Label

Minggu, 07 Agustus 2016

kunjarakarna


KUNJARAKARNA

Pangarang Mpu Dusun, masa penulisan zaman Singhasari. Naskah beraliran Buddha. Cerita naskah ini digambarkan pada relief Candi Jago, Malang. Candi Jago adalah kuil agama Buddha yang dipersembahkan bagi Raja Wisnuwardhana (1248-1268) ayah Kertanagara. Penggambaran cerita pada relief candi memberi kesan bahwa tema kelepasan erat hubungannya dengan keselamatan jiwa tokoh yang telah meninggal.
Kelima Tataghata dalam agama Buddha disamakan dengan kelima manifestasi Siwa atau dewa-dewa Pancakusika dalam agama Hindu. Wairocana dan Siwa dinyatakan sama-sama ‘guru semesta’ (Wairocana buddhamurti siwamurti pinaka guru ning jagad kabeh).
Naskah ini diteliti oleh Dr. JLA Brandes dilanjutkan oleh Dr. Slamet Muljana. Kakawin Kunjarakarna disebut juga kakawin Sugataparwawarnnana.

Ringkasan Cerita:
Raksana Kunjarakarna melakukan yoga dalam gua Gunung Meru bertujuan untuk membebaskan dirinya dari rupa raksasa. Kemudian ia menghadap Buddha memohon diajarkan tentang hukum karma. Buddha menyuruhnya ke neraka untuk melihat para pendosa yang siksa di Yamaloka. Ia melihat tempayan yang besar, dipersiapkan untuk roh yang akan direbus selama 100.000 tahun. Ia juga terkejut melihat gurunya yang sangat dihormati Purnawijaya minta tolong padanya. Ia mengajak gurunya menghadap Buddha. Setelah diberi pengajaran oleh Buddha dengan panjang lebar, Purnawijaya minta dibebaskan dari neraka. Buddha menjawab bahwa hal itu tidak mungkin. Purnawijaya harus mati dan masuk neraka. Akan tetapi, berkat pengajaran yang telah diterimanya, penderitaannya dikurangi hingga 9 hari. Setelah selesai masa hukumannya, Purnawijaya bersama isterinya menghadap Buddha, memohon pengajaran selanjutnya. Setelah itu, Purnawijaya bersama istri pergi ke Gunung Semeru. Di sana kedua pasangan ini mendapatkan kelepasan.

