UPACARA EKA DASA
RUDRA DI PURA BESAKIH
(Sebuah Tinjauan Historis)
Ida Bagus Wirahaji
ABSTRAK
Bali mendapat pengaruh yang kuat
kebudayaan India, sebagai akibat dari letak geografis Pulau Bali yang menjadi
bagian dari jalur perdagangan. Pengaruh kebudayaan India antara lain datangnya mazhab
Siwa yang mengalami perkembangan mengesankan di Bali. Mazhab Siwa menekankan
ritual pengurbanan suci untuk mencapai jagadhita
dan moksa. Salah satu ritualnya
adalah upacara Eka Dasa Rudra.
Dewa
Rudra disebutkan dalam beberapa kitab Weda memiliki sifat rwa bhineda, kejam sekaligus lembut, menyakiti dan menyembuhkan,
marah tetapi juga tenang. Konsep Eka Dasa Rudra berasal dari sebelas Rudra yang
merupakan simbol dari sebelas kekuatan prana. Eka Dasa Rudra juga menunjuk pada
sebelas penjuru mata angin, dan upacara Eka Dasa Rudra bertujuan untuk
menyucikan sebelas penjuru mata angin.
Setelah
NKRI terbentuk upacara besar ini baru dapat dilaksanakan di Pura Besakih pada
tahun 1963 dan diulang lagi pada tahun 1979. Pada tahun 1963 merupakan upacara
yang luar biasa, yang pertama kali dilaksanakan dalam kurun waktu lama. Pada
waktu itu Gunung Agung meletus, menelan korban jiwa sedikitnya 1.150 orang meninggal
dan korban material yang tidak sedikit. Kemudian disusul oleh peristiwa
berdarah G 30 S PKI tahun 1965, jatuhnya pesawat jet tahun 1974, dan gempa bumi
tektonik 1976 yang berpusat di Seririt, Buleleng. Sederetan bencana dan musibah
melanda Bali tersebut, menimbulkan keraguan akan ketepatan waktu dan pelaksanaaan
Eka Dasa Rudra 1963.
Upacara
Eka Dasa Rudra kembali digelar 1979 tepat pada tahun Saka berakhir 00 (tenggek windu rah windu). Berbeda dengan
Eka Dasa Rudra 1963 yang lebih banyak berperan adalah Puri Klungkung, maka pada
tahun 1979 penyelenggaraan menjadi tanggung jawab Parisadha. Presiden Soeharto
didampingi Mentri dan sejumlah pejabat pusat hadir pada puncak acara. Kehadiran
seorang prisiden menandakan bahwa skala Eka Dasa Rudra mencapai tingkat
nasional dan mengangkat status Pura Besakih sebagai pura terbesar umat Hindu
Indonesia.
Kata Kunci: Eka Dasa Rudra, Bencana dan Musibah.
LATAR BELAKANG
Kebudayaan Indonesia, khususnya
kebudayaan Jawa, Bali, dan sebagian Sumatra, sejak abad-abad pertama masehi telah
mengalami pengaruh yang kuat dari kebudayaan India. Tidak dapat dipungkiri,
awal kontak India dengan Bali oleh para ahli diduga sebagai akibat adanya
perdagangan cengkeh dan kayu cendana.
Kayu cendana telah disebutkan dalam
Kitab Ramayana yang diduga ditulis sekitar abad ke-4 SM. Cengkeh dan kayu
cendana juga disebutkan dalam Kitab Periplus
yang berasal dari abad pertama Masehi. Kayu cendana berasal dari Sumba dan
Timor, sedangkan cengkeh merupakan tumbuh-tumbuhan asli di daerah Maluku.
Berdasarkan sumber tersebut, menurut Ardika (1997) Bali tampaknya terletak
dalam jalur perdagangan yang menghubungkan Indonesia bagian barat dan timur.
Akibat dari letak geografis yang menjadi
jalur perdagangan, Bali mendapat pengaruh kebudayaan asing, diantaranya
kebudayaan India. Bali mewarisi agama Hindu yang didominasi oleh ajaran sekte
Siwa. Salah satu mazhab pada zaman Purana yang berkembang pesat di India pada
tahun 300 M sampai dengan 700 M. Sekte-sekte lain yang masuk dan berkembang di
Bali, menurut Goris adalah sekte Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha/Sogata,
Brahmana, Rsi, Sora (pemuja Surya), dan Ganapatya (penyembah Ganesa).
