Label

Rabu, 21 Maret 2012

BABAD BADUNG

-->
  






BADUNG PADA JAMAN
SUB DINASTI JAMBE
(1750 – 1788 M)


Lahirnya Putera Utama Kyai Ketut Bendesa
            Untuk mengetahui asal-usul Kyai Jambe Merik, diceritakan kembali tokoh  Arya Kenceng yang diberikan kekuasaan oleh Dhalem di daerah Tabanan (waktu itu istilah Tabanan belum ada), mendirikan istana di desa Buwahan atau di Pucangan,  mempunyai putera kandung, yang sulung bernama Sri Maghada Prabu dan adiknya Sri Maghada Natha. Selain itu Arya Kenceng juga memiliki putera bernama Kyai Arya Tegeh Kori, seperti yang diceritakan di depan. Putera sulung tidak berambisi menjadi raja, Sri Maghada Natha menggantikan ayahnya menjadi raja dengan gelar Arya Ngurah Tabanan atau Arya Pucangan.
            Arya Ngurah Tabanan pernah diperintah oleh Dhalem untuk mengamati situasi di kerajaan Wilatikta (Majapahit). Di sana beliau melihat suasana yang kacau balau  akibat islamisasi. Setelah cukup mengatahui keadaan di Majapahit, Arya Ngurah Tabanan pulang kembali ke Bali menghadap Dhalem di Gelgel untuk memberikan laporan. Setelah memberikan laporan, Arya Ngurah Tabanan mendengar berita bahwa adiknya (wanita) yang diperistri oleh Dhalem, diberikan lagi oleh Dhalem kepada Kyai Asak di kapal keturunan Arya Kepakisan. Hal ini membuat Arya Ngurah Tabanan merasa sedih, sakit hati, hingga meletakkan jabatan sebagai raja di Buwahan. Tindakan Dhalem ini dinilai tidak menghargai persembahan Arya Ngurah Tabanan. Putera sulungnya Kyai Ngurah Langwang menggantikan ayahnya menjadi raja yang juga bergelar Arya Ngurah Tabanan dengan nama lain Arya Pucangan.
            Setelah meletakkan jabatan Arya Ngurah Tabanan meninggalkan keraton dan mendirikan sebuah pondok di tengah hutan yang disebut Kubon Tingguh. Kubon Tinggoh adalah tempat berduka cita. Dalam kedukaan tersebut beliau ditemani oleh putri  Ki Bendesa Pucangan hingga hamil. Lahirlah seorang putera utama yang diberi nama Kyai Ketut Bendesa. Keutamaan Kyia Ketut Bendesa menimbulkan kecemburuan kakaknya Arya Ngurah Tabanan yang bertahta di Buwahan. Segala macam daya upaya dilakukan oleh Arya Ngurah Tabanan untuk mencelakakan adik tirinya Kyai Ketut Bendesa, namun semua itu tidak pernah berhasil. Pernah Kyai Ketut Bendesa disuruh untuk memangkas pohon Beringin yang tumbuh di Alun-alun Puri. Pohon Beringin ini amat keramat dan ditakuti oleh semua orang karena amat angker. Tetapi tugas ini berhasil dilaksanakan Kyai Ketut Bendesa dengan gemilang tanpa ada bahaya apapun, sebagai bukti memang Kyai Ketut Bendesa adalah putera yang utama. Sejak saat itu Kyai Ketut Bendesa diberi gelar Kyai Notor Wandira/Waringin.
           
Kyai Notor Wandira Mendapat Anugrah Bhatari Danu
Setelah menginjak dewasa Kyai Notor Wandira melakukan suatu perjalanan untuk mendapatkan keagungan dan kebesaran. Dalam perjalanan beliau sampai di desa Tambiak, bertemu dengan seorang laki-laki hitam, berambut merah, bergigi putih yang tidak tahu tentang dirinya sendiri.     Oleh sebab itu dipungut sebagai sahaya oleh Kyai Arya Notor Wandira yang kemudian diberi nama Ki Andagala atau Ki Tambiak. Perjalanan diteruskan sampai ke puncak gunung Watukaru. Di sana beliau bersemadi hingga mendapat wangsit agar perjalanan diteruskan ke Selagiri (gunung Batur). Sampai di gunung Batur Arya Notor Wandira melakukan yoga semadi, hingga akhirnya ada suatu penampakan yang menamakan diri Bhatari Danu. Bhatari Danu memberi petunjuk ke arah Selatan yang terlihat Badeng (gelap), Arya Notor Wandira agar menghadap Kyai Anglurah Tegeh Kori yang sedang berkuasa, di sanalah tempat mendapat keagungan dan kebesaran. Arya Notor Wandira dianugrahi pusaka berupa Tulup dan Pecut. Setelah mendapat anugerah Bhatari Danu Batur Arya Notor Wandira dengan diiringi oleh Ki Tambiak yang setia melanjutkan perjalanan ke arah Selatan seperti yang ditunjuk oleh Bhatari Danu. Kata Badeng inilah yang kemudian jadi kata Badung.

Arya Notor Wandira Menghamba Kepada Tegeh Kori
Diceritakan perjalanan Arya Notor Wandira sampai di desa Lumintang, wilayah kekuasaan Kyai Anglurah Tegeh Kori, bertemu dengan Ki Buyut Lumintang, salah seorang pemuka kerajaan. Setelah beberapa lama tinggal di desa Lumintang Arya Notor Wandira diiringi Ki Buyut Lumintang bertemu dengan Ki Mekel Tegal, untuk kemudian akhirnya menghadap Kyai Anglurah Tegeh Kori di Puri Tegal. Pertemuan ini sangat mengharukan kedua pihak, karena antara Kyai Tegeh Kori dan Arya Notor Wandira ada hubungan Paman – Ponakan. Arya Notor Wandira menyatakan hasratnya untuk menghamba (mekandelin) pamannya di bumi Badung. Kyai Tegeh Kori menyambut baik niat tersebut (versi lain lain: Arya Notor Wandira kedharma putra oleh Tegeh Kori). Arya Notor Wandira diberikan fasilitas tinggal di Badung dengan dibuatkan kediaman di dusun Kerandan. Demikianlah Arya Notor Wandira tinggal di Badung dan menurunkan parati sentana terus berkembang turun tumurun, yang kemudian keturunannya membangun sebuah Pemerajan di Nambangan, yang dinamakan Pura Tambang Badung sekarang.

Keturunan Arya Notor Wandira di Kerajaan Tegeh Kori
            Diceritakan sekarang seorang parati sentana terkemuka dari dinasti Arya Notor Wandira bernama Kyai Bebed atau Kyai Jambe Pule nama lain beliau adalah putera dari Kyai Papak. Meskipun kekuasaan berada di tangan Kyai Anglurah Tegeh Kori XI, tetapi urusan sehari-hari pemerintahan lebih banyak dijalankan oleh Kyai Jambe Pule, karena putera-putera dari Kyai Tegeh Kori tidak mempunyai rasa tanggung jawab terhadap pemerintahan. Kyai Jambe Pule lebih mendapat simpati di kalangan rakyat banyak. Oleh karena itu ketika terjadi pertikaian yang disebabkan oleh kesalahan Kyai Tegeh Kori XI membatalkan perkawinan puterinya dengan Kyai Jambe Merik putera Kyai Jambe Pule, rakyat lebih banyak mendukung Kyai Jambe Pule. Kyai Jambe Pule dengan dukungan rakyat memberontak dan menumbangkan kekuasaan Arya Tegeh Kori XI.
Kyai Jambe Pule mempunyai isteri terkemuka 3 orang. Isteri pertama berasal dari keluarga Pucangan juga menurunkan putera utama Kyai Ngurah Jambe Merik. Isteri yang ke dua berasal dari desa Tumbak Bayuh menurunkan putera utama Kyai Ngurah Glogor. Isteri ke tiga berasal dari Bebandhem menurunkan putera utama Kyai Nyoman Pemedilan, atau juga disebut Kyai Ngurah Pemecutan I, juga Kyai Macan Gadhing nama lainnya. Ketiga Putera utama dari Dinasti Arya Notor Wandira: Kyai Ngurah Jambe Merik, Kyai Ngurah Pemecutan I, dan Kyai Ngurah Glogor inilah yang menerima warisan anugrah dari Bhatari Danu.
            Kyai Ngurah Jambe Merik diberikan tempat kedudukan di Alang Badung, istananya bernama Puri Peken Badung (daerah Suci sekarang). Pemerajannya bernama Pura Suci.  Kyai Ngurah Glogor diberi tempat kedudukan di Puri Glogor (di dekat Banjar Glogor sekarang). Kyai Ngurah Pemecutan I diberi tempat kedudukan di Puri Pemecutan. Lokasi Puri Pemecutan, di sebelah Selatan kuburan Badung, di sebelah Barat Pemerajan Nambangan, di sebelah Utara Gerya Telabah, di sebelah Timur Jl. Thamrin sekarang. Kyai Ngurah Pemecutan I sewaktu masih bayi ditinggal oleh ibunya, beliau diasuh oleh Si Tunjung Gunung, termasuk juga Ki Andagala atau Ki Tambiak.
Kyai Jambe Merik dan Kyai Pemecutan I pernah diutus ke Dhalem Gelgel. Di Istana Gelgel terdapat  beberapa burung Gagak yang mengganggu kenyamanan Dhalem. Kyai Jambe Merik melaksanakan tugas dengan baik membunuh burung-burung tersebut dengan senjata Tulup, sehingga setelah meninggal diberi gelar Bhatara Hyang Anulup. Sementara Kyai Pemecutan I disuruh bertarung adu cambuk/cemeti/pecut dengan beberapa pemuda di Gelgel. Berkat kepandaiannya main pecut beliau berhasil mengalahkan pemuda-pemuda tersebut. Oleh sebab itu beliau diberi julukan Kyai Ngurah Pemecutan. Selanjutnya yang mengemuka dalam sejarah Badung adalah: Kyai Jambe Merik menurunkan Sub Dinasti Jambe, dan Kyai Ngurah Pemecutan I  menurunkan Sub Dinasti Pemecutan.