KAWISASTRA

KITAB NAGARA KERTAGAMA


Pengarang  Mpu Prapanca, dibuat pada tahun 1365 zaman Majapahit.. Naskah dalam bentuk kakawin, dapat digunakan sebagai sumber sejarah dan sajak seni. Naskah Nagarakretagama pertamakali ditemukan di Puri Cakranagara di Pulau Lombok pada tahun 1894. Naskah-naskah yang sejenis ditemukan di Bali lebih dikenal dengan nama Desawarnana.
Prapanca menekankan bahwa karyanya dimaksudkan sebagai sajak pujian terhadap Raja Hayam Wuruk dan menyajikan laporan pandangan mata mengenai perjalanan menjelajahi wilayahnya kekuasaannya. Kitab ini juga memuat kidung Pararaton, yang menjadi penanda bahwa naskah ini ditulis belakangan dari naskah Pararaton. Dalam tulisannya disebutkan nama anggota keluarga, kondisi ibu kota, daerah bawahan, dan laporan  perjalanan keliling raja yang menyita sebagian besar teks. Penobatan Kertanagara sebagai Jina juga disebutkan dalam kitab ini, dengan nama Jnanabjreswara.
Perjalanan keliling telah dilakukan raja Hayam Wuruk sebanyak 6 (enam) kali, yaitu tahun 1353 sampai di Pajang; 1354 sampai di Lasem; 1357 di Lodaya; 1359 di Lumajang; 1360 di tirib dan Sompur; 1361 di Blitar; dan tahun 1363 sampai di Simping. Sayang tidak semua perjalanan keliling itu dicatat, sehingga tidak diketahui apakah pola perjalanan tersebut sama, bila ditinjau dari aspek keagamaan, aspek ekonomi, dan aspek politik.
Dari aspek keagamaan dapat diketahui bahwa sang raja gemar mengunjungi tempat-tempat suci, melakukan pemujaan di candi-candi pedharman nenek moyangnya. Dari aspek ekonomi tercermin bahwa sang raja sering memberikan bermacam hadiah kepada pejabat setempat. Sebaliknya, pejabat setempat menyerahkan barang-barang produksi pertanian. Dari aspek politik perjalanan sang raja dapat dilihat dari tokoh-tokoh yang menyambut kedatangannya.
Maksud sesungguh nya dari perjalanan sang raja tidak disebutkan dalam kitab ini, akan tetapi mengingat komposisi rombongan yang dilibatkan, cukup alasan untuk menduga adanya tujuan politik di balik perjalanan ini. Mungkin hendak mengontrol tingkat kesetiaan para penguasa daerah dan sekaligus memperlihatkan kekuatannya. Kendaraan (wahana) yang dinaiki dalam perjalanan keliling tersebut adalah kuda, selain pedati. Raja berada di depan diikuti para selir yang naik pedati.
Ada 3 golongan terbawah masyarakat yang tidak termasuk warna, yaitu:
-       Candala, golongan ini tidak diizinkan tinggal bersama golongan arya, kampung mereka di luar batas kota.
-       Mleccha, golongan di luar arya tanpa pandang bahasa dan warna kulit. Mereka ini para pedagang-pedagang asing yang tinggal di pesisir.
-       Tuccha (= kosong), golongan orang-orang haram, yang dianggap tidak berguna, bahkan merugikan masyarakat. Perbuatannya termasuk tetayi, yaitu membakar rumah, meracuni sesama, menenung, mengamuk, memfitnah, dan merusak kehormatan perempuan.
Kakawin nagara Kertagama terdiri dari 98 pupuh, yang masing-masing diuraikan sebagai berikut:
-       Pupuh 1, Prapanca memuji keagungan Raja Sri Rajasanagara, sebagai titsan Siwa-Buddha.
-       Pupuh 2-6, mengisahkan hubungan kekerabatan bagianda raja, memuji rajapatni Gayatri, putri bungsu Kertanagara raja Singhasari terakhir.
-       Pupuh 3, menguraikan orang tua baginda, Tribhuwana Tunggadewi yang secara resmi menjadi rani kahuripan.
-       Pupuh 4-6, memuji bibi baginda Bhre Daha DyahWyat Rajadewi, yang kawin dengan Sri Wijayarajasa dari Wengker.
-       Pupuh 7, mulai memuji kebesaran raja Hayam Wuruk, sebagai titisan berbagai dewa.
-       Pupuh 8-12, menguraikan seluk beluk istana Majapahit, keindahan, sampai punggawa dan pegawai kerajaan.
-       Pupuh 12-13, menyinggung luasnya wilayah kekuasaan Majapahit. Para pendeta Siwa diizinkan berkunjung kemana saja, sedangkan pendeta Buddha hanya diizinkan berkunjung ke arah timur Jawa.