Perkembangan selanjutnya sekte-sekte tidak memperlihatkan diri secara tegas,
berkembang ke arah satu agama Tirtha.
Agama Hindu Siwa di Bali mengalami
puncak keemasan ketika Dalem Waturenggong mengangkat Danghyang Nirartha sebagai
Pendeta Istana pada tahun 1489 M. Danghyang Nirartha hidup pada zaman Majapahit
akhir pada masa pemerintahan Girindra Wardhana (1474 – 1519), meninggalkan
Pulau Jawa melakukan perjalanan spiritual (tirthayatra)
ke Pulau Bali, Lombok, dan Sumbawa.
Di Bali Danghyang Nirartha menata dan
menyempurnakan konsep Panca Yadnya. Ajaran tentang Yadnya dituangkan dalam
kitan-kitab seperti Widhi Sastra, Catur
Widhya, Yama Purana Tattwa, Ekaprata, Karya Panca Wali Krama, Eka Dasa Rudra,
Ligya, dan sebagainya.
Sebagai penganut Siwa, Danghyang
Nirartha mengimplementasikan
ajaran-ajaran Siwa dalam ritual-ritual keagamaan di Bali. Dalam ajaran mazhab
Siwa, jagadhita dan moksa dapat dicapai melalui samskara dan sadhana Pancamakara. Filsafatnya disebut Shiwa Siddhanta. Mazhab Siwa umumnya
masih mempertahankan ajaran-ajaran upacara kurban sebagaimana diajarkan dalam
kitab suci Weda dan kitab-kitab Brahmana.
Impelementasi dari ajaran Shiwa pada
masa keberadaan Danghyang Nirartha di Bali diantara berupa penyelenggaraan
upacara Eka Dasa Rudra di Besakih. Eka Dasa Rudra juga dilaksanakan oleh Sri Jaya Pangus, putra dari Sri Jaya Kesunu
yang sudah wafat, seperti yang disebutkan dalam Babad Usana Bali Pulina. Namun,
kapan tepatnya upacara tersebut dilaksanakan tidak diketahui. Upacara Eka Dasa
Rudra pada kedua masa itu hanya disebutkan dalam teks, dalam tradisi tulis.
Pelaksanaan upacara Eka Dasa Rudra di
Besakih baru dapat dilaksanakan tahun 1963 dan tahun 1979 dalam naungan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut Stuart-Fox seorang penulis
Australia, upacara ini dilaksanakan
untuk ‘membayar’ upacara-upacara yang tidak dilaksanakan pada tahun-tahun
sebelumnya. Dalam catatan di Pura Agung Besakih, Tawur Agung Eka Dasa Rudra pernah dilaksanakan pada Sukra Pon
Julungwangi, tanggal 9 Maret 1963. Kemudian dilaksanakan lagi pada Buda Pahing
Wariga, tanggal 28 Maret 1979.
Upacara Eka Dasa Rudra termasuk bagian
dari upacara bhuta yajna dalam
tingkat besar dibawah upacara maligya
gumi, dan dilaksanakan dalam kurun waktu atau periode yang lama (100 tahun
sekali). Urutan upacara bhuta yajna
dari tingkat terkecil sampai terbesar adalah: caru panca sata, panca sanak, panca kelud, balik sumpah, mesapuh-sapuh,
panca wali krama, eka dasa rudra dan maligya gumi.
Eka Dasa Rudra disebutkan dalam lontar Dewa Tattwa sebagai upacara Tawur Agung yang merupakan rangkaian
dari upacara Bhuta Yadnya. Upacara yang dilaksanakan di Pura Agung Besakih ini
bertujuan untuk menjaga keharmonisan Bhuana
Agung dan Bhuana Alit sebagai
aplikasi dari filosofi Tri Hita Karana.
