan patihnya
Wong Agung Wilis tidak harmonis. Wong Agung Wilis dicurigai berniat merebut
kekuasaan. Itu sebabnya kedudukannya diganti oleh Mas Sutawijaya (putranya
sendiri) sebagai patih kiwa dan Mas
Sutanegara (kemenakan raja) sebagai patih
tengen. Wong Agung Wilis pergi mengembara bertapa ke pesisir pantai
selatan, ke gunung-gunung, ke gua-gua yang angker dan mendirikan pesraman di
tempat yang sekarang disebut desa Sanggar. Sehingga Wong Agung Wilis terkenal sebagai
orang yang sangat keramat dan sakti. Pejuang-pejuang rakyat Blambangan generasi
berikutnya dalam melawan VOC dipercaya sebagai titisan Wong Agung Wilis.
Selain
itu, Pangeran Menak Jingga juga membunuh Senapati Blambangan yang bernama
Rangga Satata, atas hasutan anaknya Mas Sutawijaya. Berita terbunuhnya Rangga
Satata sampai ke Raja Mengwi. Raja Mengwi murka kemudian mengirim bala tentara
yang dibantu Wong Agung Wilis menyerbu Blambangan. Pengeran Menak Jingga
melarikan diri mengungsi ke gunung Gumitir (Merawan), terus ke Senthong
(sekarang Bondowoso), Basuki, Banger (sekarang Prabalingga), dan Lumajang. Di
Lumajang utusan Wong Agung Wilis bertemu dengan Pangeran Danuningrat, dan
berhasil membujuk untuk diajak ke istana Blambangan. Dari istana Blambangan,
utusan Raja Mengwi mohon pamit dengan membawa Pangeran Menak Jingga ke Bali.
Sampai di Mengwi Pangeran berdarah Tawangalun ini dieksekusi mati.
Pangeran Menak Jingga/Raden Mas Sepuh (dalam Babad Bali disebut Pangeran Blambangan) dibunuh di Pantai Seseh. Eksekusi – atas perintah Raja Patni I Gusti Ayu Oka – dilakukan oleh I Gusti Agung Kamasan dari Puri Sibang dan Mekel Munggu. Saat sebelum menghembus napas terakhir Pangeran Blambangan mengutuk Kawyapura atau Mangupura (Kerajaan Mengwi) akan mengalami masa-masa surut. Setelah wafat, pangeran Blambangan dibuatkan Meru Tumpang Solas, yang disembah oleh orang-orang di Desa Munggu, Cemagi dan Sibang.
Pangeran Menak Jingga/Raden Mas Sepuh (dalam Babad Bali disebut Pangeran Blambangan) dibunuh di Pantai Seseh. Eksekusi – atas perintah Raja Patni I Gusti Ayu Oka – dilakukan oleh I Gusti Agung Kamasan dari Puri Sibang dan Mekel Munggu. Saat sebelum menghembus napas terakhir Pangeran Blambangan mengutuk Kawyapura atau Mangupura (Kerajaan Mengwi) akan mengalami masa-masa surut. Setelah wafat, pangeran Blambangan dibuatkan Meru Tumpang Solas, yang disembah oleh orang-orang di Desa Munggu, Cemagi dan Sibang.
Doyan Perempuan Banyuwangi
Ki
Gusti Ngurah Kaba-Kaba bersama adiknya Ki Gusti Ngurah Kutha Bedha diangkat
oleh Raja Mengwi sebagai penguasa Blambangan menggantikan Pangeran Menak Jingga.
Disebut Kaba-kaba karena berasal dari desa Kaba-Kaba, Kecamatan Kediri,
Tabanan. Keduanya setelah diangkat sebagai
Raja dan patih oleh Raja Mengwi, segera berangkat ke Blambangan dengan pasukan
berjumlah 300 prajurit, dipimpin oleh Ki Tumbakbayuh dan Ki Gajah Gulingan.
Mereka berangkat lewat pantai Seseh sampai di Blambangan disambut oleh para
mantri punggawa. Penguasa Bali ini beristana di
Lemah Bang (sekarang Rogojampi, Banyuwangi).
Pada
awal masa pemerintahannya Ki Gusti
Ngurah (KGN) Kaba-Kaba telah melanggar pesan dan amanat Raja Mengwi. Pengangangkatan
Mantri Ki Mas Anom dan Mas Weka oleh KGN Kaba-Kaba mempunyai pamerih tertentu.