-       Pupuh 17-62, menguraikan perjalanan keliling rombongan raja Hayam Wuruk, dari Majapahit ke Lumajang. Pupuh ini merupakan inti dari kitab ini.
-       Pupuh 63-67 menguraikan upacara sraddha untuk memperingati 12 tahun mangkatnya rajapatni Gayatri, penerus langsung dari keluarga-keluarga dinasti Majapahit. Upacara selama 7 hari siang dan malam disertai pesta makan, minum dan bermacam-macam permainan. Ritual Sraddha dilaksanakan di istana pada tahun 1362.
-       Pupuh 68-69, menguraikan secara singkat pembagian kerajaan Erlangga menjadi Janggala dan Panjalu untuk kedua puteranya. Mpu Bharada ditugaskan membagi kerajaan tersebut dengan menuangkan air kendi di udara membuat batas-batas kerajaan. Sampai di desa Palungan, jubah Mpu tersangkut di pohon Asam, kendi jatuh di desa Palungan. Mpu Bharada terbang lagi sambil mengutuk pohon asam supaya tetap pendek. Sekarang tempat tersebut bernama Kamal Pandak (asam cebol).
-       Pupuh 70-73, menguraikan kedatangan Hayam Wuruk dari Simping dan mendengar kabar patih Gajah Mada sakit keras, akhirnya meninggal. Kemudian diadakan rapat untuk mencari penggatinya, tetpai tidak berhasil. Raja memutuskan patih Gajah Mada tidak diganti. Hayam Wuruk sendiri yang memimpin pemerintahan secara langsung, dibatu oleh 6 mantri, yaitu: Mpu Tandi, Mpu Nala, Sang Pati Dami, Mpu Singa, dan dua menteri lainnya tidak disebutkan.
-       Pupuh 74-82, menyebut nama-nama candi makam, tanah perdikan, asrama, desa kebudhaan, desa kasiwan, dan lain-nya dalam kerajaan Majapahit, terutama di Jawa dan Bali.
-       Pupuh 81 menguraikan usaha keras Hayam Wuruk menyatukan 3 sekte agama, yang disebut Tripaksa (tiga sayap), yaitu Siwa, Budha dan Wisnu. Sekte Brahma terlalu sedikit, tidak dimasukkan ke dalam tripaksa. Para pendeta disebut Caturdwija, tunduk kepada ajaran tutur. (dwija berarti lahir 2 kali).
Pengikut sekte Siwa paling banyak berkat kedudukanya sebagai agama resmi kerajaan. Sekte Buddha menduduki tempat kedua. Perkembangan sekte Buddha sengaja ditekan agar tidak dapat menyaingi sekte Siwa.
-       Pupuh 83-84, menguraikan keagungan raja Hayam Wuruk dan kesejahteraan pulau Jawa. Banyak tamu-tamu manca negara berkunjung ke Majapahit. Dalam pertemuan tahunan, semua pembesar daerah empat kiblat (juru), kepala desa (akuwu), pemegang pengadilan (adhyaksa), dan para pembantunya (upapati) datang menghadap baginda raja.
-       Pupuh 85, menguraikan pertemuan tiap bulan Caitra (Maret-April). Maksud pertemuan untuk memperkuat koordinasi antara pemegang tanggung jawab pada pemerintahan.
-       Pupuh 86-92, pesta besar di lapangan Bubat, diramaikan dengan nyanyi dan tari di mana baginda raja ikut serta menyanyi dan menari.
-       Pupuh 93-94, menguraikan betapa banyaknya pendeta menciptakan kakawin pujasastra untuk raja. Diantaranya, pendeta Buddha Sri Aditya menggubah Bhogawali dalam sloka. Pendeta Mutali Saherdaya menggubah sloka sangat indah, keduanya dari Jambu-dwipa (India)
-   Pupuh 95-98, menguraikan nasib sang pujangga yang canggung hidup di dusun, kemudian bertekad bertapa di lereng gunung.

Ida Bagus Wirahaji
Literatur:
J.J.Ras. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan Di Jawa. Alih Bahasa: Achiadi Ikram. Editor: Titik Pudjiastuti. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Editor: Khotimatul Husna. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Munandar, Agus Aris. 2011. Catuspatha – Arkeologi Majapahit. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
Raharjo, Supratikno. 2011. Peradaban Jawa – Dari mataram Kuno sampai Majapahit Akhir. Editor: Sugeng dan Rizal. Jakarta: Komunitas Bambu.