Kyai Anglurah Jambe Merik Raja Badung I
            Setelah berhasil menggulingkan kekuasaan Arya Tegeh Kori Kyai Anglurah Jambe Merik menjadi raja di Badung beristana di Alang Badung (daerah Suci sekarang), dengan Pemerajannya bernama Pura Suci, istananya bernama Puri Peken Badung. Kyai Jambe Merik dapat dikatakan sebagai pendiri kerajaan Badung. Pada jamannya beliau mengirim adiknya Kyai Ngurah Pemecutan I untuk membebaskan kota Gelgel dari pendudukan I Gusti Agung Maruti sejak tahun 1686. Kyai Ngurah Pemecutan I gugur dalam pertempuran di desa Batu Klotok. Sebagaimana diketahui salah seorang isteri Dhalem Di Made adalah saudara dari Kyai Jambe Merik, yang menurunkan Dewa Agung Jambe Raja Klungkung I.
           
Kyai Anglurah Jambe Ketewel Raja Badung II
Setelah Kyai Jambe Merik meninggal, digantikan oleh puteranya Kyai Anglurah Jambe Ketewel. Beliau masih menempati kediaman ayahnya di Puri Peken Badung. Pada jamannya dibangun bendungan (DAM) raksasa di tukad Sagsag, di mana sepasang suami-istri dari abdi menyerahkan nyawanya (jadi caru) menjadi dasar bendungan tersebut. Suami-istri tersebut menceburkan diri di tempat sekitar 75 meter ke Utara dari lokasi bendungan sekarang, disaksikan oleh raja Badung, pejabat-pejabat kerajaan, dan rakyat. Oleh karena itu bendungan tersebut diberi nama Oongan.
Sekitar akhir abad 18 kerajaan Badung diserang oleh laskar Taruna Gowak Panji Sakti dari kerajaan Buleleng, yang dipimpin langsung oleh rajanya Kyai Anglurah Panji Sakti. Pada saat kritis tersebut raja Badung menunjuk Kyai Anglurah Pemecutan II yang beristana di Puri Pemecutan menjadi pemimpin laskar Alang Badung untuk membendung serangan tersebut. Laskar Alang Badung berhasil mendesak mundur laskar musuh dan banyak yang jatuh korban di pihak Buleleng. Sisa anggota laskar melarikan diri ke desa Tanguntiti. Karena reputasinya ini setelah wafat Kyai Anglurah Pemecutan II disebut Bhatara Sakti. Tempat terjadinya pertempuran tersebut kemudian diberi nama Taensiat.
Pada jamannya, Dewa Agung Jambe dari Klungkung melakukan kunjungan ke Badung untuk mengucapkan rasa terimakasihnya atas dukungan Badung dalam mengakhiri pendudukan Patih Agung I Gusti Agung Maruti di istana Gelgel. Dewa Agung Jambe menghadiahkan desa Batu Bulan sebagai wilayah kekuasaan Badung.

Kyai Anglurah Jambe Tangkeban Raja Badung III
            Dalam masa pemerintahannya tidak terjadi hal-hal penting yang menyangkut masalah eksternal kerajaan. Menurut Babad Timbul, pada jamannya datanglah seorang bangsawan keturunan Dhalem Sukawati yang bernama Dewa Agung Made bersama adik-adiknya seperti: Dewa Agung Karang, Cokorda Anom, dan Cokorda Ketut Segara, beserta putera – puteri  beliau. Kedatangan Dewa Agung Made ini adalah karena perselisihannya dengan kakaknya Dewa Agung Gede yang memerintah kerajaan Dhalem Sukawati.
Mengetahui Dewa Agung Made dalam keadaan sedih, Kyai Anglurah  Jambe Tangkeban menjamu tamunya dengan baik. Sampai salah seorang putri keluarga Puri hamil akibat hubungannya dengan Dewa Agung Made. Setelah diperistri oleh Dewa Agung Made, gadis yang sedang hamil itu diberikan kepada Kyai Jambe Tangkeban dengan syarat jangan dicampuri sebelum anak itu lahir. Lahirlah seorang bayi laki-laki yang kemudian menurunkan parati sentana di Puri Jero Kuta. Bayi yang kemudian menjadi cikal bakal Puri Jero Kuta ini, putera kandung dari Dhalem Sukawati dan putera tiri dari Kyai Jambe Tangkeban dari Sub Dinasti Jambe (bukan Sub Dinasti Pemecutan).

Kyai Anglurah Jambe Aji Raja Badung IV
Kyai Jambe Aji menggantikan kedudukan ayahnya yang sudah tua. Beliau mendirikan istana baru bernama Puri Ksatria sekaligus memindahkan pusat pemerintahannya. Komplek Puri di Utara berbatasan dengan dusun Taensiat, sebelah Timur dusun Kaliungu, Selatan dusun Belaluan, dan Barat dusun Tampak Gangsul. Dalam komplek Puri terdapat Gerya yang dinamakan Gerya Ksatrya, dan pasar yang dinamakan Pasar Ksatrya. Karena megahnya keadaan Puri Ksatrya itu beliau disebut juga Kyai Jambe Aeng.
Salah seorang isteri dari Kyai Anglurah Jambe Aji adalah puteri dari Kyai Pemecutan II melahirkan putera mahkota yang bernama Kyai Jambe Ksatrya. Kyai Jambe Ksatrya kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja Badung.

Kyai Anglurah Jambe Ksatrya Raja Badung V
            Kyai Anglurah Jambe Ksatrya adalah raja Badung terakhir dari Sub Dinasti Jambe. Diceritakan Kyai Jambe Ksatrya mempunyai kesenangan berjudi sabung ayam. Beliau mempercayakan ayam – ayamnya dipelihara oleh I Gusti Ngurah Rai dari Sub Dinasti Pemecutan yang tinggal di Puri Kaleran (asal-usul Puri Kaleran akan diceritakan pada bab berikutnya). Akibat seringnya I Gusti Ngurah Rai ke kediaman Kyai Jambe Ksatrya untuk mengurus ayam sang Raja, terjadi hubungan gelap antara I Gusti Ngurah Rai dengan salah satu istri raja yang masih muda. Hubungan ini akhirnya diketahui juga oleh raja. Raja sangat marah dan berencana memberi hukuman.
Merasa bersalah I Gusti Ngurah Rai mohon maaf, tapi raja tidak bersedia mengampuni. I Gusti Ngurah Rai segera mencari upaya untuk keluar meloloskan diri dari wilayah kekuasaan Badung. Mula pertama beliau pamitan kepada ibundanya  di Jro Krobokan, kemudian meneruskan perjalanan sampai ke desa Serangan sampai akhirnya menyeberang ke Lombok. Sementara laskar Jambe sibuk mencari putera dari Puri Kaleran tersebut.
I Gusti Ngurah Rai diterima baik oleh raja Sasak, dan diperlakukan seperti keluarga sendiri. Di sana beliau dapat pelajaran dan pengalaman lain yang menambah kematangannya dalam urusan politik dan ketata-negaraan. Sementara itu pihak keluarga Kaleran mengatur siasat untuk menghadapi kekuasaan.