RUMUSAN MASALAH
Upacara Eka Dasa Rudra merupakan upacara
yang terbesar yang pernah dilaksanakan di Bali tahun 1963 dan 1979. Justru, di
India upacara yang berdasarkan konsep Rudra atau Eka Dasa Rudra ini belum
pernah dilaksanakan. Upacara ini melibatkan banyak orang dengan menghabiskan
biaya besar, waktu yang panjang, dan tenaga yang banyak. Dibalik
penyelenggaraan upacara Eka Dasa Rudra yang besar ini, ada beberapa pertanyaan
yang penting yang harus mendapat penjelasan, yaitu:
1.
Apakah
upacara Eka Dasa Rudra di Besakih bersumber pada kitab suci Weda?
2.
Mengapa
setelah Upacara Eka Dasa Rudra 1963 dilakukan lagi upacara yang sama pada tahun
1979?
3.
Apa
perbedaan Upacara Eka Dasa Rudra yang dilaksanakan pada tahun 1963 dengan tahun
1979?
PEMBAHASAN
Siapakah Dewa
Rudra?
Rudra adalah dewa yang termasuk gugusan
dewa-dewa dalam Kitab Weda Dalam Kitab Rig
Weda, nama Rudra sedikit disebut, tetapi dalam berbagai kitab sesudah Rig Weda, Rudra semakin banyak dipuja
dan bahkan didentikkan dengan Siwa (Siwa-Rudra).
Dalam Kitab Yajurweda dan Atharaweda, Rudra digambarkan sebagai
laki-laki bertubuh besar, perut warna biru, punggung berwarna merah, kepala
biru (Nilagriwa), rambut keriting
panjang terurai, seluruh tubuh memancar sinar keemasan. Tangannya memegang
busur dan panah yag bercahaya. Karakternya sangat angker, sangat menakutkan dan
mengerikan.
Dalam Rig Weda disebut Rudra sebagai
pemburu Ilahi, menyusuri jalan sepi, mencari orang yang bisa dimangsanya. Dia
Asura Agung dari sorga. Dalam Kitab Atharwa
Weda disebutkan Rudra sebagai raja semesta, melepaskan anak panahnya kepada
siapa pun yang dikehendaki, dan anak panahnya menyebabkan kematian atau memberi
penyakit. Bahkan para dewa pun takut, bahwa Rudra akan menghancurkan mereka,
karena tidak ada yang lebih kuat daripadanya.
Uniknya, Rudra memiliki sifat Rwa Binnedha, yaitu menakutkan/ghora dan tenang/santa. Rudra sebagai pembunuh kejam tetapi sekaligus memberi
kelembutan yang luar biasa. Rudra membunuh dan menghidupkan, menyakiti dan
menyembuhkan. Tak seorangpun dapat lepas dari tangannya. Bukan hanya sebagai
perusak besar, tapi juga penyembuh Ilahi
dengan persediaan ribuan macam jampi. Tangannya suka mengelus menyembuhkan dan
menyejukkan, serta dapat mengusir penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
dewa-dewa lainnya.
Dalam Atharwa Weda lebih lanjut disebutkan, Rudra diberi gelar Pasupati sebagai raja kawanan ternak.
Dalam wujud inilah para pemuja suka memujinya, sebab mereka menganggap diri
mereka sebagai bagian dari kawanan ternak, dan Rudra adalah raja kawanan
ternak. Bahkan lebih itu, Rudra adalah rajanya dari kehidupan liar di hutan. Rudra
tinggal di gunung dan hutan sebagai pemuja Lingga.
Dalam diri Rudra sendiri
pertentangan-pertentangan dipertemukan tapi belum didamaikan. Berbeda dengan
Siwa, dalam diri Siwa juga terdapat pertentangan-pertentangan yang dipertemukan
untuk diatasi dan diperdamaikan.
Nama Rudra juga terdapat dalam Kitab
Buana Kosa. Kitab Buana Kosa menyebutkan Rudra sebagai bagian dari Tri Murti. Pada VII.25, disebutkan, “Utpatti Bhagawan Brahma, sthiti Wisnuh tathe
waca, pralina Bhagawan Rudrah, trayastre lokya saranah”. Artinya: Bhatara
Brahma sebagai pencipta, Bhatara Wisnu memelihara, Bhatara Rudra melebur.
Ketiga dewa itu menjadi pelindung dunia.
