Label

Senin, 19 Januari 2015

KERTANAGARA



PERJALANAN RAJA KERTANAGARA


Raja Kertanagara naik tahta sebagai raja ke-5 Kerajaan Singasari pada tahun 1254 M, menggantikan ayahnya Ranggawuni. Kertanagara lahir dari rahim seorang ibu yang bernama Waning Hyun (Jayawardhani). Kitab Nagarakretagama pupuh 61-2 menceritakan bahwa saat penobatan Kertanagara segenap rakyat Janggala dan Panjalu datang ke Tumapel untuk menghadiri upacara tersebut. Ibukota Kutaraja berganti nama menjadi Singasari. Nama Singasari yang merupakan nama ibukota, kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel, maka Kerajaan Tumapel pun lebih dikenal dengan nama Kerajaan Singasari.
Menurut Kitab Pararaton, Ranggawuni yang bergelar Sri Jaya Wisnuwardana, mangkat tahun 1270 M. Ranggawuni mencatat prestasi, yakni melakukan penyatuan Kediri-Singasari, dengan menempatkan puteranya Kertanagara sebagai raja bawahan  (yuwaraja) di Kediri, dan diberi gelar Nararya Murdhaya. Ini berarti, ketika Kertanagara dinobatkan menjadi raja, ayahnya Wisnuwardana masih hidup. Lokasi Kerajaan Singasari diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.
Kertanagara seorang raja yang mempunyai cita-cita besar. Ia merupakan satu-satunya Raja Singasari yang ditunjuk sebagai putra mahkota sebelum menjadi raja dan menggantikan ayahnya dalam keadaan damai. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Singasari mencapai puncak kemakmuran dan mulai mencanangkan pandangan politik luar negeri Cakrawala Mandala, yang berarti persatuan dwipantara yang meliputi Jawa dan Sumatra. Politik ini menjadikan karakter pemerintahan Kertanagara sebagai pemimpin ekspansionis.
Sedikitnya ada 3 prasasti yang mengungkapkan gelar dari Kertanagara. Dalam Prasasti Mula Malurung (1255), Kertanagara bergelar Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purushottama Wira Asta Basudewadhipa Aniwarriwiryanindita Parakrama Murddhaja Namotunggadewa. Prasasti Padang Roco (1286) tertulis Sri Maharajadhiraja Kertanagara Wikrama Dharmotungga. Prasasti Tumpang tertulis Sri Jnaneswarabajra.
Selama masa kekuasaan Raja Kertanagara, tercatat paling banyak mengalami peristiwa pertumpahan darah, bila dibandingkan dengan 4 raja sebelumnya. Namun, meskipun diwarnai dengan berbagai konflik internal, justru Raja Kartanagara memegang rekor terlama berkuasa di Singasari, yaitu selama 38 tahun (1254-1292). Hal ini membuktikan bahwa, panjang pendeknya masa pemerintahan, tidak berkaitan langsung dengan tingkat kestabilan pemerintahan. Seorang raja dapat memerintah dalam waktu relatif lama meski situasi kerajaan tidak stabil, sering bergolak. Sebaliknya, ada raja yang memerintah dalam kurun waktu sangat pendek, meski situasi kerajaan tenang. Hal ini menjadi indikasi bahwa Kertanagara seorang raja yang kuat berhasil mengendalikan situasi kerajaan.
Menurut Kitab Pararaton, Raja Kertanagara dalam memantapkan kekuasaan  menyingkirkan orang-orang yang dicurigai tidak mempunyai loyalitas penuh. Orang-orang yang disingkirkan antara lain: Banyak Wide, diberi kekuasaan di daerah yang jauh di Sumenep, Madura Timur. Banyak Wide diangkat sebagai Adipati bergelar Arya Wiraraja. Kertanagara membunuh seorang kelana yang bernama Bhaya (Cayaraja), sebelum memerintahkan pasukannya menyerang Melayu. Pemberontakan Kelana Bhaya atau Cayaraja terjadi sekitar tahun 1271.  Mahisa Rangkah menyusul memberontak pada tahun 1280. Kedua pemberontakan ini dapat dipadamkan karena Kertanagara belum mengirim pasukan ke Swarnabhumi.
Bahkan patih utama Mpu Raganata yang selalu setia mendampingi Kertanagara meletakkan jabatan. Mpu Raganata merasa keberadaannya sudah tidak berarti lagi karena nasihat-nasihat sebagai Mpu sering tidak dihiraukan.Namun, dalam Kitab Kidung Panji Wijayakrama pupuh 1 dan Kitab Kidung Harsawijaya pupuh 1-28b, disebutkan Mpu Raganata dipecat oleh Kertanagara. Mpu Raganata adalah orang bijak, jujur dan pemberani. Tanpa ragu-ragu, Raganata mengemukakan keberatannya terhadap kepemimpinan sang prabu. Namun, Raja Kertanagara yang merasa punya kekuatan, menolak mentah-mentah pendapat Mpu Raganata, bahkan menjadi murka, dengan serta merta memecat Raganata dari jabatannya. Demikian juga Tumenggung Wirakreti disurutkan jabatannya menjadi mantri angabhaya (menteri pembantu).
Tahun 1289 M Singasari kedatangan utusan khusus dari Raja Mongol Kubilai Khan. Duta tersebut bernama Meng Chi membawa surat yang maksudnya adalah agar Raja Kertanagara tunduk pada kekuasaan Mongolia, Kerajaan Singasari merupakan bagian dari kekuasaan Kubilai Khan. Kertanagara membaca isi surat tersebut marah besar, dan seketika itu juga melukai hidung Meng Chi serta mengusirnya secara tidak terhormat. Meng Chi balik pulang ke negaranya, melaporkan pengalamannya menjalankan tugas sebagai utusan. Raja Kubilai Khan menjadi berang, tindakan Kertanagara menyalahi etika perlakuan terhadap seorang utusan. Kubilai Khan mengirim pasukan untuk menyerang Singasari. Menyadari akan adanya tindakan balasan dari Kubilai Khan, Kertanagara memperkuat pasukannya di Sumatera.