Berakhirnya Kekuasaan Sub Dinasti Jambe
            Kemelut yang berkepanjangan antara Puri Kaleran dari Sub Dinasti Pemecutan dengan Puri Alang Badung yang berkuasa, sangat mengganggu aktifitas sehari-hari kerajaan dan rakyat Badung. Sementara itu Puri Pemecutan mengambil sikap netral tidak memihak manapun, karena yang berseteru ini adalah keluarga sendiri. Ada seorang puteri dari Puri Agung Pemecutan kawin dinikahi oleh Kyai Anglurah Jambe Ksatrya. Oleh karena itu Puri Pemecutan tidak banyak berperan dalam penggulingan kekuasaan Sub Dinasti Jambe.
            I Gusti Ngurah Rai setelah pulang dari Lombok, mencari dukungan ke kerajaan Gianyar, yang waktu itu diperintah oleh Dewa Manggis Api. Beliau juga mencari dukungan ke Gerya Jro Gede Sanur, karena salah seorang puteri dari Sub Dinasti Pemecutan ada yang kawin ke Gerya Jero. Demikian juga I Gusti Ngurah Rai mengadakan kunjungan ke Puri Jro Kuta untuk mencari dukungan. Diplomasi di Jro Kuta memang berat dan riskan, karena Puri Jro Kuta adalah bagian dari keluarga Sub Dinasti Jambe.
            Pagi-pagi buta pada hari yang telah ditetapkan, pasukan Jro Krobokan asal dari Ibunda I Gusti Ngurah Rai bergerak merapat ke Puri Jro Kuta. Gerakan laskar Krobokan ini menyebabkan kepanikan di Puri Alang Badung. Kentonganpun dipukul bertalu-talu. Laskar Jambe bersiap-siap menunggu perintah. Raja Kyai Anglurah Jambe Ksatrya mengetahui banyaknya pihak yang mendukung I Gusti Ngurah Rai, akhirnya bersedia menyelesaikan permasalahan ini dengan pembicaraan keluarga di Puri Jro Kuta. Raja Kyai Anglurah Jambe Ksatrya bersedia menyerahkan kekuasaan, memberikan sebilah keris Singapraga kepada I Gusti Ngurah Rai dan menyuruh menikam raja. I Gusti Ngurah Rai dengan hormat menerima keris itu dan membunuh raja di hadapan para hadirin. Beberapa saat sebelum ditikam Raja Jambe sempat mengeluarkan kutukan agar selama tujuh turunan keturunan dari I Gusti Ngurah Rai menderita sakit ingatan (buduh). Setelah penusukan dilakukan I Gusti Ngurah Made Pemecutan (adik I Gusti Ngurah Rai yang kemudian menjadi raja Badung berikutnya) menunggu di dekat pembaringan raja sampai menghembuskan napas terakhir. Setelah Kyai Anglurah Jambe Ksatrya dipastikan meninggal, dilakukan pengumuman di Jaba Puri Jro Kuta, bahwa Raja Badung sudah wafat. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1788. Laskar-laskar kedua belah pihak yang siap saling berhadapan ditenangkan dan dibubarkan. Kyai Anglurah Jambe Ksatrya kemudian dijuluki Bhatara Maharaja Dewata. Dengan demikian berakhir sudah masa kekuasaan Sub Dinasti Jambe, dan Badung memasuki Jaman kekuasaan Sub Dinasti Pemecutan.
BADUNG PADA JAMAN
SUB DINASTI PEMECUTAN
(1788 – 1906)


Kyai Anglurah Pemecutan I
            Meskipun belum memegang kekuasaan di Badung, namun keluarga Sub Dinasti Pemecutan memiliki kebesaran dan keagungan yang tidak kalah dengan Sub Dinasti yang memegang kekuasaan (Sub Dinasti Jambe). Kyai Anglurah Pemecutan I berhasil mengalahkan beberapa pemuda yang mengeroyoknya dalam adu cambuk yang digelar di istana Dhalem di Gelgel.
Beliau juga dipercaya sebagai panglima laskar Badung, yang dikirim ke Gelgel untuk mengakhiri pendudukan tahta Dhalem oleh Patih Agung I Gusti Agung Maruti. Selain laskar Badung, juga terdapat laskar Buleleng yang dipimpin panglima Ki Tamblang Sampun, dan laskar Sidhemen yang dipimpin langsung oleh I Gusti Ngurah Singharsa. Pasukan Badung menyerang dari Selatan, laskar Denbukit dari yang bermarkas di desa Panasan menyerang dari Barat, dan laskar Sidhemen menyerang dari Utara. Laskar Badung terlebih dahulu kontak dengan laskar I Gusti Agung Maruti dengan jumlah yang lebih besar. Kyai Anglurah Pemecutan I gugur di desa Batu Klotok. Beliau kemudian bergelar Kyai Anglurah Macan Gading dan Bhatara Mur Ring Batu Klotok.
Beliau menurunkan 4 putera dan puteri beribu dari Penataran, yaitu: Kyai Anglurah Pemecutan II, Kyai Madhe Tegal, Kyai Ketut Telabah, dan seorang Puteri menikah dengan Brahmana bernama Ida Ngenjung dari Gerya Jro Gede Sanur.

Kyai Anglurah Pemecutan II
Kyai Anglurah Pemecutan II berkedudukan di Puri Agung Pemecutan. Beliau berjasa dalam mengalahkan laskar Taruna Gowak Panji Sakti dari Buleleng dalam suatu pertempuran yang terjadi di desa yang kemudian dinamakan Taensiat. Semenjak itu beliau dijuluki Kyai Anglurah Pemecutan Sakti (Bhatara Sakti). Beliau mejalankan politik kawin agar banyak mendapat dukungan. Beliau menurunkan beberapa putera terkemuka. Dari Permasuri pertama asal Badung menurunkan Kyai Anglurah Pemecutan III, yang berkedudukan di Puri Agung Pemecutan. Permasuri ke dua Ratu Istri Bongan dari kerajaan Mengwi, menurunkan Kyai Agung Gde Oka Pemecutan, dibuatkan istana baru di Utara bernama Puri Kaleran. Satu lagi putera beliau yang terkemuka adalah Kyai Anglurah Mayun beristana di Puri Kesiman Pengerobongan.
            Kyai Anglurah Gde Oka Pemecutan atau I Gusti Ngurah Gde Oka Pemecutan yang berkedudukan di Puri Kaleran berputera: I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, Beliau membuat tetamanan di Denpasar.
            I Gusti Gde Ngurah Pemecutan berputera: I Gusti Ngurah Rai berkedudukan di Puri Kaleran (yang membunuh raja Jambe), I Gusti Ngurah Made Pemecutan yang mendirikan Puri Denpasar dan kemudian mejadi Raja Badung VI, I Gusti Ngurah Alit Pemecutan membangun istana baru bernama Puri Kaleran Kangin, (sehingga nama Puri Kaleran  yang di Barat berubah menjadi Puri Kaleran Kawan) dan I Gusti Ngurah Ketut Tegal berkedudukan di Puri Tegal.
            Kyai Anglurah Pemecutan III, yang berkedudukan di Puri Agung Pemecutan menurunkan Kyai Anglurah Pemecutan IV. Kyai Anglurah Pemecutan IV wafat di Ukiran. Saudara perempuannya ada yang kawin ke Puri Alang Badung, ada ke kerajaan Taman Bali, dan ke Gerya Wanasari Sanur.
            Kyai Anglurah Pemecutan IV yang wafat di Ukiran mempunyai beberapa orang putera dan puteri, yang terkemuka adalah Kyai Anglurah Pemecutan V, putera yang beribu dari saudaranya Kyai Anglurah Bija dari desa Bun.
            Kyai Anglurah Pemecutan V beristerikan seorang yang berstatus rendahan (Sudra), menurunkan 2 putera dan 2 puteri. Puteri pertama kawin ke Puri Denpasar, dan puteri ke dua kawin ke Puri Jro Kuta. Putera sulung bernama Kyai Agung Gde Raka mewariskan tathta Puri Pemecutan bergelar Kyai Anglurah Pemecutan VI, adiknya yang bungsu Kyai Agung Gde Rai bergelar dan menjabat sebagai Kyai Lanang Pemecutan.
            Kyai Anglurah Pemecutan VI menikahi puteri dari Puri Denpasar, menurunkan Kyai Anglurah Pemecutan VII. Kyai Anglurah Pemecutan VII dijuluki Maharaja Dewateng Kurbhasana, menurunkan puteri yang kemudian dinikahi oleh Kyai Agung Gde Oka putra tertua dari Kyai Lanang Pemecutan, dari Jro Kanginan. Kyai Agung Oka kemudian pindah melangkah memasuki Puri Pemecutan bergelar Kyai Anglurah Pemecutan VIII.
            Kyai Anglurah Pemecutan VIII, memerintah begitu lama di Puri Agung Pemecutan, dijuluki Bhatara Dewateng Madharddha. Beliau tidak berputera (putung). Adapun adik beliau yang bernama Kyai Lanang Pemecutan yang tinggal di Jro Kanginan beristeri puteri dari Puri Jambe, menurunkan putera yang kemudian diangkat sebagai Kyai Anglurah Pemecutan IX atau Cokorda Pemecutan IX. Beliau pindah melangkah, memasuki Puri Pemecutan dan menikahi puteri dari Puri Denpasar. Cokorda Pemecutan IX inilah yang gugur dalam perang Puputan Badung bersama Raja Badung Cokorda Ngurah Made Agung. Dengan hancurnya Puri Pemecutan akibat serangan pasukan Belanda sewaktu Puputan Badung, maka Jro Kanginan mengambil-alih status sebagai Puri Agung Pemecutan yang baru, oleh karena Cokorda Pemecutan IX berasal dari Jro Kanginan.
           