Dalam pengider-ider di Bali, Rudra ditempatkan pada arah mata angin di
barat daya (neiriti). Dalam hal ini
Rudra sebagai manifestasi Siwa, bagian dari Dewata
Nawa Sanga, dengan Siwa berada di tengah-tengah (madya). Dalam pengider-ider, Rudra digambarkan bersenjata Moksala, wahananya kerbau, urip 3, warna
orange, aksara suci Mang, dengan wuku warigadean, pahang, dan prangbakat.
Konsep Eka Dasa
Rudra
Rudra dikenal sebagai dewa penyebab
kematian, penyebab dan penyembuh penyakit. Rudra juga dikenal sebagai penguasa
angin topan, pelebur alam semesta. Untuk
mencegah terjadinya kehancuran akibat kemarahannya, maka Rudra dipuja secara
istimewa dengan doa-doa khusus untuk ‘menenangkan’ dan meredakan kemarahannya.
Sifat Rudra yang pemarah itu sangat
terkait dengan riwayat kelahirannya. Kisah kelahiran Rudra terdapat dalam
beberapa Purana dengan beragam
cerita. Disebutkan Rudra lahir dari kening Brahma yang sedang marah. Rudra yang
lahir ini berbadan setengah laki-laki dan setengah perempuan. Dari tubuh Rudra
ini lahirlah sebelas putra Rudra. Badan Rudra yang berjumlah sebelas ini menurut
kitab Wisnu Purana merupakan asal
mula Eka Dasa Rudra.
Konsep tentang sebelas Rudra telah
dikembangkan di dalam Rig Weda.
Kedelapan Wasu dan ketiga Prana bersama-sama membentuk angka
sebelas sebagai sebelas Rudra. Penjelasan tentang Rudra dijabarkan di dalam upanishad-upanishad, dimana ke sebelas
Rudra adalah simbol-simbol dari sebelas kekuatan-kekuatan prana.
Sedangkan menurut Anna Mathews, yang tinggal
di Bali selama hampir 12 bulan pada saat terjadinya letusan Gunung Agung 1963,
tawur Eka Dasa Rudra adalah sebuah ritual yang ditujukan untuk menyucikan sebelas
penjuru angin. Sebelas Rudra ini didentikkan dengan sebelas penjuru mata angin,
yaitu: 8 penjuru, 1 tengah, 1 zenith dan 1 nadir.
Tentang kesebelas Rudra, selanjutnya
ditemukan di dalam Purana-Purana,
seperti Kitab Wisnu Purana yang telah
disebutkan di atas. Dalam kitab Lingga
Purana disebutkan dengan jelas bahwa kesebelas Rudra adalah tidak lain dari
kesebelas getaran Prana Brahma
sebagai yang menjelma di dalam seluruh ciptaan yang hidup. Kesebelas prana itu,
menurut Agastia harus tetap dijaga kesuciannya untuk tercapainya bhutahita atau sarpranihita.
Sehubungan dengan penyucian itu, waktu
yang tepat adalah saat pergantian tahun. Dimana tahun baru Saka (tanggal 1
bulan 1 tahun 1 Saka) ditetapkan oleh Raja Kaniskha pada tanggal 22 Maret 79.
Sehari sebelumnya, tanggal 21 Maret 79 terjadi peristiwa alam yang sangat
penting, yaitu gerhana matahari total. Pada saat terjadinya gerhana, baik
gerhana matahari (surya graha) maupun
gerhana bulan (candra graha),
matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus.
Eka Dasa Rudra 1963
Pada tanggal 28 April 1908 Belanda
berhasil menguasai Pulau Bali secara keseluruhan setelah menaklukkan Kerajaan
Klungkung, melalui perang Puputan
Klungkung. Bali kemudian dijadikan sebagai bagian dari Pemerintahan
Kolonial Hindia-Belanda. Akibat penguasaan Belanda terhadap Bali, pada
tahun-tahun awal abad ke-20 situasi politik masih kacau sehingga berdampak
terhadap Pura Besakih dan pura-pura kahyangan jagat lainnya yang semakin
terabaikan. Hingga, pada tanggal 21 Januari 1917 Bali diguncang gempa dahsyat
pada pukul 6.50 pagi selama 45 detik, disusul oleh gempa 4 Februari dan
gempa-gempa berikutnya selama dua minggu. Bali selatan bagian tengah mengalami
kerusakan yang paling parah. Tercatat 1.372 orang tewas atau hilang. Gempa bumi
dahsyat ini dikenal dengan Gejer Bali.