KGN Kaba-Kaba ternyata doyan perempuan Banyuwangi. Kedua mantri ini
diperintahkan menyediakan gadis-gadis Banyuwangi. Mas Anom merasa sedih, tiap
hari, siang-malam hanya wanita saja yang dibicarakan oleh penguasa Bali ini.
Mas Anom pun was-was meninggalkan rumahnya, karena isterinya di rumah sering
diganggu.
Tidak
tanduk KGN Kaba-Kaba bersama patihnya KGN Kutha Bedha benar-benar menyimpang
dari misi yang diembannya, yang sebenarnya dibebani misi sangat mulia. Rakyat
Blambangan semakin tidak bersimpati atas kekuasaan Kerajaan Mengwi ini,
terlebih lagi didengar berita bahwa Pangeran Menak Jingga/Raden Mas Sepuh dibunuh di Pantai Seseh.
Blambangan di bawah VOC (1767 – 1800)
Kebencian
rakyat Blambangan kepada penguasa dari Bali semakin memuncak. Mantri Wedana Mas
Anom berbalik haluan. Ia memimpin pasukan Blambangan menyerbu kediaman KGN
Kaba-Kaba bersama Patihnya KGN Kutha Bedha. Melihat kekuatannya tidak
berimbang, kedua penguasa Bali itu memutuskan melakukan puputan. Ki Mas Anom berhasil memenggal kedua kepala penguasa dari Bali.
Sementara istri-istrinya bunuh diri sebagai tanda setia dan mencegah untuk
dijadikan istri boyongan/rampasan.
Ki
Mas Anom kemudian menyerahkan kedua kepala mantan penguasa dari Bali itu kepada
Komandan VOC Letnan Edwin Blangke. Sejak itu kemenangan demi kemenangan VOC
mulai tampak. Orang-orang Bali yang melarikan diri dan bersembunyi di
hutan-hutan digiring ke markas VOC atau dibunuh. Dengan demikian berakhir sudah
kekuasaan Kerajaan Mengwi, selanjutnya Blambangan memasuki babak baru dibawah
kekuasaan VOC.
Selanjutnya
VOC mengangkat Sutanagara dan Wasengsari sebagai Bupati dan wakilnya. Kedua
pemimpin baru Blambangan ini dipaksa memeluk agama Islam oleh Kumpeni untuk
menjauhkan para pemimpin dan rakyat Blambangan dari pengaruh laten Bali.
Sementara rakyat Blambangan sendiri sangat anti Mataram, karena teringat oleh
pengerusakan wilayahnya yang dilakukan oleh bala tentara Sultan Agung, Raja Mataram
tersebut.
VOC
ternyata kesulitan mencari pejabat bupati yang benar-benar loyal kepada
pihaknya. Bupati Sutanagara diberhentikan, Kartanagara diangkat sebagai
penggatinya. Kartanagara juga menjabat
sebentar, dia digantikan dengan Ki Mas Rempeg. Masa pemerintahan Ki Mas Rempeg
terjadi perlawanan rakyat, yang disebut Perang Bayu. Perang Bayu adalah
perangnya rakyat Blambangan yang didukung oleh bala tentara Bali melawan pihak
VOC, yaitu Madura dan Mataram. Seorang tentara VOC yang bernama Serma Van
Schaar tewas, mayatnya dimasak dan dimakan bareng oleh bala tentara Blambangan.
Sedangkan potongan kepalanya ditancapkan pada sebatang kayu, dipertontonkan
berkeliling kepada rakyat Blambangan. Berita ini membuat pihak VOC marah besar.
VOC membalasnya dengan menangkap dan menenggelamkan orang-orang yang dicurigai
melakukan aksi tersebut.
Bupati
Blambangan selanjutnya yang diangkat VOC adalah Mas Alit Wiraguna. Atas
perintah VOC, Bupati Wiraguna melakukan pengusiran terhadap para pendeta Hindu
etnis Bali. Masa pemerintahan Bupati Wiraguna juga tidak luput dari perlawanan
sejumlah pejuang rakyat Blambangan yang masih seagama dengan rakyat Bali,
meskipun perlawanannya berskala lebih kecil.
VOC
dibubarkan tanggal 31 desember 1799 dan diganti oleh Pemerintah Hindia –
Belanda, yang menguasai Blambangan sampai 1942. Dalam masa itu Inggris sempat
menyela menguasai Blambangan sebentar tahun 1811 – 1816. Dari tahun 1800 –
1942, perlawanan rakyat Blambangan sudah mereda. Pulau Bali juga sudah dikuasai
Belanda sejak tahun 1908 melalui Puputan
Klungkung.
(Dari Berbagai
sumber...)