I Gusti Ngurah Made Pemecutan Raja Badung VI (1788 – 1810)
            Kembali lagi. Setelah krisis di kerajaan Badung yang disebabkan oleh perseteruan antara Puri Kaleran Pemecutan dan Puri Ksatrya berakhir dengan wafatnya Kyai Anglurah Jambe Ksatrya, maka kekuasaan beralih kepada keluarga Sub Dinasti Pemecutan. I Gusti Ngurah Made Pemecutan menjadi raja Badung VI  beristana di Puri Denpasar. Beliau  adalah adik dari I Gusti Ngurah Rai yang menikam raja Jambe Kyai Anglurah Jambe Ksatrya.
            Pada masa pemerintahannya, tahun 1805 beliau memperluas kekuasaannya dengan menyerang kerajaan Jembrana yang diperintah oleh I Gusti Ngurah Gde Jembrana. Beliau dapat menaklukkan Jembrana dan mempercayakan Kapten Patini orang Bugis sebagai penguasa daerah tersebut. Namun tahun 1808 Buleleng merebut kembali daerah itu. Kapten Patini beserta orang-orang Bugis banyak mati terbunuh.
            Pada tahun 1808 Raja Badung I Gusti Ngurah Made Pemecutan menanda-tangani kontrak dengan utusan Pemerintahan Hindia – Belanda bernama Van den Wahl. Isi kontrak adalah persahabatan antara kedua belah pihak. Belanda akan melindungi wilayah Badung, untuk itu pasukan Belanda diijinkan membangun rumah-rumah, benteng – benteng  dan gudang – gudang  persenjataan. Perjanjian ini dinilai oleh pengamat politik merugikan pihak Badung.
            I Gusti Ngurah Made Pemecutan mempunyai 7 putera. Putera yang terkemuka adalah I Gusti Gede Ngurah Pemecutan yang kemudian pada tahun 1810 menggantikan ayahnya yang sudah sakit – sakitan.

I Gusti Gde Ngurah Pemecutan Raja Badung VII (1810 – 1818)
            I Gusti Gde Ngurah Pemecutan menjadi raja Badung tetap beristana di Puri Denpasar. Beliau memerintah Kerajaan Badung dalam waktu yang singkat. Pada masa pemerintahannya, tahun 1817 Kerajaan Mengwi pernah menyerang Badung, akan tetapi serangan dapat digagalkan. Sebelum mengakhiri jabatannya pernah disodori kontrak baru oleh pihak Pemerintah Hindia – Belanda yang diwakili oleh Van den Broek. Kontrak ini tidak mau ditanda – tangani karena pihak Belanda tidak mau membantu Badung dalam menyerang kerajaan Lombok. Pada tahun 1818 beliau meninggal, dan sebagai pengantinya diangkat puteranya yang tertua bernama: I Gusti Ngurah Denpasar.

I Gusti Ngurah Denpasar Raja Badung VIII (1818 – 1829)
            I Gusti Ngurah Denpasar menggantikan ayahnya sebagai Raja Badung tetap beristana di Puri Agung Denpasar. Beliau sering menderita sakit sehingga urusan pemerintah lebih banyak ditangani oleh I Gusti Ngurah Pemecutan yang beristana di Puri Agung Pemecutan. Kontrak pada tahun 1826 ditanda tangani oleh I Gusti Ngurah Pemecutan, sedangkan di pihak Belanda diwakili oleh J.S. Wetters. Kontrak ini sangat merugikan Kerajaan Badung, yang antara lain menyatakan bahwa Kerajaan Badung adalah daerah taklukan Pemerintah Hindia – Belanda.
            Pada tahun 1829 Raja I Gusti Ngurah Denpasar meninggal. Oleh karena beliau tidak mempunyai putera maka diselenggarakan Pesamuhan Agung Kerajaan. Hasil Pesamuhan tersebut memutuskan I Gusti Made Pemecutan yang berkedudukan di Puri Agung Kesiman menjadi Raja Badung berikutnya. Beliau kemudian bergelar I Gusti Gde Ngurah Kesiman.

I Gusti Gde Ngurah Kesiman Raja Badung IX (1830 – 1861)
            Pada masa pemerintahannya Kerajaan Badung mengalami kemajuan yang pesat terutama di bidang perdagangan. Ini berkat kecerdasan beliau memerintah Badung dibanding dengan pendahulunya. Tidak jarang beliau berhubungan minta nasihat kepada Dewa Manggis Raja di Puri Gianyar.
            Dalam bidang perdagangan, beliau melakukan perbaikan-perbaikan jalan ruas Kesiman – Kuta, melalui desa – desa seperti: Pagan – Tatasan – Tonja – Denpasar – Titih – Suci – Alangkajeng – Celagigendong – Tegal – Buagan – Abian Timbul – dan Meregaya. Barang – barang yang menjadi komoditi adalah: kapas, pakaian, beras, barang-barang hasil kerajinan tangan, kacang tanah, buah mentimun, buah kelapa, jagung dan ketela, diperdagangkan dari kerajaan tetangganya seperti: Tabanan, Mengwi, Gianyar, Klungkung. Sebaliknya barang – barang yang diperdagangkan Badung adalah: alat – alat rumah tangga, senjata, candu, peluru dan lain-lain. Beliau juga memaksimal dua pelabuhan, yakni: Kuta dan Tuban, disamping pelabuhan lainnya seperti: Benoa, Serangan, Sanur, dan Seseh.
            Ramainya perdagangan di pelabuhan Kuta yang menguntungkan Badung, berkat usaha beliau mengadakan hubungan persahabatan yang akrab dengan saudagar berkebangsaan Denmark tetapi berkewarganegaraan Belanda bernama Mads Johann Lange. Demikian antara lain usaha – usaha yang dilakukan Raja I Gusti Ngurah Gde Kesiman untuk meningkatkan kesejateraan rakyat Badung. Di bidang politik, atas usaha keras diplomatik beliau bersama sahabat karibnya Mads Lange, Belanda mengurungkan niat menyerang Dewa Agung Klungkung pada waktu itu.  Sehingga dapat dipandang pada masa pemerintahan I Gusti Gde Ngurah Kesiman kerajaan Badung mengalami masa kejayaan.