Bencana alam dahsyat ini dipercaya oleh tokoh-tokoh dan masyarakat Bali sebagai
pertanda buruk, kemurkaan dewa-dewa atas ditelantarkannya pura-pura di Bali.
Peristiwa Gejer Bali ini membuat Pemerintah Kolonial membentuk Paroeman Kerta Negara, yang terdiri dari
penguasa-penguasa daerah. Lembaga ini membuat dua keputusan penting, yaitu
menyelenggarakan Panca Walikrama pada
tahun 1933 dan upacara Bhatara Turun
Kabeh tahun 1936. Setelah NKRI terbentuk, perhatian pemerintah semakin
besar, dan ini terlihat dramatis dalam pelaksanaan upacara Panca Walikrama
tahun 1960 dan Eka Dasa Rudra tahun 1963.
Pelaksanaan Eka Dasa Rudra tahun 1963
menjadi peristiwa yang sangat monumental. Eka Dasa Rudra 1963 disebut peneregteg karena upacara ini belum
pernah dilaksanakan setelah melewati masa beberapa ratus tahun sebelumnya. Upacara
ini mempengaruhi semua umat Hindu sampai
pada tingkat yang lebih besar daripada upacara yang telah dilaksanakan
sebelumnya. Pada saat persiapan upacara dilakukan, secara kebetulan Gunung
Agung meletus untuk pertama kalinya dalam kurun waktu lebih dari seabad. Letusan
Gunung Agung dimulai tanggal 18 Pebruari 1963 dan berakhir 27 Januari 1964. Upacara
tetap dilakukan walaupun terjadi letusan. Puncak karya pada tanggal 9 Maret
1963. Upacara berlangsung dalam kondisi yang luar biasa.
Penduduk mendengar ledakan yang sangat
keras pada tanggal 18 Pebruari 1963, menyaksikan awan panas muncul dari kawah
Gunung Agung. Suhu di sekitar gunung pun makin meningkat, mata air menjadi
kering, tumbuhan disekitar gunung menjadi dan binatang pada mengungsi. Tanggal 23 Pebruari 1963
pukul 08.30 di sekitar Besakih, Rendang, dan Selat dihujani batu kecil serta
tajam, pasir serta abu. Lava di Utara tetap meleleh, lahar hujan mengalir
hingga di desa Sogra, Sangkan Kuasa. Asap semakin pekat, penduduk Sogra, Sangkan
Kuasa, Badeg Dukuh dan Badeg Tengah mengungsi ke Selatan. Dan seterusnya.
Akibat awan panas korban meninggal 820 orang, akibat lahar korban meninggal 165
orang, terkena bebatuan meninggal 163 orang.
Stuart-Fox dalam disertasinya yang
berjudul “Pura Besakih – Pura, Agama, dan
Masyarakat Bali”, berulang-ulang kali menyebut upacara Eka Dasa Rudra tahun
1963 sebagai perayaan yang LUAR BIASA. Masyarakat Bali ‘berjibaku’ demi
terselenggaranya perayaan ini. Upacara ini seolah-olah menjadi taruhan, walau
apa pun terjadi upacara tetap jalan. Panitia mengumumkan melalui surat kabar Suara Indonesia, menegaskan bahwa ‘Karya
Eka Dasa Rudra Djalan Terus’. Gambar 01 menunjukkan letusan Gunung Agung 1963.