Wangsa Rajasa dan Wangsa Sinelir
Dalam penyelenggaraan pemerintahannya, Kertanagara membentuk 3 orang Mahamantri, yaitu: rakryan i hino, rakryan i sirikan, dan rakryan i halu. Mereka meneruskan dan mengatur perintah-perintah raja melalui menteri pelaksana, seperti: rakryan apatih, rakryan demung, dan rakryan kanuruhan. Sistem ini kemudian dikembangkan pada masa Kerajaan Majapahit. Jabatan Ratu Angbhaya dihapus yang selama ini dijabat oleh Narasinghamurti yang berasal dari Wangsa Rajasa, sehingga Lembu Tal (putera Narasinghamurti) tidak menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Singasari. Pemangkasan terhadap pengaruh Wangsa Rajasa terus dilakukan dengan mencopot Tumenggung Wirakerti dan Pendeta Santasmerti. Sebaliknya, Wangsa Sinelir dipromosikan menduduki jabatan penting, seperti Patih Mahesa Anengah Anggragani, Kebo Anabrang dan Jayakatwang sendiri.
Ada 2 kelompok besar pewaris yang berseteru di Kerajaan Singasari. Kedua kelompok itu adalah Wangsa Rajasa dan Wangsa Sinelir. Wangsa Rajasa maksudnya adalah keturunan yang lahir dari Ken  Arok-Ken Dedes yang diwakili Mahesa Wonga Teleng. Wangsa Sinelir adalah yang diidentifikasi sebagai keturunan Tunggul Ametung-Ken Dedes yang diwakili oleh Anusapati. Sedangkan trah Ken Arok-Ken Umang diwakili Panji Tojaya kurang mendapat legitimasi. Masing-masing wangsa punya pendukung sendiri-sendiri. Pendukung Wangsa Rajasa antara lain: Lembu Tal, Arya Wiraraja, Mpu Raganata dan lain sebagainya. Pendukung Wangsa Sinelir antara lain: Kebo Anengah, Panji Aragani, dan lain sebagainya.
Kepercayaan Kertanagara terhadap Jayakatwang begitu besar, sehingga diangkat menjadi pucuk pimpinan di Kediri, yang sebelumnya menjadi penguasa Glang-glang. Pada masa itu Kediri adalah daerah utama bagi Singasari, sehingga seorang yang diangkat menjadi Bhre Kediri (Penguasa Kediri) merupakan putra mahkota atau yuwaraja. Demikian juga dahulu Kertanagara sewaktu muda bergelar Nararya Murdhaya menjadi Bhre Kediri sebelum dinobatkan menjadi raja Singasari. Hal yang sama nantinya, sebelum Jayanegara dinobatkan menjadi Raja Majapahit, pernah menjabat Bhre Kediri.