I Gusti Alit Ngurah Pemecutan Raja Badung X (1861 – 1902)
            Pada Tahun 1861 kerajaan Badung kehilangan tokoh karismatik I Gusti Gde Ngurah Kesiman yang meninggal dalam usia 70 tahun. Beliau diganti oleh I Gusti Alit Ngurah Pemecutan atau nama lainnya I Gusti Gde Ngurah Denpasar, yang beristana di Puri Agung Denpasar.
            Satu peristiwa penting dalam masa pemerintahannya adalah keberhasilan Badung menamatkan Kerajaan Mengwi, yang secara resmi dinyatakan takluk pada tanggal 20 Juni 1891. Laskar koalisi Badung, Tabanan, Bangli, Gianyar, dan Klungkung berhasil menghancurkan perlawanan laskar Mengwi. Rajanya yang terakhir Cokorda Ngurah Made Agung diberi gelar Bhatara Mantuk Ring Rana. Menurut babad Mengwi Raja Mengwi Cokorda Ngurah Made Agung gugur di tengah persawahan di sebelah Barat desa Mengwi Tani, bersama sahabat karibnya Ida Pedanda Made Bang dari Gerya Liligundi Buleleng. Sementara keluarga dan sahabatnya yang masih hidup ditawan di Badung, diantaranya Ida Pedanda Gde Kekeran ditawan dan ditempatkan di Puri Tegal.
            Sebab – sebab terjadinya peristiwa Badung menyerang Mengwi, diantara babad berbeda versi, diantaranya adalah: pada masa – masa itu Dewa Agung Klungkung berseteru dengan Karangasem, merebutkan wilayah Lombok. Sedangkan Kerajaan Mengwi dan Karangasem adalah satu keturunan (satu treh: Nararya Kepakisan). Pertimbangan Dewa Agung, kalau Karangasem diserang, maka Mengwi sudah pasti akan membantu Karangasem. Oleh karena itu Mengwi perlu dihabisi dulu. Sementara Badung sangat setia kepada Dewa Agung, karena Raja I Klungkung Dewa Agung Jambe beribu dari Badung. Apapun perintah yang diberikan Dewa Agung, Badung pasti siap melaksanakan, dan terbukti perintah  dilaksanakan dengan baik. Jadi penyerbuan Badung ke Mengwi hanya semata – mata demi kepentingan Dewa Agung Klungkung, dan Kerajaan Mengwi adalah korban dari permusuhan Dewa Agung Klungkung dengan Karangasem.
            Versi lainnya: untuk mengairi sawah – sawah yang ada di Badung, sumber air sebagian besar dari Tukad Ayung yang berhulu di Kerajaan Mengwi. Faktor pengairan atau irigasi sering membuat ke dua kerajaan berperang hingga puncaknya pada bulan Juni 1891.
            Versi lainnya lagi: akibat pencaplokan Mengwi terhadap daerah – daerah milik kerajaan Gianyar seperti: Kuramas, Blahbatuh, Ubud, dan Payangan.

I Gusti Ngurah Made Agung Raja Badung X Terakhir (1902 – 1906)
            Pada tahun 1902 Raja I Gusti Alit Ngurah Pemecutan meninggal. Oleh karena putera mahkota yang bernama I Gusti Alit Ngurah (Cokorda Alit Ngurah) masih belia sekitar 6 tahun, maka kedudukan beliau dijabat oleh adiknya I Gusti Ngurah Made Agung, yang beristana di Puri Agung Denpasar, yang kemudian bergelar Bhatara Mantuk Ring Rana. Beliau tekun belajar sastra dan berguru kepada Ida Bagus Made Sidemen dari Gerya Taman Sanur, yang kemudian mediksa bernama Ida Pedanda Made Sidemen.
Sementara di Puri Agung Pemecutan bertahta Kyai Anglurah Pemecutan IX yang sudah lanjut usia dan sakit – sakitan. Kedua tokoh (Cokorda kalih) inilah yang memimpin perlawanan rakyat Badung dalam Puputan Badung, dengan pusat perlawanan di Puri Agung Denpasar. Kedua Puri baik Puri Agung Denpasar dan Puri Agung Pemecutan dihancurkan oleh Belanda.
            Ada 3 peristiwa atau kejadian alam penting yang dipercaya sebagai tanda atau ciri akan datangnya pralaya di bumi Badung. Ke tiga peristiwa itu adalah:
1.      Meletusnya Gunung Batur pada bulan Maret 1905. Sebagaimana diketahui dalam sejarah, Gunung Batur yang diyakini tempat bersemayamnya Bhatari Dewi Danu adalah tempat yang memberikan anugrah kekuasaan kepada Dinasti Pucangan di daerah Badung.
2.      Pada tahun yang sama rakyat melihat bintang berekor dalam ukuran yang besar dan bercahaya terang di langit.
3.      Pada akhir tahun 1905, terjadinya peristiwa yang menakutkan rakyat Badung, adalah runtuhnya tanah tebing ke laut di Pura Uluwatu. Pura Uluwatu dipandang keramat sebagai tempat pemujaan raja – raja Badung
           
Perang Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906 terjadi karena ambisi Pemerintah Hindia – Belanda untuk menguasai daerah Nusantara, sementara peristiwa karamnya kapal Wangkang Sri Komala pada tanggal 25 Mei 1904 hanyalah peristiwa kecil yang dibesar – besarkan yang dipakai sebagai dalih untuk menyerang Badung. Belanda menuntut agar Raja Badung membayar ganti rugi sebesar f 7.500 atas perampasan kapal tersebut, yang dinilai melanggar kontrak perjanjian sebelumnya. Namun Raja Badung I Gusti Ngurah Agung menolak tuntutan tersebut karena tidak ada bukti – bukti perampasan oleh rakyat Sanur terhadap kapal yang karam itu. Hal ini dibuktikan dengan sumpah 2800 orang penduduk desa Sanur.
            Pasukan Belanda mendarat di Pabean Sanur, naik ke darat bergerak dari Utara, melalui Puri Kesiman – desa Sumerta – Puri Denpasar – Puri Suci – dan terkahir Puri Pemecutan. Raja Badung Cokorda Ngurah Made Agung, dan raja Pemecutan Cokorda Pemecutan IX gugur bersama rakyatnya. Jumlah korban tewas di pihak Badung sedikitnya 2.000 orang.
Dengan demikian berakhir sudah kerajaan Badung, dan Belanda pada tahun 1908 berhasil menguasai Pulau Bali dengan menghancurkan Kerajaan Klungkung melalui Puputan Klungkung.

Diselesaikan pada Anggara – Kliwon – Medangsya
Penanggal ping 5 Purnama Ke Dasa Isaka 1927
Tanggal: 29 Maret 2005

Ida Bagus Wirahaji, S.Ag



DAFTAR  PUSTAKA

1.      Agung, DR. MR. Ide Anak Agung Gde, 1989. Bali Pada Abad XIX Perjuangan Rakyat Dan Raja – Raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808 – 1908. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
2.      Agung, Cokorda Gde, 1985. Hancurnya Istana Kerajaan Gelgel Kemudian Timbul Dua Buah Kerajaan Kembar Klungkung Dan Sukawati. Denpasar: Puri Agung Tegallalang.
3.      Agung, Anak Agung Ketut, 1991. Kupu – Kupu Kuning Yang Terbang Di Selat Lombok. Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661 – 1950). Denpasar: Upada Sastra
4.      Agung, Ida Cokorda Ngurah, 1994. Cikal Bakal Raja – Raja Badung: Denpasar: Puri Agung Denpasar.
5.      Ardana, I Ketut, 1994. Bali Dalam Kilasan Sejarah. Dalam Buku: Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Bali Post
6.      Bernard Keytimu, 2004. I Gusti Ngurah Made Agung Dalam Peristiwa Puputan Badung. Denpasar: Dinas Kesejateraaan Sosial Provinsi Bali.
7.      Darta, A A Gde, dkk, 1996. Babad Arya Tabanan Dan Ratu Tabanan. Denpasar: Upada Sastra.
8.      Mirsha, I Gst  Ngurah Rai, dkk, 1986. Sejarah Bali. Denpasar: Proyek Penyusunan Sejarah Bali. Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.
9.      Mirsha, I Gst Ngurah Rai dkk, 1991. Raja Badung. I Gusti Ngurah Made Agung. Hasil Karya dan Perjuangannya. Denpasar: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.
10. Oka, Anak Agung Ngurah, 1989. Mesuci Ngadegang Pengelingsir Pesemetonan Warga Warga Puri Agung Pemecutan. Denpasar: Panitia Karya Abiseka Pengelingsir Puri Agung Pemecutan.
11. Sujana, Drs. I Nyoman, dkk, 2002. Babad Mengwi. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
12. Saputera, SH, I Gusti Bagus, 2000. Empat Abad Dynasti Arya Kenceng Tegehkuri. Denpasar: -
13. Segatri Putra, Dra. Gst, 1990. Babad Arya Kenceng Tegeh Kori. Denpasar: -
14. Tim Penerjemah, 2001. Babad Pemancangah Ki Gusti Tegeh Kori. Babad Badung. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

BABAD BULELENG

-->
BULELENG PADA MASA KEKUASAAN
DINASTI PANJI SAKTI
(1600 – 1780 M)


Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, Raja I Buleleng

            I Gusti Ngurah Panji Sakti adalah salah satu putera dari Dalem Segening Sesuhunan Bali – Lombok VI, yang berkuasa di Swecapura Gelgel tahun 1580 – 1665 M. Ia beribu seorang sahaya, yang bernama Ni Luh Pasek, berasal dari desa Panji, Denbukit. Ketika ia masih dikandung, ibunya diserahkan oleh Dalem kepada Arya Ki Gusti Jelantik Bogol untuk diperisteri, sebagai penghargaan atas jasa-jasa terhadap kerajaan. Tetapi dengan syarat jangan ‘dicampuri’ sebelum anak itu lahir, dan agar dipersaudarakan dengan putera kandung Ki Gusti Jelantik Bogol.
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti diperkirakan lahir tahun 1584 M. Masa kecilnya diberi nama Ki Barak Panji. Sejak kecil sudah menunjukkan tanda-tanda kebesaran. Dari kepalanya keluar sinar suci menandakan prabawanya. Hal ini menimbulkan kekuatiran Sri Aji Dalem akan tahta kerajaan. Itulah sebabnya sewaktu Ki Barak Panji berumur sekitar 12 tahun diperintahkan untuk pergi meninggalkan Suwecapura, tinggal di desa asal ibunya, desa Panji, Den Bukit.
Ki Barak Panji berangkat ke desa Panji dengan dibekali pusaka keris Ki Semang, tombak Ki Tunjung Tutur atau Ki Pangkajatatwa. Rombongan perjalanan yang berjumlah 40 orang dipimpin oleh Ki Dumpyung dan Ki Dosot. Ki Barak Panji pamitan di desa Jarantik, kemudian meneruskan ke desa Samprangan, desa Kawisunya (wilayah Bandana), Danau Pabaratan (Beratan), istirahat makan di bukit Watusaga (Batumejan) wilayah Den Bukit. Sewaktu makan ketupat nasi, mereka kekurangan air maka ditancapkanlah tombak Pangkajatatwa, hingga keluar air bersih untuk diminum. Daerah tempat keluarnya air tersebut selanjutnya diberi nama Banyu Anaman atau Toya Ketipat nama lainnya.
Pada sore hari rombongan berada di atas danau Bubuyan (Buyan), tiba-tiba muncul sosok manusia gaib yang kemudian diberi nama Ki Panji Landung. Ki Panji Landung mencegat Ki Barak Panji dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ki Barak Panji disuruh melihat arah Utara (samudra luas), Timur (gunung Toya Anyar/Tianyar), Barat (gunung Banger), dan arah Selatan. Kelak daerah yang dilihatnya itu menjadi kekuasaannya.
Sesampainya di desa Panji para pengiring kembali ke Suwecapura kecuali Ki Dumpyung dan Ki Dosot yang sangat setia. Penguasa daerah Panji bernama Ki Pungakan Gendis sangat tamak ditakuti rakyat. Dari angkasa Ki Barak Panji mendengar sabda sebagai petunjuk untuk membunuh Ki Pungakan Gendis. Ki Barak Panji naik ke atas pohon Leca, kemudian di bawah dilihat Ki Pungakan Gendis baru pulang dari sabung ayam. Ki Barak Panji turun mencegat seraya mengacungkan keris pusaka Dalem, Ki Semang. Seketika itu Ki Pungakan Gendis meninggal kaku di atas kuda. Penggantinya untuk sementara ditugaskan Ki Bendesa Gendis untuk memerintah desa Gendis.
Ki Barak Panji sempat menolong perahu terdampar di Pantai Penimbangan (dekat Pura Segara Panji sekarang). Pemilik perahu orang Cina bernama Ki Dompu Awwang (San Po Kong) menjanjikan memberi hadiah semua isi perahu kepada yang mampu menarik perahu tersebut. Dengan keris pusaka pemberian Dalem Ki Barak Panji berhasil menyelamatkan perahu itu. Sejak itu Ki Barak Panji menjadi kaya.
Setelah menginjak usia 20 tahun Ki Barak Panji dinobatkan sebagai penguasa desa Panji dengan nama Ki Gusti Ngurah Panji. Berkat karisma dan kewibawaannya, berbondong-bondong orang datang dari lain desa. selanjutnya tinggal di desa Panji. Dari timur: sungai We Nirmala, sampai ujung desa Toya Anyar. Kyayi Alit Manala dari Kubwan Dalem tunduk dan mengabdikan diri. Dari Barat: sungai We Kulwan Kyayi Sasangkadri yang beristana di Tebu Salak tunduk menyerahkan diri. Kekuasaan Ki Gusti Ngurah Panji semakin meluas. Ia memindahkan istana ke desa Sangket, Sukasada. Sejak saat itu bergelar Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti meminta Ida Pedanda Kumenuh menjadi Bhagawanta. Sebutan di masyarakat Ida Pedanda Sakti Ngurah. Brahmana ini memiliki ilmu yang luhur, yaitu ilmu Pasupati. Sang Pendeta semula dari Ler Adri menetap di desa Tarupinge (Kayu Putih sekarang), kemudian setelah dijadikan pendeta kerajaan, diberi kedudukan di desa Banjar Ambengan, rakyat 3000 orang, sebatas barat sungai Bukbuk. Sang Brahmana sangat ahli membuat keris, hingga dikenal keris buatan Banjar. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti juga memberikan Pendeta kediaman yang beri nama Griya Romarsana. Di tempat inilah kedua tokoh ini mengikat janji, mengingat sewaktu di Yawadwipa leluhur mereka bersaudara. Itulah sebabnya daerahnya ini disebut desa Sangket.
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti teringat akan anugerah dari Ki Gusti Panji Landung, bahwa ia akan dapat menaklukkan Blambangan. Setelah mendapat alamat dari burung gagak dan petunjuk dari Bhagawanta, ia berangkat bersama laskarnya. Rute perjalanan perahu, melalui Candi Gading, di pinggiran Tirta Arum, selanjutnya menyerang Banger. Terjadi pertempuran yang ramai antara laskar Taruna Gowak Buleleng dengan Laskar Dalem Blambangan. Dalem Blambangan akhirnya wafat ditikam dengan keris Ki Semang, anugerah Dalem Segening. Namun kemenangan laskar Buleleng harus dibayar dengan gugurnya salah seorang puteranya yang bernama I Gusti Ngurah Nyoman Panji Danudresta.
Diceritakan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti merintis membangun kota, di petegalan daerah Jenggala Balalak, sebelah utara Sukasada, tempat penduduk menanam buleleng (jagung gembal). Lama kelamaan tempat itu menjadi ramai disebut kota Buleleng. Tempat tinggal baginda raja diberi nama Singaraja. Sebab keberaniannya bagaikan singa. Ia mempunyai gajah bagaikan gajah Airwata. Dibuatkan kandang di sebelah Utara kota, sehingga tempat itu diberi nama Banjar Petak. Tiga orang pemberian raja Solo ditugaskan mengembalakan gajah tersebut. Dua orang tinggal di sebelah Utara desa Petak selanjutnya tempat itu diberi nama Banjar Jawa. Seorang lagi diberi tempat di pesisir Toya Mala (Banyumala). Di antara Banjar Jawa dan Banjar Petak dinamai Bajnar Peguyangan, tempat gajah raja berkubang. Mereka kemudian dipindahkan ke hutan Pengatepan (artinya Pegayaman = Teep), yang sekarang bernama desa Pegayaman, dimaksudkan sebagai benteng penjaga perbatasan di Selatan.
Ki Gusti Ngurah Panji Sakti melebarkan daerah kekuasaannya dengan menyerang Jaranbana (Jemberana). Dengan keris pusaka Ki Semang, ia berhasil menaklukkan daerah Jaranbana. Ia juga mendengar ada seorang puteri cantik adik Ki Gusti Ngurah Made Agung, raja Mengwi. Ia mengirim utusan untuk melamar sang puteri. Raja Mengwi ingin menguji keberanian Raja Buleleng dan kehebatan laskar Ler Adri. Mula-mula lamaran ditolak. Timbul kemarahan Raja Buleleng hingga mengirim laskar untuk menyerang Mengwi. Raja Mengwi mengirim laskar andalan, yaitu laskar Taruna Batan Tunjung dan laskar Taruna Munggu. Pertempuran sempat berlangsung seru, saling tikam, sebelum didamaikan oleh raja Mengwi. Sang Puteri Ki Gusti Ayu Rai akhirnya dinikahkan dengan dengan Raja Buleleng. Sebagai imbalannya, Raja Buleleng memberikan daerah Brambangan (Blambangan) dan Jaranbana (Jemberana).
            Ki Gusti Ngurah Panji Sakti sempat memancing kemarahan raja Bandana (Badung) dengan menyerang daerah Watukaru, merusak parahyangan Agung Batukaru. Tiba-tiba segerombolan lebah menyerang laskar Buleleng. Kejadian ini dirasakan sebagai kutukan dewata. Pengerusakan Parahyangan Agung Batukaru ini membuat raja Bandana berang. Raja Buleleng mengirim laskar ke daerah Badeng (Badung). Kedua belah pihak bertempur di tempat yang sekarang diberi nama Taensiat. Pertempuran dapat dihentikan, kedua belah pihak berdamai. Selanjutnya, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti mengambil puteri dari golongan Wesia dari Banjar Ambengan Badung.
Pada tahun 1686 M terjadi peristiwa penggulingan Dalem Di Made oleh Ki Gusti Agung Maruti di Swecapura (Gelgel). Dalem Di Made dilarikan ke desa Guliang Bangli bersama puteranya  I Dewa Jambe beribu dari treh Jambe Pule Badung. Dalem Di Made akhirnya wafat di desa Guliang. Ki Gusti Ngurah Panji Sakti sangat berang, langsung memimpin laskarnya untuk membebaskan Gelgel dari cengkeraman Ki Gusti Agung Maruti. Laskar Buleleng sampai di sebuah desa di sebelah Barat Toya Jinah. Di daerah ini mereka bermarkas, yang membuat masyarakat setempat kesusahan, sehingga daerah itu diberi nama desa Panasan. Laskar Ki Gusti Agung Maruti dapat dipukul mundur, namun demikian Ki Gusti Ngurah Panji Sakti sempat kecewa dengan kerisnya yang berkepala berbentuk babodolan, sehingga setelah sampai di kora Gelgel mengeluarkan sumpah, semua keturunanya kelak tidak boleh memakai keris yang berkepala berbentuk babodolan.