Anna Mathews bersama suaminya Denis yang
tinggal di Desa Iseh Karangasem pada masa pemulihan pascarevolusi dan Perang
Dunia II, sempat membuat catatan tentang letusan Gunung Agung, yang dirangkum
Vickers, sebagai berikut:
“....Tanggal 3 Maret 1963 dilakukan
sebuah prosesi usungan dan turun ke laut dekat Klungkung untuk ritual mandi dan
penyucian. Lalu para dewa kembali ke pura. Di sepanjang perjalanan menerima
persembahan dan doa-doa yang juga melewati desa kami, Iseh. Begitu para dewa
kembali ke pura, tidak ada yang menyangka akan datangnya bencana. Tanah
berguncang beberapa detik, sesaat kemudian terdengar ledakan yang luar biasa,
disertai jeritan histeris panik yang pecah dari sekelompok anak di
persimpangan. Asap hitam beracun membumbung dalam sebuah gumpalan yang sangat
tebal, menjalar ribuan kaki dalam hitungan detik. Bebatuan besar beterbangan
dari mulut kawah di atas semburan air. Lintasannya jelas batu-batu tersebut
jatuh menimpa lereng gunung. Kami menuju Rendang, kami lihat orang-orang
berdiri tanpa tujuan di jalan. Orang-orang berkumpul membentuk kelompok kecil
di ujung jalan desa. Dimana-mana terlihat wanita dan juga laki-laki menggendong
anak-anak dan bayi, Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ratusan orang
berjalan telanjang kaki dalam diam. Mereka pergi dari desanya dengan membawa
ternaknya dalam diam, tanpa kata-kata. Mereka tidak mengharapkan belas kasihan
orang dan mereka tidak mendapatkannya.....”
Sampai pada puncak upacara gunung tetap
aktif, namun tidak keras. Letusan lebih banyak menelan korban di lereng bagian
utara. Sepanjang masa letusan tidak
mengakibatkan kerusakan yang berat pada komplek bangunan suci.
Ironisnya, sebuah gempa bumi tektonik yang kuat terjadi pada tanggal 18 Mei
1963, yang disusul oleh gempa-gempa lainnya merusak bangunan-bangunan Pura
Besakih, sebulan setelah Eka Dasa Rudra selesai.
Gunung
Agung meletus sebelum hingga setelah Eka Dasa Rudra tahun 1963 selesai.
Adanya bencana gempa bumi pada saat
upacara berlangsung dipandang sebagai pertanda buruk. Masyarakat Bali percaya
gempa tersebut bukan gejala alam biasa. Terdapat hubungan hakiki antara alam
semesta (Bhuana Agung) dengan diri
manusia (Bhuana Alit). Dan, gempa
bumi adalah dipandang sebagai respon buruk dari Bhuana Agung. Upacara Eka Dasa Rudra belum dapat ‘menenangkan’ Dewa
Rudra. Upacara yang diharapkan dapat memberikan keseimbangan, keharmonisan
kehidupan manusia tidak kunjung tiba. Dua tahun kemudian, terjadi peristiwa
politik yang mengerikan, ketika puluhan ribu orang tewas dalam pembantaian
tragedi berdarah pemberontakan G 30 S PKI. Kemudian bencana lain melanda Bali,
tahun 1974 sebuah pesawat jet penumpang internasional jatuh menewaskan seluruh awak
dan penumpangnya.
Tanggal 14 Juli 1976 kembali Bali
diguncang gempa yang berpusat di Seririt Buleleng. Gempa dengan kekuatan 6.5
skala richter tercatat menewaskan 600
orang, 850 orang luka berat. Bangunan-bangunan di Buleleng Barat rusak berat,
di Tabanan dan Jembrana dilaporkan 75% bangunan rusak.
Sejumlah bencana dan musibah tersebut di
atas membangkitkan pertanyaan dan keraguan terhadap kepatutan penentuan waktu
pelaksanaan Eka Dasa Rudra 1963. Sehingga sebuah paruman khusus diadakan di Besakih pada 24 Juli 1977 yang dihadiri
200 pendeta dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Paruman menghasilkan keputusan
akan diadakan upacara Panca Walikarama
di tahun 1978 dan Eka Dasa Rudra 1979.
Keputusan penentuan waktu pelaksanaan
Eka Dasa Rudra di atas sesuai menurut teks Indik
Ngeka Dasa Rudra. Dalam lontar milik Griya Intaran Sanur (Gedong Kertya
Singaraja Nomor 1C, 2478) disebutkan Eka Dasa Rudra diselenggarakan 100 tahun
sekali, ketika tahun Saka berakhir dengan 00 atau Rah Windu Tenggek Windu.
Eka Dasa Rudra
1979.
Sebagai realisasi dari keputusan paruman, Eka Dasa Rudra 1979
dilaksanakan pada Bhuda Pahing Wariga 28 Maret 1979 bertepatan dengan Tilem Caitra Saka 1900, ketika Bumi,
Bulan, dan Matahari berada dalam posisi garis lurus di atas Katulistiwa. Sementara
Eka Dasa Rudra 1963 tidak memenuhi perhitungan seperti itu.