Penyatuan Nusantara
Kertanagara menganut pola politik baru, yaitu penguasaan seluruh Nusantara di bawah kontrol Singasari. Ia dipandang sebagai raja pertama yang mempunyai gagasan penyatuan nusantara. Sedangkan, pejabat-pejabat lama seperti Banyak Wide adalah pejabat senior di bawah Raja Seminingrat/Wisnuwardana/Ranggawuni ayah Kertanagara, masih menganut pola politik lama (intern Jawa) sewaktu ayahnya berkuasa. Merasa tidak cocok dengan pola politik yang lama, yang dianut oleh pejabat-pejabat senior, Kertanagara melakukan revitalisasi pejabat. Pejabat-pejabat lama yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan pola politiknya dan  juga pejabat yang dianggap tidak loyal dipindahkan, disurutkan dan bahkan diberhentikan. Namun, perombakan ini menimbulkan dendam dan menjadi benih kejatuhannya kelak.
Ekspedisi Pamalayu merupakan prestasi tersendiri bagi Kertanagara. Ekspansi ini dilakukan pada tahun 1275 M dengan menyerang Melayu di Sumatera. Dalam sastra sejarah Jawa Kuno, ekspedisi ke Melayu ini disebut Pamalayu yang artinya perang melawan Melayu. Ekspedisi ini juga bermaksud strategis, yaitu menghadang perluasaan ekspansi kerajaan Mongol, dimana kerajaan Mongo sudah hampir menguasai sebagian besar daratan Asia. Ekspedisi berhasil dengan gemilang. Pasukan Singasari pulang dengan kemenangan. Mereka berhasil menundukkan Raja Melayu Tribhuwana Mauliwarmadewa di Dharmasraya yang berpusat di Jambi sekarang. Sebagai bukti tanda kemenangannya Kertanagara mengirim patung Amoghapasa dari Jawa ke Swarnabhumi. Kertanagara memerintahkan kepada 4 orang untuk mengirm arca tersebut. Keempat orang tersebut adalah: Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma. Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payanan Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Wira. Pengiriman Arca ini diperkirakan pada Agustus-September 1286 M.
Perluasan kekuasaan kerajaan Singasari berlangsung terus. Upaya mewujudkan ekspansi kekuasaan Kertanagara dapat dikatakan berhasil. Pengaruh kekuasaannya meluas ke negeri Champa, yang dibuktikan dengan ikatan perkawinan adik Kertanagara dengan raja Champa. Daerah-daerah yang dikuasai semasa pemerintahan Kertanagara adalah: Swarnabhumi (Sumatera), Bakulapura (Kalimantan Barat), Sunda (Jawa Barat), Madura, Bali dan Gurun (Maluku).
Bali ditaklukkan oleh tentara Singasari pada tahun 1284 M. Raja Bali ditawan dibawa ke Singasari. Penaklukan terhadap Bali sangat penting, karena dengan menguasai daerah ini, selain menguntungkan secara ekonomi dimana upeti dan perdagangan hasil bumi akan mengalir ke pusat kerajaan dan juga secara militer kerajaan Singasari akan mendapatkan banyak sekutu dan pasukan untuk mengantispasi perang terbuka dengan Kerajaan Mongol.
Penaklukan terhadap Bali berjalan baik, mungkin karena sejak lama Bali secara tradisional merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Jawa. Mulai sejak itu Bali berada di bawah pengaruh kerajaan Singasari. Pengaruh Singasari jelas tampak di Bali khususnya pada jalur jalan Desa Bedulu-Tampaksiring. Unsur-unsur Bhairawa tampak dominan di situs-situs purbakala pada jalur jalan ini. Diantaranya: Pura Samuan Tiga, Pura Kebo Edan, Pura Pusering Jagat, Pura Penataran Sasih, Pura Gunung Kawi, Pura Tirtha Empul, Pura Mangening, dan lain sebagainya.