Ki Gusti Ngurah Panji Gede, Raja II Buleleng
            Diceritakan karena usia, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti meninggalkan dunia ini mencapai moksah menuju alam Nirbana. Ia memiliki beberapa putera dari beberapa isteri. Dari putri Pungakan Gendis yang bernama I Dewa Ayu Juruh. Melahirkan 3 putra, yaitu: Ki Gusti Ngurah Panji Gede, Ki Gusti Ngurah Panji Made, serta yang bungsu bernama Ki Gusti Ngurah Panji Wala. Dari puteri Banjar Ambengan Badung lahir I Gusti Alit Oka dan I Gusti Made Padang. Beribu dari desa Panji lahir Ki Gusti Wayan Padang dan Ki Gusti Made Banjar. Beribu Ki Gusti Ayu Rai (puteri Raja Mengwi) lahir I Gusti Ayu Panji, diperisteri oleh Ki Gusti Anom dari Kapal Mengwi.
Ki Gusti Ngurah Panji Gede yang menjadi putera mahkota, dinobatkan menjadi Raja Den Bukit berikutnya. akan tetapi ia tetap menempati istana di Puri Sukasada.

Ki Gusti Ngurah Panji Bali, Raja III Buleleng
            Ki Gusti Ngurah Panji Gede mempunyai seorang puteri bernama I Gusti Ayu Jelantik Rawit. Sedangkan adiknya Ki Gusti Ngurah Panji Made berputera I Gusti Ngurah Panji Bali (memperisteri I Gusti Ayu Jelantik Rawit), I Gusti Panji Tahimuk, I Gusti Made Munggu, I Gusti Nyoman Panji, dan yang bungsu bernama I Gusti Oka.
            Setelah Ki Gusti Ngurah Panji Gede dan Ki Gusti Ngurah Panji Made wafat, maka tahta kerajaan, tampuk pemerintahan dipegang oleh Ki Gusti Ngurah Panji Bali, sebagai raja berikutnya. Ia menempati istana di Puri Sukasada. Istana di Singaraja tetap dipelihara sebagai tempat bersenang-senang.

Ki Gusti Ngurah Jelantik, Raja IV Buleleng
            Sepeninggal Ki Gusti Ngurah Panji Bali, Buleleng diperintah secara kolektif oleh 2 Puri. Putera Sulung bernama Ki Gusti Ngurah Panji menempati Puri Sukasada. Adiknya Ki Gusti Ngurah Jelantik menempati Puri Singaraja. Kedua puteranya ini lahir dari dua ibu, sebagai permaisuri.
            Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1780 M, kedua raja ini berseteru karena mempercayai fitnah tersebar. Ki Gusti Ngurah Jelantik meminta bantuan Raja Karangamla (Karangasem) Ki Gusti Ngurah Ketut Karangasem. Bantuan diberikan dengan perjanjian, setelah menang nanti Ki Gusti Ngurah Jelantik dinobatkan menjadi raja hanya sebagai boneka. Laskar gabungan Singaraja – Karangasem berhasil mendesak laskar Sukasada. Keris pusaka Ki Semang, anugerah Dalem berhasil direbut. Ki Gusti Ngurah Panji berhasil ditikam hingga gugur dalam pertempuran ini. Tempat terjadinya peristiwa pertempuran 2 saudara ini diberi nama desa Baratan.
            Ki Gusti Ngurah Jelantik dinobatkan menjadi raja Buleleng.  Ki Gusti Nyoman Karangasem dari treh Arya Petandakan, dinobatkan sebagai raja muda. Sama-sama beristana di Puri Singaraja.



BULELENG PADA MASA KEKUASAAN
DINASTI KARANGASEM
(1780 – 1849 M)



Ki Gusti Nyoman Karangasem, Raja V Buleleng
Ki Gusti Nyoman Karangasem dinobatkan menjadi raja berikutnya setelah Ki Gusti Ngurah Jelantik wafat. Mulailah treh Karangsem menguasai Den Bukit. Ada pun putera Ki Gusti Ngurah Jelantik yang bernama Ki Gusti Bagus Jelantik Banjar, diberi kedudukan sebagai patih, menempati istana di Puri Bangkang, sebelah Barat We Mala (Banyumala).

Ki Gusti Agung Made Karangasem Sori, Raja VI Buleleng
            Pemerintahan Ki Gusti Nyoman Karangasem tidak bertahan lama. Ia meninggal karena serangan penyakit. Kedudukannya digantikan oleh Ki Gusti Agung Made Karangasem Sori keturunan Karangasem. Ia hanya berkuasa selama 3 tahun, sebelum mengundurkan diri. Kegagalannya adalah tidak tegas, tidak adil selalu memilih muka, pilih kasih.

Ki Gusti Ngurah Agung, Raja VII Buleleng
            Ki Gusti Ngurah Agung diangkat oleh raja Karangasem sebagai raja Buleleng berikutnya, menggantikan Ki Gusti Agung Made Karangasem Sori. Pada tahun 1808 M raja ini memimpin langsung laskar Buleleng menyerbu komunitas Bugis di Jemberana yang berjumlah 1.200 orang. Penyerbuan ini dilakukan setelah ia minta ijin kepada Raja Bandana I Gusti Ngurah Made Pemecutan. Ia sendiri dibunuh oleh gerombolan bersenjata di desa Pengambengan Jemberana. Sejak itu Jemberana menjadi wilayah kekuasaan Buleleng sampai perang Jagaraga tahun 1849 M.
Pada tahun 1814 M, laskar Buleleng menyerang Banyuwangi namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan Inggeris. Sebagai balasan satu eskader AL Inggeris dikirim ke Buleleng untuk memberi pelajaran kepada Raja Buleleng.
Pada tanggal 22 Oktober 1818 M terjadi bencana tanah longsor dan banjir bandang. Salah satu dinding di bukit Danau Buyan dan Danau Tamblingan jebol. Bencana ini menewaskan rakyat dan beberapa pembesar kerajaan. Seperti:  Ki Gusti Bagus Jelantik Banjar patih yang beristana di Puri Bangkang, Ki Gusti Wayan Panji, Ki Gusti Wayan Penebel, serta Ki Gusti Nyoman Penarungan, sama-sama tinggal di Sukasada semuanya tewas terbenam lumpur. Lokasi jebolnya dinding bukit itu sekarang tepat pada ceking Tamblingan, di tepi jalan menuju Munduk di tepi Danau Tamblingan.