Eka Dasa Rudra 1963 dilaksanakan pada
zaman Orde Lama, dimana Presiden Soekarno tidak hadir upacara ini. Ia diwakili
oleh Komandan Angkatan Perang Indonesia Jenderal Ahmad Yani. Eka Dasa Rudra
1979 dilaksanakan pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto hadir pada puncak
perayaan didampingi oleh Menteri dan Pejabat Pusat lainnya. Kehadiran presiden
setidaknya mengangkat status upacara Eka Dasa Rudra menjadi berskala nasional,
dan status nasional Pura Besakih sebagai tempat suci Hindu terbesar di
Indonesia.
Pada penyelenggaraan Eka Dasa Rudra
1979, sebagai pelindung Gubernur Bali dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
Sekretaris Daerah sebagai Ketua Umum. Sekretaris Jenderal Parisada, Wayan
Surpha dan Kepala Kantor Departemen Agama Provinsi Bali I Gusti Agung Gede
Putra memainkan peran utama. Sedangkan pada penyelenggaraan Eka Dasa Rudra 1963
sebagai pelindung adalah Panglima Kodam XVI Udayana, sekaligus mengontrol
pendanaan pemerintah pusat. Gubernur sebagai kepala pengawas, ketua Ida I Dewa
Agung Klungkung, sebagai penghormatan atas status tradisonalnya. Dewa Agung
Klungkung secara de facto masih
mempunyai pengaruh yang kuat untuk mengerahkan orang-orang yang terampil dalam
pelaksanaan upacara.
Upakara pada Eka Dasa Rudra 1963
didasarkan pada naskah upacara milik Geriya Cucukan Klungkung. Persiapan
upacara diserahkan kepada Puri Klungkung. Sedangkan pada Eka Dasa Rudra 1979 peran
Parisadha semakin dominan, yang berperan besar adalah I Gusti Agung Mas Putra
(Istri dari kepala kantor Departemen Agama Provinsi Bali) mengatur bagian
upakaranya. Ia membandingkan berbagai naskah yang relevan serta berkonsultasi
dengan pendeta yang mengetahui mengenai upakara terkait.
SIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan di
atas diperoleh beberapa kesimpulan antara lain:
1.
Upacara
Eka Dasa Rudra bersumber pada kitab suci Weda. Rudra termasuk salah satu dewa
dalam Kitab Weda. Dalam Wisnu Purana
disebutkan badan Rudra yang berjumlah sebelas merupakan asal mula Eka Dasa
Rudra. Eka Dasa Rudra merupakan penyucian sebelas penjuru angin.
2.
Upacara
dilaksanakan setiap 100 tahun sekali, ketika tahun Saka berakhir 00 (tenggek windu rah windu), dan dilaksanakan sehari sebelum pergantian tahun Saka, yaitu
pada Tilen Caitra.
3.
Pada
waktu Eka Dasa Rudra 1963 diselenggarakan, secara kebetulan Gunung Agung
meletus. Disusul oleh sejumlah bencana dan musibah lainnya yang melanda Bali,
yang membuat para tokoh mengakaji ulang akan kebenaran pemilihan waktu dan
kekeliruan dalam pelaksanaan Eka Dasa Rudra 1963. Sehingga diputuskan
penyelenggaraan ulang Eka Dasa Rudra tahun 1979, dimana tahun Saka berakhir 00.
4.
Presiden
Soeharto hadir dalam puncak acara Eka Dasa Rudra 1979. Hal ini menandakan,
bahwa upacara Eka Dasar Rudra berskala nasional dan mengangkat status nasional
Pura Besakih sebagai pura terbesar umat Hindu di Indonesia.
5.
Pada
Eka Dasa Rudra 1963, Puri Klungkung memainkan peran yang utama dalam aspek
upakara. Sedangkan pada Eka Dasa Rudra 1979 yang peran Parisadha. Aspek upakara
dipimpin oleh I Gusti Mas Putra dengan mengkaji beberapa naskah atau teks-teks
dan dikonsultasikan dengan sejumlah pendeta.