Pemberontakan Jayakatwang
Kertanagara yang sibuk mengirim pasukan perangnya ke luar Jawa, akhirnya mengalami krisis kekuatan tentara di dalam negeri. Situasi ini dimanfaat oleh Jayakatwang. Kemudian pada tahun 1292 terjadi pemberontakan pasukan Kediri yang dipimpin oleh yuwaraja, Jayakatwang. Tragis, sebenarnya hubungan Kertanagara dengan Jayakatwang sendiri adalah sepupu, sekaligus ipar, dan juga besan.
Kemungkinan akan memberontaknya Bhre Kediri sudah diantisipasi oleh Mpu Raganatha. Hal tersebut sudah disampaikan kepada raja Kertanagara, namun ditolak, dengan alasan bahwa Jayakatwang banyak berhutang budinya. Jayakatwang pernah diberi kedudukan sebagai pegawai keraton (pengalasan) Singasari, sebelum diberi kedudukan sebagai yuwaraja menjadi Bhre Kediri.
Pengiriman pasukan keluar daerah dalam rangka pemenuhan ambisi Kertanagara ini, sangat menguras logistik dalam negeri. Situasi ini diketahui oleh Arya Wiraraja dan mengirim pesan rahasia kepada Bhre Kediri Jayakatwang. Kitab Nagara Kertagama pupuh 41/4 menceritakan kalimat-kalimat yang tertulis dalam pesan rahasia tersebut. Kota Singasari digambarkan sebagai tegalan yang tandus. Tidak ada rumput, tidak ilalang, daun-daun sedang rontok, gugur berhamburan, kering kerontang. Tidak ada kerbau, rusa, sapi, yang ada hanya harimau tua. Bukitnya kecil-kecil, jurangnya tidak berbahaya, dan seterusnya.
Harimau tua adalah perumpamaan dari Arya Wiraraja kepada Mpu Raganatha yang memang usianya sudah tua renta tidak mampu berbuat apa lagi. Ini merupakan kesempatan yang baik bagi Jayakatwang untuk berburu (memberontak), menggulingkan dan merebut kekuasaan kerajaan Singasari terhadap Kertanagara. Pembawa surat Arya Wiraraja adalah Wirondaya, sempat ditanya oleh Jayakatwang tentang bagaimana situasi Kota Singasari. Wirondaya menjawab bahwa Raja Kertanagara banyak melakukan tindakan pembersihan terhadap para pendampingnya. Adanya yang dipindahkan jauh, ada yang disurutkan dan bahkan dipecat, diberhentikan.
Selain itu, Jayaktwang juga mendengar petuah dari Patih Mahisa Mundarang. Mundarang menuturkan bahwa, moyang Jayakatwang Prabu Dandang Gendis (Kertajaya) dibunuh oleh Ken Arok, bersamaan dengan itu lenyaplah kekuasaan  kerajaan Kediri, diganti dengan kerajaan baru Singasari. Ken Aroklah sebagai raja pertama Singasari bergelar Raja Rajasa. Dari peristiwa itu, Mundarang menyarankan Jayakatwang agar membalas dendam sebagai suatu kewajiban seorang anak, dan menegakkan kembali kejayaan kerajaan Kediri.
Setelah mendapat petunjuk dari pesan yang diberikan Arya Wiraraja dan nasihat dari Mundarang, Jayakatwang segera mengkoordinasikan penyerangan ke Kota Singasari. Orang-orang yang diperintahkan Jayakatwang membantu penyerangan adalah: Jaran Guyang, Patih Mahisa Mundarang, dan Ardharaja. Ardharaja adalah putera Jayakatwang sekaligus menantu Kertanagara. Rupanya Ardharaja lebih memilih berbakti pada orang tuanya daripada mertuanya.