           
Ki Gusti Agung Pahang, Raja VIII Buleleng (1829 – 1831 M)
Ki Gusti Agung Pahang (Canang) dari keturunan Karangasem, diangkat sebagai raja Buleleng menggantikan Ki Gusti Ngurah Agung yang wafat di Pengambengan Jemberana. Ia dinobatkan pada tahun 1829 M, memindahkan istana Singaraja ke sebelah Barat jalan. Raja ini seorang tirani, kejam tidak mengindahkan tata susila, takabur, bengis, doyan perempuan, melakukan gamia gamana dan berbagai kejahatan lainnya.
            Raja ini memerintahkan untuk membunuh Ki Gusti Bagus Ksatra, Wayan Rumyani (Pan Apus), dan orang lainnya yang dirahasiakan. Ki Gusti Bagus Ksatra dibunuh karena menghaturkan hidangan ikan Udang. Kata ‘Udang’ diartikan sebagai ‘uudang’ artinya selesai mejadi raja.
Sepak terjang raja menimbulkan kemarahan pada keturunan Panji. Mereka mengatur siasat. Pada suatu malam ada pertunjukkan wayang di halaman puri, dengan dalang Ki Gulyang dari desa Banjar. Mereka (para arya) menunggu keluarnya raja untuk menonton. Namun raja tidak keluar, membuat para arya kepayahan. Pada saat sang dalang memegang wayang Bima dan Tualen, meletus kerusuhan. Sang dalang sempat ditikam dari belakang, namun bisa menyelamatkan diri. Tidak diketahui banyaknya korban yang tewas dan terluka dalam peristiwa malam itu.
Kepala penjaga istana Ketut Karang mengingatkan Ki Gusti Made Singaraja beserta pengikutnya untuk pulang ke rumah masing-masing. Keesokan harinya Raja Buleleng mengadakan persidangan dengan para Manca, namun tidak dihadiri oleh para Arya Buleleng. Disepakati untuk membunuh semua keturunan Arya Buleleng mulai dari kecil sampai yang tua. Gerakan pasukan kerajaan sangat cepat, terlambat diantisipasi oleh para Arya Buleleng sehingga keturunan Panji banyak yang tewas. Arya yang selamat mengungsi keluar daerah Buleleng.
Perkembangan selanjutnya rakyat Buleleng bergerak mengangkat senjata, karena sudah muak dengan pemerintahan raja yang menimbulkan kepanasan, kekeringan, panen sering gagal. Raja melarikan diri ke Karangasem. Namun di Karangasem ia berhasil dibunuh oleh rakyat Karangasem atas perintah Raja Karangasem Ki Gusti Lanang Peguyangan, pada tahun 1831 M.

Ki Gusti Ngurah Made Karangasem, Raja IX Buleleng (1833 – 1846 M)
Ki Gusti Ngurah Made Karangasem pada tahun 1833 M ditunjuk menggantikan raja yang telah tewas. Ia didampingi oleh patih yang terkenal bernama Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir. Sang Patih sangat terkenal keberaniannya menyerang dan menguasai daerah pegunungan, seperti desa Payangan daerah kekuasaan Bangli. Sang Patih berhasil merebut desa-desa yang melepaskan diri karena ulah raja sebelumnya. Ia juga menyatukan para bangsawan keturunan Panji dengan para bangsawan keturunan Karangasem, sehingga kerajaan Buleleng bersatu padu dalam menghadapi agresi Belanda.
Pada bulan Mei 1845 sebuah kapal berbendera Belanda bernama Atut Rahman kandas dan karam di Pantai Karang Anyar daerah kekuasaan Karangasem. Kapal dirampas penduduk, menyebabkan pihak Belanda memprotes keras karena melanggar perjanjian yang sepakati. Peristiwa ini memicu Belanda mengirim utusan ke Buleleng untuk melakukan perundingan tentang penghapusan Hak Tawan Karang. Tanggal 5 Mei 1845 berlabuh kapal perang Belanda yang bernama Bromo, berbobot besar membawa Residen/Komisaris JFT Mayor beserta rombongan. Rombongan terdiri dari 12 orang, 10 orang Belanda, seorang Pangeran Syarif Hamid dan seorang Bupati Basuki. Tanggal 7 Mei syahbandar memberitakan bahwa Raja Ki Gusti Ngurah Made Karangasem bersedia menerima rombongan esok hari. Perundingan tidak segera dilakukan, menunggu kedatangan Adipati Agung Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir.
Pada tanggal 8 Mei 1845 dalam perundingan, Adipati Agung Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir berbicara keras dan lantang. Katanya, “Orang tidak dapat menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas, hal demikian hanya dapat diputuskan oleh ujung keris”. Peristiwa ini mendorong Belanda melakukan tindakan militer.
Pada tanggal 28 Juni 1846, dini hari pasukan ekspedisi Belanda didaratkan di sebuah desa persawahan sesuai petunjuk dari peta yang dibuat Lettu Von Stampa. Sedangkan meriam-meriam Belanda terus menerus memuntahkan peluru ke arah istana. Belanda dibantu oleh pasukan Seleparang. Raja Bangli menyesalkan tidak diikut sertakan menyerang Buleleng. Esok harinya pasukan ekspedisi Belanda menuju kota Singaraja. Ternyata pasukan Bali tidak memberikan perlawanan. Raja, pembesar kerajaan dan laskar Buleleng meninggalkan Singaraja menuju desa Jagaraga. Sesuai instruksi Puri Singaraja dihancurkan. Raja Buleleng dan keluarganya mengundurkan diri desa Jagaraga. Sementara Adipati bersama sahabatnya Ida Bagus Tamu juga mengungsi ke desa Jagaraga.


BULELENG PADA MASA KEKUASAAN
KOLONIAL BELANDA
(1846 – 1942 M)


I Gusti Made Rai, Raja X Buleleng
Setelah Buleleng dapat dikuasai, Belanda menunjuk I Gusti Made Rai sebagai Raja Buleleng berikutnya. Pengangkatan ini disetujui oleh para Manca. I Gusti Made Rai adalah putera dari I Gusti Made Kari, keturunan Panji Sakti Arya Den Bukit. I Gusti Made Kari pernah lari ke daerah Kapal Mengwi ketika diserang oleh Raja Ki Gusti Agung Pahang. I Gusti Made Rai beristana di Puri Sukasada.
Sementara itu pasukan ekspedisi Belanda tetap mengejar para pembesar kerajaan terdahulu ke desa Jagaraga. Dipilihnya desa Jagaraga sebagai benteng, karena salah seorang isteri Adipati Agung berasal dari desa Jagaraga. Pada tanggal 15 April 1849 perang Jagaraga. Pasukan ekspedisi Belanda dipimpin oleh Jendral Michiels, Letkol Van Swieten, dan Letkol De Brauw. Perang sehari penuh hingga larut malam. Esoknya 16 April 1949, benteng Jagaraga jatuh. Raja Buleleng, Karangasem, dan Adipati Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir mengungsi ke desa Batur. Mereka ini dikejar oleh laskar Bangli, hingga mengungsi ke Karangasem. Pada tanggal 20 Mei 1849 pasukan Seleparang pimpinan Ki Gusti Gede Rai dan Adipati Agung Ki Gusti Made Jungutan yang memihak Belanda berhasil membunuh raja Buleleng dan Karangasem. Sementara Adipati Agung Ki Gusti Ketut Jelantik Gingsir dapat dikejar dan dibunuh di desa Seraya.

Ki Gusti Ngurah Ketut Jelantik, Raja XI (Terakhir) Buleleng
Ki Gusti Made Rai berkuasa sekitar 3 tahun lamanya. Ia tidak mempunyai kepribadian dalam memimpin kerajaan. Ia sangat gemar berjudi sabung ayam. Karena kegemaran ini, ia mengundurkan diri melepaskan tahta kerajaan. Ia lalu pergi tinggal di desa Panji diiringi oleh para bebotoh.
Belanda menunjuk Ki Gusti Ngurah Ketut Jelantik sebagai penggantinya, setelah disetujui para Menteri dan Punggawa. Ki Gusti Ketut Jelantik adalah putera dari I Gusti Putu Kari dari Kubutambahan, keturunan Sri Agung Panji Sakti. Sementara ayahnya Ki Gusti Putu Kari diberi kedudukan sebagai Punggawa di Kubutambahan.
Karena keserakahan Belanda untuk berkuasa penuh di daerah Buleleng, maka disebarkan fitnah terhadap Raja Ki Gusti Ngurah Ketut Jelantik. Fitnah ini membuat kedudukan raja sangat terpojok, sehingga Belanda memiliki alasan kuat membuang raja. Ki Gusti Ngurah Ketut Jelantik diberi hukuman selong dibuang ke Padang Sumatera. Setelah itu Belanda tidak lagi menunjukkan seorang raja, hanya Ki Gusti Bagus Jelantik dijadikan sebagai patih untuk memimpin orang-orang Bali di Buleleng.