Kematian Kertanagara
Tidak seperti pemberontakan sebelumnya, pemberontakan Jayakatwang merupakan kesempatan yang baik, sehingga menuai hasil yang gemilang. Kesempatan baik, karena kekuatan pasukan Singasari lebih terpusat di Swarnabhumi, menyisakan kekuatan pasukan yang lemah di negeri sendiri. Serangan Jayakatwang bersifat mendadak, tidak dapat diduga oleh pihak keraton.
Kertanagara yang berada di ruang keputerian sedang melakukan dan menikmati pesta, tidak menduga akan bahaya yang datang. Patih Angragani sempat menghadap, kemudian terdengar sorak-sorak bala tentara Kediri di Manguntur. Mpu Raganatha dan Mantri Angabhaya Wirakerti bergegas masuk ke ruang keputerian dan menasihati, bahwa adalah tabu bagi seorang raja terbunuh di dalam ruangan. Raja Kertanagara keluar ruangan dan terbunuh ditangan Jayakatwang sendiri. Mpu Raganatha, Panji Angragani, dan Wirakerti juga terbunuh dalam serangan yang tiba-tiba tersebut. Sementara Dyah Wijaya melarikan diri ke Sumenep. Jayakatwang menjadi penguasa Singasari dengan menggunakan Daha sebagai ibukotanya.
Sejarah Singasari berakhir dan lenyap dengan gugurnya Raja Kertanagara pada tahun 1292. Arwahnya dicandikan bersama arwah istrinya di Sagala sebagai Wairocana dan Locana dengan lambang arca tunggal Ardhanareswari. Kitab Nagara Kertagama mencatat Raja Kertanagara pulang ke Jinalaya dan diberi gelar “Yang Mulia di Alam Siwa-Buddha”, dalam Kitab Pararaton disebut Bhatara Siwa-Buddha. Patung perwujudan Kertanagara yang berada di Taman Apsari Surabaya berasal dari Trowulan. Patung lebih dikenal dengan nama Joko Dolog.

(Ida Bagus Wirahaji)
DAFTAR PUSTAKA

Adji, K.B dan Sri W Achmad. 2014. Sejarah Raja-Raja Jawa – Dari Mataram Kuno Hingga Mataram Islam. Yogyakarta: Araska.
Atmaja, N.B. 2010. Geneologi Keruntuhan Majapahit. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayat, M. 2013. Arya Wiraraja dan Lumajang Tigang Juru. Denpasar: Pustaka Larasan.
Muljana, S. 2006. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Edisi Pertama. Yogyakarta: LkiS.
Rahardjo, S. 2011. Peradaban Jawa – Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu
Samsubur. 2011. Sejarah Kerajaan Blambangan. Cetakan Pertama. Surabaya: Paramita.
Soekmono, R. 1973. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid Kedua. Jakarta: Yayasan Kanisius